3rd Attack
I'm gonna make my move
I'm gonna make it soon
And I'll do it cause it's what I want to fuckin' do
-NEFFEX-
Hari Ketiga.
Seoul, South Korea.
"Kau tidak ikut latihan, Dagger?" Master Rei yang memakai kimono polos berwarna putih bertanya pada Eloy yang duduk bersila di teras kayu mansionnya. Eloy tersentak, berniat bangun tapi gerakan tangan Master Rei menghentikannya. Sebagai gantinya, pria paruh baya yang masih bugar itu duduk bersila di samping Eloy, mengamati teman-temannya yang sedang berlatih bersama cucunya dan beberapa orang pengawal.
Eloy berusaha nyaman dengan posisinya meski aura dominasi Master Rei terlalu kuat untuk ditolak. Jelas, pria ini sudah menghadapi berbagai macam rintangan dalam hidupnya untuk bisa mencapai posisi puncak dalam organisasi gangster ternama yang dikenal dunia sebagai Yakuza.
"Aku sedang tidak minat." Eloy menjawab pertanyaan Master Rei yang baru beberapa waktu lalu terlontar dari mulutnya.
Master Rei masih bertahan dengan posisinya, pria tua itu memejamkan mata dan tak bergerak satu senti pun. Tingkahnya mengingatkan Eloy akan Sang Raja Hutan, tenang, buas, mematikan. Eloy tak bicara apa pun saat Master Rei hanya diam, ia membiarkan sunyi menjadi suasana antara dirinya dan Master yang sangat diseganinya itu.
"Kau ingat bagaimana aku menemukan kalian?" tanya Master Rei dengan suara dingin dan datar.
Eloy mengangguk. "Tentu," katanya.
.
.
.
Saat itu, Eloy, Jack dan Tan baru saja pulang dari pasar untuk menjemput pesanan daging. Tan terus menggerutu di sepanjang jalan, mengatakan dia tidak akan pergi jika bukan Kakek Wang yang menyuruh dan tugas-tugas ke pasar itu lebih cocok untuk Jesselyn dan Jocasta. Eloy sih tidak masalah, sedari dulu sering kebagian tugas membeli bahan makanan jika Emily sibuk. Jack juga senang-senang saja dibawa ke pasar, baginya sudah seperti tamasya.
Mulanya, semuanya baik-baik saja sampai ketiganya melewati gang kecil yang saat itu sedang sepi. Suara ribut terdengar dari salah satu rumah, karena penasaran, ketiganya kompak mengintip lewat celah pagar kayu tinggi yang terbuka. Ada beberapa orang berpakaian hitam, salah seorang diantaranya babak belur, duduk berlutut dengan pakaian robek di punggung di depan seorang pria yang memegang pedang berlumuran darah. Eloy terkesiap, menutup mulut Jack dan Tan yang akan berteriak. Ketiganya bahkan tidak sanggup melangkah pergi, hanya diam di tempat mereka dengan kaki gemetar.
"Oyabun, tolong bunuh aku." Pria yang berlutut di tanah memohon pada sosok di depannya, yang memegang pedang berlumuran darah. Wajah pria itu babak belur dan ada luka sabetan besar di punggungnya yang bertato, namun ia masih sanggup memohon pada orang di depannya.
"Aku ingin tahu kenapa kau membunuh temanmu, dia tidak bersalah, tidak berurusan dengan kita. Dia bersih, tidak ada catatan kriminal, dia bahkan tidak tahu kau itu anggota Yakuza." Pria yang dipanggil Oyabun membersihkan darah di pedangnya dengan ujung jasnya yang mahal.
"Oyabun, aku mabuk. Aku mabuk dan dia mengatakan sesuatu yang membuatku tersinggung, lalu aku membunuhnya. Aku tidak sadar."
"Kalau begitu, itu di luar urusan Yakuza. Kami tidak akan melindungimu, pergi menyerahkan diri dan bayar dosa-dosamu."
"Rei, dia punya seorang istri dan putri yang masih kecil. Tolong bunuh saja aku."
Rei menoleh, lalu mengangguk. Ia mengangkat pedangnya, menatap bawahannya yang kini menunduk, siap menerima hukumannya. Sebuah belati melesat dan mengenai tangan Rei, tangannya terluka sementara pedangnya jatuh ke tanah bersama belati yang melukainya.
Eloy berdiri di depan pagar, masih menenteng plastik berisi daging pesanan Kakek Wang. Jack berdiri di sampingnya, memegang ujung baju Eloy sementara Tan bersembunyi di belakang Jack dan gemetaran.
Anak buah Rei sudah bersiap menyerang balik, tetapi Rei mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti. Pria itu berjalan ke arah Eloy, berjongkok di depannya dan mengangkat dagu bocah itu, membiarkan darah di tangannya mengotori wajah Eloy. Eloy menguatkan dirinya, meski ia bisa merasakan tarikan Jack pada bajunya semakin menguat dan gumaman Tan yang ketakutan terdengar jelas. Bocah itu mengangkat dagu, balas menantang pria di depannya. Eloy mungkin sudah lama tidak bertarung, akhir-akhir ini tidak ada tugas, tapi ia yakin kekuatannya dan Jack cukup untuk melarikan diri dari sini.
Di luar dugaan, Rei malah tersenyum pada Eloy.
"Dari mana kau belajar melempar belati seperti itu?"
.
.
.
"Aku terlalu naif saat itu," Eloy terkekeh, mengingat betapa ceroboh dirinya saat itu. "Setelah itu, aku baru tahu Yakuza memiliki kode etik, kalian tidak akan membunuh orang-orang yang tidak berhubungan dengan kalian, bukan?"
"Seharusnya begitu. Namun ada banyak alasan yang membuat seseorang berani melanggar aturan, saat itulah aku harus turun tangan. Kami harus tetap berada di jalan yang ditentukan turun-temurun." Master Rei kali ini membuka matanya, menampakkan sepasang kelereng hitam berkilat yang terasah tajam. "Sedih rasanya harus melenyapkan bagian dari keluargaku sendiri."
Eloy tertegun mendengar nada sendu dari Master Rei. "Ikatan persaudaraan Yakuza, sangat kuat," lirihnya. "Master bahkan datang ke pemakaman Kakek, padahal kami bukan siapa-siapa di Yakuza."
Sudut bibir Master Rei terangkat sedikit mendengar kalimat yang diutarakan Eloy. "Untuk mencapai posisiku sekarang, aku memutuskan banyak ikatan. Kalian mati-matian menjaga ikatan. Karena itu, aku datang bukan sebagai Oyabun. Tapi sebagai seorang teman, yang diam-diam belajar tentang arti persaudaraan dari kalian."
Eloy menunduk, diam-diam tersenyum. "Menurutmu, kami akan tetap bertahan seperti ini?" gumamnya.
"Itu kembali pada kalian, anak muda." Suara berat Master Rei terasa menegur Eloy. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan menatap teman-temannya yang sibuk berlatih tanding sambil tertawa.
"Kami akan bertahan bersama, selamanya."
Master Rei menyesap teh hangat yang disajikan pelayannya. "Kuharap aku punya usia yang cukup lama untuk menyaksikannya."
Eloy menatap Master Rei dengan senyuman paling mantap yang ia punya.
"Kau sudah menyaksikannya sekarang."
.
.
.
"Dengar," Victor menatap barisan pria-pria di depannya dengan pandangan tajam, kedua tangannya disilangkan di belakang dan berjalan mondar-mandir. "Aku ingin kalian berjanji padaku untuk tidak membunuh siapa pun, oke?"
"Apa yang Aniki perintahkan adalah tugas kami, Oyabun memerintahkan kami untuk membantu Aniki." Pria yang berdiri paling dekat dengan Victor menjawab.
Victor mengibaskan tangannya. "Jangan panggil aku seperti itu, aku lebih muda dari kalian dan bukan siapa-siapa dalam Yakuza." Pemuda bersurai abu-abu itu tersenyum tipis. "Aku hanya minta bantuan untuk menjaga gedung sementara kami melakukan aksi balas dendam."
"Aniki, beberapa anggota kami terbunuh karena peristiwa ledakan. Pelakunya melarikan diri ke Korea." Pria di depan Victor menjelaskan. "Kami akan melakukan ini demi darah saudara kami."
Victor tertegun sesaat, lalu mengangguk paham. "Ya terserahlah," katanya mengalah. "Tapi karena kalian bersama kami, jangan bunuh siapa pun. Orang-orang itu akan meledakkan kami jika kita melakukan pembunuhan massal di bawah nama Rebellion disini." Pemuda berjaket merah itu memelototi pria-pria berpakaian ninja di depannya.
"Baik, Aniki."
Victor menunjuk kedua matanya dengan jari tengah dan jari telunjuk, lalu mengarahkan kedua jarinya ke arah orang-orang di depannya. "Aku mengawasi kalian semua, ingat itu."
.
.
.
"Aneki, apa baik-baik saja membiarkan Aneki menyelesaikan satu lantai ini sendiri?" Wanita yang dari tadi berjalan bersama Yeressia bertanya begitu keduanya menaiki tangga darurat. Yeressia menoleh kebelakang dan tersenyum mendapati sorot mata khawatir dari wanita yang menemaninya.
"Apa Master Rei sangat khawatir pada kami?"
Wanita yang menutupi seluruh wajahnya kecuali bagian mata itu menunduk, mengamati kakinya yang menapaki anak tangga. "Oyabun mengatakan kalian sudah seperti keluarga, keluarga Oyabun adalah tanggung jawab kami." Wanita itu tersentak saat tangan Yeressia mendarat di pundaknya, gadis berambut pirang pendek itu ternyata menghentikan langkahnya. Jarak mereka hanya terpisah satu anak tangga.
"Kami memang habis berduka, tapi bukan berarti kami melupakan caranya bertarung."
Wanita itu buru-buru menyangkal. "Saya tidak bermaksud meremehkan Aneki. Aneki dan yang lainnya sudah berlatih jauh lebih lama dan lebih keras dari saya," katanya cepat, lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya. Agak sesak karena mulutnya tertutup masker khas ninja. "Saya hanya takut Aneki kelepasan di dalam sana, Aneki tidak suka membunuh. Biarkan saya yang mengotori tangan saya untuk tugas ini."
Karena Yeressia yang sedang marah berarti mahakarya sadis lainnya.
Yeressia terkekeh, melepaskan tangannya dari pundak wanita itu. "Aku sebenarnya juga mencemaskan hal yang demikian, tapi setelah bicara denganmu, aku rasa aku bisa mengendalikan diri."
"Aneki...."
"Ini hanya gertakan, mari buat mereka sakit jantung." Yeressia tersenyum, gadis itu mengenakan topeng putih yang sedari tadi dipegangnya dan kembali menapaki anak tangga.
.
.
.
"Omong-omong, CCTV-nya tidak mati?" Aceruz menerima tongkat bisbol yang diberikan Jocasta padanya. Pemuda berambut merah itu berhenti di depan pintu dan mengenakan topengnya.
Jocasta yang kali ini menguncir tinggi rambut tersenyum. "Ini pertunjukkan, biarkan mereka menyaksikan kita." Gadis itu turut mengenakan topengnya, lalu melakukan tos dengan Aceruz. "Jangan lupa sopan santun." Gadis itu berlari ke arah lorong, diikuti beberapa wanita yang memakai pakaian ninja hitam-hitam dan rambut dikuncir tinggi.
Aceruz mengamati kepergian mereka dan tertawa. "Ini akan sangat menyenangkan." Ia bergumam dan menendang pintu di depannya. Orang-orang yang sedang rapat di dalam ruangan langsung terkejut dan spontan merogoh senjata di laci atau saku mereka. Aceruz bersiul saat semua orang menodongkan pistol padanya. "Maaf, aku lupa mengetuk pintu."
Pemuda jangkung itu menoleh ke belakang, barisan pria dengan seragam ninja hitam-hitam memasuki ruangan dengan bunyi peluru berdesing. Pekerja di dalam ruangan yang sebelumnya memegang senjata masing-masing menjatuhkan senjata mereka karena tertembak di bagian tangan atau terjatuh karena kaki mereka ditembak.
Aceruz yang menyaksikannya memekik heboh. "Keren! Bullets Ninja memang tidak mengecewakan!" Pemuda jangkung itu melompat menaiki meja rapat. "Teman-teman, bawa mereka semua dan amankan bukti," katanya memberi perintah. Ia lalu melompat ke arah kursi paling ujung dan mendudukinya, menaikkan kedua kaki ke atas meja dan memain-mainkan pemukul bisbol di tangannya.
Orang-orang berseragam ninja yang datang bersama Aceruz mulai sibuk dengan tugas mereka, membekuk karyawan perusahaan mengamankan berkas-berkas dan komputer di dalam ruangan, juga senjata yang ternyata banyak tersembunyi di laci meja dan lemari-lemari. Aceruz memutar-mutar kursinya dengan bosan sambil menunggu anak buah Master Rei selesai dengan tugas mereka.
Suara berisik dari arah pintu mencuri perhatian, Aceruz mengamati pria-pria bertubuh kekar yang masuk ke dalam ruangan. Berdiri berjejer dengan sikap menantang dan kuda-kuda bertarung. Aceruz mengangkat sebelah tangannya, menghentikan teman-temannya yang ingin menembak.
"Jangan curang, mereka tak membawa pistol."
"Aniki—"
"Ck, kalian meragukanku?!"
"Aniki tidak boleh membunuh mereka disini."
Aceruz mendengus, "Siapa yang mau membunuh mereka?" Pemuda itu bangkit dari kursinya dan berjalan di atas meja rapat. Sampai di tengah-tengah meja, pemuda itu berhenti. Ia memegang tongkat bisbol dibelakang leher dengan gaya preman tukang pukul. "Kalian mundur, biar aku yang mengatasi orang-orang ini."
Pria-pria berpakaian ninja saling pandang, namun akhirnya sepakat untuk menuruti keinginan Aceruz. Mereka merapat ke dinding dengan sandera masing-masing sementara pria-pria bertubuh kekar yang mulanya berdiri di depan pintu berjalan mendekat ke arah Aceruz.
"Tidak bisakah kalian memberi kami privasi?"
Pria-pria berpakaian ninja berpandangan, lalu keluar dari ruangan, membawa para pekerja dan bukti yang telah mereka kumpulkan. Aceruz menunjuk ke depan dengan tongkat bisbolnya saat pintu telah ditutup. "Bisa kita mulai?" tanyanya ramah.
Lawannya mengeluarkan pistol dan menodongkannya ke arah Aceruz. Pemuda jangkung itu langsung mendengus keras.
"Kalian curang!"
Aceruz bersalto ke belakang saat musuhnya mulai menembak, bersembunyi di balik meja rapat dan mengumpat keras. Tanpa pikir panjang, sedikit mengangkat meja berbentuk oval tersebut dan melemparkannya ke depan. Beberapa musuhnya tertimpa meja dan yang lainnya terpaksa mundur. Aceruz memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang, kakinya bergerak lincah dan bergerak seirama dengan tangannya yang mengayunkan tongkat bisbol.
"Kalian menginjak-injak harga diri petarung dengan kecurangan kalian!" Aceruz memaki, mengayunkan tongkat bisbolnya pada perut lawannya yang langsung memuntahkan darah. Pemuda itu tak mengambil jeda berhenti, langsung melayangkan tinjuan kuat pada wajah lawannya yang baru mendekat. Bunyi desing peluru masih terdengar, tapi Aceruz tetap bertarung meski beberapa peluru sempat menyerempet tubuhnya. Gerakannya sangat cepat dan terlatih. "Aku bahkan meminta ninja-ninja berpistol itu keluar karena kukira kalian tidak menggunakan senjata!"
Aceruz mencengkram moncong pistol didepannya, menarik paksa senjata itu lepas dari tangan pemiliknya sebelum sempat menembak dan menghantam rahang lawannya. Ia menunduk saat kedua lawannya yang berada di kiri dan kanan hendak melayangkan tinjuan, lalu menarik kaki kedua musuhnya hingga jatuh berdebam. Satu tembakan mengenai kakinya saat pemuda itu baru berdiri, Aceruz memutar bola mata dan berbalik, melemparkan tongkat bisbolnya ke arah si penembak. Aceruz terlonjak mundur ke belakang saat sadar siapa yang menembaknya.
"Aku tidak tahu kalau dia sangat cantik!"
.
.
.
Jack dan Kaizer menaiki anak tangga dengan cepat, keduanya langsung berdiri merapat ke dinding begitu mencapai anak tangga terakhir. Jack memberi kode pada Kaizer, menunjuk lorong sebelah kanan. Kaizer mengangguk paham. Lalu keduanya melangkah cepat, Jack menuju lorong sebelah kiri sementara Kaizer menuju arah sebaliknya.
Kaizer langsung mencekik leher pria yang berjaga di mulut lorong dan melemparkannya ke dinding. Temannya yang terkejut langsung diberi hadiah berupa sikutan tajam pada rusuknya. Dua orang penjaga mendekat, Kaizer menendang salah satunya dan menarik tangan seorangnya lagi, lalu membantingnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi keras. Pemuda itu mengambil senjata yang tercecer di lantai dan memberikan tembakan pada lima penjaga lain yang baru datang. Kelimanya oleng karena tembakan di lengan, kaki atau bahu. Kaizer berderap maju dan memukul titik vital lawannya hingga pingsan. Pemuda dengan surai pirang itu membuang senjatanya ke lantai dan merapikan kerah jaket kulit merahnya.
"Lorong sudah bersih."
.
.
.
Jack menoleh kebelakang, mendapati tubuh-tubuh penjaga bergelimpangan dalam keadaan tidak bisa bergerak. Pemuda itu terkekeh sinis dan kembali menatap ke depan. Tangannya memegang gagang pintu, Jack menghela napas sebelum membuka pintu dengan satu gerakan keras. Orang-orang di dalam ruangan menatapnya, bingung melihat pria bertopeng dengan jaket merah menyala di depan mereka.
Jack melambaikan tangan. "Aku akan sangat mengganggu." Pemuda itu menarik gagang pintu hingga pintunya terlepas dan melemparkannya ke arah orang-orang yang sedang berkerumun di dekat meja. Mengabaikan jeritan para pekerja di dalam sana, Jack melangkah cepat ke arah seorang pria yang berdiri paling depan dan mencengkram kerah kemejanya. "Aku atau kau yang akan membuat orang-orang di dalam ruangan ini diam?"
"Bedebah."
Jack mendengus saat topengnya diludahi. "Inilah kenapa aku benci beramah-tamah." Jack melemparkan pria itu ke arah dinding, membiarkannya menjerit kesakitan saat punggungnya membentur dinding dengan keras. Jack menatap para pekerja lain yang memandangnya dengan ngeri. "Aku akan membuatnya efektif dan efisien, sesuai dengan semangat kerja kalian."
Pemuda itu meregangkan otot leher dan tangannya, dengan santai melakukan pemanasan sementara orang-orang di dalam ruangan buru-buru mencari senjata untuk melawannya. Jack tersenyum, meski tidak kelihatan karena memakai topeng.
"Mati kalian."
.
.
.
Katana dengan ujung persegi itu menggores dinding, Jocasta bersiul saat ia berjalan dengan katananya di sepanjang lorong. Tubuh-tubuh penuh luka sayatan berserakan dibelakangnya sementara gadis itu tetap melenggang santai.
"Dari info yang kudengar, kau jarang bertarung dengan katana terbuka."
Jocasta menatap beberapa wanita yang menghalangi jalannya. Satu, tiga, enam. Enam orang wanita berdiri di depannya dengan pakaian hitam-hitam yang terbilang ketat. Rambut mereka sama, coklat panjang dan dikepang satu ke belakang dengan kepangan rendah. Jocasta mengalihkan pandangan dari mereka, dengan santai mengambil sapu tangan di saku dan membersihkan noda darah pada katananya.
"Jangan mengabaikan kami, jalang."
Jocasta berhenti mengelap senjatanya, mengangkat wajah bertopengnya dan menatap keenam wanita di depannya. Gadis itu membuang sapu tangannya yang ternoda darah ke sembarang arah, mengacungkan katananya. "Apa kau tidak bisa menunggu?"
Keenam wanita di depannya membalas dengan memasang kuda-kuda siap bertarung. Jocasta memusatkan perhatian sepenuhnya pada musuhnya. Tangan kanannya memegang katana sementara tangan satu lagi memegang selubung katananya. Lawannya mundur satu langkah begitu Jocasta membuat gerakan, namun ternyata gadis itu hanya memasukkan katananya ke dalam sarung.
"Bukannya kalian ingin melihatku bertarung dengan katana tertutup?"
Serangan dari musuhnya menjadi jawaban atas pertanyaan retorik Jocasta. Gadis itu mengelak ke samping saat musuhnya memberikan tendangan, lalu menarik kaki lawannya dengan tangannya yang bebas dari katana. Tarikan Jocasta sangat keras dan tiba-tiba hingga wanita itu kehilangan keseimbangan seketika, terduduk di lantai dan memegangi kakinya yang terasa patah. Di saat yang bersamaan, seorang musuhnya yang lain hendak menyerang titik buta di belakang leher Jocasta, tapi gadis itu menyadarinya dan menghunuskan katananya ke belakang. Tepat mengenai perut lawannya yang langsung dibuat mundur.
Jocasta memukul leher lawannya yang baru mendekat dengan katana, tanpa mengalihkan perhatian dari wanita yang masih memegangi perutnya dengan wajah syok. Jocasta tertawa. "Kau beruntung katanaku tidak terbuka."
Tiga wanita lain meneguk ludah.
.
.
.
Jesselyn membuka pintu dan memasuki ruangan dengan langkah tergesa. Membuat orang-orang yang sedang sibuk bekerja menjerit kaget dengan kehadiran gadis bertopeng yang menenteng sebuah senapan besar. Jesselyn menatap orang-orang di dalam ruangan yang kontan menjauhinya, dengan panik bergerak mundur merapat ke dinding. Jesselyn mengokang senapannya.
"Halo semuanya! Maaf menganggu pekerjaan kalian. Bagaimana jika kita saling memahami?" katanya memberi penawaran. "Kalian menyingkir dan biarkan aku mengumpulkan semua bukti ini. Lalu aku akan membiarkan kalian semua baik-baik saja tanpa luka. Win-win solution! Bukannya itu baik untuk kita semua?" Gadis itu tersenyum dibalik topengnya.
"Kau tidak akan melakukannya!" Jesselyn menoleh pada seorang pria yang memegang rakitan bom di tangannya. "Aku akan meledakkan kita semua jika kau berani bergerak." Orang itu mengancam dengan kepanikan tergambar jelas diwajahnya, memeluk bom yang belum sepenuhnya rapi dengan satu tangan dan mengangkat tombol pemicunya tinggi-tinggi dengan tangan lainnya. Seolah memamerkan jika ia bisa membunuh semua orang di dalam ruangan itu dengan tangannya.
Pekerja lain bergerak mundur, spontan menjauhi pria yang memeluk bom di dekat mereka. Sementara Jesselyn mengubah arah tubuhnya, memandang pria itu sepenuhnya. Gadis itu mengangkat tangannya, membuat orang-orang di dalam ruangan berseru kaget karena si pria yang memegang bom mulai bergerak. Namun ia belum sempat bertindak karena orang-orang dengan setelan hitam yang menampakkan bagian dada mereka masuk ke dalam ruangan. Tato yang menghiasi sekujur tubuh mereka kecuali leher ke atas tampak sangat jelas. Mereka yang berurusan dengan dunia bawah tentu sadar simbol familier tersebut.
"Kau tahu siapa mereka?" Jesselyn bertanya pada pria yang kebingungan. "Yakuza. Bahkan jika kita mati disini, keluargamu akan diburu, nama baikmu akan dihancurkan, orang-orang yang kau sayangi akan dibantai. Kehidupanmu setelah mati, tidak akan tenang."
Jangan pikir dengan melindungi atasanmu atau organisasi sialan yang kau ikuti, kau akan baik-baik saja. Aku, tidak akan membiarkan kalian selamat begitu saja." Jesselyn bicara dengan nada tenang, terkontrol. Tak ada yang bisa menebak eskpresi gadis itu karena wajahnya yang terhalangi topeng putih polos. "Aku berjanji atas nama kakekku, atas nama orang-orang malang yang kalian bunuh dengan bom rakitan kalian. Aku akan menghancurkan kalian semua!"
Pria yang semula mengancam Jesselyn terduduk di lantai, masih memegang bom dan tombol pemicunya. Jesselyn memberi kode pada anggota Yakuza yang dibawanya, meminta mereka untuk mengamankan orang-orang di dalam ruangan dan alat-alat bom rakitan yang berserakan di atas meja.
.
.
.
"Aneki."
Yerressia berbalik, mengamati sepasang mata beriris gelap yang balik menatapnya. Gadis berambut pirang itu melepaskan cengkramannya dari seorang pria yang babak belur wajahnya. Membiarkan orang itu terjatuh ke lantai dan terkapar, memilih tidak bergerak karena seluruh tubuhnya amat kesakitan. Wanita di depan Yeressia meneguk ludah, iris gelapnya bergerak memindai ke sekeliling, merinding begitu melihat banyaknya orang yang sudah dibuat tergeletak tanpa daya diatas lantai.
"Aneki sangat mengerikan," katanya jujur.
"Ini hanya sebuah mahakarya sederhana." Yeressia terkekeh, lalu berbalik membelakangi si wanita dan melepas topeng putihnya yang terkena bercak darah di beberapa bagian. Si wanita mengamati topeng yang kini diletakkan begitu saja di lantai.
"Kenapa Aneki dan yang lainnya memakai topeng?" Pertanyaan itu keluar secara spontan, tidak sempat dicegah.
"Karena kami tidak ingin mereka menyadari raut wajah kami." Yeressia berbalik, memperlihatkan wajah sedihnya. Iris mata coklat gelapnya menyendu, membuat wanita yang tadi menyesal sudah bertanya. Wanita itu menunduk, menolak melihat wajah sedih Yeressia.
"Aku akan membereskan semuanya untuk Aneki."
Yeressia tidak menjawab, memilih berjalan keluar dari ruangan dengan langkah gontai. Ia berpegangan pada dinding begitu berjalan di lorong, mencegah dirinya yang akan tumbang karena lemas. Sepasang sepatu menghalangi pandangannya dari lantai. Yeressia menengadah, menemukan tubuh tinggi Eloy telah berada di depannya. Gadis itu langsung buru-buru berdiri tegak. "Kau tidak memakai lensa kontak?"
Eloy tersenyum hingga kedua matanya menyipit, menutupi iris merah matanya yang terbilang sangat langka. "Tidak apa-apa, bukan?" tanyanya dengan nada polos. "Aku sedang marah, bukankah merah warna yang cocok?"
Yeressia tentu tidak akan lupa kalau Eloy pernah mengatakan ia membenci warna mata asli mereka.
rebellés
Hari Keempat.
NIS, South Korea.
"Ini ... apa?" Pria yang memakai jaket kulit itu menatap foto-foto di depannya dengan wajah bingung dan ngeri. "Teroris? Kelompok psikopat?" Ia membuat kesimpulan begitu selesai memperhatikan foto-foto di depannya.
"Tidak, mereka tidak mati, Song. Meski banyak di antara mereka yang patah tulang atau lumpuh permanen." Direktur Kim buru-buru menyela. "Ini ulah kelompok gila yang bekerja sama dengan Yakuza. Menakjubkan."
"Yakuza?!" Pemuda yang dipanggil Song kentara terkejut. "Kenapa Yakuza membantai sebuah perusahaan di Korea?" Ia mengusap tengkuknya yang mendadak merinding, merasa kalau sebentar lagi ia akan menghadapi hari-hari super melelahkan.
"Kau tahu Rebellion?"
"Aku baru kembali setelah tiga tahun, mana kutahu perkembangan disini dan siapa saja nama para penjahat yang populer."
"Kau akan terus mengingat mereka, Song."
Song mengangkat alis. "Tidakkah sebaiknya kau menjelaskan padaku tentang siapa orang ini?"
"Orang-orang." Direktur Kim mengoreksi. "Mereka sebenarnya hanya sekelompok bocah, tapi kau takkan percaya dengan kemampuan bertarung dan daya tahan tubuh mereka. Mereka ... bagaimana caraku mengatakannya? Agak berbeda dari kriminal lain, mereka sering membantu tugas polisi, bahkan baru-baru ini membantu membongkar sindikat perdagangan manusia terbesar di Asia."
"Kalau begitu, bukankah mereka anak-anak yang baik?" sela Song.
"Tapi mereka tetap kriminal, Song. Mereka melanggar banyak aturan, bertindak sesuka mereka dan tidakkah kau dengar apa kataku? Mereka bekerja sama dengan Yakuza dalam insiden pembantaian ini, Song." Direktur Kim menunjuk foto-foto yang tadi diperlihatkannya. " Terakhir, mereka tampaknya menyukaimu."
"Aku?"
Direktur Kim menyodorkan selembar foto pada Song. Pria itu menerimanya dengan ragu, terkejut begitu mengamati foto di tangannya. Seseorang dengan rambut abu-abu dan topeng yang menutupi seluruh wajahnya kecuali mata tengah memegang selembar foto. Itu fotonya, entah darimana orang itu mendapatkannya. Yang paling mengerikan adalah tulisan tangan dengan spidol warna merah yang menghiasi foto itu.
Song, kami menginginkanmu^^
With love, R.
.
.
.
"Nama aslinya tidak penting, tapi julukannya adalah Captain Song." Victor yang berdiri di papan tulis menjelaskan, menempelkan foto seorang pria dan memberi keterangan dengan spidol dibawahnya. Pemuda itu kembali menatap teman-temannya yang duduk berjejer di depannya. "Dia anggota NIS, sering melakukan operasi hitam dan mempunyai tingkat keberhasilan sembilan puluh persen pada setiap tugasnya. Dia juga agak sulit diatur, tapi negara mempertahankannya karena pria ini sangat hebat dalam tugasnya."
Kaizer mengangkat tangannya. "Sampai disini terdengar cocok untuk kita, tapi apa kau yakin dia agen yang tepat untuk misi kita?"
"Keyakinanku soal dia sama besar dengan keyakinan kalau bumi itu tidak datar."
"Baik, tidak perlu diperdebatkan. Aku setuju."
"Kalian tidak akan menolaknya, dia lucu." Victor tertawa renyah, kedua matanya nyaris menutup sepenuhnya. "Aku bisa membayangkan hari-hari indah yang akan segera kita lalui bersamanya."
"Aku kasihan pada pria itu, Victor pasti akan membuatnya merasa menyesal pernah bertemu dengan kita semua." Yeressia bicara pada Jesselyn yang duduk disampingnya, dengan suara yang cukup keras untuk didengar Victor sendiri.
Jesselyn memasang wajah iba. "Padahal ia tampan, tapi kelakuan Victor akan membuat wajah gantengnya itu keriput."
"Bicara seolah kau tidak seperti Victor." Jocasta menyela, menatap Jesselyn dengan pandangan malas. "Kau itu versi wanita dari Victor. Kalian sama saja."
"Bicara seolah aku tidak bisa mendengarnya, gadis-gadis." Victor menukas masam. "Kumaafkan karena mood hari ini salah satu yang terbaik dalam hidupku."
"Tidak penasaran dengan itu, Vic."
"Apakah kalian tidak bisa berhenti bertengkar sehari saja?" Jack yang baru datang mendengus, melemparkan minuman kaleng pada Victor dan Kaizer yang dengan sigap menangkapnya. Pemuda itu sendiri langsung meneguk minumannya, lalu menyeka bibirnya yang basah. "Kalian rapat penting tanpaku?"
"Tanpa kau, Aceruz dan Eloy, sebenarnya," koreksi Yeressia. "Jangan bertanya padaku mereka ada dimana karena aku sama sekali tidak tahu."
"Tenang, Yer. Aku juga tidak mau tahu." Jack mengangkat bahu, mengambil tempat duduk di samping Kaizer. Jack menunjuk papan tulis di depannya yang memuat beberapa foto dan tulisan. "Apa itu?" tanyanya.
"Victor sedang berimajinasi, membayangkan dirinya seorang detektif yang sedang membahas kasus besar."
"Apa mulut cabaimu tidak bisa disumpal?" Victor melempar kaleng minumannya pada Jocasta. Namun, sebelum sempat mengenai gadis itu sendiri, kaleng minuman Victor terlempar ke samping dan berakhir menancap dinding. Sebuah belati menembus bagian tengah kaleng.
"Ah, aku ingin mengenai tulisannya. Meleset."
"Meleset, pantatku. Itu sangat akurat, bodoh."
Semuanya menoleh pada kedua pemuda yang baru datang. Eloy kelihatan mencolok karena mata merahnya dibanding Aceruz yang tinggi menjulang. Eloy tetap santai meski pandangan teman-temannya tertuju padanya, atau mungkin pada matanya. Ia menarik sebuah kursi dan duduk di samping Jack. Aceruz sendiri sedang sibuk melepaskan lensa kontaknya.
"Kau keluar dengan mata seperti itu?" tanya Kaizer dengan tatapan menyelidik.
"Boleh kubilang kalau dia juga menampilkan mata merahnya saat kita bertugas kemarin?"
"Yere, aku kecewa kau beralih profesi menjadi tukang gosip." Eloy memasang wajah kecewa, yang sebenarnya hanya pura-pura. Pemuda itu dengan santai merebut minuman Jack, menghabiskannya dalam sekali teguk. "Aku mulai berfikir untuk tidak memakai lensa kontak lagi."
Jeocasta melancarkan protes. "Dulu kau melarang kami," katanya kesal. "Sekarang ingin memamerkan pada dunia bahwa kita menderita penyakit mata sehingga bola mata kita berwarna merah menyala? Sekalian saja mengecat seluruh tubuh dengan warna merah dan katakan kita itu alien."
"Kau rasis," sela Jesselyn. "Apa yang salah dengan warna merah? Rambutku bahkan berwarna merah!" serunya kesal.
"Ini seharusnya menjadi perdebatan yang menyenangkan."
"Aku setuju denganmu, Vic." Aceruz yang sudah selesai melepaskan lensa kontaknya menyahut, menmperlihatkan bola matanya yang berwarna merah membara. "Namun, tampaknya kita tidak punya banyak waktu untuk menikmati perdebatan gadis-gadis cantik yang biasanya berakhir dengan pergumulan seru." Aceruz menyengir begitu ketiga gadis di dalam ruangan melemparinya tatapan tajam.
"Karena ruangan ini akan segera ramai?" tebak Jack.
Kaizer mendecak, berdiri dan meregangkan ototnya. "Mereka amatir sekali," keluhnya, lalu menguap bosan.
"Oh, aku harus membereskan papan tulisku, tidak ada bukti yang boleh tertinggal." Victor mencabut foto-foto di papan tulis dan mengantonginya. Pemuda berambut abu-abu itu kemudian menghapus tulisan di papan tulis dengan ujung lengan bajunya.
"Vict, maukah kau tinggal disini?" Eloy berdiri, membuang kaleng minumannya ke sembarang arah.
Victor menghentikan kegiatannya, lalu melirik teman-temannya yang sudah bersiap-siap. "Tentu, bukankah aku selalu menjadi appetizer?" Pemuda tampan itu berujar geli, lalu membuat gerakan mengusir dengan tangannya. "Song perlu perkenalan tentang siapa kita."
"Tidak apa-apa jika kau ingin tetap memakai lensa kontakmu." Aceruz menepuk pundak Victor.
"Aku hampir lupa," seru Victor saat teman-temannya mulai beranjak pergi. "Song tidak boleh mengetahui apa sebenarnya rencana kita." Ia melemparkan foto-foto dari sakunya ke arah Jack yang berdiri paling dekat dengannya. Jack menerimanya, lalu mengangguk dan kembali melangkah bersama teman-temannya.
Victor mengamati punggung teman-temannya yang mulai menjauh menuju pintu keluar rahasia. Lalu, dia meninggalkan ruangan dan berjalan menuju lorong pintu masuk. Sesekali mengamati grafiti yang menghiasi dinding.
Pemuda itu berhenti saat suara pintu yang dibuka paksa terdengar, orang-orang yang tidak ia kenal mendekatinya, menyorot lampu senter padanya karena suasana yang gelap di lorong. Victor tersenyum senang, seperti sudah menduganya. Pemuda itu dengan santai mengangkat tangannya saat orang-orang disekitar menodongkan senjata padanya. Senyumnya makin merekah saat orang yang menyinarinya dengan senter berjalan mendekat. Victor mungkin tidak bisa melihatnya dengan jelas karena orang itu membelakangi cahaya. Namun ia mengenalnya, dan Victor sangat senang bertemu dengannya.
"Hai, Kapten."
.
.
.
Dibanding membawa tawanannya ke ruang introgasi betulan. Song lebih suka menarik dua kursi, meletakkan sebuah meja diantaranya dan memaksa pemuda berambut abu-abu itu duduk di salah satu kursi sementara ia menempati kursi yang berlawanan. Menciptakan ruang introgasi sendiri di markas tawanannya terdengar lebih baik ketimbang menyeretnya ke NIS. Song, sangat berbakat membuat lawannya merasa terintimidasi di kandang sendiri.
Victor mengamati ke sekitar, mengangguk-angguk begitu mendengar musik diputar. Hanya sebuah permainan piano yang memiliki tempo cepat, menghentak-hentak seolah sang pianis tengah menumpahkan kekesalannya pada tuts-tuts piano yang dimainkannya . Song mengawasi pemuda itu dengan tatapan setajam elang, berusaha mencaritahu seperti apa wataknya.
"Namamu Victor?"
"Namamu Song?"
Song berdecak, sudah bisa menduga kalau Victor hobi membuat orang kesal. Sebaiknya ia tidak terpancing. Song memilih mengamati berkas-berkas di depannya, informasi yang didapatnya justru sangat tidak berguna.
"Tidak perlu membaca itu ketika aku ada disini, aku akan menjelaskan tentang kami lebih baik dari kertas-kertas itu."
Song mengangkat kepalanya, hanya untuk dibuat mengernyit oleh ekspresi jujur di wajah Victor. Maka ia memundurkan tubuh, bersandar pada kursi dan bersedekap. Alunan piano tengah mencapai puncaknya, menciptakan suasana tegang diantara mereka.
"Mungkin tidak ada yang salah dengan membiarkanmu mengoceh sebentar."
Victor mendengar itu sebagai persetujuan. Pemuda bersurai kelabu itu memajukan wajahnya, tersenyum begitu mendapati wajah Song mengernyit. "Tahukah kau, kalau apa yang kukatakan ini sangat penting untuk menghadapi kami?"
"Teruslah bicara selagi aku membiarkanmu."
"Kami berasal dari perairan Skotlandia, kau tidak akan menemukan pulau tempat kami terlahir, dan itu tidak penting." Victor memundurkan tubuh, bersandar pada punggung kursi. "Kami dibawa ke dataran China, dididik menjadi anak-anak biasa begitu hidup disana. Sebenarnya itu penyamaran, kami langsung mulai bekerja beberapa hari setelahnya. Kami bergerak sesuai kemauan kami, tidak menyinggung wilayah kerja Triad, atau Yakuza, meski kadang kecelakaan itu terjadi. Namun, mereka tidak akan melawan kami, karena mereka tidak ingin cari masalah." Victor menyeringai, merasa senang dengan wajah penasaran pria di depannya.
"Bos Yakuza bahkan menghormati kami, sama seperti kami menghormati mereka. Kau jangan berfikir untuk mengusik keluargaku yang tersisa di China. Kami menghancurkanmu jika kau melakukannya."
Song diam-diam meneguk ludah, permainan piano kini mengalun pelan dan memainkan nada-nada yang tenang dan penuh penekanan. Detik itu juga Song tersadar kalau ia tengah terjebak dalam perangkap yang ia ciptakan sendiri. Pemuda di depannya memasang senyum yang bagi Song terlihat sangat mengerikan, ia jarang dibuat gentar dan pemuda ini satu diantara beberapa yang berhasil melakukannya.
"Kau tidak perlu bertanya soal kemampuan kami, tapi kau boleh mengetahui bagaimana kami bekerja." Victor kembali menjelaskan. "Aku, seorang pengalih perhatian. Hidangan pembuka yang berhadapan langsung dengan musuh di awal, yang paling sering terlihat, tentunya." Victor mengambil berkas di meja, melakukannya dengan baik meski kedua tangannya terborgol. Ia menyingkirkan fotonya, lalu menunjuk tiga foto lain. Song mengamati itu dengan penasaran, dua pemuda dan satu orang gadis.
"Jangan main-main dengan hidangan utama kami. Mereka punya tenaga yang sangat kuat, dan identik dengan gaya bertarung yang cenderung brutal. Bahkan gadis ini, jangan tertipu oleh tubuh kecilnya."
"Kau menjelaskan dengan baik."
Victor tersenyum, mengambil tiga foto berbeda, kali ini dua orang gadis dan seorang pemuda. "Penyusup dan pembersih kami," katanya, "Senyap, cepat dan mematikan. Tidak perlu kaget dengan keberadaan mereka yang tiba-tiba dan kemampuan bertarung yang gila, mereka melakukan tugas sampingan yang sangat penting bagi kami."
Victor menguap. "Bukankah aku sudah menjelaskan semuanya dengan sangat baik?"
Song mengambil satu foto yang tersisa, menggesernya ke arah Victor. "Bagaimana dengan temanmu yang satu ini?" tanyanya penasaran. Victor tidak perlu melihatnya untuk tahu foto siapa yang dimaksud Song.
"Hidangan penutup, dia sangat mahir bermain belati. Akurat."
Song tidak puas dengan penjelasan Victor, tapi pemuda bersurai keabuan itu tampak tidak berminat menjelaskan lebih jauh.
"Kami butuh kau untuk bekerja seperti biasanya. Teruslah berusaha memburu kami, tapi tolong amati apa yang kami lakukan." Victor mengamati Song dengan pandangan teduh, terlihat bersahabat. "Selamat bekerja, Kapten."
Song tidak sempat membalas karena Victor sudah menendang meja di depan mereka ke arah Song hingga pria itu membentuk dinding dengan amat keras. Apa yang Song lihat sebelum ia kehilangan kesadaran adalah Victor yang menghancurkan borgol di tangannya seolah borgol itu terbuat dari biskuit. Lalu anak buah Song mendekat dan mulai menyerang Victor, ia bahkan mendengar suara tembakan. Namun, Song tidak bisa ikut bergabung karena kepalanya terasa amat sakit, dan ia kehilangan kesadaran.
***
Captain Song 😎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top