(S)witch 1

Satya

Seumur hidup, aku nggak pernah bermimpi seabsurd ini.

Betapa tidak? Aku melihat diriku di cermin dan sumpah, aneh banget. Rupaku bukan rupaku. Rambutku yang pendek berubah menjadi panjang, ujungnya mencuat ke segala penjuru. Wajahku mengkilap dan tampak begitu licin oleh minyak.

Dan yang paling mengerikan adalah … coba tebak! Payudara! Iya, payudara! Aku cowok, fyi! Tapi, punya payudara. Mana kendur pula. Enggak asyik sama sekali, bukan? Enggak hanya itu. Lemak juga menempel di setiap inchi bagian tubuhku. 

Perempuan di cermin itu sepertinya bertekad untuk terlihat sejelek mungkin—padahal menurutku tampangnya sudah luar biasa jelek, karena dia hanya mengenakan sepotong daster butut yang warnanya sudah mulai pudar untuk tidur. Pokoknya enggak banget!

    Mamaku saja yang tahun ini berusia lima puluh tahun terlihat masih jauh lebih cantik. Kalau dibandingkan dengan cewek-cewekku? Bah! Ibarat langit ke tujuh dan dasar palung Mariana.

Kuamati sosok di cermin dengan lebih cermat. Aku memiringkan tubuh dan berputar, memastikan mataku bahwa sosok dalam cermin itu benar-benar aku.

Sumpah, deh! Jeleknya enggak ada celah.

Mataku mendadak terpaku pada sebuah jerawat sebesar dan semerah tomat yang nongkrong di dagunya. Aku mendekatkan wajah ke cermin sehingga membuat bayangan di dalamnya semakin besar. Jerawat itu terasa begitu mengganggu pemandangan, sekaligus menggodaku untuk memecahkannya. Tanganku meraba wajah, mencari asal gundukan merah itu terpantul. Setelah ketemu, aku memencetnya tanpa belas kasihan.

Rasa sakitnya membutakan. Dan tanpa bisa kutahan, aku menjerit.

Aku sama sekali tak menyangka rasanya akan sesakit ini. Bukan hanya di dagu tempat jerawat itu bertengger, tetapi denyutannya sampai ke seluruh kepala. Sebuah rintihan menyedihkan keluar dari mulutku. Mataku berair.

Kok, sakitnya beneran? Bukannya orang mimpi enggak bisa ngerasain sakit, ya? Kalau gitu, berarti ini ….

"...."

"...?"

Kepanikan mulai merayapiku. Enggak mungkin ‘kan, aku benar-benar berubah jadi perempuan jelek ini?

Enggak mungkin! Ini pasti mimpi.

Kemudian, untuk memastikannya, aku membenturkan kepalaku ke dinding dan seketika itu juga pening segera kurasa.

“Oh, sial! Ini nyata,” desisku sambil menggosok-gosok keningku yang berdenyut-denyut.

Seingatku, aku masih seorang laki-laki tulen saat pergi tidur tadi malam. Seratus persen cowok murni, tanpa campuran apa-apa. Aku juga tidur di kamar hotelku yang nyaman. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba terbangun dalam wujud seorang emak-emak berdaster buruk rupa.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kini, kusadari aku sedang berada di kamar yang sempit. Dinding di kamar itu bercat krem kusam. Salah satu sudut plafonnya menghitam karena jamur dan lembap. Jendelanya tertutup oleh tirai kusam bermotif bunga mawar yang pudar. Di kamar itu hanya ada ranjang yang cukup untuk dua orang dengan sprei kusut yang kusam, nakas berisi ponsel pintar model lama yang dicolok ke pencatu daya, sebuah lemari berukuran kecil, serta cermin yang sedari tadi kupandangi. Juga ada sebuah pintu yang sepertinya menuju kamar mandi. Sekilas, aku dapat mencium aroma kapur barus dari pintu itu. Tidak ada yang terkesan pribadi di kamar ini, sehingga bisa kusimpulkan kalau aku mungkin berada di sejenis penginapan atau hotel murahan, hotel kelas melati.

    Aku mulai mondar-mandir sambil menggigiti kuku. Mama niscaya akan mengomeliku kalau tahu aku masih melakukan kebiasaan ini. Kepalaku dipenuhi begitu banyak pertanyaan sampai rasanya hampir meledak.

    ‘Oke, tenangkan dirimu, Satya. Masalah nggak akan selesai hanya dengan kamu bersikap panik.'

    Kuempaskan tubuh ke ranjang. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku mengulanginya beberapa kali sampai detak jantungku mulai kembali normal. Setelah cukup tenang, aku kembali mencoba mengingat apa saja yang kemarin kulakukan. Pasti ada sesuatu yang salah yang mengakibatkan kondisiku saat ini.

Seingatku, aku dan pacarku—Dima, tiba di Jogja dua hari yang lalu. Kami pergi mengunjungi bukit Breksi, kemudian menghabiskan malam di Alun-alun Kidul.

"Yang, kamu percaya nggak? Katanya, kalau kita berhasil melewati pohon beringin kembar itu dengan mata tertutup, semua keinginan kita bakal terkabul," ujar Dima waktu itu.

Aku memutar bola mata. "Itu cuma mitos," kataku menanggapi.

"Tapi kalau ternyata beneran, kamu mau minta apa?" tantangnya.

Aku menoleh ke arah Dima yang ternyata sedang memandang salah satu pohon beringin kembar dengan penuh minat. Aku bahkan sempat menduga kalau dia mungkin jatuh cinta pada pohon yang dianggap keramat itu.

"Jangan konyol, Dim. Kalau kita bisa dapetin apa pun cuma dengan cara itu, nggak akan ada orang miskin. Semua orang pasti bahagia. Cukup berdo'a sama pohon keramat, kuburan, dan yang semacamnya, ngelakuin ritual bodoh, kemudian …" aku menjentikkan jari, "... keinginan terkabul. Enak banget hidup kayak gitu. Jangan gampang kemakan mitos."

Menurutku, hanya orang-orang malas berpikir dan bodoh yang memercayai mitos. Misalkan, petir terjadi karena dewa Zeus yang sedang kurang kerjaan melontarkan petirnya sekadar untuk mengisengi umat manusia. Sedangkan guntur merupakan suara kentut Thor. Atau topik tentang alien dengan pesawat piring seng-nya itu. Aku sama sekali enggak percaya hal-hal yang begituan.

Hantu? Cih! Aku ajak mereka selfie kalau memang ada.

Dima memberengut. "Dih, serius banget jadi orang. Cuma buat seru-seruan, lho," omel cewek itu. Dia mengaitkan lengannya ke lenganku, sebuah pertanda cewek itu akan memaksaku melakukan sesuatu yang enggak kusukai. "Cobain, yuk! Mumpung kita di sini." Kan!

"Nggak, nggak! Ogah banget. Lo aja sana. Gue nggak mau ngelakuin hal konyol kayak gitu," tolakku sembari menarik lepas tanganku.

Bukan cewek namanya kalau langsung menyerah saat mendapat penolakan. Yang ada, mereka malah semakin kekeh. Di antara pacar-pacarku yang sebelumnya, ternyata Dima-lah yang paling keras kepala. Dia terus saja merengek ketika aku menolak ajakannya. Cewek itu bahkan sampai menangis, sehingga membuat orang-orang yang melintas memandangku dengan tatapan mencela. Akhirnya, aku harus menuruti permintaan Dima daripada dia semakin mempermalukanku. Aku menembak Dima seminggu yang lalu, by the way. Namun, nggak lama setelahnya aku menyesal. Dima memang cantik, tetapi kurasa kewarasannya agak kurang.

Dima memekik dan melonjak-lonjak kegirangan, sedangkan aku hanya memutar bola mata. Cewek itu meninggalkanku selama beberapa saat, kemudian kembali dengan dua helai kain penutup mata hitam serta cengiran lebar di wajahnya. Dia membantuku mengikatkan penutup mata itu.

"Kita jalan bareng, ya. Kamu tunggu aba-aba dari aku," ujarnya. Aku hanya bergumam mengiakan dengan setengah hati.

"Oke. Udah, Yang. Jangan ngintip, lho. Nggak boleh curang." 

Dih!

Aku melangkah perlahan, berusaha meraba-raba jalan. Aku enggak peduli dengan mitos-mitos yang ada. Yang kupikirkan hanya cara agar tidak tersandung dan mempermalukan diriku sendiri. Entah berapa kilometer yang sudah kutempuh ketika tiba-tiba aku merasakan seseorang memelukku. Aku sempat terhuyung-huyung sebelum kemudian berhasil menjaga keseimbangan.

"Kamu berhasil, Sayang!" pekik Dima. 

Aku melepaskan kain hitam yang menutup mataku, kemudian menoleh ke belakang, di mana aku berdiri sebelumnya.

"Kamu bikin permintaan apa?" tanya cewek itu.

Aku menatapnya, kemudian memutar bola mata. "Gue nggak percaya mitos." Gue cuma ingin segalanya di hidup gue jadi lebih baik.

Aku tersentak dari ingatan itu. Apakah karena melewati pohon itu tubuhku berubah menjadi wanita? Enggak mungkin! Pasti bukan karena itu. Lagi pula, berubah jadi perempuan jelek kere lebih baik dari mananya coba? Kemudian, aku teringat kemarin.

Saat itu, aku baru selesai menemani Dima berbelanja di mal (atau lebih tepatnya, menemaninya menguras kartu kreditku). Dima tak henti-hentinya menggerutu dan mengeluh saat aku memberitahu kalau kami enggak akan makan di mal, melainkan di pasar Beringharjo. "Yang, panas banget," keluh Dima untuk yang ke-sejuta kalinya.

Aku memutar bola mata. Jarak dari hotel tempat kami menginap ke pasar hanya beberapa menit berjalan kaki. "Gue tadi udah bilang, kalo lo nggak mau ikut, gue nggak maksa. Gue bisa pergi sendiri."

"Terus ngebiarin kamu tebar pesona dan bergenit-genit ria sama cewek-cewek lain? Iiih, maaf ya. Aku nggak sebodoh mantan-mantan kamu yang sebelumnya, sehingga ngebiarin buaya darat kayak kamu pergi sendirian."

Aku mengembuskan napas kasar. Gue bakal mutusin dia setelah balik ke Jakarta. "Terserah lo," kataku letih, kemudian mempercepat langkah memasuki pasar—meninggalkan segala ocehan serta omong kosong Dima di belakangku.

Kata orang, belum ke Jogja kalau belum ke Malioboro dan pasar Beringharjo. Bisa dibilang itu benar adanya. Rasanya belum lengkap kalau ke Jogja, tetapi tidak mengunjungi kedua tempat itu. Setiap ke Jogja, aku selalu menyempatkan untuk sekadar berjalan-jalan di Malioboro dan makan di pasar Beringharjo.

Di Beringharjo, selain banyak yang datang untuk membeli kain batik, daster, serta pernak-pernik seperti gelang dan kalung—baik itu sebagai oleh-oleh ataupun pedagang yang memang kulakan di sini.

Lapak-lapak yang menjual sate kere berjajar di dekat pintu masuk selatan. Aku memesan di salah satu lapak yang memang sudah menjadi langgananku. Usai makan, Dima memaksaku berkeliling pasar. Aku sedang menunggu Dima yang tengah heboh memilih kalung dan gelang ketika melihat kerumunan itu. Rasa penasaranku muncul.

Sekitar selusin orang berkumpul dalam kelompok kecil. Perhatian mereka tampak teralihkan oleh sesuatu. Tanpa sadar, kakiku melangkah ke sana. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya sedang mereka lihat.

Tawaku hampir saja menyembur saat melihat apa yang sedang orang-orang itu kerumuni. Seorang kakek-kakek bertubuh kecil dan kurus—mungkin berusia sekitar tujuh puluh tahunan, berpakaian serba hitam sedang mengacungkan sepotong bambu kecil, yang setelah kulihat dari dekat memiliki dua ruas yang saling bertemu. Lelaki tua itu mengangkat bambu itu tinggi-tinggi. "Pring pethuk," serunya, "dijamin bisa bikin kaya tujuh turunan! Bisa juga untuk media penglaris."

Aku hanya berdiri di tepi kerumunan sembari berusaha menahan tawa. Seorang pria bertubuh tambun dan rambut yang mulai menipis maju, tampak tertarik pada benda tersebut.

"Iki asli, Mbah?" tanyanya dengan logat Jawa yang kental sembari membolak-balik bambu tersebut, mengamatinya dengan saksama.

"Yo asli to. Dulu ini punya bapak saya. Setelah bapak meninggal, semua pusakanya diwariskan ke saya. Sudah sepuluh tahun pring pethuk itu jadi milik saya," jawab lelaki tua itu. Nada bicaranya yang lugas menjadikannya terdengar meyakinkan.

Pria tadi hanya mengangguk-angguk. "Yakin manjur kan, Mbah? Tiwas wis tak tuku jebul malah ra ampuh," ujarnya sembari terus mengamati sampah itu dari segala sisi.

"Garansi. Satu tahun belum kaya-kaya, ke sini saja. Duitmu tak balekke," ujar si pedagang dengan sangat meyakinkan. "Apa mau yang lain? Semar mesem juga ada."

"Coba saya lihat, Mbah."

Pedagang tersebut mengeluarkan sebuah benda kecil yang panjangnya tak lebih dari korek api gas yang sekilas tampak seperti tokoh Semar dalam pewayangan, kemudian mengusapnya dengan hati-hati.

"Keris semar mesem asli, dengan pengisian ajian-ajian pelet tingkat tinggi. InsyaAllah siapa pun yang dituju akan luluh hatinya. Minat? Selain bisa untuk penglaris dan pengasihan, bisa juga untuk pelet lawan jenis. Siapa tau masnya mau nikah lagi to," ujar lelaki tua itu diikuti senyum menjijikan. Alisnya bergerak naik-turun.

Terdengar beberapa orang tertawa, termasuk pria bertubuh tambun tadi. Dia masih memegang potongan bambu yang konon katanya bisa menjadikan seseorang kaya raya.

"Ndak, ah Mbah. Istri satu aja bikin pusing kalo lagi ngomel, kok. Pring pethuke wae iki pinten mahare, Mbah?"

"Murah. Tiga ratus ribu saja," ujar si penjual.

Sebelum menyadari apa yang kulakukan, aku maju ke tengah kerumunan. "Kalau memang ampuh, kenapa dijual? Murah banget lagi. Kenapa nggak disimpan sendiri? Kan enak, cuma rebahan setiap hari, tapi udah kaya," cibirku.

Bego! Hobi banget nyari masalah.

Di belakangku, seseorang mengatakan sesuatu tentang anak muda zaman sekarang yang tidak memiliki tata krama. Aku tak peduli.

Pria tua tersebut memandangku. Alisnya berkerut. "Bukan urusanmu, Le. Kalau kamu ndak punya kepentingan di sini, lebih baik pergi."

Aku memutar bola mata. "Ini tempat umum. Terserah saya lah mau di sini sampai kapan. Kenapa? Takut ketahuan kalau 'Mbah' nggak lebih dari seorang penipu?"

"Dijaga sopan santunnya, Mas. Jangan kurang ajar sama orang tua. Tata kramanya dipake," ujar seseorang di belakangku. Aku bahkan tak menoleh untuk melihat siapa yang mengatakannya.

"Cukup, cukup. Ndak perlu ribut. Nggak apa-apa. Saya sudah biasa menjumpai orang-orang yang ndak percaya beginian. Itu hak mereka. Nggak perlu memaksa seseorang untuk memercayai apa yang kita percaya," ujarnya.

Cih!

Seperti yang sudah kuduga, orang-orang itu melayangkan tatapan mencela ke arahku.

Aku pantang mundur. "Yang kuomongin emang benar, 'kan? Sekarang coba dipikir pake logika, deh, bapak-bapak sekalian. Kalau kalian punya benda yang terbukti bisa bikin kalian kaya raya, memangnya kalian mau jual itu sama orang lain? Dengan harga yang murah banget pula. Nggak mungkin kan?"

Terdengar gumaman-gumaman ragu. Aku menyeringai.

Pria tua itu mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan kerumuman. "Dengarkan dulu. Tidak semua jimat cocok dengan pemiliknya. Ada hitungan-hitungan wetonnya. Kebetulan, jimat-jimat yang saya bawa ini memang ndak cocok saja. Daripada mubazir, mending tak jual murah. Hitung-hitung membantu sesama. Di rumah saya juga masih punya," kilahnya. Namun, suaranya tak lagi seyakin tadi.

Aku melangkah ke arah si pria bertubuh tambun. "Permisi, Pak. Boleh lihat bambunya sebentar?" tanyaku dengan nada sesopan mungkin. Kuulurkan tanganku. Si pria tambun memberikannya dengan ragu.

"T-tunggu dulu. Kamu mau apa?"

"Saya cuma mau lihat ini asli atau nggak."

Si pria tua tampak panik. "Saya sudah bilang kalau itu benar-benar asli."

Aku mengabaikannya. Mataku menyipit, meneliti pangkal kedua ruas bambu itu, kemudian menyeringai ketika menemukan sambungan yang begitu halus pada salah satu ruasnya dan nyaris tak kasat mata. Kuangkat bambu itu, kemudian kupatahkan salah satu ruasnya.

"Lihat? Ini cuma sambungan."

Melihat ulahku, wajah pak tua itu merah padam. Dadanya kembang kempis. Ia memakiku dengan bahasa Jawa. Kemudian, "Awas saja, Le! Kesombonganmu itu bakal hilang dalam waktu singkat. Lihat saja! Pokoknya, sebelum kamu bersujud dan minta maaf padaku, kesialan akan selalu membayangimu!"

Kulihat matanya memerah, memandangku penuh kebencian. Mulutnya yang berkerut tampak bergetar. Tangannya diacungkan ke dadaku. Waktu itu, aku begitu meremehkannya dengan melangkah pergi. Namun kini, saat mengingat profilnya, aku bergidik. Jangan-jangan, dia .... Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top