8th Attack
And you're standing on the edge, face up 'cause you're a
Natural!
-Imagine Dragons-
Manhattan, New York City, U.S.A
Hari ketujuh.
Dermaga itu sepi, entah karena orang-orangnya sibuk di tempat lain atau trio maut Rebellion telah menghabisi mereka. Jesselyn sibuk mengunyah permen karet sambil mengamati pemandangan di sekitar dermaga. Gadis berambut merah itu tampak seperti turis yang salah kostum dengan jaket kulit merah dan celana pendek hitam yang membalut tubuh rampingnya. Padahal, sekarang musim dingin. Dia menengadah, mengamati puncak gedung yang tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Gedung itu tepat di pinggiran dermaga, digeser sedikit saja, mungkin sudah tenggelam di perairan. Saat melihat sesuatu terjun dari atap gedung, Jesselyn membentuk persegi panjang dengan kedua jari telunjuk dan jempolnya. Mengarahkannya ke objek yang tengah jatuh, kemudian ke arah perairan.
Keningnya berkerut, tak bisa menebak kemungkinan dimana temannya akan jatuh. Saat Jesselyn masih sibuk berfikir, teriakan Victor terdengar jelas. Berikutnya, pemuda itu tercebur ke dalam air dengan bunyi keras. Jesselyn mengamati dalam diam, balon permen karetnya meletus.
"Sebaiknya kau agak menjauh." Suara peringatan terdengar dari Kaizer, rekannya yang berada tak terlalu jauh dari tempatnya.
Ledakan besar terdengar dari gedung yang diamatinya tadi. Jesselyn agak menyingkir begitu dia sadar puing-puing bangunan bisa saja mengenainya. Gadis itu masih sibuk berlari sambil mengunyah permen karetnya saat menyadari beberapa orang berlarian sisi kiri dan kanannya.
Dia berhenti, meludahkan permen karetnya. Tenpatnya berpijak sekarang cukup jauh dari lokasi ledakan, tempat yang tepat untuk meladeni musuhnya.
Satu gedung tumbang, dan itu baru pembukaan.
Jesselyn melihat ke arah dermaga, tapi Victor belum muncul juga. Itu membuat Jesselyn agak khawatir, sejujurnya. Gadis berambut merah itu mendecak melihat musuhnya semakin dekat.
"Hei, Victor, jika kau bisa mendengarku, tolong segera naik ke permukaan dan membantu. Jangan lama-lama terjebak masa lalu."
.
.
.
Victor membiarkan tubuhnya terus tenggelam, seolah ada tangan-tangan tak kasat mata yang menariknya mendekat ke dasar. Air yang dingin membuat tubuhnya dipeluk sensasi beku. Dia memejamkan matanya, membiarkan pekat kegelapan mulai mengurung dirinya. Suara-suara yang dulu pernah di dengarnya terputar kembali seperti kaset rusak.
"Kau berlatih denganku disini
Jika kau kalah, kau akan jatuh dari tebing."
"Bagaimana jika kau atau aku mati disini?
"Semua orang akan mati pada waktunya, Victor."
"Hei, bukankah dia anak aneh itu?"
"Kudengar keluarganya baru ditangkap pasukan kerajaan. Sebaiknya kau agak bersimpati."
"Benarkah? Kasihan sekali dia."
"Dia sungguh aneh. Kadang-kadang sangat hiperaktif, tapi kadang dia diam saja dengan wajah datar."
"Aku dulu sering melihatnya berlatih di tebing bersama saudaranya, tapi sepertinya tidak lagi."
"Kudengar dia mendorong saudaranya dari tebing?"
"Itu tidak sengaja, lagipula ada serangan dari beberapa bandit saat itu."
"Kemarin dia bertarung denganku, aku rasa kemampuannya lumayan. Tapi entah kenapa dia begitu ragu-ragu."
"Kudengar gerakannya dulu tak tertebak, kenapa dia sekarang lemah begini?"
"Hei, bocah kecil. Apa kau akan membiarkan orang-orang terus membicarakanmu seperti itu?"
Rambut hitam sebahu, senyum ramah dari wanita cantik, bocah kecil yang ikut bersamanya, tepukan di rambut abu-abunya, dan mata merah yang lembut. Victor ingat momen pertamanya bertemu dengan Dagger bersaudara. Momen saat dia merasa bahwa keberadaannya kembali dihargai.
"Namaku Emily, maukah kau menjadi teman bagi adikku? Eloy bilang dia sangat kesepian saat aku pergi menyelesaikan tugas."
"Aku Eloy, apa kau tidak keberatan tinggal denganku?"
Victor ingat, saat itu dia mengangguk penuh semangat. Emily dan Eloy sampai menertawai tingkah pemuda itu.
Kemudian, benaknya memutar bayangan saat mereka baru sampai di China. Victor menghampiri Eloy yang sedang duduk sendirian di dekat jendela.
"Eloy, aku tahu menanyakan ini sekarang terdengar tidak tepat. Tapi, apakah Emily akan kembali?"
Untuk pertama kalinya, Victor melihat Eloy menangis bukan karena kesedihan orang lain, tapi karena kesedihannya sendiri. Victor dibuat terdiam oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hatinya terasa patah seketika.
"Dia berjanji padaku kalau dia akan kembali, tapi aku sangat takut. Aku takut dia gagal menepati janjinya. Aku takut dengan perasaanku sendiri, perasaan bahwa Emily memang melanggar janjinya."
Victor tidak tahu apa seseorang bisa menangis ketika dia tenggelam. Terlebih, dia jatuh dalam air yang dingin. Namun, matanya terasa hangat dan buram. Sejenak, dia ingin membiarkan dirinya tenggelam saja. Teman-temannya mungkin akan khawatir dan mencarinya.
Tunggu, teman-teman?
Victor membuka matanya. Dia terperangah begitu menyadari diantara air gelap dan puing-puing bangunan yang ikut tenggelam bersamanya, dia bisa melihat Emily tersenyum padanya seperti saat pertama kali mereka bertemu. Senyum itu terasa hangat.
"Bocah, kau bilang kau akan menjadi teman bagi adikku, jangan meninggalkannya."
Cincin platina di tangannya berpendar, seolah-olah menjadi satu-satunya pencahayaan di kegelapan yang sempat mengurungnya.
.
.
.
Jesselyn baru menyelesaikan separuh musuhnya saat melihat Victor sudah berdiri di dermaga. Pemuda itu tampak berantakan dengan baju yang basah dan rambut abu-abunya yang kelihatan layu. Begitu melihat Jesselyn, dia memamerkan cengiran kotaknya pada gadis itu.
Jesselyn terpana begitu saja, merasa tak percaya sekaligus bangga. Gadis berambut merah itu tertawa, senang karena Victor ternyata baik-baik saja.
Keduanya sama-sama menoleh begitu mendengar suara mobil dan teriakan ramai dari orang-orang yang berdatangan dari berbagai arah. Tampaknya, anggota organisasi SAU bukan hanya satu gedung. Malah, mungkin satu kota.
"Hei, Loy, aku dan Victor akan sangat sibuk disini. Bisa carikan aku pengganti untuk menyusup ke gedung data SAU?"
.
.
.
"Aku sudah masuk ke gedung data, apa aku perlu berhati-hati?" Yeressia berjalan masuk ke sebuah gedung sambil bicara melalui alat komunikasi di telinganya.
"Kau harus mengirim buktinya."
"As your wish, Brother."
Gadis itu mengelus kura-kura di tangannya, tersenyum saat melihat beberapa orang menghampirinya dengan tatapan tidak bersahabat. Dia sama sekali tidak kelihatan takut, meski pun di balik mantel merahnya hanya ada dua pedang pendek dan dua pistol berkapasitas delapan peluru. Dia tetap tenang meski tengah dikepung belasan orang, dan gadis itu hanya berdua dengan kura-kuranya yang jelas tidak akan membantu.
"Bonjour, ça va bien?"
Salam ala prancis-nya dibalas dengan belasan todongan pistol. Yeressia cemberut, tidak senang karena sopan santunnya tidak mendapat balasan senada.
"Kakek bilang padaku kita harus sopan ketika berkunjung kerumah orang lain." Senyum di wajahnya lenyap, berganti dengan ekspresi datar yang mengintimidasi. "Tapi kalian membunuh kakekku. Jadi, dia tidak bisa marah kalau aku bertindak kurang ajar pada kalian."
Satu tembakan dilepas, mengenai bahu Yeressia. Gadis itu hanya bergeming, sama sekali tidak menunjukkan reaksi seperti orang yang tertembak pada umumnya.
"Itu kasar."
Satu tembakan terdengar lagi, kali ini mengarah pada lutut Yeressia.
Yeressia memasukkan kura-kuranya ke dalam saku, lalu mengeluarkan dua pistol. Senyum di wajahnya mekar dengan bengis. Iris merahnya menggelap, menunjukkan reaksi kemarahannya yang sempurna.
"Gallen mendesain pakaian anti peluru ini khusus untuk kami, dan setiap senjata kami punya racun dari Wendy." Dia tertawa terbahak-bahak. Ketika tawanya berhenti, wajah bengisnya makin terlihat. "Kalian pikir kami datang ke kandang SAU tanpa persiapan?"
Berikutnya, enam belas tembakan terdengar, melumpuhkan enam belas agen SAU yang mengelilingi Yeressia. Gadis itu menjatuhkan agen yang tersisa dengan teknik bertarungnya yang brutal. Pertahanannya sulit ditembus karena emosinya seolah diatur naik-turun seperti roller coaster. Dia tertawa saat tangannya tengah mencekik seorang musuhnya yang meronta, dan tanpa dosa melemparnya menghantam dinding begitu keras. Gadis itu seolah tidak punya batas tenaga karena terus menerus bertarung dengan hiperaktif.
"Yere, cukup."
"Aku masih mau bermain." Yeressia menginjak dada salah satu musuhnya, tersenyum lebar pada seorang musuhnya lagi yang mengamati gadis itu dengan tatapan penuh teror. Pria itu terduduk di lantai, tangannya menodongkan pistol ke arah Yeressia dengan gemetar. "Ada unicorn manis yang ketakutan disini, dan dia kelihatan sangat indah."
"Kau tidak boleh menyimpang dari rencana, Yeressia Lim."
Yeressia mendengus, sadar dia tidak bisa membantah kalau Eloy mulai memanggilnya dengan nama lengkap seperti itu. Ekspresinya kembali berubah ceria saat menatap pria yang masih menatapnya dengan tatapan ketakutan. Gadis itu mendekat dengan langkah tenang, berjongkok untuk menyamai tinggi musuhnya.
"Kau tampan." Yeressia membelai pipi musuhnya dengan pelan, membuat pria berambut coklat madu di depannya gemetar. Gadis itu tertawa manis, lalu mengeluarkan kura-kuranya. "Saat aku sudah kembali ke sini, kura-kura ini harus berwarna ungu, mengerti?"
Dia tersenyum lebar hingga kedua matanya menutup. "Kalau kau tidak melaksanakannya, aku akan pastikan kau kesakitan seperti teman-temanmu."
Pria yang diancam menatap sekelilingnya dengan gerakan patah-patah. Menyadari rekan satu organisasinya tengah sekarat, bahkan ada beberapa yang kejang-kejang. Dia lalu menatap gadis berambut pendek di depannya, yang masih tersenyum lebar seolah mau merobek pipinya.
"Kau mengerti?"
"A-aku mengerti, Ma'am," balasnya takut-takut, menerima kura-kura pemberian Yeressia dengan hati-hati seolah tengah memegang barang pecah belah.
Yeressia berdiri, menepuk puncak kepala pria di depannya dengan tenang.
"Sampai jumpa lagi, ya?"
Pria itu mengangguk cepat. Yeressia tersenyum, lalu mulai berjalan memasuki lift dengan senandung pelan.
Lift berhenti di lantai delapan. Begitu pintu terbuka, Yeressia langsung berlari keluar dengan semangat. Gadis itu menghajar siapa pun yang dilihatnya, melumpuhkan siapa pun yang berada di dekatnya. Begitu orang-orang di dalam ruangan sudah habis, dia berjalan mendekati sebuah komputer.
"Aku agak buruk dengan teknologi." Gadis itu melepaskan kalung yang dipakainya, sebuah benda mirip flashdisk menjadi liontin dari kalung itu. Dia menghubungkannya dengan komputer di depannya.
"Seperti kata Rascal, itu akan mengambil semua datanya secara otomatis."
"Ini menyenangkan." Yeressia menatap layar komputer di depannya dengan kerlipan berbinar.
Aktivitas Yeressia terganggu dengan bunyi langkah kaki. Gadis itu mendecak, lalu membalikkan badan. Memandang tak minat saat melihat beberapa orang sudah mengepungnya. Namun, apa yang selanjutnya terjadi membuat wajah gadis itu membatu.
Diam-diam dia meneguk ludah, semua orang disana membawa pistol. Mungkin Glock, Whalter PPK, atau Baretta. Entahlah, dia tak peduli apa saja yang mereka bawa. Ketika gadis itu kembali berbalik pada komputer, dia dapat menyadari lima titik laser telah mengunci pergerakannya. Di dahi, di antara kedua matanya, di tangan kanan dan kiri, lalu yang terakhir di jantungnya. Pandangannya tertuju pada gedung tinggi di kejauhan. Beberapa sniper mungkin bersembunyi di sana dan siap menembaknya kapan saja.
"Loy? Sepertinya aku terjebak."
"Ekspresi wajah, Yere. Kendalikan raut wajahmu."
Yeressia menarik senyum gemetar, menatap getir pada layar komputer yang masih melakukan pengiriman data. Dia menghela napas, mencoba mengendalikan wajahnya.
"Apa kau sudah berada di batasmu?"
Mendengar Eloy bertanya seperti itu, yang gadis itu inginkan hanyalah menangis dan mengadu pada Eloy. Seperti dulu ketika usianya baru enam tahun dan dia tersiksa dengan latihan berat sementara gadis mungil itu baru kehilangan keluarganya. Eloy memang memeluknya, berkata kalau semuanya akan baik-baik saja karena Yeressia adalah gadis yang kuat. Itu hanya sebentar, karena yang terjadi selanjutnya adalah Eloy justru memberinya latihan yang lebih keras.
Tidak, dia tidak diajarkan untuk membatasi dirinya, tapi mendobrak batasan itu.
Tidak apa-apa, mari percaya pada pakaian pelindung buatan Gallen, batin Yeressia.
"Yere, aku minta maaf." Suara Eloy terdengar sangat menyesal, Yeressia tahu itu pertanda buruk. "Tapi aku harus pergi, dan kau harus melindungi komputernya sementara kita mengirim semua data itu."
Yeressia menarik napas panjang, "Baiklah," katanya pelan. Dia mengigit bibirnya, memejamkan mata untuk menenangkan diri.
"Sudah akan menyerah, little psycho?"
Ah, itu julukan orang-orang SAU untuknya?
Yeressia membuka mata dan berbalik. Netra merahnya menyorot datar pada orang-orang yang mengepungnya dengan senyum puas.
"Menyerahlah, Nak. Ini sudah mencapai batasanmu.
"Apa batasan ada untuk membuat kita berhenti?"
Pertanyaan Yeressia membuat orang-orang di dalam ruangan membeku. Gadis berambut pirang pendek itu mengulas senyum culas di bibirnya.
"Batasan ada untuk dilanggar, dan kami adalah pemberontak."
Tatapan yakinnya membuat orang-orang yang mengepungnya merasa ragu. Mereka sadar, meski kelihatan sangat tak teratur dan hanya tahu caranya beradu tinju, Rebellion adalah kelompok yang penuh persiapan. Mereka tidak hanya banyak omong, tapi juga mempunyai amunisi kuat di balik semua tindakan mereka. Karena itu, Yeressia pasti mempunyai senjata rahasia jika dia begitu yakin.
"Nona Cantik, saudaramu mengirimku untuk membantu."
PARK!
Mata Yeressia membulat karena senang. Gadis itu merasa kepercayaan dirinya melonjak drastis. Sekarang, dia punya alasan untuk yakin bahwa dia akan menang.
"Kutebak kau senang mendengarku. Aku akan mengurus sniper sialan itu. Kau cukup lakukan yang seperti biasa, oke?"
"Setelah semua ini selesai, ingatkan aku untuk mengajakmu kencan, Tampan." Yeressia berbisik pelan, menatap senang orang-orang di depannya.
"Ah, saudara-saudaramu akan membunuhku jika mereka tahu."
Yeressia tidak menjawab, hanya tersenyum lebar membuat orang-orang yang melihatnya merinding. Dia mengeluarkan dua pedang pendek dari masing-masing lengan mantelnya. Iris merahnya menggelap penuh semangat.
"Wanna see how this little psycho acts?"
.
.
.
Yeressia bersiul di dalam lift yang akan membawanya turun. Gadis itu agak terkejut karena begitu pintu lift terbuka, dia langsung disambut dengan pemandangan seorang pria yang berlari tergesa-gesa kearahnya.
Yeressia baru mengenali pria itu begitu melihat kura-kura biru yang dibawanya. Dia mengernyit, menatap aneh pada kura-kura kecil yang kini sudah ditangannya.
"Blue? But, i ask for purple."
"Pardon, Ma'am. Tidak bisa menemukan warna ungu." Pria itu menjawab dengan gemetar.
Yeressia menatap pria berambut coklat madu di depannya. Kelihatan berantakan dengan napas terengah-engah dan wajah penuh kecemasan. Gadis itu mengulas senyum tipis, beruntung kalau moodnya cukup bagus saat ini.
"Oke, tidak masalah. Aku bisa mencampurnya dengan darah agar menjadi ungu nanti." Dia berjinjit karena ingin menepuk kepala pria di depannya. Pria itu langsung paham dan sedikit menekuk kakinya, membiarkan Yeressia menepuk kepalanya dengan pelan. "Kerjamu bagus, segera bersembunyi, ya? Jangan sampai bertemu dengan Kaizer atau Jack, apalagi Eloy. Mereka tidak sebaik hati diriku."
Pria itu hanya mengangguk mendengar ucapan Yeressia, tidak berani membalas dengan perkataan apa pun. Yeressia sendiri sudah berjalan menjauh. Di dekat pintu masuk, gadis cantik itu menoleh.
"Omong-omong, gedung ini akan meledak. Cepat lari, ya?" Dia mengedipkan matanya dengan genit, lalu melanjutkan perjalannya sambil bersiul pelan.
Yeressia baru beberapa langkah keluar dari gedung ketika dia dihampiri oleh sepuluh orang. Ada lima wanita dan lima pria. Semuanya sangat familiar di mata Yeressia.
Gadis itu merasa seluruh adrenalin dalam tubuhnya mendesak keluar. Dia menjilat bibir atasnya, menatap penuh minat pada lawan barunya yang sudah sangat dia kenali.
"Sepertinya, aku akan lumpuh dua bulan setelah bertarung dengan kalian. Atau mungkin mati?"
Yeressia bisa melihat beragam respons yang diberikan lawannya. Ada yang hanya mengangkat alis, tersenyum miring, menatap datar, menguap bosan, atau bahkan mengernyit heran. Kesamaan mereka hanya satu, mereka sama-sama yakin kalau mereka bisa mengalahkan Yeressia begitu mudah.
Itu penghinaan bagi Yeressia Lim.
Lebih buruk daripada terjebak dalam satu ruangan dengan orang-orang bersenjata dan sniper yang siap membunuhnya dari segala arah.
Yeressia meletakkan kura-kuranya di tanah yang bersalju, lalu mencepol rambut pirang sebahunya ke atas. Gadis cantik itu mengulas senyum lebar di bibir merah cabainya, mata merahnya menjadi makin pekat.
"Aku hanya perlu mengulur waktu," katanya dengan berani. "Karena itu, aku akan melakukan semuanya. Apa pun yang diperlukan untuk bertahan."
.
.
.
Park hanya butuh tepat lima peluru untuk menumbangkan lima sniper yang bersembunyi di atap gedung. Tembakan pertama jelas membuat mereka panik, dan Park langsung memberi empat tembakan lain untuk menumbangkan sisa lawannya. Begitu merasa Yeressia sudah aman dari sniper, dia langsung membereskan senapannya.
Jika Song adalah interogator handal sekaligus petarung jarak dekat terbaik di NIS, posisi sniper nomor satu adalah milik Park. Kemampuannya menembak dari jarak jauh secara akurat tidak perlu diragukan lagi.
"Hei, aku tak tahu ini asli atau tidak. Tapi coba lihat."
Park menoleh pada Song yang sudah mengacungkan ponselnya. Pria tampan itu merasa jantungnya berdebar begitu melihat nama-nama yang tertera di sana.
"Siapa yang mengirim data itu padamu?"
"Tidak tahu, katanya Rascal." Song menjawab tanpa melepaskan pandangan matanya dari Park. "Gedung yang dimasuki Yeressia adalah gedung data, bukan gedung utama. Gadis itu langsung mengirimnya ke teman hacker mereka dan juga organisasi si Pucat itu. Setelah semua ini selesai, data ini akan dipublikasikan."
"Di sana ada nama pimpinan NIS."
"Ya, dan ada namamu juga."
Song memang tidak suka basa-basi, tapi Park tidak menyangka dia bisa sefrontal ini. Pria itu membalas tatapan tajam Song dengan pandangan ragu, menimang-nimang apakah dia harus jujur pada sahabatnya itu.
"Jika kau berbohong, aku sendiri yang akan mematahkan lehermu, Park."
Park tertawa, kembali pada pribadinya yang menyebalkan seperti biasa. "Aku kelihatannya harus jujur, ya?"
Song tidak menjawabnya, hanya semakin mendekat langkah demi langkah.
Park sadar kalau rekannya itu tengah membuat gerakan intimidasi. Lagipula, refleks Song sangat cepat. Bisa jadi dia sudah menodongkan pistol padanya sebelum Park sempat bergerak.
"Chill, Dude." Park berusaha tetap terlihat santai. "Aku tidak akan membunuhmu atau apa. Aku bisa menje—"
Park belum sempat melanjutkan ucapannya Song tiba-tiba tumbang di depannya.
"—laskan."
Park melirik pada jarum bius di belakang leher Song, lalu menatap beberapa anggota SAU yang menghampirinya. Kerlingan jenaka yang biasa menghiasi matanya berganti dengan tatapan dingin.
"Bukankah aku bersedia membantu dengan syarat kalian tidak akan melukai temanku?"
"Kau sepertinya menghabiskan cukup lama waktu bersama Rebellion, huh?" Wanita yang berdiri paling depan bicara sinis. "Jangan lupa, kami tak peduli hatimu ada di mana, tapi, ragamu milik SAU."
Park menipiskan bibir, memasang wajah mengejek meski dia sangat ingin mengumpat. "Waktu yang cukup lama itu membuatku sadar kalau Rebellion bukan kelompok sembarangan."
Wanita di depannya tertawa. "Park, jangan membuatku tertawa. Sekuat apa pun anak-anak itu, mereka akan tetap mati jika peluru menembus jantung mereka. Dan dua bocah yang tersisa di Korea itu tidak akan bisa mengalahkan Yakuza dan Triad."
"Kenapa kau sangat yakin, Charlotte?" Park membalas dengan berani. "Apa Yakuza dan Triad benar-benar tunduk di bawah kaki SAU? Kau pikir organisasi penuh harga diri seperti keduanya bersedia menjadi budak dari SAU?
"Kau—"
"Nona, kau seharusnya mengenali musuhmu dengan lebih baik." Park berjalan ke arah Song, melingkarkan tangan Song di pundaknya dan berdiri. "Kami sampai di Manhattan kemarin, tapi kenapa kau tidak bertanya kenapa kami justru baru muncul sekarang?"
Charlotte diam saja, menunggu Park melanjutkan ucapannya. Park hanya bungkam, sibuk menyeret temannya yang tak sadarkan diri. Kebungkaman Park membuat berbagai spekulasi mau tidak mau berkeliaran di otak wanita itu. Dia berusaha menepis perasaan kalau ucapan Park itu bisa jadi benar.
Apa yang terlewatkan? Bukankah biasanya SAU mengurus semuanya dengan baik?
"Park."
Panggilan dari Charlotte membuat Park berbalik. Dia terperangah begitu melihat Charlotte sudah memegang ponselnya.
"Terima kasih untuk peringatannya." Wanita itu tersenyum, membuat Park menggigit bibir menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi cemas. "Kau benar, seharusnya kita tidak meremehkan Rebellion. Bantuan akan segera datang, tunggulah."
Meski dia merasa ingin memaki sekarang juga, Park tetap menampilkan emosi datar di depan lawan bicaranya.
"Hati-hati, Rebellion seharusnya punya bala bantuan juga."
.
.
.
Eloy berdiri di depan pintu restoran, terdiam dengan belati di tangan. Dia mendengarkan setiap percakapan Park dan Charlotte dengan baik. Bicara soal pengkhianatan Park, Eloy tidak terkejut lagi. Dia sudah tahu, dan Park sendiri sudah mengaku padanya.
.
"Kau membiarkanku mendengar semua rencana kalian, lalu sekarang mengajakku bicara begini karena curiga?" Park tertawa sinis begitu dia dan Eloy hanya tinggal berdua di dalam mobil. "Aku tidak tahu jika kau sebodoh ini."
Eloy tidak menjawab hinaan Park, hanya menampilkan wajah datar tanpa emosi. Ketukan di jendela membuat keduanya teralihkan. Eloy langsung membuka pintu, membiarkan seorang pemuda masuk ke dalam mobil.
Park terperangah, tak menyangka jika dia akan bertemu dengan sosok yang selama ini dirumorkan seperti hantu.
"Senang bertemu denganmu juga, Park."
"Gallen, jangan membuatnya takut." Eloy menyela sebelum Argento sempat bicara lebih jauh pada Park. Pemuda itu berdecih dan melepaskan tudung hoodienya, membiarkan rambut pirangnya terlihat jelas. "Ada beberapa memar, kau kelihatan sangat kacau, Bung."
Argento tertawa, dia menggulung lengan hoodienya hingga ke siku, memperlihatkan beberapa bekas luka tembakan dan sayatan di tangannya.
"Kami beruntung karena Wendy juga mempelajari pisau bedah dan bukan hanya racun," katanya. Lalu, pemuda pirang itu kembali menutupi lukanya. Dia menoleh pada Park yang masih terperangah. "Kau separuh NIS dan seperempat SAU, bukan?"
"A-aku—"
"Tidak usah dijelaskan. Aku paham situasimu. Karena itu, aku memberimu kesempatan untuk bergabung." Argento menatap Park lekat-lekat. Bola mata hitam pekatnya sangat menenggelamkan, membuat Park terpaku memandangnya. Argento seolah menusukknya dengan tatapan netra kelamnya yang misterius.
"Kau ingin menebus dosamu, bukan? Kami akan memberikan kesempatan." Argento tersenyum miring. "Dan aku yakin kau akan menggunakan kesempatan ini dengan baik."
Park mengulum bibir bawahnya, menatap Argento dan Eloy bergantian. "Aku bisa berkhianat kapan saja. Kenapa percaya padaku?"
Argento tertawa sinis. "Tidak apa-apa," katanya santai. "Selain keempat temanku yang lain dan keluarga bangsawan kami, aku hanya akan setia dan percaya sepenuhnya pada Rebellion, Rascal, dan Eric. Aku sama sekali tidak akan kaget jika kau atau bedebah lainnya berkhianat."
Park mengulas senyum tipis. "Menurutmu, Song akan tetap percaya padaku?"
"Kau bilang kau tidak akan mengkhianati temanmu." Eloy menyela, membuat Park terdiam dengan ucapannya. "Jika hubungan kalian sedalam itu, seharusnya dia juga tetap percaya padamu."
Apa yang dikatakan Park selanjutnya membuat Eloy terkesiap.
"Rebellion juga akan percaya padaku, bukan?"
.
Eloy tersenyum mengingat percakapan di mobil. Pemuda itu berjalan santai menuju gedung terdekat. Dia akan menyelesaikan bagiannya sambil menunggu yang lainnya datang. Dia hanya perlu mempertahankan semuanya sampai mereka datang. Jika perhitungan Gallen benar, maka seharusnya rencana ini berhasil. Itu juga jika Park tidak menambah masalah baru bagi mereka.
Belati di tangannya dilempar, telak mengenai seorang musuh yang baru hendak mendekat.
Hm, kami percaya padamu.
.
.
.
Jack mengusap ujung bibirnya dengan punggung tangan, berdecak malas begitu menemukan darah menghiasi punggung tangannya yang dilapisi sarung tangan hitam. Dia menatap pada lima orang pria kekar yang mengelilinginya. Jack menghembuskan napas, asap putih keluar dari mulutnya karena suhu udara yang beku.
"Yang mana diantara kalian yang sudah melukai wajahku?"
Tidak ada jawaban, hanya tatapan penuh waspada yang Jack terima dari lawan bicaranya. Pemuda berambut coklat itu tertawa, lalu mengibaskan tangannya dengan pongah.
"Pergilah, aku sedang tidak minat."
Sebuah pukulan mampir di punggungnya. Jack mengumpat, berbalik dengan marah. Netra merahnya menggelap tajam pada sosok pelaku yang memegang besi panjang.
"Jika kau SAU, seharusnya kau paham untuk tidak memancing amarahku sembarangan."
Belum sempat Jack membuat serangan, salah seorang lawannya sudah mengunci lehernya dari belakang. Pemuda itu tentu berontak, berusaha melepaskan lawannya sekuat tenaga. Napasnya terasa sesak karena kuncian lawannya sangat kuat, tapi Jack tidak mau menyerah. Dia berusaha merogoh pisau kecil yang terselip di pinggang. Saat sudah berhasil, dengan sekuat tenaga Jack menusukkannya pada bagian tubuh lawannya yang bisa dijangkau.
Kuncian di lehernya melonggar, lawannya langsung mengerang kesakitan akibat tusukan Jack yang ternyata mengenai perut sebelah kanannya. Jack segera melepaskan diri. Dia langsung disambut dengan hantaman besi dari arah samping kirinya. Jika saja tangannya tidak cepat membentengi dirinya, sudah dipastikan lehernya bakal lebam selama beberapa hari.
Jack mencengkram besi di tangannya erat-erat. Lawannya terperangah, secara tak sadar melepaskan besi panjang yang menjadi senjatanya begitu menyadari cengkraman Jack membuat besinya bengkok. Jack langsung memberikan tinjuan mautnya pada lawannya yang masih syok.
Seolah tak memberi kesempatan istirahat. Tiga lawannya yang tersisa menyerang Jack dengan tiba-tiba dan menguncinya ke tanah. Salah seorang lawannya memegangi kakinya, sementara yang satu lagi menahan kedua tangannya.
Satu lawannya yang bebas tersenyum bengis, menginjak dada Jack dengan keras sehingga pemuda itu berteriak kencang.
Jack mengerang, merasakan dadanya nyeri luar biasa karena injakan lawannya yang tidak bisa dibilang lemah. Ketiga lawannya merasa puas melihat Jack yang kelihatan tidak berdaya. Mereka melepaskan Jack, membiarkan pemuda itu tetap terkapar di tanah.
Jack tertawa terbahak-bahak, bahunya sampai berguncang karena begitu keras tertawa. Dia tidak peduli meski ujung bibirnya yang luka robek dan mengalirkan darah karena tawanya yang lebar. Sikapnya yang tiba-tiba berubah membuat ketiga lawannya bingung.
Pemuda itu berhenti tertawa, kali ini membiarkan salju yang turun membasahi lukanya. Dia memejamkan mata, menikmati perih saat tetesan salju yang dingin mengenai lukanya yang masih baru. Cengkraman pada tubuhnya melonggar karena pemuda itu tak lagi kelihatan seperti masih ingin bertarung.
"Bulan Desember ... apa kalian tidak ingin merayakan natal dengan orang-orang yang kalian cintai?"
Pertanyaannya yang tiba-tiba membuat tiga lawannya terperangah.
"Apa yang ingin kau katakan?"
Jack membuka mata dan tertawa. "Aku hanya bertanya," katanya santai. "Aku tidak tahu apa alasan kalian bergabung dengan SAU." Dia duduk sebentar, lalu berdiri dengan santai. "Tapi, apakah ini jalan yang kalian pilih dengan sepenuh hati?"
"Hati kami tidak penting." Lawannya yang tadi menginjak Jack menjawab dengan cepat. "Yang jelas raga kami milik SAU."
Jack tersenyum miring. "Itu semacam semboyan?" tanyanya iseng. Pemuda itu membuka jaketnya memamerkan pakaian pelindung yang membalut tubuh tegapnya. Udara dingin sama sekali tidak mengusiknya.
Wajah ketiga lawannya berubah masam, sadar kalau Jack telah menipu mereka.
"Jangan terlalu sedih, injakanmu sebenarnya tidak main-main."
Jack hanya tertawa begitu ketiga lawannya membalas dengan kebungkaman. Pemuda yang biasa tenang dalam bertarung itu kini kelihatan sinting dan terlalu banyak bicara.
"Aku paham, kalian pasti bingung dengan sikapku." Jack memandang sekitarnya dengan tatapan senang. "Lihat, aku sudah menumbangkan puluhan musuh dan bukan hal yang aneh jika kepalaku sedikit terbentur."
Seorang lawannya melayangkan tinjuan, tapi Jack dengan sigap menangkap pergelangan tangannya dan membanting pria itu ke tanah. Dua lawannya yang tersisa mengitarinya, memasang kuda-kuda bertarung dan wajah waspada.
Jack berdecih, malas membuang-buang waktu. Dia membiarkan seorang lawannya meninju rahang kirinya, lalu saat lawannya lengah, Jack kembali melakukan gerakan membanting. Lawannya tinggal satu orang dan Jack ingat kalau orang itulah yang tadi menginjaknya.
"Kenapa kalian menyerang dengan membabi buta? Padahal kalian sadar kalau kalian tidak cukup untuk menumbangkan organisasi SAU."
Pertanyaan lawannya membuat Jack menyeringai sinis. "I have been fighting since i was a child, tidak peduli apakah kekuatanku setara atau tidak. Lagipula, selalu menarik bisa melawan musuh yang lebih kuat."
Pria yang menjadi lawannya menyeringai. "Aku merasa terhormat bisa melawan seseorang sepertimu," katanya jujur. "Maaf sekali, Tuan Kasen, aku tidak bisa melawanmu sendirian."
Jack melirik orang-orang yang mulai berdatangan ke arah mereka dari dua sisi. Pemuda bermata merah itu tertawa senang, tidak menunjukkan ekspresi cemas manakala dia sadar kalau tengah dikepung dan bisa mati kapan saja.
"Terima kasih," kata Jack pada pria di depannya. "Aku selalu senang bisa punya arena khusus untuk melampiaskan amarah."
Jack berbalik, menatap orang-orang yang baru datang sebagai musuhnya. Ini jelas tidak seimbang. Dia luka parah, agak sinting dan hanya sendirian. Musuhnya kebanyakan masih sehat, (mungkin) waras, dan tentu saja sangat banyak. Jack sadar, dia bisa mati di pertarungan ini. Terlebih, tampaknya musuhnya kali ini bukan sekedar pria kekar atau agen yang handal dengan senjata.
Dia benar-benar mendapatkan para petarung sebagai lawannya.
Namun, apakah Jack akan mundur karena peluang menangnya sangat tipis?
Sorry to say, Jack Kasen tidak akan membiarkan orang-orang yang mengusik keluarganya bernafas dengan tenang.
"Kalian harus tahu satu hal," kata Jack dengan lantang. Jarum suntik di sakunya telah keluar. "Jika kalian mengusik apa yang kami jaga, aku akan menjelma menjadi karma yang paling nyata."
Iris merahnya menggelap. Kali ini merah yang begitu pekat, membuat lawannya terkesiap dalam keterkejutan yang mencekik.
***
Gatau ya, ngetik adegan berantem anak2 Rebels selalu membuat jantungku berdebar-debar. Apakah ini yg dinamakan cinta?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top