File 2
What’s left to find cause I need a little more
I need a little time, can we even up the score?
And some say that this can’t be real
And I’ve lost my power to feel tonight
We’re all just victims of a crime
When all is gone and can’t be regained
We can’t seem to shelter the pain inside
-A7X-
Region Five, Ancaisteal.
Status : Hunter.
"Chim, kau mendengar suara lain?" Seorang gadis cilik berambut merah bertanya pada bocah di sampingnya.
"Aku tidak yakin," balas anak laki-laki berambut hitam di sebelahnya. Joachim sibuk mengunyah rotinya. Keras, hambar, tidak enak. Namun, dia sangat lapar sekarang hingga bisa memakan batu. "Memang kau mendengar sesuatu, Rose?"
"Tidak terlalu jelas, tapi aku merasa mendengar sesuatu. Tidakkah hidung anjingmu itu mencium sesuatu?" Roseanne bertanya dengan nada ketus pada Joachim, kesal karena sedari tadi temannya itu hanya makan saja. "Kita mungkin bisa menemukan teman baru."
Joachim menelan rotinya susah payah, memegang tenggorokannya yang terasa kering dan perih. "Aku haus, Rose. Ketimbang mencari teman baru, aku lebih ingin mencari segelas air."
"Jika kita bisa menemukan teman baru, mungkin kita bisa mencari makanan dan minuman yang lebih banyak." Roseanne memulai usaha sugestinya, berbicara dengan nada penuh keyakinan. "Kau tahu, bekerjasama membuat kita lebih cepat keluar. Jika kita bisa keluar, kau juga bisa makan dan minum sepuasmu."
"Sepuasku?" Joachim menatap Roseanne dengan kerlipan berbinar yang polos.
Oh, betapa mudahnya membodohi seorang Joachim Creed.
"Sepuasmu, Chim." Roseanne mengangguk untuk lebih meyakinkan Joachim. "Kau bahkan bisa makan sebanyak gunung dan minum sebanyak air sungai."
Joachim percaya sepenuhnya pada Roseanne sekarang. Pemuda itu mengabaikan segala hal, menunjuk hidungnya dengan satu jari dan tersenyum bangga. "Percayakan pada indra penciumanku yang diberkati!"
Roseanne sebenarnya malu dengan kebodohan teman karibnya, tapi demi keselamatan dia rela berpura-pura semangat. "Ayo temukan teman baru!" katanya dengan nada ceria yang dibuat-buat.
Joachim mengangkat jempolnya seraya tersenyum sombong. Bocah itu mengusap hidungnya, mulai mengidentifikasi aroma apa pun yang ditangkap indra penciumannya yang peka. Roseanne mengikuti langkah kaki Joachim yang memimpin jalan. Gadis itu berkali-kali menoleh ke belakang, mengeryit begitu matanya mendapati sosok-sosok yang mengikuti mereka di belakang.
"Baunya bercampur." Joachim berhenti, mengusap hidungnya dan menoleh ke belakang. Menatap labirin kelam di balik punggung Roseanne.
"Kita diikuti, bukan?" Roseanne bertanya dengan nada cemas. "Entah kenapa aku tidak merasa begitu terancam."
"Baunya familiar," balas Joachim pelan.
"Tubuh pendek dan bungkuk, juga sekelebat rambut abu-abu."
"Baunya seperti cerobong asap dan makanan."
Roseanne mengernyit mendengar penuturan temannya. "Kau yakin itu bukan karena kau lapar?"
"Aku serius, Froska."
Roseanne menghembuskan nafas. "Oke, aku punya dua rencana sekarang. Satu, tetap di sini dan menghadapi siapa pun yang tengah menghampiri kita. Dua, lari dan kehilangan kesempatan untuk menambah teman baru tapi juga musuh. Pilihan kedua jelas lebih aman, kau setuju kan?"
Joachim nyengir lebar. "Tidak ada yang lebih berbahaya ketimbang bermain aman, bukan?"
Roseanne memutar bola mata, sadar temannya tidak bisa dihentikan. "Oh, baiklah. Silahkan datang pada kami, siapa pun di sana."
Keduanya menunggu di tempat mereka berhenti, sama-sama menatap lorong kelam yang mereka yakini tengah dilalui seseorang. Suara langkah kaki terdengar lembut, disusul kemunculan sosok pendek dan bungkuk yang berjalan tertatih ke arah mereka. Roseanne melebarkan mata begitu saja.
"Alissea!"
Joachim kebingungan saat teman karibnya tiba-tiba berlari ke arah lorong, menghampiri sosok asing yang tengah berjalan ke arah mereka. Joachim mau tak mau mengikuti, dadanya berdebar makin kencang seiring langkahnya yang mendekat. Baunya akrab, tapi Joachim tahu ada banyak kemungkinan.
Bagaimana jika yang ditemuinya adalah pemburu? Para pemanah? Penculik? Keara?
Semua asumsi Joachim patah begitu mengenali sosok yang kini ambruk dan terbelah dua. Bukan dalam artian mengerikan. Hanya saja sosok yang mereka kira hanya satu orang ternyata adalah seorang anak kecil yang menggendong gadis kurus di punggungnya. Joachim dan Roseanne mengenali keduanya cukup baik, itu Becky dan Alissea. Mereka berasal dari desa yang sama.
"Sialan, mereka tampaknya sangat kelelahan." Roseanne menghampiri gadis kurus yang tampak tak sadarkan diri, sementara Joachim memilih memeriksa Becky yang terengah-engah.
"Kita harus pergi," kata Becky dengan irama napas yang kacau. "Aku mendengar suara kalian samar-samar dan berdoa kalau aku tidak salah mengenali. Aku bersyukur karna ternyata naluriku masih membantu."
Joachim menepuk pelan pipi Becky. "Ya, bersyukurlah pada naluri binatangmu dan indra kami yang peka." Dia membantu Becky duduk, menyuruh bocah itu bernapas dengan baik.
"Sekarang bagaimana?" tanya Roseanne cemas. "Aku tak yakin kami bisa membopongmu dan Lissea. Kami tidak punya cukup tenaga buat itu."
Becky menunjukkan cengirannya. "Bukankah kalian sedang mencari orang lain?" tanyanya retoris.
"Aku tidak yakin." Joachim berujar pelan. "Ada satu aroma yang mengangguku. Baunya seperti tanaman yang ada di samping gerbang masuk."
"Mungkinkah anak yang lain?" tanya Becky penuh harap.
"Bisa jadi justru petugas lain, Beck." Roseanne menegur. "Kita harus tetap memperhitungkan segala kemungkinan, meski yang paling buruk sekali pun."
"Rose, aku sungguh tak bisa berfikir jernih sekarang." Joachim nyaris meninggikan suaranya. "Aku lelah, tak bisakah kita hanya mengabaikan semua rencana dan mengikuti insting kita?"
"Maksudmu insting binatangmu?" Roseanne bertanya sarkastis. "Bahkan binatang paham kapan harus melarikan diri jika merasakan kehadiran musuh yang sulit ditangani."
"Bukan," pungkas Becky. "Ini adalah insting seorang pemburu, aku yakin kau paham karena kau memilikinya."
Roseanne menatap mata abu-abu Becky, melihat kilatan yakin di sepasang netranya yang lebih berpijar ketimbang cahaya obor di dinding.
"Baik," katanya pada akhirnya. "Bersuaralah cukup keras agar mereka kemari."
"Aku rasa itu tidak perlu."
Ketiganya, minus Alissea yang masih tidak sadarkan diri, menatap tiga pendatang baru yang menghampiri mereka. Becky berseru heboh, kebiasannya berkeliaran dari satu rumah ke rumah lain membuatnya mengenali siapa yang datang.
"Aristides!"
Jaykho mendesah lega, bersyukur bahwa dia tidak salah sudah memutuskan mencari Becky dan yang lainnya. "Orleans, kau disini juga," katanya dengan nada terharu.
Becky melompat, memeluk Jaykho dengan erat. Daegan yang sedang dipapah sempat oleng sesaat, untung Gissele dengan sigap menangkapnya.
"Tolong berhati-hati, Daegan tidak bisa berjalan dengan baik," tegur Gissele.
Becky melepaskan pelukannya dari Jaykho yang sesak nafas, menatap Gissele dengan bingung. "Kau tampak familiar," katanya. "Apa kau jarang keluar dari rumah?"
Joachim mengangguk membenarkan. "Aku pernah melihatmu, tapi entah dimana." Dia mendekatkan wajahnya pada Gissele yang langsung memerah.
Roseanne mencebik, menarik sejumput rambut Joachim dari belakang. "Jangan membuatnya takut, Chim."
Gissele tersenyum, memaklumi kenapa anak-anak itu sangat penasaran padanya. "Namaku Gissele Aggie, dan ini Daegan Arrow. Keluarga kami bekerja pada istana, kami sering ikut dan jarang bergaul dengan penduduk desa lainnya."
"Serius?" tanya Becky dengan kedua mata melebar tak percaya. "Berarti, kau dibawa ke sini oleh keluargamu?"
Gissele mengangguk, "Aku dibawa oleh bibiku," katanya.
"Hebat. Dia bahkan membawa keponakannya sendiri ke dalam labirin terkutuk ini!" seru Roseanne dengan nada sinis. "Jangan khawatir, Gissele, aku akan memastikan bibimu menyesal atas perbuatannya."
Senyum tipis terbit dari bibirnya, Gissele menundukkan kepala. "Maaf," lirihnya, "bibiku pasti banyak membuat kalian kesulitan."
"Kalau begitu, keluargaku pasti bersalah juga," imbuh Daegan. Dia mengerti apa yang tengah dibicarakan meski kedua matanya diperban. "Apa kalian sudah menghadapi para pemanah dari keluarga Arrow?" tanyanya.
"Ya, mereka hebat sekali sehingga kami sangat kesulitan," kata Roseanne. Gadis itu menutup mulutnya dengan segera, meringis begitu sadar ketiga anak laki-laki lain kompak memelototinya. "Maaf," cicitnya.
Gissele menggeleng. "Tidak apa-apa, kalian boleh menyalahkan keluarga kami. Lagipula, mereka juga tega meninggalkanku dan Daegan seperti ini. Mereka pantas dikatai."
Yang lainnya tertawa.
Jaykho mengerutkan kening, menatap gadis lain yang duduk menyandar ke dinding dengan kedua mata terpejam. "Apa dia baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
"Oh, itu Alissea," jelas Becky. "Mungkin dia haus dan kelaparan, juga kelelahan. Kita harus segera mencari tempat berlindung."
"Ah, aku punya makanan dan sedikit air." Jaykho langsung mencari di tas selempangnya, tapi tangan Daegan menghentikan kegiatannya. "Kenapa?"
Daegan terengah, menahan sekujur tubuhnya yang merinding hebat. "Jangan sekarang, J," larangnya dengan nada gemetar. "Aku bisa merasakan kehadirannya."
Suara geraman rendah terdengar, kompak membuat Becky dan Gissele merinding hebat.
"Apa itu?" tanya Gissele.
Roseanne dan Jaykho menatap ke arah lorong yang sepi, dengan dada berdebar berusaha melihat apa pun dalam pencahayaan minim. Joachim berdiri di depan mereka semua, mencium bau busuk yang familiar dan membuat hidungnya perih.
"Dia datang," katanya.
Alissea mengernyit, berusaha membuka mata meski kelopak matanya terasa berat. Dia menyerah saat dirasa tenaganya tidak cukup untuk sekadar membuka mata. Gadis berambut abu-abu itu menggunakan sisa indranya yang masih berfungsi. Bibirnya yang pucat menggumamkan nada lirih.
"Keara...."
therascal
Seoul, South Korea.
Hari Kedua.
Jaykho terbangun dengan sensasi pening di kepalanya, diikuti rasa sakit yang menghantam pelipisnya. Pemuda tampan itu meringis, merasakan pipinya juga lebam karena efek ledakan tadi. Dia memejam, menahan sensasi obat bius yang membuatnya kembali ingin melayang.
Seorang perawat wanita melambai di depan matanya, menatap Jaykho dengan pandangan khawatir sambil bicara entah apa.
Jaykho mematung begitu saja, menatap ke sekeliling dengan tidak percaya. Dia bisa melihat bahwa dia berada di dalam ruangan khusus salah satu rumah sakit, entah di mana. Dia ingat kalau mereka mendengar bunyi berisik yang memekakkan, disusul hening yang mencekam. Kemudian, mereka mendengar suara hitung mundur yang familiar. Itu suara bom. Selanjutnya, Jaykho tidak ingat apa-apa selain fakta kalau mereka berusaha lari. Seharusnya Jaykho bersyukur dia bisa selamat, tapi pemuda itu dibuat kalut oleh hal lainnya.
Dia tidak bisa mendengar apa pun.
Tidak ada suara pemanas ruangan, tidak ada bunyi dari televisi yang menyala, tidak ada keributan khas rumah sakit yang biasa dia dengar ketika dirawat, bahkan suara perawat dengan wajah panik di depannya tidak terdengar.
Dia bisa melihat kalau perawat itu menekan tombol darurat, lalu pendengarannya kembali bersamaan dengan ditekannya tombol merah itu. Dia kemudian bisa mendengar semuanya lagi. Detik jam, suara pemanas ruangan, pertanyaan bertubi-tubi perawat di depannya, langkah kaki, ranjang yang di dorong, suara teriakan panik dan bunyi lift.
"Aku selamat," katanya lega. "Aku masih bisa mendengar, aku sehat, aku baik-baik saja."
"Tuan?"
Jaykho berkedip polos, menatap pada sekumpulan perawat dan seorang dokter paruh baya yang berdiri di depannya.
"Ini ... rumah sakit cabang milik Wendy?" tanyanya ragu-ragu.
"Benar, Tuan. Apa Tuan baik-baik saja? Kami akan melakukan pemeriksaan lanjut."
"Tidak perlu," tolak Jaykho dengan segera. "Katakan saja di mana teman-temanku yang lain."
"Mereka ada di ruangan sebelah." Dokter itu menjawab sopan. "Tapi Tuan, kami harus memastikan kalau kau baik-baik saja dan mengadakan pemeriksaan menyeluruh."
"Aku harus memastikan teman-temanku baik-baik saja." Jaykho turun dari ranjang, menolak bantuan dari beberapa perawat di dekatnya. "Setelah itu kau boleh mengadakan pemeriksaan apa pun pada tubuhku. CT Scan, X-ray, USG, atau apa pun. Yang jelas, aku ingin melihat keadaan teman-temanku sekarang. Jika mereka tidak diikat dengan rantai, rumah sakit ini akan sangat kacau dan aku punya banyak pekerjaan untuk membereskannya."
Para petugas medis yang mengelilinginya berkedip pelan, mencoba mencerna maksud pemuda itu baik-baik. Jaykho sudah keburu menghilang di balik pintu sebelum yang lain bisa memahami kalimat rap-nya.
"Dia tadi bicara apa?"
.
.
.
Jaykho menemukan teman-temannya berkumpul di ruangan Daegan. Pemuda itu tampak baik-baik saja meski tangan dan kepalanya diperban. Dia duduk di ranjang bersama Roseanne disampingnya, keduanya tampak sibuk memperhatikan laptop. Jaykho mengarahkan pandangannya ke penjuru ruangan, tidak menemukan salah satu rekannya.
"Di mana Gie?"
"Dia bicara pada Direktur." Roseanne menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Jaykho mengangguk paham, diam-diam bernapas lega karena teman-temannya tampak baik-baik saja. Mereka bahkan sudah punya tenaga untuk berdebat.
Becky merengek, menghentakkan kaki mirip anak kecil. Di depannya, Alissea harus menahan diri untuk tidak menghajar Becky karena sifat kekanakannya.
"Beck, kau tidak bisa berkeliaran sekarang." Alissea menghela napas lelah. "Jelas ada yang tengah mengincar kita sekarang dan kita berada dalam bahaya, oke?"
"Tapi, Joachim bahkan sudah punya janji kencan dengan lima perawat berbeda! Kenapa aku tidak boleh pergi ke luar? Ada rumor bahwa seorang artis terkenal dirawat disini!" Becky menyampaikan pembelaannya dengan wajah meyakinkan.
Alissea mendengus, menoleh ke arah Joachim yang tengah memakan apel. Pemuda itu tersedak melihat tatapan tajam Alissea.
"Apa?"
"Kau masih bisa kencan di saat seperti ini?"
Joachim tertawa canggung. "Aku tidak mungkin bisa melewatkan wanita cantik," katanya membela diri. Pemuda itu tersenyum jahil pada Alissea. "Atau kau cemburu karena aku akan pergi kencan dengan wanita lain?"
"Dalam mimpimu, Chim." Alissea mengalihkan pandangannya pada Becky, yang kini memasang tatapan memelas seperti anak anjing. Gadis tinggi itu menghela napas. "Baik, kau punya waktu sepuluh menit."
"Kita tidak punya waktu untuk itu." Gissele yang baru masuk langsung bersuara sebelum Becky sempat bersorak bahagia. Gadis itu menatap teman-temannya yang berkumpul di ruangan Daegan. "Kita tidak bisa pergi kencan atau mencari artis."
"Memangnya kenapa?" tanya Daegan.
Gissele tidak menjawab, justru mengarahkan telunjuknya pada televisi yang tersedia di dalam ruangan.
"The Rascal ada di pencarian nomor satu sekarang, dan itu bukan kabar baik karena mereka berhasil mengekspos wajah dan identitas kita."
.
.
.
Dunia media sosial Korea Selatan kacau. The Rascal mendominasi kolom pencarian saat ini, membuatnya kerap dibahas di mana-mana karena tuduhan keterlibatan mereka dalam insiden baru-baru ini. Yang lebih sensasional, sebuah video beredar luas di dunia maya. Pengirimnya mengklaim bahwa orang-orang di dalam video adalah wajah di balik topeng yang kerap digunakan The Rascal dalam setiap aksinya.
"Ketua," panggil Detektif Yoon. Teman masa kecil Ketua Tim Satu Kepolisian Cyber Korea Selatan itu menatap tubuh tinggi tegap Detektif So yang memandangi layar televisi di markas mereka. "Itu wajah The Rascal yang selama ini kita cari?" tanya wanita itu dengan nada tak percaya.
"Apa kau sudah memeriksa siapa pengirimnya?" So bertanya tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali dari wajah-wajah yang memenuhi layar kaca.
"Tidak bisa ditemukan," keluh Yoon. "Jika mereka bisa mengekspos Rascal, kurasa bukan hal yang sulit bagi mereka untuk menyembunyikan keberadaan."
So menatap pada wajah yang tertera di layar, tenggelam dalam netra kelabu yang sulit ditebak maknanya. Pria itu bersedekap, keningnya berkerut seperti yang biasa terjadi saat dia tengah berpikir keras.
"Anak kecil yang penasaran mencoba menjebak sekumpulan rubah." So berbalik, tersenyum pada rekan satu timmya yang keheranan. "Menurutmu, siapa yang akan menang?
.
.
.
Gissele membuka pintu atap, mendesah lega begitu menemukan Daegan tengah terlentang di atas lantai atap yang kotor. Gissele berjalan mendekat, berjongkok di samping temannya.
"Kita harus segera pergi," katanya. "Direktur memang mencoba menyembunyikan kita, tapi kita tak bisa lebih lama lagi di sini."
Daegan tidak menghiraukan, masih melamun menatap langit malam yang gelap. Tetes salju yang menyelimuti tubuhnya tidak dihiraukan.
"Dae, kau bisa mati kedinginan," tegur Gissele. Gadis itu melepaskan cepolan pada rambut pirangnya, menggerainya ke sekitar leher untuk menghangatkan diri. "Dengan kepekaan indra perabamu, kurasa tak baik bagimu berada di luar seperti ini."
"Aku merasakannya lagi," ujar Daegan
Gissele mengerutkan kening, menatap temannya yang kini memejamkan mata. "Merasakan apa?"
"Perasaan bersalah yang mencekik," sahut pemuda itu. Daegan duduk, membuka matanya dan menatap pada gedung-gedung tinggi dengan cahaya gemerlap di depan matanya. Salju yang memenuhi sweater-nya luruh. "Seperti saat di labirin waktu itu. Aku merasa bahwa aku adalah korban sekaligus pelaku."
Gissele mengigit bibir bawahnya. Dia mengerti, dia sangat mengerti. Gadis itu memilih duduk di samping temannya, ikut memandangi hal yang sama dengan Daegan.
"Kadangkala, aku berharap tidak terlahir sebagai Gissele Aggie," lirih gadis itu. "Aku tidak perlu terjebak dalam labirin itu, aku tidak perlu merasa bersalah karena keluargaku adalah otak di balik permainan terkutuk itu."
"Aku merasakan hal yang sama," sahut Daegan, tawa getirnya mengisi suara di antara mereka. "Tiap kali kita diserang dengan panah, aku membayangkan tengah menarik busur untuk membunuh teman-temanku sendiri."
Keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Udara dingin dan salju yang turun tidak membuat mereka pergi, masih betah berdiam diri di antara butiran salju.
"Apa kalian sedang menghukum diri sendiri?"
Keduanya menoleh, tidak terlalu kaget menemukan Jaykho sudah berdiri di belakang mereka dengan selimut hangat di tangannya. Pemuda itu tersenyum cerah seperti biasa.
"Masuklah, udara dingin di luar."
Daegan kembali membelakangi Jaykho, memandangi deretan gedung-gedung bertingkat di sekitar rumah sakit. "Banyak nyawa yang mati karena kita saat udara sedingin ini," lirihnya.
Senyum di wajah Jaykho lenyap, Gissele menundukkan kepalanya. Gadis itu benci suasana serius, benci terlalu emosional. Namun, dia tidak bisa menolak semua rasa sakit yang dirasakannya malam ini. Dia menatap Jaykho, membiarkan pemuda yang memiliki penglihatan tajam itu melihat genangan air matanya yang luruh.
"J, apa yang akan kita lakukan?"
.
.
.
"Apa yang akan kita lakukan?"
Becky terdiam tepat setelah Joachim mengutarakan pertanyaan itu padanya. Pemuda berambut abu-abu itu menatap teman-temannya yang memandangnya dengan wajah memelas.
"Jangan memasang wajah seperti itu," keluh Becky. "Aku sungguh tidak berbakat dengan keadaan seperti ini."
"Aku tahu kau marah," kata Roseanne. "Kita semua marah dan lelah. Siapa pun tidak suka harga dirinya diusik dan diinjak-injak. Seseorang baru saja melakukan itu pada kita."
"Mengekspos identitas kita ke dunia luas sama saja dengan melemparkan kotoran ke wajah kita, aku tidak akan memaafkan," imbuh Alissea. Gadis cantik itu mengibaskan rambut sebahunya dengan pelan. "Lihat saja, akan kubuat mereka menyesal sudah bemain-main dengan kita."
"Mereka harus membayar mahal." Roseanne mengepalkan tangannya, bicara dengan nada berapi-api. "Akan kulucuti mereka."
"Astaga!" seru Joachim heboh. "Kau mau memerkosa mereka?"
Roseanne menatap Joachim dengan pandangan tidak tertarik. "Joachim Creed, apa pekerjaan kita?"
"Pekerjaan The Rascal?" Joachim memiringkan kepala, sedetik kemudian, wajahnya berubah berseri-seri. "Bersenang-senang, bukan?" tanyanya dengan nada polos.
Roseanne meniup sejumput rambut merahnya yang jatuh di kening, menahan diri agar tidak mencakar teman bodohnya.
"Bukan itu, Chim," sahut Becky. Roseanne menoleh padanya dengan wajah penuh harap. "Pekerjaan kita adalah membuat orang-orang kesal. Benar kan?"
Roseanne kehilangan kesabarannya, berteriak frustasi.
"Itu sih pekerjaan kalian," gerutu Rose dengan wajah cemberut. "Terserahlah! Tidak ada gunanya juga aku menjelaskan pada orang-orang bodoh seperti kalian."
Alissea menertawai teman-temannya, selalu menghibur melihat mereka berdebat. Mereka semua kompak menoleh saat pintu terbuka, memunculkan tiga wajah lainnya.
"Pekerjaan kita adalah memburu rahasia, maksud Rose adalah kita akan melucuti semua rahasia mereka." Gissele menjelaskan sambil mengambil tempat duduk di dekat Alissea. "Lagipula, Rose, kenapa kau mau berdebat dengan mereka berdua? Tidak ada gunanya, kau tahu."
"Yah, kurasa aku sempat kehilangan kewarasanku untuk beberapa saat." Roseanne tersenyum tipis, melotot begitu melihat Joachim menirukan gaya bicaranya dengan berlebihan.
Becky terkejut saat Daegan tiba-tiba bersin di sampingnya. Pemuda pirang itu tersenyum dengan hidung memerah. Selimut coklat membungkus tubuhnya yang dilapisi sweater hangat.
"Kau flu?" tanya Becky.
Daegan menggangguk lemah, berjalan ke arah ranjangnya dengan lunglai. "Aku ingin istirahat, jangan berisik," katanya sebelum menarik selimut dan menenggelamkan dirinya dalam kehangatan. Tak lama kemudian, dengkuran halus terdengar.
Becky menggelengkan kepala dengan prihatin. "Aku kadang tidak mengerti isi pikirannya. Sudah jelas dia tengah sakit, kenapa berkeliaran? Dia benar-benar tidak bisa duduk tenang."
Yang lainnya menatap Becky dengan pandangan lelah, pemuda itu tidak sadar kalau dirinya lebih hobi berkeliaran ketimbang Daegan.
"Jadi, kau punya rencana, J?" tanya Alissea saat Jaykho duduk di sampingnya.
Jaykho mengernyit, heran kenapa teman-temannya memandanginya dengan wajah penuh harapan. "Kenapa bertanya padaku?"
"Aku malas mengakuinya, tapi kau yang paling waras di antara kami," jelas Roseanne.
Becky mengangguk membenarkan. "Ya, kami tidak punya otak. Kau punya, meski hanya seperempat sih."
"Kau tulus memujiku apa tidak?" tanya Jaykho dengan ketus.
"Kapan aku memujimu?" balas Becky dengan nada mengejek. "Memang punya otak adalah hal yang penting? Aku tidak punya otak dan aku tidak pernah sakit kepala memikirkan sesuatu. Hidupku lebih indah darimu."
Joachim mengangguk setuju. "Yang paling penting adalah insting. I-N-S-T-I-N-G," katanya dengan penekanan.
"Dan kemampuan alami untuk meloloskan diri," imbuh Gissele.
"Dan bakat untuk menipu," tambah Alissea.
"Dan kemewahan?"
Roseanne nyengir lebar saat kedua teman perempuannya menatapnya dengan wajah penuh hujatan
"Beck,"
"Yaaa?"
"Apa bakat untuk merayu termasuk dalam skill survive?"
Jaykho menjambak rambutnya, mengerang frustasi. "Aku ingin menyuntik mati teman-temanku," gumamnya entah pada siapa.
Suara keras dari televisi di dalam ruangan membuat mereka terkejut. Tidak hanya itu, layar televisi tiba-tiba menunjukkan deretan numerik yang acak dan terus berjalan. Lalu, sebuah tulisan muncul di layar.
Alarm bahaya tiba-tiba berbunyi di ruangan itu, membuat mereka semua kompak berpandangan. Itu peringatan yang diberikan direktur pada mereka. Roseanne dengan sigap meraih koper kecilnya, membuka kotak merah muda yang berisi laptop itu dan mengecek keadaan di luar. Gadis berambut merah itu memekik heboh.
"Gila!" katanya dengan nada riang. Roseanne menutup kopernya dan tersenyum lebar. "Banyak polisi di sini dan kita dikepung!"
Jaykho kebingungan saat teman-temannya yang lain tampak bersemangat. "Apa yang akan kalian lakukan? Seseorang baru saja mengirim tantangan dan kita dikepung!"
Becky menepuk pundak Jaykho, memasang wajah sok bijak yang membuat temannya makin kebingungan. "J, tahu apa yang dikatakan instingku saat ini?"
Jaykho menggeleng pelan.
"Melarikan diri, J. Kita harus melarikan diri sebelum tertangkap dan diinterogasi Detektif So," jelas Becky. Pemuda berambut abu-abu itu bergidik saat menyebut nama detektif yang kerap mengejar mereka. "Dia terlalu serius dan aku selalu gatal-gatal dengan suasana serius, menurutmu itu alergi?"
Jaykho menghembuskan napas panjang, menahan diri untuk tidak membenturkan kepalanya ke meja.
.
.
.
Gissele mengunyah permen karetnya dengan santai. Gadis yang kini memakai seragam petugas medis itu meletakkan tangannya di setir kemudi begitu seseorang membuka pintu kursi penumpang dan duduk di sampingnya.
"Sekarang kau bekerja sebagai dokter, Orleans?"
"Dan kau jadi supir ambulans, Aggie?"
Gissele tertawa, menyalakan mesin mobilnya. "Yang lain sudah masuk?"
Becky melirik dua orang pria berseragam sama dengan Gissele dan seorang dokter wanita yang mendorong ranjang berisi seorang pasien. Dia mengibaskan tangannya saat mendengar suara pintu ditutup.
"Jalan, Aggie."
Gissele mulai menjalankan kendaraan, melirik sekilas pada Detektif So yang baru saja memasuki rumah sakit. Dia menoleh pada rekannya yang duduk tenang di samping kursi kemudi.
"Kita harus menyalakan sirene, bukan?"
.
.
.
Roseanne membuka kain selimut yang membungkus tubuhnya, melepas rambut palsu berwarna hitam yang menyembunyikan rambut merahnya. Gadis itu duduk di ranjang, memandang ketus pada tiga temannya yang lain.
"Kenapa aku harus kebagian peran sebagai pasien, sih?" gerutunya.
Alissea yang sedang sibuk melepas wig coklat dan jas putihnya tertawa. "Tugasmu paling mudah, hanya diam seperti orang mati."
Joachim melepaskan topi yang menutupi rambutnya, di sebelahnya, Jaykho turut melakukan hal yang sama.
"Aku merasa kita sangat beruntung," kata Jaykho.
"Atau para polisi itu kurang tangkas," sahut Joachim, pemuda itu tertawa. "Siapa yang memberitahu mereka kalau kita berada di rumah sakit itu?"
Jaykho mengangkat bahu. "Mungkin orang yang sama dengan yang mengirimkan kita tantangan."
"Lupakan soal tantangan, aku merasa ada yang aneh." Alissea mengerutkan keningnya, gadis cantik itu tampak berfikir keras. "Rasanya ada yang hilang."
"Koleksi make up kebanggaanmu?" tebak Roseanne iseng.
Alissea menggeleng.
"Cemilan tengah malammu? Kita bisa beli lagi nanti," hibur Joachim.
Alissea mendengus. "Bukan itu, Chim," desisnya. "Aku hanya merasa ada yang ketinggalan selama kita melarikan diri tadi."
"Ah! Kau lupa minta nomor dokter ganteng yang jas-nya kau curi?"
"Aku bukan kau, Chim," geram Alissea. "Tak tahulah, aku malas berfikir."
"Oh my."
Ketiganya menoleh pada Jaykho, pemuda itu tampak frustasi dan menjambak surai coklatnya dengan gemas.
"Kenapa sih?" pekik Roseanne dengan kesal.
Jaykho mengangkat wajahnya, tersenyum canggung. "Kita lupa membangunkan Daegan."
Gissele menghentikan mobil mereka tiba-tiba, gadis itu menoleh pada Becky yang nyaris terbentur. Untung Becky tidak lupa memakai seatbelt.
"Aku tidak salah dengar kan, Beck?"
Becky mengangguk lemas. "Kita benar-benar meninggalkan orang malang itu di rumah sakit. Dia pasti sudah tertangkap sekarang."
.
.
.
Daegan mengernyit saat merasakan selimut yang membungkus tubuhnya ditarik keras, pemuda itu menggerutu sebal. Flu telah membuat kepekaan indranya menurun drastis, membuatnya tidak sadar kalau suara berisik teman-temannya telah hilang dan berganti.
"Daegan Arrow."
Daegan membuka mata, mengerjap pelan untuk memfokuskan penglihatannya. Kedua mata abu-abunya melebar maksimal begitu melihat moncong pistol di depan wajahnya. Tidak hanya satu, tapi sepuluh.
Pemuda itu nyengir lebar, menoleh pada Detektif So yang memandanginya dengan wajah serius. "Selamat malam, Detektif."
Detektif So tidak menjawab. Dia mengeluarkan ponselnya, mencocokkan wajah Daegan dengan foto yang tertera di layar ponselnya. Pria itu mengangguk, masih dengan wajah kakunya yang miskin ekspresi.
"Bawa dia."
Daegan menghela nafas, dalam hati merutuki teman-temannya yang melarikan diri tanpanya.
"HATSYI!"
"....."
"Maaf soal wajahmu, Detektif So."
.
.
.
Daegan bersiul, memandangi ruang interogasi tempatnya disekap dengan pandangan penasaran. Di balik cermin satu arah yang membatasi pandangan Daegan, Detektif So dan Detektif Yoon mengamati pemuda itu dengan heran. Pasalnya, dia tidak terlihat seperti kriminal kelas atas yang kerap disumpahi polisi-polisi Korea.
"Kau yakin dia The Rascal?" tanya Yoon dengan wajah tak percaya. Wanita cantik itu mengernyit begitu Daegan menempelkan telinganya ke cermin, lalu cekikikan sendiri. "Dia tidak terlihat seperti itu."
"Aku memang The Rascal, Nona Detektif!"
Kedua detektif muda itu terperangah, saling bertatapan satu sama lain dengan wajah tak percaya.
"Dia tidak mungkin dengar."
"Tapi dia menjawab pertanyaanku!"
So mengerutkan keningnya, menatap Daegan yang nyengir lebar di ruang interogasi. Netra abu-abu itu lurus memandangnya, seolah-olah dia tahu detektif itu ada di mana.
"Mari bicara dengannya sebelum yang lain datang." So berjalan masuk ke ruang interogasi, diikuti Yoon yang menyertai langkahnya seperti anak anjing.
Daegan menyambut keduanya dengan senyum lebar. Hidung dan pipinya yang memerah tidak membuat pemuda pirang itu kehilangan kemampuannya untuk membuat orang lain kesal. Dia tersenyum lebar dan mempersilahkan dua interogator-nya duduk.
"Buat dirimu nyaman, Tuan dan Nona."
So memilih mengabaikan tingkah aneh Daegan, duduk di kursi interogator dengan Yoon di sampingnya. Dia memandang Daegan, memerintahkannya duduk dengan pandangan mata. Daegan dengan ceria menurutinya, duduk di depan So dan membawa tangannya yang terborgol ke atas meja.
"Apa yang ingin kalian tanyakan padaku?" tanyanya dengan nada riang.
Cukup sudah, anak ini perlu dipukul agar sadar posisinya. Sebelum So sempat bertindak, Yoon sudah lebih dulu memukulkan map di tangannya pada kepala pirang Daegan. Pemuda itu meringis, tapi lekas tertawa begitu melihat wajah kesal Yoon.
"Noona," panggilnya dengan nada menggoda. "Apa kita berjodoh?"
Dua detektif di depannya mengerutkan kening, tidak mengerti arah pembicaraan tersangka mereka yang aneh. Daegan mengangkat tangannya yang dikekang borgol, menunjukkan gelang hitam yang mengisi lengan kirinya.
Yoon terperangah, melirik lengan kanannya yang dihiasi gelang serupa.
Daegan memiringkan kepala. "Prey," katanya.
So mengerutkan kening, dia tahu kalau Daegan tengah mengutarakan kata yang terukir di gelang Yoon. "Apa maksudmu dengan itu?"
Daegan mengangkat lengannya. "Hunters," katanya, lalu dia tertawa, entah apa yang lucu. "Kami adalah pemburu, dan kalian adalah mangsanya."
So bersedekap, tertawa remeh. "Ah, kulihat sekarang posisinya berbalik ya, Tuan Arrow."
Daegan mengibaskan tangannya. "Tidak usah terlalu formal, Detektif. Panggil aku Daegan saja."
"Aku tidak tertarik untuk akrab denganmu."
Daegan memajukan tubuhnya, menatap So dengan senyum lebar terpatri di wajah tampannya. "Aku tertarik untuk akrab dengan rekanmu."
So melirik rekan satu timnya. Yoon tampak gusar, meremas gelangnya di bawah meja. Entah apa yang terjadi, So tidak tahu. Yang jelas, pemuda bernama Daegan Arrow ini tidak boleh mengendalikan situasi.
"Hei, Nak, tanganmu diborgol sekarang. Jadi bersikap baiklah dan katakan padaku di mana teman-temanmu berada." So bicara dengan kalimat penuh intimidasi, yang justru disambut Daegan dengan tawa menyembur.
"Serius sekali," ejeknya sambil tertawa.
So menggebrak meja, dengan satu tarikan kuat mencengkram kerah baju Daegan dan memaksa pemuda itu menatap matanya yang menajam. "Aku tidak bertanya, Arrow. Aku memerintahkanmu. Katakan di mana teman-temanmu berada. Sekarang."
Daegan menjulurkan lidahnya, mengejek So dengan membuat wajah konyol. "Aku tidak tahu," katanya.
So menggeram, nyaris menghajar pemuda di depannya. Pria itu menghembuskan napas kasar, mendorong Daegan kembali duduk di kursinya.
"Apa kau tidak bisa serius?"
"Badanku gatal-gatal kalau kita bicara serius."
So memelototi pemuda di depannya, tak habis pikir kenapa dia selalu bisa menjawab pertanyaan So dengan jawaban konyol. Daegan balas membelalak pada detektif di depannya, tapi hanya bertahan lima detik karena pemuda itu bersin-bersin dengan heboh.
So mendengus, melemparkan sapu tangannya pada Daegan. Dia berdiri, katanya, "Kita bicara lagi nanti." So memberi tanda pada Yoon agar meninggalkan ruang interogasi. Rekannya itu menurut, masih tidak mengatakan apa pun.
"Detektif," panggil Daegan saat tangan So sudah berada pada gagang pintu. "Sayang sekali, ya?"
So menoleh, berhadapan dengan senyum miring Daegan yang tidak bisa dia terka maknanya.
"Aku ingin bicara lebih lama denganmu, tapi sayang sekali aku harus pergi."
So mengerutkan kening. Dia tidak sempat bertanya karena lampu ruangan di tempatnya tiba-tiba mati total. Keanehan itu disusul suara berisik dari arah Daegan berada dan pintu yang tiba-tiba terbuka dari luar, sukses menghantam wajah So dan membuatnya terjengkang. Dia bisa mendengar Yoon berteriak, mungkin rekannya itu juga terdorong.
Ketika lampu kembali menyala, ruang interogasi hanya diisi mereka berdua. So menatap pada borgol yang menghubungkan kakinya dan kaki Yoon, membuat keduanya terikat. So menghela napas, sadar kalau tersangkanya sudah melarikan diri dengan begitu lihai. So membuka tangan kirinya yang mengepal, melihat catatan kecil yang entah sejak kapan berada di sana.
Kami semua hanyalah korban. Jangan percaya siapa pun, Detektif.
Pandangan So berpindah pada rekan wanitanya yang masih berusaha melepaskan borgol di kaki mereka. Pria itu menoleh ke arah pintu yang terbuka, pikirannya dipenuhi banyak hal.
Jangan percaya siapa pun.
.
.
.
"Kau marah?"
Daegan mendengus, mengusap hidungnya yang berair dengan gusar. Dia tidak mengindahkan pertanyaan Alissea yang datang menjemputnya dengan mobil polisi. Jangan tanya dari mana gadis itu mendapatkannya, Daegan sama sekali tidak peduli.
"Kau tidak menjawabku, Arrow."
"Menurutmu?" tanya Daegan dengan ketus. "Aku tak percaya kalian tidak membangunkanku, bahkan membuatku harus berhadapan dengan Detektif So yang kaku itu. Kalian menganggapku teman atau tidak, sih?!"
Alissea memutar bola mata, membelokkan mobilnya ke parkiran apartemen yang sepi. "Melihat betapa dramatisnya kau, kurasa kau baik-baik saja."
"Aku tidak baik-baik saja." Daegan bersin dengan keras, mengusap hidungnya yang gatal. "Aku flu dan tidak punya waktu yang cukup untuk tidur. Ini bahkan nyaris tengah malam."
Alissea memarkirkan mobilnya dengan lihai, lalu menatap Daegan setelah mobilnya terparkir sempurna. "Kau benar. Kau harus minum obat dan tidur, kita punya hari yang besar besok."
Daegan mengerutkan kening, belum sempat mencerna maksud Alissea. Namun, gadis tinggi itu sudah membuka pintu mobil dan meninggalkan Daegan. Daegan menggerutu, tapi tetap mengikuti Alissea setelah memastikan tidak ada yang menyaksikan mereka. Alissea membawanya ke lantai tiga gedung apartemen, jangan tanya juga dari mana mereka punya tempat persembunyian, Richardo pasti turut serta dalam hal ini. Keduanya berdiri di depan pintu kamar. Alissea mengetuk tiga kali, lalu pintu dibuka, menampakkan wajah Joachim.
"Ah, kau selamat, Dae?"
Daegan mendengus, memutuskan masuk sambil menyenggol bahu Joachim. Pemuda itu hanya geleng-geleng kepala dengan tingkah kekanakan temannya, tahu kalau Daegan hanya berpura-pura merajuk. Dia menutup pintu saat Alissea sudah masuk.
Daegan menatap seisi ruangan dengan wajah tidak percaya. "Kalian habis merampok Hollywood atau apa?" tanyanya heran.
Jaykho yang sedang memeriksa kamera tertawa. "Kami merampok Meshach," jawabnya.
Daegan tidak merespons, sibuk mengagumi ruangan yang mirip lokasi syuting. Matanya berbinar seperti anak kucing yang tersesat di gudang ikan asin.
"Dae, kesini!" panggil Roseanne. Gadis itu tampak sibuk dengan beberapa gaun di tangannya. "Black or pink?" tanyanya sambil menyodorkan dua gaun.
Daegan mengerutkan kening. "Ada yang menawari kita iklan atau apa?" tanyanya bingung.
Roseanne tersenyum sombong. "Karena wajah kita sudah diekspos, ada baiknya kita muncul dengan wajah tanpa topeng dan menyapa penggemar setia kita. Kita juga harus membuat klarifikasi kalau insiden pengeboman itu bukan perbuatan kita."
"Klarifikasi apanya? Memang kita artis yang terkena skandal narkoba?" tanyanya polos.
Roseanne memutar bola mata. "Tidak usah memaksa otak kecilmu berfikir, nanti meledak. Cukup pilihkan aku baju," katanya dengan semangat.
Daegan mengusap dagunya, mengamati dua gaun di tangan Roseanne dengan wajah serius. "Kenapa tidak menggabungkan keduanya?"
"Blackpink?"
Daegan mengangguk.
Roseanne tampak kesal, tapi ekspresinya berubah dengan segera. "Ide bagus!" Lalu gadis itu pergi menghampiri Gissele, berdiskusi soal pakaian yang akan dikenakannya.
Pandangan Daegan kembali menjelajah ke sekeliling ruangan, berhenti pada Becky yang tampak sibuk dengan topi baseball menutupi helai abu-abunya. Pemuda itu menoleh saat Daegan menyentuh bahunya.
"Apa yang kalian rencanakan?"
"Daegan my brother!" Becky memeluk Daegan seolah mereka sudah lama tidak berjumpa. Dia menepuk-nepuk pundak Daegan, lalu memaksa Daegan agak menunduk dan berbisik seolah-olah pembicaraan mereka rahasia penting. "Kau tahu apa ciri khas kita, The Rascal?" tanyanya dengan alis naik turun.
Daegan mengerutkan kening, "Kita mengacau?" tebaknya asal.
Becky mengoyangkan jari telunjuknya. "Siaran langsung, Dae. L-I-V-E." Pemuda itu berbicara dengan nada bangga. "Kita akan menyiarkan pada dunia seberapa hebat The Rascal dan membuat bedebah berengsek yang menjebak ki—"
"Hatsyi!"
Becky memejamkan mata, mengusap wajahnya yang kotor karena ulah Daegan. Pemuda itu tampak menahan amarahnya sekarang.
Daegan tertawa canggung. "Maaf soal wajahmu, Becky."
***
Cie, kangen ga kangen ga?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top