(S)witch 13
Luna
Apa tanggapan yang akan kalian berikan ketika baru membuka mata, belum sepenuhnya terbangun, dan seseorang menodongmu dengan pertanyaan, "Lun, hari ini kita mau jalan-jalan ke mana?"
Kalau aku, sih, cuma "Hah?"
"Jalan-jalan," Satya mengulangi.
Setelah menguap, meregangkan tubuh diiringi erangan, suara tulang-tulang yang berderak ribut, serta kentut menggelegar bak ledakan bom nuklir, kesadaranku perlahan kembali.
"Kan ada hape. Kenapa nggak nyari di internet aja? Aku bukan orang Surabaya, nggak tau tempat wisata di sini selain Tugu Pahlawan sama Taman Bungkul."
Satya nyengir. Senyumnya hampir terkesan kekanak-kanakan. "Oiya, lupa."
Aku mendengus. Selain memadupadankan pakaian dan merawat tubuh, kurasa Satya tidak bisa melakukan apa pun tanpa bertanya terlebih dulu.
Ini hari kedua semenjak kami sepakat akan pergi ke Banyuwangi. Kemarin, kami tiba di hotel hampir pukul sepuluh malam setelah menonton dua judul film dan Satya langsung tepar begitu kepalanya menyentuh kasur. Aku menyusul hanya beberapa menit berselang.
Aku duduk bersandar pada kepala ranjang. "Pukul berapa?" tanyaku dengan suara parau sembari mencungkil-cungkil belek di sudut mata.
"Sepuluh," sahut Satya tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel. Aku melihat ponselku tergeletak di nakas, sedang dicatu daya meski sejak kemarin benda itu tak tersentuh sama sekali.
Satya mengulurkan botol berisi air mineral.
Aku menerimanya, mengecek segelnya terlebih dulu sebelum meminumnya. Dari sudut mataku, tampak Satya merengut saat melihatku melakukan hal itu. Aku mengabaikannya.
"Menurut lo kita mending ke mana dulu?" tanyanya. Dia memposisikan diri dan ponselnya agar aku bisa ikut membaca.
Aku membaca dengan cepat, menggulir layar menggunakan telunjukku. Artikel itu memuat sejumlah rekomendasi destinasi wisata beserta informasi-informasi singkat tentang tempat tersebut. Mulai dari wisata sejarah, wisata alam, eko wisata, wisata unik yang (katanya) Instagramable, wahana permainan, aneka wisata malam, wisata belanja, hingga wisata kuliner khas Surabaya.
Jujur saja, aku bingung memutuskan untuk pergi ke mana lebih dulu. Hampir semuanya menarik.
"Gimana?" tanya Satya lagi. Sebelum Satya bicara, aku tak menyadari betapa dekat jarak kami. Mungkin yang paling dekat selama kami bersama beberapa hari terakhir. Aku hampir bisa merasakan panas serta aroma tubuhnya.
"Nggak tau," kataku serak, dalam hati berharap Satya tak menyadari kegugupanku yang tiba-tiba. "Aku bingung."
Hening sejenak. Kemudian, Satya berbicara. Aku bisa mendengar senyuman di dalam suara pemuda itu saat dia berkata, "Gimana kalau kita berkunjung ke tempat saudara lo."
Aku mendelik. Satya tergelak.
Aneh tidak jika aku mengatakan Satya tampak necis dalam balutan gaun selutut berwarna biru lembut—dengan rambut dicepol tinggi, sepatu kets, tas kecil tersampir di bahu? Tentu saja … tidak. (Nah, bahwa aku tidak menganggapnya aneh, itu baru aneh.) Kecuali kalau dia memakai itu semua saat berada dalam wujud sejatinya. (Jangan coba-coba membayangkannya.)
Ditambah kamera di tangannya, dia tampak seperti wisatawati tulen.
Aku berjalan di sebelahnya. Sebenarnya, tampilanku pun tak kalah bergaya dibandingkan Satya. (Kalian tak perlu mengkhawatirkan masalah penampilan jika bertukar tubuh dengan seorang cowok kaya yang melek fesyen—bahkan bisa dibilang terobsesi. Saat keluar dari kamar mandi, pakaian yang serasi niscaya sudah tersedia di atas tempat tidur—lengkap beserta aksesorisnya.)
Aku mengenakan celana bermuda warna khaki yang dipadukan dengan kaus oblong dan kemeja putih polos. Kacamata hitam menutupi memar di mataku. Aku bertanya-tanya, kapan Satya membeli topi fedora yang kini kupakai, serta kacamata hitam yang bertengger di atas kepalanya.
Aku bergidik saat menyadari kalau orang-orang bisa saja menganggap kami sepasang kekasih.
Kami tiba selepas jam makan siang. Cuacanya cukup panas untuk melelehkan sambungan saraf di otakku. Meski begitu, cuaca tampaknya tidak mengurangi antusiasme para pengunjung, terutama pengunjung anak-anak.
Coba kalau Kala di sini. Dia pasti suka, batinku muram.
Aku hampir melemparkan Satya ke kandang harimau ketika kami tiba di kandang orang utan dan dia dengan lantang berkata, "Lun, lo nggak mau masuk buat nyapa saudara lo?"
Kami berpindah dari satu kandang ke kandang lain. Satya memotret. Terkadang ke arahku (yang ini lebih sering) atau ke binatang-binatang malang di dalam kandang.
Yeah, meski mereka tak perlu bersusah payah mencari makanan dan tak perlu khawatir akan predator atau seleksi alam, menurutku menyedihkan tercerabut dari habitat dan perlahan-lahan kehilangan insting alami mereka.
Aku tahu mereka memang bertujuan untuk melindungi binatang-binatang itu dari kepunahan, hanya saja … ah, sudahlah. Tak perlu dibahas lagi. Aku tidak mau disebut sebagai SJW.
Satya berusaha mengajariku menggunakan kameranya. Katanya, agar aku juga bisa memotret diriku sendiri. Sebagai pengingat sekaligus kenang-kenangan tentang perjalanan gila kami dalam mencari Ki Sut. Dia mengoceh tentang pengaturan kontras, cahaya, rana, dan sebagainya sampai tatapanku berubah kosong. Aku bisa mengendus aroma sangit dari sel-sel otakku yang konslet.
Sore harinya, kami bermobil ke Surabaya North Quay. Terletak di Perak Utara daerah Pabean Cantian—sekitar setengah jam perjalanan dari kebun binatang Surabaya (dengan catatan kalau tidak macet). Dari yang kubaca di internet, katanya tempat ini merupakan tempat persinggahan kapal pesiar mewah. Sayangnya, kami sedang kurang beruntung (bukan sesuatu yang mengherankan mengingat apa yang menimpa kami akhir-akhir ini), sebab sore itu tidak ada kapal pesiar yang singgah.
Akhirnya, aku dan Satya hanya duduk di sana sembari menantikan matahari tenggelam. Aku terheran-heran sendiri ketika diam-diam berharap semoga hari esok akan lebih baik lagi—untukku, juga Satya.
Aku tersentak ketika pemuda itu memegang tanganku—menyelipkan jemarinya ke sela-sela jemariku—dan sudah bersiap untuk memakinya, tetapi langsung mengurungkan niat saat melihat air muka pemuda itu. Entah apa masalah yang membuat orang kaya seperti Satya merasa sedih, apalagi mengingat sikapnya yang begitu ceria (cenderung menyebalkan), penuh semangat, dan terkadang sembrono. Aku tak tahu mengapa, tetapi aku balas menggenggam tangan Satya dan meremasnya pelan—memberitahu pemuda itu bahwa dia tidak sendiri.
Sampai sekarang, aku masih tak mengerti mengapa saat itu aku melakukannya, padahal jelas-jelas aku sangat membenci Satya. Ya, kurasa aku membencinya.
Selama dua hari berikutnya, aku dan Satya mengunjungi banyak tempat wisata. Nongkrong di Taman Bungkul; membangkitkan rasa nasionalisme dengan berkunjung ke Monumen Sepuluh November dan Tugu Pahlawan; berfoto di depan patung ikonik Suro dan Boyo di Taman Surabaya; bersantai dan menikmati matahari tenggelam di pantai Kenjeran; hingga berwisata malam di Taman Air Mancur Menari Kenjeran.
Satya begitu gembira ketika bisa merasakan seperti apa yang namanya makanan laut. Dia sangat antusias dan memesan banyak makanan—terlalu banyak dari yang sanggup ditampung perutnya. Sementara aku harus merana akibat alergi sialan yang dimiliki Satya. Jangankan makanan laut, sekadar makan rujak cingur atau tahu petis pun tidak boleh. (Karena kedua makanan itu mengandung petis, sedangkan petis terbuat dari ikan atau udang.)
Yang paling berkesan buatku saat kami main ke Taman Bungkul. Aku mengenalkan Satya pada jajanan rakyat jelata, yaitu telur gulung. Cowok itu memperhatikan proses pembuatan makanan itu dengan perpaduan kengerian sekaligus takjub, sementara aku berusaha untuk tidak tertawa melihat raut wajahnya.
Tawaku akhirnya terlepas ketika Satya bertanya, "Kamu yakin ini bisa dimakan?" dengan nada sangsi.
"Bisa. Enak tau. Coba dulu. Sesekali cobain makanan rakyat jelata, jangan makan di restoran sama kafe mulu," kataku, lalu menyuapkan telur gulung berlumur saus ke dalam mulutku. Satya memandangku seolah aku baru saja memakan bara api.
Aku mengambil satu tusuk, kemudian menyodorkannya ke arah Satya. "Aaa …."
Cowok itu tampak sengsara. Dia membuka mulutnya ragu-ragu. Dahinya berkerut.
"Enak, tapi rasa minyak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top