File 3

I refuse to be another number now

Never staying down

This is something real

I'm a name that you'll remember

I am more than just a thrill

I am gonna be the greatest ever now

Watch out

I'm a force that you will fear

-The Score-

Region Five, Ancaisteal.
Status : Hunter.

Jaykho membantu Gissele memapah Daegan. Bola matanya yang kelabu menyiratkan cemas saat anak laki-laki itu menatap Gissele. Suara rendahnya terdengar dingin begitu dia bicara dengan tergesa.

"Kita harus lari."

Gissele tidak terlalu mengerti, tapi dia mengangguk. Dia sadar kalau Jaykho bisa dipercaya. Lagipula, mengikuti Jaykho dan yang lainnya adalah opsi terbaik saat ini. Gadis kecil itu mengikuti langkah teman-teman barunya, setengah berlari masuk lebih jauh ke dalam lorong.

"Kita akan kemana?" tanya Becky yang memapah Alissea. Di sampingnya, Roseanne tampak cemas. Dia melihat ke sekeliling dengan wajah khawatir.

"Atas," kata Joachim. "Kita tidak bisa lari dari penciuman Keara. Tapi dia sangat lambat karena luka-lukanya yang parah."

"Keara itu...."

"Beruang." Joachim menyeringai, membalas pertanyaan Gissele. "Hewan dengan indra penciuman terbaik. Dia bisa mencium bau tubuh kita dari jarak jauh. Kedua kakinya yang luka parah membuatnya tidak bisa menghampiri kita dengan cepat."

"Karena itu kah suara langkahnya terdengar diseret-seret?" Gissele bertanya dengan nada pelan. Gadis itu tersentak saat suara aneh terdeteksi indra pendengarannya. "Omong-omong, tidakkah kalian mendengarnya?"

Daegan yang dirangkul kedua temannya tertawa. Tawanya lemah, tapi mengandung getir yang membuat Gissele bertanya-tanya. Ketika anak berambut pirang itu berhenti tertawa, dia menoleh pada Gissele yang memapahnya.

"Aku merinding," katanya, kontras dengan senyum di wajahnya. "Gie, yang kau dengar apakah suara langkah halus?"

Gissele mengangguk. Daegan kembali tertawa, padahal dia tidak bisa melihat anggukan Gissele.

Suara lain terdengar.

"Sekarang mereka mulai menarik busur. Cepatlah!" Becky yang berdiri paling depan bersama Alissea dan Roseanne berseru keras.

Gissele tersentak, menyadari arti tawa lirih Daegan barusan. "Mereka-"

"Para pemanah," potong Roseanne. "Joachim benar, pilihan paling bagus sekarang adalah bersembunyi di atas. Keara tidak bisa menjangkau kita dan para pemanah itu belum pernah mengarahkan anak panahnya ke langit-langit."

Gissele mengarahkan pandangannya pada langit-langit lorong. Sekejap, dia bisa mendengar suara lirih yang memantul lewat langit-langit yang rendah.

"Ayo, Gie." Jaykho menegurnya, membuat Gissele kembali memfokuskan diri pada teman-temannya yang tengah menaiki dinding.

"Dinding lorong ini cukup tebal dan tinggi, kita bisa duduk di atasnya dan menunggu sampai Keara menjauh." Joachim menjelaskan, mengulurkan tangan pada Gissele.

Ketika mereka bertujuh sudah duduk di atas dinding, suara langkah kaki yang diseret itu semakin terdengar jelas. Aroma busuk dan anyir darah menyebar di udara, membuat Joachim yang indra penciumannya paling peka mengomel pelan. Tetap saja, anak itu tidak berani protes terang-terangan. Dia terdiam dengan wajah sedih, menatap kosong pada lorong di mana aroma menyengat itu berasal.

Daegan merasakan sekujur tubuhnya merinding, merasakan hawa pekat yang menyebar aura gelap. Bocah itu mencari perlindungan di balik punggung hangat Jaykho. Jaykho yang sadar Daegan bersembunyi di belakangnya mengulas senyum maklum.

Gissele mengamati tingkah teman barunya dengan heran, tapi suara geraman lirih dan langkah yang berat menarik perhatiannya dengan cepat.

Roseanne dan Jaykho mengalihkan pandang, menolak melihat lebih jauh bayangan samar yang sempat mereka lihat. Joachim menutup hidungnya, aroma darah semakin pekat di udara. Gissele melirik Becky, sedikit banyak sadar bocah berambut abu-abu itu punya kepekaan indra yang sama dengannya.

"Pilu, bukan?"

Suara Becky lirih, tapi Gissele bisa mendengarnya dengan jernih. Gadis itu mengangguk, setuju dengan ucapan Becky. Suara langkah Keara dan geramannya terdengar seperti melodi ratapan sendu. Alih-alih mengerikan, rasanya mereka justru disesaki perasaan sedih yang kuat.

Ketika sosok Keara mulai tampak dari lorong, Gissele melebarkan mata. Gadis itu sekarang paham kenapa teman-temannya memilih mengalihkan pandangan dan bersembunyi saat Keara datang. Bukannya takut dicabik-cabik, seharusnya mereka melawan jika tahu kondisi Keara separah itu. Nyatanya, mereka hanya menolak melihat pemandangan menyedihkan hewan malang itu.

Hewan itu berjalan pelan, dengan tubuh bagian kanan yang diseret-seret. Kaki depan dan belakangnya luka, membuatnya tidak bisa berjalan dengan benar. Dia merangkak, menyeret langkahnya dengan menggunakan kedua kaki kirinya sebagai tumpuan.

Gissele meringis saat melihat luka di kaki kanan Keara yang menganga lebar. Luka itu mungkin lebih mirip luka sabetan pedang yang dalam, sangat dalam hingga mungkin tulangnya terlihat.

"Siapa pun yang menyebabkan luka itu, dia pasti bedebah sinting yang tidak punya nurani." Roseanne menggerutu dengan wajah sedih. "Aku tidak bisa membayangkan Keara mampu bertahan dengan luka seperti itu."

"Apa Keara sudah seperti itu semenjak kalian datang ke sini?" Gissele bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari Keara yang kini berhenti.

"Ya, aku yang pertama datang di antara kita." Daegan yang menjawab. Anak itu membuka perbannya, memperlihatkan luka goresan yang terlihat jelas pada kedua kelopak matanya yang tertutup.

Jaykho yang duduk di sampingnya sampai menutup mulut, merasa ngeri dengan goresan panjang pada kedua kelopak mata Daegan. Sudah tidak meneteskan darah, tapi tetap mengerikan membayangkan rasa sakitnya.

"Jangan bilang keluargamu sendiri yang melakukannya."

Daegan tertawa mendengar pertanyaan Joachim. "Ya, memang mereka." Dia kembali memakai perbannya, menutupi kedua matanya dengan rapi. "Mereka juga yang mengobatiku sebelum yang lain datang."

"Itu pasti aku dan Alissea," sahut Becky. "Kami berdua datang bersamaan karena rumah kami berdekatan. Aku sempat mendengar teriakan cemprengmu memenuhi lorong."

"Itu sangat memalukan." Daegan berkomentar lirih, mengundang gelak tawa tertahan dari teman-temannya yang lain.

Gissele memperhatikan Roseanne yang fokus menatap ke bawah. Dia turut mengikuti arah pandang gadis berambut merah itu. Kedua mata kecil Keara balas menatap Roseanne. Mereka seolah tengah bertelepati dengan tatapan mata masing-masing.

"Rose, kau sedang adu melotot dengan Keara atau bagaimana?"

Pertanyaan Joachim barusan seperti mewakili isi hati Gissele.

Roseanne mendengus tak suka. "Apa penciumanmu tidak bisa mendeteksi sesuatu?" tanyanya dengan sinis.

Joachim mengerutkan kening. "Aku hanya mencium sedikit aroma makanan dari Alissea, cerobong asap dari Becky yang hobi keluar masuk lewat perapian, aroma lembab dari Jaykho dan Daegan yang sepertinya pernah bersembunyi di ruangan kecil di lorong, dan bau Gissele yang samar-samar mirip hutan dan tanaman di luar tempat ini."

"Itu bisa dimengerti karena aku memang masih baru di sini."

"Kau tidak mencium aroma apa pun dari tubuhku?"

Joachim tampak berfikir keras. "Aku mencium aroma cinta?"

Yang lainnya berpura-pura tidak sadar saat Roseanne memukul kepala Joachim dengan sangat keras.

"Dia berpotensi menjadi macan betina." Becky berbisik pada Gissele di sampingnya.

Gissele tersenyum canggung. "Dan Joachim berpotensi menjadi perayu ulung."

Becky tertawa mendengar jawaban Gissele. "Aku mungkin harus mengurangi kadar pergaulanku dengan anak itu. Dia pernah menggoda ibuku, asal kau tahu."

"Kurasa, di masa depan kalian akan berteman baik."

Jaykho yang sadar Roseanne mungkin melihat sesuatu memilih ikut memperhatikan Keara lekat-lekat. Kedua mata kecil beruang itu balas menatapnya, seolah bicara dengan Jaykho. Jaykho menatap tubuh besar Keara lamat-lamat, terkesiap begitu menemukan sesuatu yang janggal.

"Dia seperti meminta kita turun, bukan? Aku yakin kau tahu kenapa."

Jaykho mengangguk mendengar kalimat Rose. "Tapi, terlalu berisiko. Lihat cakarnya, kalau kita salah langkah, dia akan mencabik-cabik kita tanpa ampun."

Belum sempat Roseanne membalas ucapan Jaykho, pekikan Becky terdengar. Alissea yang entah sejak kapan sadar telah melompat turun, dengan agak sempoyongan mendarat di depan Keara.

"Hal bodoh apa yang dia lakukan?!" pekik Joachim dengan gemas.

Gissele menatap Alissea sekilas. Dengan satu helaan napas, dia telah meloncat turun menyusul gadis berambut abu-abu itu. Giliran Daegan yang memekik, lebih keras dari teriakan Becky sebelumnya.

Joachim cepat-cepat menoleh pada gadis di sampingnya. "Jangan bilang kau akan turun atas nama solidaritas sesama perempuan?"

Roseanne menunjukkan cengirannya. Gadis itu ikut melompat, mendarat di samping Gissele.

Joachim menepuk dahinya, merasa frustasi seketika. "Aku benci perasaan setia kawan yang meraung-raung dalam diriku."

Anak laki-laki itu baru hendak menyusul ketiga temannya, tapi tangan Becky menghalangi pergerakannya.

"Aku mendengar sesuatu." Becky menatap ke arah lorong-lorong yang jauh dari mereka. Anak itu menoleh pada Daegan yang sudah menyeringai. "Sepertinya keluargamu hendak mengadakan reuni."

"Kami akan menghadapi pemanah. Cepat selesaikan urusan kalian dengan Keara." Jaykho mengambil keputusan dengan cepat, membeberkan rencana pada tiga anak perempuan di bawah.

"Jangan khawatir, serahkan ini pada gadis-gadis." Roseanne menoleh pada Gissele yang kini menghampiri Keara pelan-pelan. "Kau punya pengalaman menjadi pawang binatang, Gie?"

Gissele tidak memutuskan kontak mata dengan Keara yang kini menggeram pelan melihat mereka bertiga. "Tentu. Ada untungnya orang kerajaan punya hobi menyuruh keluargaku memeriksa hutan."

Alissea menoleh pada teman-temannya yang masih berdiri di atas dinding lorong, tengah bersiap untuk mengecoh para pemanah. "Hati-hati dengan panah beracun," katanya lirih.

Becky mengangkat jempolnya. "Jangan sampai dicabik-cabik, Nona-nona."

Alissea hanya menatap datar saat keempat anak laki-laki itu melompat turun. Bukan ke lorong tempat mereka dan Keara berada, tapi ke lorong di sebelah yang kosong.

"Hei, kenapa kau melompat turun?" Roseanne bertanya pada Alissea dengan wajah penasaran yang jelas.

"Aku pernah terpisah dari Becky sebentar dan bertemu Keara." Alissea tersenyum misterius. "Coba tebak? Hewan itu melewatiku seolah-olah dia tidak mencium aroma tubuhku yang bersembunyi di sudut lorong. Dan aku bisa melihat benda yang ditanam di lukanya dalam jarak sedekat itu."

Roseanne mengangguk paham, mata abu-abunya beralih menatap Gissele yang masih berusaha mendekati Keara. "Orang tak punya nurani macam apa yang menanam kunci pada luka seekor hewan?"

therascal

Hari ketiga.

Seoul, South Korea.

Tiga menit.

Dalam waktu yang terbilang singkat, The Rascal membuat seluruh Seoul memusatkan perhatian pada siaran langsung yang mereka lakukan dengan meretas berbagai sistem. Komputer, ponsel, iklan digital, bahkan seluruh saluran televisi diambil alih selama tujuh menit.

Mulanya, layar benda elektronik itu tiba-tiba hitam, menghentikan kegiatan apa pun yang dikerjakan penggunanya. Bilangan biner satu dan nol muncul berkedip-kedip tanpa henti dengan warna biru neon yang mencolok. Tulisan yang tertera di layar menegaskan siapa pelaku keributan ini.

Layar kembali gelap dalam satu detik, segera berganti menjadi sekuntum mawar merah yang perlahan mekar. Wajah rupawan gadis berambut merah dengan mata abu-abu yang menawan mencuri perhatian di layar. Gadis itu duduk di atas sofa. Busana two piece dengan warna merah muda dan hitam itu semakin membuatnya terlihat mencolok.

"Namaku Roseanne Froska." Dia menjentikkan jari, mengeluarkan setangkai mawar merah dari tangannya yang semula kosong. "Apa kalian suka kekacauan?" tanyanya dengan nada seduktif.

Dia melemparkan mawarnya ke atas. Kelopak mawar tiba-tiba turun seperti hujan, membuat sosoknya tersembunyi. Hujan kelopak mawar itu hanya berlangsung sebentar. Layar kini menampilkan seorang pemuda dengan rambut abu-abu. Dia duduk bersandar di kursi dengan kedua kaki terangkat mengisi meja. Tangan kanannya memain-mainkan pistol dengan gerakan santai. Begitu dia menoleh, senyum miring muncul di wajah rupawannya.

"Namaku Becky Orleans," katanya dengan suara dingin. "Apa kalian percaya dengan mereka? Orang-orang yang membongkar identitas kami?" tanyanya.

Becky menurunkan kakinya, kali ini duduk dengan benar. Pemuda itu menyatukan kedua tangannya di atas meja. Pistol yang sedari tadi dimainkannya dibiarkan tergeletak di atas meja.

Pemuda itu menyeringai. "Seharusnya, kalian tidak mudah percaya."

Kamera bergeser dengan cepat, berganti menampakkan close up wajah tampan pemuda berambut hitam. Pemuda dengan mata sipit itu tersenyum begitu kamera menyorotnya.

"Namaku Joachim Creed," katanya memperkenalkan diri seperti rekannya yang lain. Dia berjalan menjauh dari kamera, memperlihatkan pada penonton bahwa pemuda itu tengah berada di ruangan penuh buku.

"Mereka menyimpan terlalu banyak rahasia di belakang kalian." Joachim bicara membelakangi penonton, menarik satu buku dari rak. Dia kembali menatap kamera. "Kalian mau tahu rahasia apa saja yang mereka simpan?"

Joachim membuka bukunya, puluhan kupu-kupu berterbangan menutupi layar.

Kali ini giliran Gissele dan Alissea yang muncul di layar. Gissele tampak garang karena dia tengah duduk di atas meja dengan tatapan tajam. Di atas kursi, Alissea dengan tenang menggigit apel merahnya.

"Namaku Gissele Aggie, dan aku akan memberitahu satu hal pada orang-orang busuk yang telah menyebarluaskan identitas kami." Gissele memasang senyum miring di wajah cantiknya. "Aku akan pastikan untuk membongkar kalian juga."

"Oh, jangan lupa pembalasan," timpal gadis satu lagi. Rambut abu-abunya bergoyang saat gadis itu menoleh pada kamera. "Balas dendam itu lezat, bukan?"

"Omong-omong, namaku Alissea Clairine." Dia tersenyum manis, mengedipkan matanya dengan genit.

Seekor merpati melesat terbang, menutupi layar selama satu detik. Ketika hewan itu pergi, pemandangan di dalam siaran sudah berganti. Jaykho tampak berbaring tenang di atas sofa.

"Oh," katanya saat kamera menyorotnya. Pemuda berambut coklat itu duduk dengan benar. "Kalian mungkin sudah tahu identitas kami masing-masing. Pihak pengecut sudah meliris video tentang kami tanpa permisi, dasar tidak sopan," gerutunya dengan wajah kesal.

Jaykho menatap kamera lagi, tersenyum lebar. "Aku lebih suka memperkenalkan diriku sendiri." Ada nada misterius di balik senyum cerahnya. "Namaku Jaykho Aristides. Biar kuberitahu satu hal; The Rascal tidak suka dilangkahi."

Dedaunan berterbangan mengisi layar. Sosok di dalam layar kamera berganti dengan wajah tersenyum Daegan yang tengah memegang ponsel di telinganya.

"Ah, halo. Namaku Daegan Arrow," katanya saat sadar kamera menyorotnya. Pemuda berambut pirang itu tidak melepaskan ponsel dari telinganya. "Apa kalian dengar soal insiden bom di China, Korea Selatan, dan London baru-baru ini?"

"Jika kalian tahu, apa kalian ingin balas dendam?" Daegan bertanya dengan nada misterius, mata abu-abunya menatap kamera dengan lurus. "Bagaimana jika..., sebuah gedung di Korea Selatan ini adalah markas para teroris itu di Asia? Keramaian kadang adalah tempat bersembunyi paling baik, bukan?"

Tiba-tiba, Daegan tersenyum lebar, kelihatan jelas tengah bicara pada ponselnya. "Nah, kau dengar kan, Tuan Eksekutor? Segera bawa teman-temanmu dan bersenang-senanglah."

Kamera gelap selama sesaat. Ketika cahaya kembali muncul, Becky kembali muncul di depan layar. Pemuda berambut abu-abu itu menyeringai. Dengan segera, dia melompati meja dan berjongkok di depan kamera.

"Hei, siapa pun yang mengirimkan tantangan ini pada kami, katakan pada bosmu bahwa Rascal menerimanya dengan senang hati." Suaranya terdengar menusuk saat pemuda itu bicara. Wajahnya yang biasa ditutupi topeng terlihat jelas di depan kamera. "So, let's start the game, bitch?"

Moncong pistolnya diarahkan pada kamera. Senyum tengil muncul di wajah tampannya. Mata abu-abunya menyorot tajam pada kamera, membuat sosoknya terlihat berkali lipat lebih misterius. "Hasta la vista, baby."

Tembakan keras menghancurkan kamera, sekaligus mengakhiri siaran langsung itu.

.
.
.

"Sialan! Aku keren sekali!" Becky bersorak heboh saat siaran sudah berakhir. Pemuda itu bertos ria dengan Joachim yang tertawa lebar. "Hei, Rose. Kau lihat aksiku tadi?"

Roseanne yang sedang sibuk memeriksa penampilannya di cermin kecil menatap Becky sekilas. "Aktingmu bagus sekali. Aku yakin banyak orang akan tertipu. Mengira kau sosok mengerikan padahal kau tak lebih dari bocah berisik."

Becky justru tertawa mendengar kalimat pedas Roseanne. Pemuda itu menyenggol lengan Joachim di sampingnya, berbisik pelan. "Yang tadi itu pujian, bukan?"

Joachim menepuk pundak Becky, memasang wajah bijak. "Bro, kau harus tahu kalau para gadis kadang terlalu malu untuk memuji secara terang-terangan."

Becky mengangguk paham, berterima kasih karena Joachim sudah memberitahunya rahasia penting. Alissea yang duduk di dekat mereka memutar bola mata, jengah dengan ketololan tanpa henti dua temannya itu.

"Stupid."

"Kau mengatakan sesuatu, Lissea?"

"Apelnya terasa pahit." Alissea membalas dengan kecut, merasa tak ada gunanya jujur pada Becky. "Omong-omong, siapa gadis di samping Richardo?"

Becky mengikuti arah pandang Alissea. Ada seorang gadis cantik berambut pirang yang duduk di samping Richardo. Mantel putih gading yang dikenakannya cukup sederhana, tapi tidak mampu menyembunyikan aura bangsawannya.

"Oh, Putri Airenee." Becky membalas pendek, memandang Jaykho dan Gissele yang sedang sibuk bicara dengan kedua tamu mereka. "Rich mengatakan kalau dia ingin memastikan kita tidak mati dan berbuat yang aneh-aneh."

"Hm, baru kali ini aku melihat aura superior Rich kalah saing." Roseanne turut bergabung dalam percakapan, melirik sekilas pada gadis cantik di samping Richardo. "Omong-omong, apa dia termasuk ke dalam ramalan?"

"Oh, hentikan soal ramalan itu." Alissea memotong dengan kesal, mengigit apelnya sebagai bentuk penyaluran frustasi. "Aku selalu punya firasat buruk saat mendengarnya."

Joachim tertawa melihat wajah frustasi temannya. "Omong-omong, dia berbau harum sekali. Campuran bunga-bunga yang lem—"

"Hentikan pikiran mesummu, Chim." Roseanne menyela dengan wajah kesal.

"Atau apa?"

"Atau aku akan memukulmu dengan cermin ini." Roseanne mengangkat cerminnya dengan wajah galak.

"Oh, aku takut sekali." Joachim memang gemar menggoda Roseanne.

"Gosh, tidak bisakah kalian bertengkar dengan cara yang lebih elegan?" Becky duduk di samping Alissea, menggelengkan kepala dengan tingkah kekanak-kanakan teman-temannya.

"Permisi, Bung. Jika aku harus mengurutkan siapa yang paling kekanak-kanakan di sini, namamu akan bertengger di urutan pertama." Daegan yang baru datang menimpali dengan tawa geli.

"Ya, dan kau nomor satu untuk kategori paling dramatis." Alissea menambahkan, memasang wajah inosen saat Daegan mendelik padanya.

"Hm, aku pasti urutan pertama pria paling tampan."

"Kau laki-laki pertama yang akan kulempar dari Burj Khalifa. Mulutmu yang penuh rayuan busuk itu tidak punya tandingan."

"Bisakah kalian tidak menggosip dengan keras?" Gissele berjalan ke arah mereka dengan wajah kesal. Di belakang gadis berambut pirang itu, Jaykho, Richardo, dan Airenee mengikutinya.

"Oh, maaf, Gie." Alissea tersenyum manis. "Kau pasti tahu, kami mana bisa diam jika diletakkan dalam satu ruangan."

"Kalian sendiri saja di dalam satu ruangan sudah sangat berisik," timpal Richardo. Pemuda bersetelan jas hitam itu tampak agak berantakan hari ini. "Aku sibuk sekali. Jangan membuat masalah dan cepat atasi orang-orang yang mengekspos kalian. Aku ingin mengantar Putri Airenee ke pemakaman."

Airenee tersenyum sekilas, lalu mengikuti Richardo yang berjalan ke luar ruangan. Jaykho mengantar keduanya hingga pintu depan.

"Sial, dia cantik sekali." Joachim memegang dadanya dengan gerakan dramatis. "Jantungku hampir berhenti saat dia tersenyum."

Becky mengangguk lemah. "Aku penasaran apa semua putri kerajaan secantik itu."

"Lebay," cibir Daegan. "Tapi, harus kuakui. Selain sangat cantik, Putri Rene menyebarkan aura yang kuat sekali. Pasti sulit menyembunyikan aura bangsawan dari keberadaannya. Dia jelas tidak bisa menyamar."

"Hm, kau benar, Dae." Gissele mengambil tempat duduk di samping Roseanne. "Ingat Putri Jean? Auranya benar-benar kuat. Seolah-olah aku akan mati terbakar jika menatap wajah cantiknya terlalu lama."

"Nah, keuntungan terlahir sebagai pemburu adalah kita tidak punya aura yang terlalu kuat." Alissea menghabiskan gigitan terakhir dari apelnya, mengunyahnya perlahan.

"Aura yang samar sangat membantu pekerjaan kita." Jaykho yang baru datang menimpali dengan santai. "Omong-omong, mereka tidak menyebut kita pemburu di dalam ramalan."

"Jangan bicara soal ramalan sekarang." Roseanne menyela dengan suara dingin. Gadis berambut merah itu menatap ponselnya dengan wajah serius. "Mereka membalas tantangan kita."

Semuanya terfokus pada tulisan di layar ponsel Roseanne.

Aku mengirimkan hadiah untuk kalian.
Semoga kalian menikmatinya, LOL.

.
.
.

Detektif So menatap datar saat layar televisi di depannya sudah berganti menjadi siaran berita. Tidak seperti rekan-rekannya yang lain, dia tetap tenang meski baru saja menyaksikan bagaimana The Rascal meretas stasiun penyiaran dan berbagai sistem hanya untuk menampilkan video balasan mereka. Kalau tidak salah, yang tadi itu siaran langsung.

Berani sekali.

"Aku penasaran dari mana mereka menemukan merpati dan kupu-kupu itu."

Pertanyaan konyol ketua timnya membuat Detektif Yoon tersedak. "Ketua, kurasa bukan itu yang harus kita pikirkan sekarang."

So merogoh ponselnya yang bergetar, mengamati pesan yang baru diterimanya dengan wajah datar. Pria itu memperlihatkan isi pesan yang diterimanya pada rekannya. "Anak-anak itu sudah menyambut lawan mereka. Kau mau bergabung atau hanya menonton?"

Yoon mengamati isi pesannya dengan seksama. Kedua matanya melebar begitu menyadari maksud si pengirim pesan.

Mau tahu Rascal ada di mana?
Tapi aku tidak menjamin kalian bisa menangkapnya, LOL.

"Ini...."

"Hm, kau benar. Sudah saatnya kita bergabung. Rascal cukup membuat kita kerepotan selama ini." So menyerahkan ponselnya pada Yoon. "Minta Detektif Byun melacak pengirimnya dan bawa pasukan lengkap ke alamat yang tertera di sini."

"Baik, Ketua."

.
.
.

"Sialan." Roseanne menggerutu saat dia harus merangkak dalam saluran ventilasi. Tubuhnya dipaksa bergerak maju melewati saluran udara yang sempit itu. Tak hanya sekali dua kali dia harus mengeluh karena roknya tak sengaja ditarik Gissele yang berada di belakangnya atau tubuhnya lecet karena ventilasi yang sempit.

"Bodoh, diamlah." Alissea berbisik kesal karena suara ribut Roseanne di belakangnya. "Kau harus berhenti hidup dalam kemewahan dan menerima takdirmu sebagai pemburu. Kita harus terbiasa hidup di mana saja."

"Persetan dengan pemburu, pengindra, atau apa pun yang mereka katakan soal kita." Roseanne menyugar rambut merahnya ke belakang, mendesah lelah. "Aku benci sekali keluar lewat saluran ventilasi."

Gissele menggeram di belakang Roseanne. "Idiot, cepat saja bawa bokongmu menjauh. Silahkan berdoa semoga mereka tidak menyadari bahwa sekrup lubang ventilasi yang tadi kita masuki sudah longgar."

"Lebih baik kau berdoa orang-orang yang mengirim polisi ke sini tidak memberi tahu Detektif So cara kita melarikan diri."

"Jangan menggerutu terus, Rose." Alissea melirik ke bawah dari lubang ventilasi. Mereka tengah berada di atas tiga orang petugas kebersihan wanita yang tengah merapikan alat-alat mereka. "Bagus, kita punya tiga baju baru."

Alissea membuka lubang ventilasi dengan pelan, melompat turun dan menimpa salah satu wanita yang tidak sempat menghindar. Gadis itu segera menghajar telak tengkuk wanita itu, menyebabkannya pingsan mendadak.

Roseanne dan Gissele menyusul dengan cepat. Masing-masing menangani dua wanita lainnya sebelum mereka sempat balas menyerang atau meminta bantuan.

Gissele mengikat rambut pirangnya. "Aku senang kita cukup sering hangout dengan gadis-gadis pendekar itu."

Alissea tertawa, mulai melucuti seragam wanita yang sudah pingsan. "Cepat berganti pakaian dan masukkan mereka ke dalam gudang alat-alat kebersihan itu."

"Maksudmu, kita harus bertukar baju dengan mereka?" Roseanne memasang wajah tidak setuju. "Bukan bermaksud menghina, tapi gaunku jauh lebih mahal dari pada seragam mereka."

"Lalu, kau mau tetap memakai gaun mahal itu dan ditangkap?" Gissele bertanya dengan sinis.

"Tapi, ini dari Alexander McQueen!"

Gissele dan Alissea mendesah lelah dengan tingkah salah satu temannya. Kadang, Roseanne bisa bersikap lebih dramatis dari Daegan.

"Kurasa kita harus membuka bajunya dengan paksa," usul Alissea. Senyuman miring terbit dari bibir tebalnya.

Gissele tersenyum jahil, memahami rencana temannya dengan sangat baik. "Kau urus mulut cerewetnya."

Roseanne mundur perlahan saat kedua temannya menatapnya dengan seringai aneh. Gadis itu ingin berteriak, tapi masih sayang nyawa. Teriakannya jelas akan mengundang banyak orang. Tertangkap adalah hal pertama yang mereka hindari kali ini.

"Hei, kalian tidak akan menelanjangiku, bukan?" tanyanya takut-takut.

Kedua temannya tidak menjawab, hanya semakin mendekat ke arah Roseanne hingga punggung gadis itu membentur dinding.

"Dasar mes—"

Alissea segera membekap mulut Roseanne, menyebabkan gadis itu meronta dengan suara teriakan yang teredam. Gissele menekuk jari-jarinya, menatap Roseanne yang melotot dan menggeleng keras. Senyumnya merekah dengan cara yang membuat Roseanne ingin menangis saja.

"Mari bersenang-senang bersama Oppa."

.
.
.

Daegan bersiul pelan, memandang jalanan di depannya yang lumayan ramai saat musim dingin. Tangannya dengan lihai membelokkan kemudi, menuju ke arah titik temu yang sudah disepakati teman-temannya tadi. Di sampingnya, ada Becky yang duduk manis. Pemuda itu tidak berisik kali ini, dengan tenang mengamati lalu lintas Seoul di siang hari.

"Hei, di mana tiga gadis dan Jaykho?" Kepala Joachim menyembul dari kursi penumpang.

"Aku tidak tahu soal gadis-gadis itu, tapi Jaykho mungkin sedang bertemu dengan Detektif So." Becky menjawab dengan santai.

Joachim kembali duduk, menyandarkan punggungnya pada jok. "Aku tidak mengerti mengapa dia bisa tahan bertemu Detektif So."

Daegan tertawa dari balik kemudi. "Waktu dia menginterogasiku, aku harus menahan alergiku dengan semua aura kaku dan serius yang keluar dari tubuhnya."

"Aku penasaran bagaimana jika mereka bertemu." Becky tertawa geli, mengangkat kedua tangannya bergantian "Jaykho yang suka tersenyum dan Detektif So yang tidak bisa tersenyum."

Becky menyatukan kedua tangannya dalam tepukan keras. "Duar! Mereka pasti akan menciptakan ledakan besar."

.
.
.

"Ada bom di dalam gedung apartemen itu."

So yang baru duduk di kursi kemudi spontan terkejut begitu benda dingin menyentuh lehernya. Dia melirik dari kaca spion tengah, menemukan seorang pemuda dengan rambut coklat dan mata abu-abu balas menatapnya dengan senyum lebar.

"Aristides?"

"Jaykho, Detektif." Jaykho tertawa, masih tidak melepaskan pistolnya dari leher detektif di depannya. "Aku serius, ada bom di dalam gedung itu."

So mengamati kedua mata abu-abu di pantulan kaca. "Kau memintaku percaya pada orang yang menodongkan pistol padaku?"

Tawa Jaykho menyembur keluar. "Ini untuk berjaga-jaga. Kau bisa kapan saja memanggil rekanmu dan menangkapku."

"Tetap saja, bagaimana aku bisa percaya pada kriminal yang gemar bersembunyi di balik topeng dan mencuri rahasia orang-orang?"

Jaykho mendengus, sudah tahu kalau So akan sulit dibuat percaya. "Aku kecewa jika ternyata kau tipe yang hanya percaya apa yang terlihat."

"Kalau kau mau membuatku percaya, buktikan sesuatu padaku." So memandang lurus ke depan, ke arah rekan sesama polisinya yang tengah keluar dari gedung apartemen dengan wajah kesal. "Kami datang ke sini untuk membuktikan keberadaan kalian. Ternyata, kalian memang ada di sini. Meski ternyata kami gagal menangkap kalian."

"Kau punya waktu tiga puluh menit." Jaykho melirik jam tangannya sekilas. Netra abu-abunya kembali bertemu pandang dengan iris detektif yang menatapnya dengan tajam. "Kau mau bukti? Telepon rekanmu dan tanyakan padanya dari mana asal orang yang mengirim pesan kalau kami ada di sini."

Tepat setelah itu, ponsel milik So bergetar di dalam saku jaket kulitnya.

"Kebetulan yang indah." Jaykho tersenyum cerah. "Kau tidak akan mengangkatnya, Detektif?"

So merogoh ponselnya dari dalam saku, menggeser ikon hijau untuk menerima panggilan. Dia berdeham sejenak. "Kau sudah menemukan alamat pengirimnya?"

Jawaban yang diterima So membuat kedua matanya melebar. Pria itu memutuskan panggilan, menatap refleksi wajah Jaykho yang tersenyum lebar. Seolah dia sudah tahu jawaban dari Detektif Byun sebelum anggota termuda di tim yang dipimpin So itu melaporkan hasil pelacakannya.

"Lucu, bukan?" Jaykho bertanya, masih betah memasang senyum lebar. "Pengirimnya ada di dalam kantor yang sama denganmu. Bisa tebak apa intinya? Musuhmu berada sangat dekat denganmu, Detektif."

So berusaha menjaga ketenangannya, meski berbagai spekulasi sudah melintas kacau di otaknya sejak tadi. "Kenapa aku harus mengabaikan kemungkinan kalau itu bisa saja direkayasa?"

Jaykho tidak bisa menahan tawanya. "Oh, kau cukup kritis. Aku suka itu. Tapi, Detektif, aku jamin berapa kali pun kau memeriksa dengan sistem apa pun, hasilnya akan tetap sama. Akui saja, kau sangat dekat dengan kami sekarang karena punya bantuan, bukan?"

"Itu kabar baik bagiku, bukan? Musuh dari musuhku adalah teman."

Jaykho mendecak prihatin, membuat kening So berkerut samar karena tingkah pemuda itu. "Bagaimana bisa kau memanggil 'teman' pada orang-orang yang meledakkan bom di mana-mana?"

"Kau mau bilang kalau mereka penyebab bom baru-baru ini? Bukan kalian atau kelompok sadis di China itu?"

"Untuk apa kami meledakkan bom dan sama sekali tidak melarikan diri? Kami tidak segila itu, Detektif."

"Kedengaran seperti pembelaan bagiku."

Jaykho mendengus samar. "Terserahlah. Kau punya dua puluh lima menit. Bawa tim penjinak bom ke sini dan segera evakuasi orang-orang. Itu jika kau tidak ingin orang-orang mati, sih."

"Bisa berikan bukti lain?"

"Kau tidak percayaan sekali, dasar!" Jaykho berseru sebal, mengangkat sebuah ponsel ke depan wajah So. "Lihat, ketikan yang sama, nomor pengirim yang sama, dan sudah jelas kalau dia adalah orang yang sama."

"Hm, aku baru tahu kalau kau suka warna merah muda."

Jaykho menarik kembali ponselnya, wajahnya sedikit memerah karena malu. "Ini bukan ponselku. Lagipula, apa yang salah dengan merah muda? Ini warna yang imut."

"Aku tidak bisa meletakkan 'imut' dan 'The Rascal' ke dalam satu kalimat."

Tawa Jaykho meledak. "Kau pandai membuat lelucon di samping wajahmu yang selalu kaku itu," katanya dengan nada geli. "Omong-omong, kau lama sekali. Tim penjinak bom sudah berada di jalan. Tugasmu dan rekan-rekanmu adalah mengevakuasi mereka. Ingat baik-baik. Lantai satu, tiga, lima, dan tujuh. Hitung kamar sebelah kiri sesuai jumlah lantai. Semoga beruntung dengan bomnya!"

So tidak menjawab, membiarkan Jaykho menjauhkan pistolnya dan memakai topi untuk menutupi wajahnya.

"Kau tahu siapa yang menjadi dalang sebenarnya dari semua ini?"

Tangan Jaykho yang hendak membuka pintu berhenti. "Jangan khawatir. Jika kami sudah mengetahuinya, aku akan memastikan kau mendapat semua informasi. Ah, aku punya satu bukti lagi."

So mengangkat satu alis, menatap Jaykho dengan wajah penasaran.

"Sebuah gedung di Seoul akan dibantai hari ini. Mungkin, besok kau akan mendapat panggilan dari NIS." Senyum miring Jaykho kembali timbul. "Sampai jumpa, Detektif."

So membuka pintu mobilnya saat bantingan pelan dari Jaykho terdengar. Pria itu keluar dari mobilnya dengan segera, menatap punggung Jaykho yang melangkah santai keluar dari parkiran apartemen. Bukannya mengejar Jaykho atau memberitahu keberadaannya pada rekan-rekannya yang lain, pria itu justru melangkah ke arah pintu masuk apartemen.

"Oh, Ketua." Yoon menyapanya saat So memasuki gedung apartemen. "Kami tetap tidak bisa menemukan mereka di manapun, mungkin itu hanya pesan iseng. Omong-omong, kenapa kau kembali? Apa ada yang salah?"

"Detektif Yoon, segera evakuasi semua orang dari gedung. Periksa lantai satu, tiga, lima, dan tujuh. Kamar nomor satu, tiga, lima, dan tujuh sebelah kiri dari lift. Kita punya waktu dua puluh satu menit. Penjinak bom sedang dalam perjalanan."

Detektif Yoon sempat bingung sesaat, tapi wajah serius So membuatnya sadar kalau pria itu tidak main-main. Wanita itu segera memberi perintah pada rekan-rekannya yang lain, bergerak cepat dengan waktu yang tersisa.

So menatap ke arah kerumunan orang di sekitar gedung. Kedatangan banyak polisi jelas telah menarik perhatian warga sekitar. Betapa keras pun dia mencari, So tetap tak bisa menemukan sosok pemuda berambut coklat yang tadi menodongnya dengan pistol.

So melangkah masuk ke dalam gedung, memutuskan menunggu bukti lainnya. Dia tetap tidak bisa mempercayai siapa pun begitu saja, terlebih dengan fakta kalau pengkhianat ada di dalam badan kepolisian itu sendiri.

***

Aduh, kangen banget sm rascal :(

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top