File 4

I’ve come to terms with the fact I’ll never change

And that’s just fine, I find solace in the pain
 
I don’t mind the darkness, it’s easy on the eyes

-Asking Alexandria-

Region Five, Ancaisteal.
Status : Hunter.

Gissele berjalan mendekat, langkah kakinya yang perlahan tidak menciptakan suara berarti ketika lantai dan sepatunya bergesekan. Kedua mata abu-abunya tidak melepaskan tautan dari mata beruang di depannya. Roseanne dan Alissea menyaksikan aksi teman baru mereka dengan napas tertahan, tanpa sadar sudah terbawa suasana yang tegang.

Tangan mungil Gissele mendarat pada kepala beruang itu, gadis itu mengelusnya perlahan. Keara menunduk, membiarkan Gissele terus mengelus kepalanya. Bahasa tubuh beruang itu tak lagi mengancam. Gissele mengangguk pada kedua temannya, mereka langsung paham.

Roseanne berjalan mendekat ke arah luka Keara, mengamatinya dengan perasaan ngeri bercampur waspada. Dia berjongkok, melirik luka pada kaki belakang Keara yang menganga lebar. Seberkas kilatan perak tertangkap netra kelabunya yang tajam.

"Gie, kau bisa menyuruhnya menahan sakit sebentar?" bisik Roseanne.

Gissele mengangguk. Kini, gadis itu telah memeluk kepala Keara dengan kedua tangannya. Beruang itu tampak nyaman dalam pelukan Gissele.

Roseanne melihatnya sebagai persetujuan. Tangannya mulai mendekat ke arah luka Keara. Dengan perlahan, Roseanne mulai berusaha mengambil kunci yang tertanam pada luka Keara. Beruang itu jelas menunjukkan perlawanan, tapi, usapan Gissele pada kepalanya membuat hewan itu agak tenang.

Sementara itu, Alissea berbaring telungkup di samping Keara. Gadis itu berusaha melihat perut Keara, mencari hal yang menggangunya sejak tadi.

"Lissea, kau takkan berbuat mesum dengan hewan, bukan?" Roseanne bertanya iseng di sela-sela kegiatannya mencabut kunci dari luka Keara. "Kata Joachim, tempat bagi orang-orang cabul adalah di penjara."

"Hei, aku tak tahu apa masalahmu dengan perut hewan. Keara ini betina, tidak usah berusaha keras mencaritahu jenis kelaminnya." Gissele ikut bersuara, tetap mengelus kepala Keara untuk menenangkan hewan itu. "Kau akan mengacaukan semuanya jika Keara tidak nyaman dengan tingkahmu."

Alissea menggeram mendengar kalimat teman-temannya. "Aku tidak hanya akan duduk, apalagi mengganggu. Keara jelas punya lebih dari sekadar kunci di tubuhnya."

Tidak mendengar respons apa pun dari teman-temannya, Alissea memutuskan melanjutkan kegiatannya. Salah satu tangannya menjulur masuk ke bawah perut Keara, meraba-raba perut hewan itu dengan wajah serius.

"Astaga, Clairine. Hentikan! Kau membuatnya geli dan dia terus bergoyang-goyang, aku jadi susah mencari kuncinya."

"Diamlah, Froska!"

"Dasar cabul!"

"Berisik kau, Rambut Setan!"

Gissele menatap kedua temannya dengan bingung. Meski dibatasi tubuh Keara, Alissea dan Roseanne masih dengan lancar melemparkan makian. Gissele mulai takut kalau ada yang mendengar mereka. Lebih takut lagi kalau-kalau Keara marah dengan pertengkaran mereka dan mencabik-cabik semuanya dengan cakarnya yang tajam

"Dapat!" Roseanne mengangkat kunci yang berlumuran darah.

"Aku juga." Alissea menarik keluar benda yang didapatkannya dari perut Keara. Gadis itu berdiri dan memamerkan apa yang didapatkannya. "Aku menemukan ini ditempel pada perut Keara."

Roseanne yang baru mendekat mengernyit begitu melihat benda segi empat berlapis daun yang dipegang Alissea. "Aku jelas menemukan barang berguna berupa kunci. Apa yang kau temukan dari hasil meraba-rabamu itu, Clairine?"

Alissea mencebik, meletakkan benda yang didapatnya di atas lantai. Gissele turut mengamati saat gadis berambut abu-abu itu membuka bungkusan daun dengan perlahan, memperlihatkan bubuk berwarna hijau pekat di dalamnya.

"Apa itu, bubuk peri?"

"Peri hanya ada dalam dongeng, Froska." Alissea mengambil sedikit bubuk dengan jari telunjuknya, mencecap rasanya dengan ujung lidah. Gadis itu mengernyit. "Seperti yang aku duga, ini obat."

Gissele saling bertatapan dengan Roseanne.

"Aku tahu kau suka makan, tapi mencicipi sembarang bubuk jelas bukan pilihan bagus," nasehat Roseanne.

Alissea mendengus. "Aku terlahir dengan kepekaan indra yang tidak terlalu berguna."

"Indra perasa, maksudmu?"

"Betul, Aggie." Alissea membungkus kembali bubuk itu, dengan hati-hati meletakkannya di dalam tas kecil yang dibawanya.

"Itu keren, kok." Gissele tersenyum manis. "Salah satu pemburu yang aku kenal pernah bilang kalau dia ingin punya indra perasa yang bagus. Itu akan sangat membantunya di alam bebas."

Alissea terpana sejenak. "Hm, kau pandai membuat seseorang merasa berharga."

Obor di sepanjang labirin tiba-tiba padam.

Roseanne mendengus. "Inilah kenapa kita tidak boleh memuji Alissea. Selalu ada hal-hal buruk terjadi setelahnya."

.
.
.

"Aku dan Joachim akan mengalihkan perhatian." Becky menunjuk dirinya dan Joachim. Bocah berambut abu-abu itu lalu mengambil segenggam kerikil di dekat dinding labirin, berusaha agar tidak menimbulkan suara dan menjaga kerikil itu agar tidak jatuh dari tangannya. Joachim turut melakukan hal yang sama dengan hati-hati.

Daegan dan Jaykho mengangguk. Becky dan Joachim melangkah pelan menjauhi mereka. Keduanya berdiri di persimpangan empat lorong yang berbeda, kerikil di tangan digenggam erat-erat. Mereka saling berhadapan dengan gestur waspada, siap untuk membuat pengalihan jika teman-teman mereka yang tengah berjuang dengan Keara tak sengaja menarik perhatian.

"Aku mencium bau roti." Joachim berujar pelan, mulai mengarahkan tubuhnya untuk mencari sumber bau.

Becky mengendus. "Enak sekali, mereka bebas makan sementara aku kelaparan," gerutunya. Bocah itu mengambil satu kerikil dengan tangan kanannya, dan meletakkan kerikil lain dalam tangan kirinya. "Mereka menuju kesini," kata Becky pelan.

"Kau mengambil arah yang mana?" Joachim melakukan hal yang sama dengan Becky, mengambil satu kerikil dan menangkup sisanya dengan tangan yang lain.

Becky merapatkan bibir atas dan bawahnya, lalu mengarahkan dagu ke salah satu lorong. Joachim mengangguk paham, pipi gembilnya sampai ikutan bergoyang saat bocah itu mengangguk.

Pelan, keduanya dapat mendengar langkah kaki dan suara dawai busur yang ditarik. Kedua bocah itu saling pandang, lalu mengangguk serentak. Becky melemparkan kerikilnya ke salah satu lorong, disusul Joachim yang mengarah pada lorong berbeda. Keduanya kemudian melemparkan kerikil lain dalam arah yang berbeda, menimbulkan bunyi yang bergaung dalam labirin yang senyap. Suara derap langkah yang halus mulai terdengar menuju arah yang berbeda. Tampaknya, para pemburu mulai bekerja cepat dengan mencari sumber suara.

Joachim dan Becky tentu tak diam saja, kedua bocah itu mulai berlari dengan langkah yang terdengar ringan. Masih dengan cekatan, mereka melemparkan kerikil ke berbagai arah. Suara langkah lain berderap halus, lebih lembut dari langkah Joachim dan Becky. Para pemburu ini jelas sudah lebih lama terlatih untuk menyamarkan suara jejak mereka. Itu sebuah kabar buruk.

Becky berhenti, kerikil di tangannya tersisa tiga butir. Bocah itu duduk, menempelkan telinganya pada lantai. Becky tak peduli jika telinganya harus bergesekan dengan lantai labirin yang kotor dan dingin. Di pikirannya kini hanya ada dua hal; mencari keberadaan Joachim dan membawanya pergi. Karena kerikil Becky mulai habis, bukan tidak mungkin Joachim juga mengalami hal yang sama. Mereka harus keluar sekarang.

Maka, Becky berusaha mengosongkan pikirannya dari hal lain, termasuk ketakutannya akan suara langkah super lembut yang kini tengah menghampirinya. Becky hanya perlu fokus, di antara belasan langkah yang kini di dengarnya, ada langkah Joachim. Becky hanya perlu menemukannya.

Satu, dua, tiga.

Becky memejamkan matanya, mencoba menajamkan pendengarannya. Langkah panjang dan halus, langkah mengendap, langkah cepat seperti berlari, langkah pendek-pendek dan tergesa, langkah lambat dan....

Becky mengangkat kepalanya dari lantai, tersentak saat akhirnya menemukan langkah yang diyakininya milik Joachim. Langkah pendek-pendek itu jelas milik Joachim karena kakinya yang tidak sepanjang para pemburu. Becky tergesa bangkit dan mulai berlari, tidak lupa menjaga langkahnya agar tidak mencolok.

Joachim berhenti dari acara melarikan dirinya karena mencium aroma yang familiar. Baunya mirip dengan arang dan kayu bakar, mirip dengan perapian yang juga ada dirumahnya. Joachim tersenyum, tentu paham ini bau tubuh siapa. Becky punya kebiasaan untuk keluar masuk lewat cerobong perapian, entah saat kerumah Joachim, Alissea, atau bahkan rumahnya sendiri.

Karena itu, Joachim tidak terlalu terkejut saat surai abu-abu menyapa penglihatannya. Lewat cahaya yang menyembul dari sudut lorong, Becky terlihat berlari kearahnya. Joachim menghampirinya dan Becky segera mencengkram bahunya.

"Cari aroma tubuh gadis-gadis itu," bisiknya.

Joachim mengangguk. Bocah itu memimpin jalan, mengandalkan indra penciumannya yang tajam untuk mencari lorong gelap di mana teman-temannya tadi berada. Becky mengikuti, masih merasa tak tenang karena derap langkah lembut yang semakin jelas terdengar. Berkali-kali dia menoleh ke belakang, hanya untuk disambut dengan kesunyian.

Kecemasan Becky terjawab, karena saat ia tak lagi menoleh ke belakang, langkah itu terdengar makin cepat dan Becky merasa kalau tubuhnya didorong hingga membentur dinding labirin. Bokongnya juga terasa sakit karena ia mendarat di lantai yang penuh kerikil. Becky melihat si pelaku dengan mata yang nyaris keluar dari tempatnya. Pria itu tinggi, berambut pirang dan bertubuh lumayan kekar. Sebelah tangannya menyekap mulut Joachim sementara tangan lain mengarahkan pisau pada leher bocah itu.

Becky meneguk ludah saat cahaya obor membuatnya bisa melihat mata sipit pria itu yang berkilat tajam. Becky merasa familier dengan wajah dan tatapan matanya.

"Aggie," desisnya.

Obor tiba-tiba padam. Suasana di antara mereka dengan cepat dikurung gulita. Becky berdiri, dengan segera berlari menjauhi Joachim yang masih disandera. Mencium aroma tubuh Becky yang menjauh pergi, kedua bahu Joachim merosot. Ketakutan yang tadi membuat jantungnya bertalu-talu mengurai menjadi perasaan kecewa.

Becky meninggalkannya.

therascal


Hari Keempat.

Minimarket itu cukup sepi malam ini. Yoon membuka pintu kaca, menemukan seorang pemuda yang berdiri di belakang meja kasir. Pemuda itu mengucapkan selamat datang, mengenali Yoon sebagai salah satu pelanggan tetap yang kerap datang di waktu kerjanya.

"Baru pulang kerja, Noona?"

Yoon memberikan senyum manisnya. Wanita muda itu berjalan ke rak cemilan, agak terkejut begitu menemukan seorang gadis telah berdiri di tengah-tengah dua rak yang berhadapan. Yoon melirik kamera CCTV yang dipajang di sudut ruangan, lalu matanya beralih pada kasir yang sedang mengobrol dengan seorang gadis berambut pirang. Wajah memerah pemuda itu membuat Yoon yakin kalau Gissele Aggie pasti tengah memanfaatkan wajah cantiknya untuk mengalihkan perhatian.

Yoon menghela napas lega karena dia masih membawa pistolnya. Dengan tenang ditatapnya gadis yang masih berdiri di tengah lorong.

"Apa maumu, Clairine?"

Alissea tidak menjawab. Gadis itu justru memainkan ujung surai abu-abunya, tersenyum dengan cara yang membuat Yoon penasaran sekaligus kesal.

"Berhenti tersenyum seperti itu."

Tawa halus keluar dari celah bibirnya, Alissea senang dia berhasil memancing emosi lawannya. "Daegan benar, kau lucu sekali, Detektif."

Rahang Yoon mengeras, menegaskan ekspresi wajahnya yang menahan marah. Dia jelas kesal Alissea mengungkit nama pemuda sinting yang mengacaukan mentalnya di ruang interogasi waktu itu. "Temanmu tidak punya nyali bertemu denganku?"

"Ah, katanya dia tidak suka dengan kesedihan yang tersembunyi di balik wajah cantikmu."

"Apa maksudmu dengan itu?"

"Kau tahu?" Alissea berjalan mendekat. Langkahnya dibuat sepelan mungkin hingga Yoon hanya bisa mendengar suara jantungnya sendiri yang berdentum keras. "Aku sering menyamar dalam misi. Sebagai seseorang yang sering berpura-pura, aku tahu betul wajah seseorang yang menyembunyikan sesuatu."

Yoon mengeluarkan pistol dari balik blazer biru muda yang dikenakannya, mengarahkan senjatanya pada Alissea yang berhenti mendekat.

Senyum miring terbit di wajah lembut Yoon, sorot matanya sama sekali berubah dari yang sudah-sudah. Terlihat mengerikan dan berbeda. "Kalau kau tahu aku menyembunyikan sesuatu, kenapa mendekat padaku tanpa mempersiapkan apa pun?"

Seulas senyum tipis merekah di bibir penuhnya. "Akhirnya, aku bertemu dengan sosok dirimu yang asli."

Kepercayaan diri Alissea membuat pikiran Yoon terdistraksi. Wanita itu tidak sadar sebuah kartu tengah melesat ke tangannya. Ujungnya yang tajam menancap pada punggung tangan detektif muda itu, membuat pistol di tangannya terlepas. Alissea dengan sigap mengambil pistol yang tercecer di lantai, mengamankannya di balik jaket kulit yang dikenakannya.

Yoon berbalik, menemukan pemuda berambut hitam dengan mata merahnya yang membara berjalan ke arahnya. Menahan rasa sakit pada punggung tangannya yang mengucurkan darah, Yoon berusaha tetap tenang.

"Eloy Dagger."

Eloy mendekat, berhenti dua langkah di depan Yoon. Tubuh tinggi tegapnya tidak membahasakan rasa takut, malah ketenangan yang mengalir keluar bersama suara dinginnya. Tatapan matanya membuat nyali Yoon seketika menciut.

"Kau yang berada di belakang orang-orang itu?"

Ujung bibir Yoon bergetar saat wanita itu menarik senyum. Dia tahu siapa Eloy Dagger, juga tahu reputasi kelompoknya yang gila. Tidak tanggung-tanggung, Yoon langsung bertemu pemimpin kelompok yang dianggap punya ketenangan luar biasa saat beradu fisik.

"Suatu kehormatan, Rebellion." Yoon bertahan dengan sikap pura-puranya yang tak terusik. "Jauh-jauh ke Korea karena ingin menemukan kami? Kau sangat bertekad."

Eloy merendahkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya pada salah satu telinga Yoon. Bisikannya yang beku terdengar seperti lonceng kematian. "Dengar, aku tidak peduli pihak mana yang kelompokmu lindungi di balik semua insiden ini. Tapi, biar kuberitahu sesuatu. Kami pasti akan menghancurkanmu."

Yoon tanpa sadar sudah merapat ke salah satu rak, gemetar karena ancaman Eloy yang sama sekali jauh dari kata main-main. Pemuda itu punya aura intimidasi yang tidak biasa, terlebih, mata merahnya membuat kadar mengerikannya bertambah lima kali lipat.

Eloy menatap puas pada wanita yang kini tampak tak berdaya karena ancamannya. Secepat kilat, senyum lembutnya muncul saat dia menatap Alissea. Iris merahnya yang semula menggelap berubah hangat.

"Ayo kita pergi," ajaknya. Pemuda itu berbalik, meninggalkan Yoon yang masih gemetar.

"Detektif." Alissea memanggil Yoon dengan nada kelewat ceria. Dia menarik tangan Yoon yang dilingkari gelang hitam, tangan dengan kartu remi yang masih menancap. "Hunters," dia menunjuk dirinya sendiri. Lalu, dia menggoyangkan lengan Yoon yang berada dalam genggamannya. "Prey."

Gadis itu mendekat, membisikkan sesuatu yang membuat kedua mata Yoon melebar maksimal. Alissea tertawa, segera menyusul langkah Eloy keluar dari minimarket.

Yoon mencabut kartu di tangannya, membiarkan darah mengalir semakin deras dari punggung tangannya. Wanita itu melirik mobilnya yang terparkir di luar, tidak terkejut melihat seorang gadis dan seorang pemuda dengan rambut merah menyala keluar dari mobilnya. Dia melirik koper merah muda yang dibawa Roseanne, sadar gadis itu sudah mengambil semua yang dia perlukan dari laptop dan ponsel yang Yoon tinggalkan di dalam mobil.

Yoon merogoh ponsel lain yang disembunyikan dari sakunya. Dia menekan beberapa nomor, menekan tombol panggil. Wanita itu mendekatkan ponselnya pada telinga, menunggu panggilan tersambung.

"Clover, ini aku. Apa pestanya sudah siap? Aku harap kau tidak lupa mengirimkan tiket ke Tokyo untukku besok."

Yoon menurunkan ponselnya saat panggilan diputus. Wanita itu menatap kartu remi di tangannya. Kartu bergambar raja dengan simbol hati berwarna merah, King Heart. Pandangannya beralih pada gelang hitam yang melingkari lengannya. Sorot matanya berubah sendu. Wanita itu mengembuskan napas panjang, kelegaan mengalir bersama embusan napasnya.

.
.
.

Gissele tersenyum karena apa yang baru saja didengarnya. Gadis itu merogoh ponselnya, turut menekan beberapa nomor yang tadi didengarnya. Dia memperlihatkan layar ponselnya pada Roseanne yang berdiri di depannya.

"Kau lacak ini. Namanya Clover, dia pasti terlibat."

Roseanne mengangguk begitu dia selesai menghafal nomor yang diberikan Gissele. "Aku sempat membaca sedikit tentangnya. Salah satu eksekutif DARK."

"DARK?" Pemuda di samping Roseanne mengerutkan alis. "Apa-apaan dengan nama itu, norak sekali. Mereka yang meledakkan semua bom itu?"

Roseanne menggeleng, menyerahkan sebuah flashdisk pada Aceruz. "DARK adalah sindikat yang menyimpan informasi dan melindungi beberapa organisasi busuk. Yang menjadi musuh kalian adalah SAU. Secret Annihilation Unit. Mereka menggunakan kita sebagai kambing hitam. Rebellion yang membasmi orang-orang dan Rascal yang melindungi mereka."

"Norak." Gissele mengulangi ucapan Aceruz. Gadis itu menatap pemuda tinggi di samping Roseanne. "Hei, pastikan kau menghajar mereka."

Aceruz tersenyum manis. "Tentu saja, aku akan melakukan apa pun untuk gadis secantik dirimu."

Gissele memutar bola mata, merasa baru saja bertemu dengan kembaran Joachim.

"Mati saja, Cey." Eloy yang baru datang bersama Alissea menyela. Pemuda itu menatap Roseanne. "Kau sudah bicarakan dengan Gallen dan Richard?"

Roseanne mengangguk. "Kebetulan bagus, sebagian dari mereka masih ada di Korea. Kau tahu, beberapa kebenaran kadang hanya ada di mulut orang-orang yang terlibat."

"Hm. Aku akan memastikan mendapat informasi dari mulut mereka sendiri."

"Ah, satu hal lagi." Wajah Roseanne seketika berubah tak enak, seperti ragu mengutarakan informasi selanjutnya. "Kau mungkin akan mendengar beberapa hal tidak menyenangkan dari Gallen. Tentang Yakuza, maksudku."

Sekelebat firasat buruk menyusup dalam benak Eloy. Pemuda itu dengan cepat menutupinya, senyum terkembang di wajah tampannya. "Gallen jarang membawa kabar menyenangkan. Tidak perlu khawatir."

"Omong-omong, wanita yang di sana itu." Aceruz menunjuk Yoon dengan dagunya, wanita itu masih berada di minimarket. Sedang sibuk menjelaskan pada kasir minimarket perihal tangannya yang berdarah. "Dia sangat menarik."

"Pertama kali melihatku, dia begitu lega." Eloy menambahkan. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas seiring dengan netra merahnya yang agak menggelap. "Jarang sekali ada orang yang lega melihatku berdiri di depan mata mereka."

therascal

Hari Kelima.
Tokyo, Japan.

"Clover?" Becky melihat nama yang tertulis di atas pintu ganda kaca. Tulisan berwarna neon yang berkedip-kedip itu membuatnya mengangkat alis. "Salah satu dari mereka bersembunyi di sini?"

"Benar, sangat tidak disangka, bukan?" Joachim menyeringai pada Becky. "Sebuah kelab malam terkenal di Tokyo adalah markas salah satu eksekutif organisasi paling busuk di Asia."

"Keramaian kadang adalah tempat bersembunyi paling baik, begitu?" Becky mengangguk paham. "Sekarang aku mengerti kenapa Jaykho memutuskan mengirimkan kita."

"Aku mengerti kalau dia mengirimku atau kau —meski wajahmu tak lebih tampan dariku— Tapi, aku tidak mengerti kenapa dia mengirim gadis ini." Joachim melirik gadis yang berdiri di sampingnya.

Gissele hanya tersenyum begitu menyadari Joachim menyindirnya. Gadis itu berjalan mendahului Joachim dan Becky. Satu langkah di depan pintu, dia menoleh ke belakang. Tangannya bergerak melepaskan topi hitam yang dikenakannya, membuat helai rambut pirangnya tergerai bebas.

"I'm pretty handsome, Chim." Gadis itu memberikan senyum miring sebelum kembali menghadap ke depan. Gissele menunjukkan kartu membernya pada penjaga berbadan besar, melangkah dengan kepercayaan diri penuh memasuki kelab yang lumayan ramai.

Joachim saling bertatapan dengan Becky.

"Kau yakin dia tidak akan diusir karena salah tempat?"

Becky hanya mengangkat bahunya. "Ayo masuk," ajaknya.

Keduanya melakukan hal yang sama dengan Gissele. Menunjukkan kartu keanggotaan mereka dan memasuki club.

"Wow." Becky berseru datar begitu dia melihat seisi club dengan seksama.

Interiornya mewah dan futuristik, dihiasi lampu-lampu dengan warna neon dan dinding-dinding mengkilap. Di dance floor, lautan manusia bergoyang mengikuti irama musik yang menghentak-hentak. Di sudut ruangan, meja bar, dan lantai dua lebih tenang. Beberapa orang berkumpul dalam satu meja, berbincang akrab entah apa.

Semuanya tampak normal sampai di sini. Kecuali satu hal.

"Ternyata Rose tidak berbohong ketika dia bilang kalau ini club khusus untuk gay." Kedua mata kelabu Joachim mengitari penjuru ruangan yang hanya diisi kaum pria. "Aku penasaran kenapa Gissele belum ditendang keluar."

"Oh, kau meremehkan dia, Chim."

Joachim mengernyit, mengikuti arah pandang Becky. Pemuda itu merasa rahangnya nyaris jatuh karena pemandangan tak masuk akal yang dilihatnya. Gissele tengah duduk di sebuah sofa, tampak superior dengan beberapa pria yang duduk mengitarinya. Gadis itu mengangkat gelasnya, tersenyum sombong. Lagaknya tidak jauh berbeda seperti seorang bocah konglomerat brengsek yang tengah dikelilingi dayang-dayangnya.

Becky bersiul, mengejek Joachim yang masih tak percaya. "Aku sudah tahu kalau dia punya karisma yang kuat. Kau harus berguru padanya, Chim."

Joachim mendengus, tidak setuju dengan pendapat temannya. Meski begitu, dia tetap mengikuti Becky yang melangkah riang menuju meja tempat Gissele dan para prianya berkumpul.

"Aniki!" sapa Becky dengan ceria. Bahasa Jepangnya yang fasih membuat orang-orang mengira dia hanya salah satu dari sekian penduduk Jepang yang kebetulan tahu lokasi club khusus ini. "Kau cepat sekali mencari pacar baru. Benar-benar profesional, ya?"

Gissele tertawa, mengangkat salah satu kakinya ke atas meja. Dagunya terangkat dengan gaya sengak, menegaskan aura maskulinitasnya. "Para wanita kadang membuatku lelah. Bukan begitu, Kenta?"

"Mereka adikmu?" Pria di samping Gissele bertanya. Kedua mata sipitnya memindai penampilan Becky dan Joachim, senyumnya terkembang lebar. "Manis juga. Mau kutraktir minum?"

Becky tersedak, Joachim sudah batuk-batuk heboh.

Gissele memukul kepala pria di sampingnya. "Hentikan senyuman cabulmu, Kenta." Tatapannya berpindah pada Becky dan Joachim, senyum usilnya muncul. "Kau tidak lihat Becky membawa pacarnya kemari? Tidak baik menganggu hubungan orang. Jangan jadi bajingan."

Kenta memasang senyum kecewa. "Sayang sekali. Tapi, kalian benar-benar terlihat cocok. Bertemu di mana?"

"Huh?" Becky menatap Joachim yang sama bingungnya. Becky melirik Gissele yang menatapnya dengan tajam. Pemuda itu berdeham, merangkul Joachim dengan mesra. "Kami bertemu di Korea. Dia sedang nonton konser saat itu."

Joachim merasa mual seketika dengan tatapan hangat Becky. Dia terbiasa merayu, bukan dirayu. Oleh laki-laki pula. Namun, tatapan garang Gissele membuatnya harus menelan rasa mualnya bulat-bulat. "Oppa membantuku saat aku terdorong deretan fangirl ganas. Kami saling bertukar nomor dan yah, begitulah."

"Aw, manis sekali." Gissele berkomentar, mengundang seruan sama dari teman-teman barunya. "Kau benar-benar pria gentleman, Dik. Tidak sia-sia kau menjadi adikku."

Becky tersenyum bangga. Dia menoleh, memasang senyum sok tampan yang membuat Joachim mual. "Lagipula, aku tak kalah tampan dari grup idola itu. Kata orang, aku mirip Baekhyun EXO. Benar bukan, Chimmie?"

Joachim sungguh ingin muntah sekarang.

"Hahaha, kau pria beruntung, Becky." Kenta menyahut dengan santai. Tampak tidak curiga dengan romantisme palsu dari dua orang pemuda di depannya. "Jaga pacarmu baik-baik. Wajah manis seperti dia sangat laku di sini, asal kau tahu."

"Terima kasih sarannya." Becky tersenyum manis. "Nah, kami harus pergi dulu. Aniki tampaknya tidak senang kalau kami berlama-lama di sini."

"Kau benar. Pergi sana," usir Gissele, mengibaskan tangannya. "Ada banyak lorong sepi di sini, jika kau tahu apa yang aku maksud."

Becky dan Joachim langsung paham begitu Gissele memberi penekanan pada kalimatnya. Keduanya segera pergi begitu berpamitan sekali lagi, membiarkan Gissele sendirian di antara beberapa pria yang mengelilinginya.

"Kurasa Gie sudah mendapat mangsanya." Joachim memasang alat komunikasi pada telinganya. "Aku baru ingat soal Kenta. Wajahnya pernah muncul beberapa kali di berita. Dia buron yang kerap ditangkap karena kasus penyelundupan senjata."

Becky juga memasang alat komunikasi pada telinganya. "Bagaimana pun, ini markas salah satu eksekutif DARK, berhati-hatilah."

Joachim mengenggam salah satu tangan Becky, bersandar di bahunya dengan mesra. "Jangan berteriak, aku melihat penjaga mengawasi kita tadi. Tidak ada 'pengunjung' yang memasang wajah serius di kelab malam."

"Kau benar. Kecuali mereka bukan sekedar pengunjung." Becky menyeringai, menatap beberapa pria yang tampak serius di depan lorong. Mereka berbisik-bisik, melirik ke sekitar dengan wajah tegang. "Kau siap menyusup, Sayang?"

Joachim tersenyum senang.

"Tentu saja, Oppa."

"Ew, kalian sangat menjijikkan."

"Ini namanya profesionalisme, Daegan."

.
.
.

"Jadi, kau tertangkap karena sekretarismu berkhianat?" Gissele dengan tenang menuangkan isi botol pada gelas, meletakkannya di depan Kenta yang sudah separuh mabuk. Pria-pria lain di sekitar mereka sudah mabuk berat. Tentu saja, Gissele mencampurkan sesuatu pada minuman mereka diam-diam. Khusus untuk Kenta, gadis itu punya racikan khusus.

"Jalang satu itu!" Kenta berteriak marah, mencengkram gelasnya dengan wajah memerah. Pria itu menghabiskan minumannya dalam satu kali teguk. "Wanita memang sulit dimengerti. Aku baru tahu kalau ternyata dia mata-mata yang dikirim kepolisian. Cih! Pelacur itu membuatku mendekam di penjara."

"Hm, lalu kau menjadi pembenci wanita, bertemu Clover di club ini dan bergabung dengan DARK."

Kenta mengangkat wajahnya, bertanya dengan wajah bingung yang sudah memerah. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Gissele mengisi ulang gelas Kenta dengan minuman. "Apa sih yang tidak kuketahui? Aku ini salah satu pemburu rahasia terbaik abad ini."

"Pemburu rahasia?" Kenta memiringkan kepalanya. Tangannya mengangkat gelas dengan sempoyongan. "Ah! Seperti The Rascal, bukan? Clover sempat bilang sesuatu padaku soal kelompok itu."

Gissele memasang wajah tak tertarik. "Oh, apa yang dikatakannya soal mereka?"

"Hmm ... mereka bajingan brengsek yang lucu!" Kenta bertepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. Mata sipitnya semakin hilang saat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. "Clover sangat menyukai mereka, asal kau tahu. Sayang sekali, Rascal sangat menganggu. Mereka membongkar beberapa sindikat yang berusaha keras kami tutupi."

"Lalu, kenapa meledakkan banyak tempat seperti itu? Kurasa DARK menghindari sorotan?"

Kenta mencebik, meneguk minuman yang baru dituangkan Gissele. "Mana kutahu? SAU selalu bertindak sesuka bokong mereka saat menargetkan sesuatu. Mereka berusaha keras tidak hanya untuk memusnahkan Rebellion, tapi juga membuat rekam jejak yang buruk bagi mereka di dunia."

"Ck, norak sekali." Gissele menuang minuman lagi pada gelas Kenta. Membiarkan pria kekar itu semakin mabuk karena minumannya yang sudah bercampur resep khusus. "Lalu, apa yang DARK rencanakan pada Rascal? Kalian berniat memajang kepala mereka di Hollywood Hills?"

Tawa keras Kenta terdengar membahana. Pria itu baru berhenti tertawa karena batuk. "Idemu bagus juga. The Rascal itu norak sekali! Mereka malah membalas tantangan DARK dengan sebuah video. Bodoh!" Jemari Kenta bergerak meraih botol, tidak mau minum dari gelas lagi. "Lagipula, segala keputusan soal The Rascal ada di tangan empat eksekutif terpilih."

"The Four Kings?"

Kenta mengangkat alis. "Kau tahu banyak, ya?"

Gissele hanya membalas dengan gumaman. Sepersekian detik kemudian, wajahnya berubah pucat begitu mendengar peringatan di alat komunikasinya. Di antara dentum musik dan riuh rendah percakapan orang-orang, Gissele juga bisa mendengar suara yang mengandung bahaya. Gadis itu segera memukul telak tengkuk Kenta, mengakibatkan pria itu kehilangan kesadarannya. Gissele segera menyembunyikan sebagian rambut panjangnya di dalam jaket kulit yang dikenakannya. Gadis itu merebahkan kepalanya di atas paha Kenta, bergabung dengan pria-pria lain yang sudah terkapar di atas sofa.

Seorang pria memasuki club diiringi beberapa pengawalnya. Wajahnya rupawan, khas Asia Timur. Rambut putihnya kelihatan mencolok di antara yang lainnya. Dia memakai jubah putih dengan simbol daun semanggi berwarna hitam di punggungnya.

"Karena kita tuan rumah kali ini, tolong siapkan pesta yang meriah." Pria itu berbicara pada sekretarisnya yang mengangguk paham. Tatapannya tiba-tiba terkunci pada sekelompok pria yang sudah terkapar di salah satu sudut. "Pecundang menyedihkan," gumamnya. "Omong-omong, adikku tidak melarikan diri lagi, kan?"

.
.
.

Wajah cantik seorang wanita muncul dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia mengamati kedua pemuda yang berdiri di depannya. Tatapannya jatuh pada botol wine yang dipegang salah satu pemuda itu.

"Kalian pelayan baru?" tanyanya acuh. Wanita itu membuka pintunya lebar-lebar, memberi tanda pada Becky dan Joachim untuk masuk. "Kenapa lama sekali?"

"Uh, ya, Nona." Becky mengingat-ingat dua orang pria yang kini berbaring tak sadarkan diri dalam keadaan terikat dan mulut terkunci lakban. Semoga tidak ada yang menemukan mereka di bawah tangga. "Maaf atas keterlambatan kami, ada gangguan dalam perjalanan tadi."

Joachim menutup pintu diam-diam, melirik Nona Muda yang kini duduk di atas sofanya hanya dengan selembar bathrobe. Menilik wajahnya, wanita itu jelas sudah dewasa. Gurat wajahnya cantik, dengan sepasang mata cemerlang yang berpadu dengan sikap elegannya.

"Namaku Yuuki," katanya memperkenalkan diri tanpa diminta. Dia menyilangkan kakinya, menampakkan paha mulus yang membuat kedua pemuda di depannya meneguk ludah. "Aku minta teman bicara, mereka malah memberiku pelayan baru yang bahkan tidak tahu namaku."

Becky dan Joachim hanya terkekeh canggung mendengar gerutuan Yuuki.

"Kau tunggu apa? Buka botolnya."

Mendengar perintah pemilik ruangan, Becky dengan sigap bergerak. Pemuda itu membuka botol anggur dan menuangkan isinya pada gelas yang sudah disiapkan Joachim. Diam-diam, jemarinya dengan lihai menaburkan bubuk beracun.

"Anggur ini terasa lebih pahit." Yuuki berkomentar begitu dia selesai mengambil satu tegukan. Meski begitu, dia dengan santai menandaskan isi gelasnya. Wanita itu menoleh pada dua pemuda yang masih berdiri. "Duduklah. Aku butuh teman bicara, bukan orang yang akan menuangkan minumanku."

Meski ragu, kedua pemuda itu duduk. Becky menyikut lengan Joachim. Joachim berdeham, mencuri perhatian Yuuki yang baru saja menandaskan gelas keduanya.

"Nona tidak kesepian di sini?"

Tawa Yuuki meledak, tentu masih dengan anggun. Wanita itu meletakkan gelasnya di atas meja, menyandarkan punggungnya pada sofa. Tindakannya membuat bathrobe meluncur jatuh dari bahunya, memperlihatkan sebelah bahunya yang mulus dan belahan dadanya yang sedikit terekspos.

Joachim bersiul pelan, tentu hanya terdengar oleh Becky di sampingnya.

"Apa yang kau harapkan dari seorang wanita yang dikurung di antara pria-pria dengan orientasi seksual menyimpang?" tanya Yuuki dengan retoris.

"Hm, itu pasti sangat sulit bagi Nona." Becky berujar simpatik.

"Aku sangat frustasi!" Yuuki memekik, tidak tahu kenapa emosinya sangat kacau. Dua gelas anggur jelas takkan membuatnya mabuk. Tetapi, dia tidak bisa berpikir jernih sekarang. "Aku benci saudara bodohku dan segala idenya soal kelab malam sialan ini."

"Saudaramu itu Tuan Clover?" tanya Joachim dengan hati-hati.

"Hmmph! Aku tak peduli kalian menangilnya apa." Yuuki menuang anggurnya pada gelas. Dia memandang Becky dan Joachim lamat-lamat. "Karena kalian masih baru, kusarankan agar kalian segera keluar dari sini. Tempat ini bukan sekadar club untuk gay."

"Ah, aku sempat mendengar beberapa rumor." Becky dengan lihai mulai menggiring arah percakapan. "Beberapa pekerja yang lebih senior membicarakan tentang pesta yang akan diadakan besok."

"Pesta?" Kening Yuuki berkerut samar. "Oh, yang itu."

"Apakah itu pesta, umm, maaf, pesta untuk sesama jenis?"

Tawa Yuuki pecah mendengar pertanyaan polos Joachim. "Tentu saja tidak, Manis. Ini pesta yang lebih besar. Sejujurnya, Nii-san akan membunuhku kalau aku mengatakan ini. Tapi, karena kalian manis dan kelihatan lugu, aku akan menjelaskan."

Yuuki tentu tidak sempat melihat senyum tertahan Joachim dan Becky. Wanita itu benar-benar kehilangan pertahanannya. Dia tidak tahu kenapa mulutnya terus mengoceh panjang lebar.

"Kalian tahu? Ada sebuah sindikat kejahatan paling rapi di Asia. Namanya DARK. Nama yang norak, aku tahu." Yuuki berterima kasih saat Becky menuangkan anggur pada gelasnya. Entah sejak kapan pula pemuda itu sudah duduk di sampingnya. "Coba ceritakan apa yang sudah kalian ketahui soal DARK!"

"Mereka organisasi yang khusus bekerja untuk menutupi kebusukan beberapa pejabat atau orang-orang kelebihan harta lainnya." Joachim menjawab dengan wajah berkerut. "Aku hanya mendengar sampai situ."

Kekehan mengejek terdengar dari mulut Yuuki, wanita bertubuh sintal itu mencebik. "Itu hanya permukaan saja. Sebenarnya, DARK adalah sindikat kejahatan yang memfokuskan diri pada transaksi gelap. Mereka menjual apa pun yang diinginkan pelanggannya dengan harga tinggi. Bisa berupa informasi, perlindungan hukum, bagian tubuh, narkoba, video porno yang tidak manusiawi, barang-barang yang peredarannya ilegal, atau bahkan mayat seseorang."

"Mengerikan. Dunia tempatmu tinggal sangat gelap, Nona," komentar Becky dengan nada simpatik. "Omong-omong, apa yang dimaksud dengan pesta?"

"Hm?" Yuuki memiringkan kepalanya dengan gerakan lucu. Wajah mabuknya sangat menggoda, membuat Becky mengumpat tanpa suara. "Setiap tahun, mereka akan mengadakan pesta khusus. Aku pernah ikut sekali. Menjijikkan. Mereka mengadakan lelang."

"Lelang?"

"Lelang anggota tubuh detektif yang paling dibenci."

Joachim menatap Becky, menggumamkan kata 'sinting' tanpa suara. Becky meneguk ludah, perasaannya mulai tak enak.

"Pesta kali ini. Apakah mereka akan mengadakan lelang juga?" Becky bertanya dengan ragu, belum siap mental menerima jawabannya.

"Mungkin ... salah satu anggota The Rascal?"

Kedua mata Becky melebar maksimal. Bukan karena jawaban Yuuki, tapi karena wanita itu tiba-tiba merebahkan diri ke dadanya.

"Chim!" Becky meringis, menatap temannya dengan pandangan memohon. Dia jelas tak berbakat menghadapi wanita mabuk. Seksi pula. "Jauhkan dia dariku, wanita ini merepotkan."

Joachim baru hendak membantu. Namun, Yuuki tiba-tiba bangun. Wanita itu menatap Joachim dan Becky bergantian dengan mata sayu dan wajah memerah.

"Kalian sepasang kekasih, bukan? Jadi, kalian tidak akan tergoda dengan tubuh wanita. Bantu aku memilih gaun pesta!"

.
.
.

Daegan menunggu dengan sabar di balik kemudi. Kedua matanya terpejam sementara dia menikmati lantunan musik yang terdengar dari radio mobilnya. Daegan membuka mata tiba-tiba, mengamati pintu masuk club dengan tatapan tajam. Kedua iris kelabunya mengunci pergerakan seorang wanita muda dengan rambut coklat yang berjalan masuk. Senyum Daegan tertarik begitu saja. Dia mengamati salah satu lengannya yang dihiasi gelang hitam, mencebik.

"Dia buruk sekali dalam akting."

Daegan menoleh saat mendengar suara berisik yang dikenalinya. Becky dan Joachim terlihat berlari ke arah mobil dengan wajah pias, tangan mereka menampung darah yang keluar dari hidung.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Daegan begitu keduanya sudah mengisi kursi belakang.

"Pria normal mana yang baik-baik saja saat ada wanita seksi yang mabuk berat dan memintamu memilihkan gaun pesta?!" Joachim berteriak tertahan.

"Aku tidak akan menerima misi seperti ini lagi." Becky mengusap hidungnya, membersihkan darah yang sempat mengalir deras. "Tidak baik untuk kesehatan mentalku."

Daegan tertawa begitu dia mengerti maksud kedua temannya. "Aku mendengar suaranya juga tadi, dia pasti sangat cantik, bukan?"

"Cantik," sahut Joachim cepat. "Cantik, seksi, dan mabuk. Aku baru tahu kalau saat mabuk dia bisa begitu melelahkan."

"Ah, kenapa kalian memutuskan komunikasi kita?" tanya Daegan dengan nada menggoda. "Sesuatu terjadi di dalam, bukan?"

Wajah Becky dan Joachim sontak memerah.

"Jangan dibahas lagi!" bentak Becky. "Omong-omong, kenapa Gissele belum selesai?"

Daegan memandang pintu masuk club. Seorang gadis keluar dari sana dengan langkah santai. Rambut pirangnya yang tergerai bebas berayun saat gadis itu melangkah. Dia mempertahankan wajah datarnya saat berjalan mendekati mobil biru yang terpakir tak jauh dari club.

"Aniki, kau dapat banyak pria malam ini?" Becky bertanya jahil begitu Gissele membuka pintu dan duduk di samping Daegan.

Gissele memutar bola mata. "Bagaimana denganmu, Beck? Kencanmu dan Chim berjalan lancar?"

"Tidak lancar, Gie." Daegan yang menjawab. "Mereka bertemu orang ketiga dan sama-sama tergoda dengan orang ketiga tersebut."

Satu-satunya gadis dalam mobil itu mengerutkan kening. "Kisah cinta macam apa itu? Aneh sekali."

"Tidak lebih aneh dari seorang gadis yang keluar masuk club gay dengan santai." Joachim membalas tidak mau kalah. "Beritahu aku, kau belajar dari mana?"

Gissele menoleh ke belakang, menyeringai dengan gaya mengejek. "Akui saja, aku lebih tampan darimu, Tuan Perayu."

Joachim hanya mendengus, bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke jok. Becky di sebelahnya tertawa pelan, sadar temannya itu tidak suka kalau Gissele ternyata lebih hebat darinya dalam urusan merayu.

"Omong-omong, kenapa kau lama sekali, Gie?"

Gissele yang sedang merapikan rambutnya menoleh pada Daegan. Wajahnya berubah lelah dalam seketika. "Dae, kau harus tahu kalau pria-pria yang sedang tidur itu menyebalkan."

"Tidur?"

"Ya, sulit melepaskan diri dari mereka." Gissele tidak sadar kalau raut wajah ketiga temannya sudah berubah. Kedua mata Daegan bahkan sudah berkaca-kaca, menyiratkan rasa tak percaya dan kekecewaan yang mendalam.

"Gissele, kau tidur dengan mereka?"

Ingatan Gissele terlempar pada saat dia harus pura-pura terkapar di paha Kenta karena Clover yang tiba-tiba masuk. Gadis itu mengangguk dengan polos, mengundang jerit tak percaya dari ketiga teman laki-lakinya.

"Gissele kita sudah tidak suci lagi!"

Kesalahpahaman itu berlangsung cukup lama.

***

Hola! Komen dong, diem2 bae.

Gissele mau ke club

Setelah keluar dari club

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top