10th Attack (Last)
But did you see the flares in the sky?
Were you blinded by the light?
Did you feel the smoke in your eyes?
Did you? Did you?
Did you see the sparks filled with hope?
You are not alone
Cause someone’s out there, sending out flares
-The Script-
Yunnan, China.
Semenjak kedatangan delapan bocah aneh bermata merah yang tidak jelas darimana asalnya, kehidupan Tan sempurna berubah. Mulanya, yang mengisi hari-hari bocah berambut hitam jabrik seperti tokoh manga Uchiha Sasuke itu tidak jauh-jauh dari game, menemani kakek di restoran yang sepi, dan tidur siang yang berlebihan. Kini, dia punya banyak kegiatan baru; membantu delapan bocah kelebihan tenaga itu beradaptasi, hari yang sibuk di restoran kakek, dan diam-diam menonton latihan rutin teman-teman barunya.
Jika ditanya apakah Tan merindukan hari-hari sebelum dia mengenal delapan teman barunya, maka jawaban Tan adalah tidak yang bulat. Mereka membawa cahaya tersendiri dalam kehidupan Tan dan kakeknya. Karena mereka, restoran kakeknya jadi punya modal dan berkembang pesat, mereka pindah ke rumah dan restoran yang lebih luas (kata Kakek, pendekar-pendekar cilik itu butuh tempat untuk berlatih) dan yang lebih penting, Tan tidak lagi kesepian. Tiap kali pulang sekolah (omong-omong, dia tidak sekolah bersama yang lainnya karena mereka terlalu barbar) Tan akan memacu langkahnya dengan semangat ke restoran. Di sana dia bisa menemui kakek dan delapan teman barunya, sangat sibuk melayani pengunjung restoran.
Tan akan nyengir lebar di depan pintu, mengabaikan teriakan marah Jocasta yang mengatakan dirinya menghalangi jalan, atau panggilan Eloy agar dia membantu Kakek di dapur.
Selalu menyenangkan pulang ke rumah yang hangat.
Di samping keanehan kekuatan mereka, Tan cukup nyaman berteman dengan mereka semua. Tetap saja, hal buruk selalu berjalan beriringan dengan hal baik. Selalu ada kegelapan di balik cahaya terang. Berita negatifnya, teman-teman barunya itu punya banyak sekali musuh.
Tan baru pulang dari sekolah, hendak menuju restoran seperti biasa. Semalam Eloy mengabari kalau mereka akan pulang dari urusan di Seoul, Tan sangat bersemangat bertemu lagi dengan teman-temannya. Dia sedang sibuk menyusun rencana untuk menghabiskan hari dengan teman-temannya ketika tiba-tiba, dua orang pria berbadan kekar dengan penampilan sangar menghentikannya di tengah jalan, bertanya apakah Tan bisa ikut dengan mereka. Tanya itu lebih terdengar seperti pemaksaan, yang membangkitkan siaga satu dalam pertahanan dirinya. Tan sadar kalau keadaan yang dihadapinya sangat berbahaya. Dia sibuk memikirkan cara untuk lari. Victor bilang kemampuannya membuat lawan kesal bisa dijadikan pengalihan, tapi dia tidak sempat menggunakan mulut sampahnya karena sebuah pukulan keras tiba-tiba menghantam belakang lehernya. Apa yang selanjutnya Tan ingat adalah rasa sakit yang luar biasa pada tengkuknya, lalu kegelapan mengurung kesadarannya.
Dia terbangun karena tepukan pelan di pipinya, tepukan yang terasa dingin, lengket dan berbau besi. Darah. Ketika dia membuka mata, wajah khawatir Jesselyn adalah apa yang pertama kali dilihatnya. Gadis kecil berambut merah itu tampak berantakan, bola matanya yang berwarna hitam dilapisi sorot cemas. Tan tahu kalau warna matanya palsu, tapi tidak dengan kecemasannya.
"Kau baik-baik saja," kata gadis itu. Dia tidak bertanya. "Aku senang kau baik-baik saja." Di antara yang lain, Jesselyn dan Eloy adalah yang paling cepat belajar bahasa baru. Tan tidak kesulitan bicara dengan keduanya.
Tan hanya mematung saat Jesselyn memeluknya erat, masih belum sadar sepenuhnya. Dia baru berontak saat pelukan Jesselyn mulai terasa sesak.
"Kontrol tenagamu, aku bisa mati." Tan meraup udara dengan rakus saat Jesselyn melepaskan pelukannya.
Jesselyn tidak kelihatan tersinggung sama sekali. Gadis itu mengulurkan tangannya pada Tan, yang disambut Tan dengan ragu-ragu. Cairan merah di sekujur tangan penuh luka itu membuat Tan ngilu.
"Tanganmu berdarah."
"Bukan darahku," jawab Jesselyn dengan tenang. "Tutup matamu dan biarkan aku menuntunmu keluar."
Tan menampilkan ekspresi bingung. "Kenapa aku harus menutup mata?"
"Ada hal-hal yang tidak sepatutnya kau lihat."
Tan ingin bertanya lagi, tapi ekspresi Jesselyn membuatnya mengurungkan niat. Bocah laki-laki itu dengan patuh menutup mata, berjalan dengan dituntun Jesselyn. Meski matanya ditutup, indranya yang lain berfungsi sangat baik. Tan bisa mencium bau besi yang dia yakini sebagai darah, juga samar-samar mendengar rintihan dari berbagai arah. Tan tahu, Jesselyn dan yang lainnya bekerja pada organisasi yang sifatnya sangat rahasia, mirip seperti yang biasa dilihatnya pada film laga. Sekarang dia paham kenapa Jesselyn memintanya menutup mata. Tan mungkin akan muntah jika dia diharuskan melihat isi gudang yang kemungkinan besar penuh dengan mayat dan tubuh-tubuh sekarat.
Mereka terus berjalan lurus, perjalanan yang bagi Tan lebih buruk dari berjalan sendirian di lorong rumah hantu. Dia beberapa kali tersandung, entah karena menabrak sesuatu atau ada yang mencengkram pergelangan kakinya. Kehadiran Jesselyn di samping Tan membuat anak itu merasa cukup tenang, meski dia belum berani membuka mata sama sekali.
Tiba-tiba, dia mendengar jerit suara yang sangat dikenalinya, disusul suara khas pertarungan yang tampaknya berlangsung heboh. Tan kebingungan karena Jesselyn tiba-tiba melepaskan tangannya. Bocah itu bisa mendengar suara derap langkah Jesselyn, tapi masih ragu-ragu membuka mata.
Tan memberanikan dirinya, apa yang dilihatnya saat membuka mata kelak akan jadi adegan yang terus-menerus berulang dalam mimpi buruknya.
Di sana ada Eloy, berdiri di tengah-tengah tubuh-tubuh (entah masih bernyawa atau tidak) yang berserakan di lantai. Tan belum pernah melihat Eloy begitu marah, sama sekali belum pernah. Impresi pertamanya pada bocah berambut hitam dengan tatapan mata polos itu hanyalah kelembutan. Tentu, tidak wajar rasanya mengaitkan mesin pembunuh dengan kelembutan. Namun, Tan melihatnya seperti itu. Baginya, Eloy adalah sosok penuh kasih sayang, malahan kadang terlalu polos hingga gampang dikerjai. Dia hanya belum tahu kalau Eloy Dagger bisa semarah itu.
Bahkan butuh lebih dari Kaizer, Aceruz, Victor, dan Jack untuk menenangkannya. Namun, dia masih membabi buta, menghajar siapa pun yang bisa dijangkaunya. Tan bisa melihat Jocasta dan Yeressia —yang sedang dihampiri Jesselyn— meringkuk di sudut dengan tatapan penuh teror.
Tan tidak akan menyalahkan mereka seandainya kedua gadis kecil itu ketakutan. Pasalnya, Eloy tengah memperlihatkan sisi lain dari dirinya yang mengerikan.
Satu pertanyaan melintas di benaknya; Apa Eloy bertindak seperti itu karenanya?
"Loy,"
Panggilan lirih itu secara tak terduga membuat Eloy berhenti, menoleh ke arah Tan. Bocah itu menangis, tak kuasa lagi menahan rasa takutnya. Eloy menghampirinya dengan panik, meninggalkan teman-temannya yang lain dalam keheranan. Setidaknya, mereka cukup lega karena Eloy mau berhenti.
"Are you okay?"
Dia menangkup pipi Tan dengan kedua tangannya yang berlumuran darah, bertanya dengan nada khawatir terpancar dari manik coklatnya yang palsu. Tan tak mempedulikan anyir darah yang tajam menusuk hidungnya, dia masih menatap Eloy dengan mata bercucuran.
"Mereka melukaimu?" Eloy masih berusaha mendapat jawaban, tidak menghiraukan hal-hal lain di sekitarnya. "Katakan padaku, aku akan memberi mereka balasan yang pantas."
Tan menggeleng cepat, dia tidak mau Eloy menjadi monster lagi. "Aku baik-baik saja, maafkan aku."
Eloy menariknya ke dalam dekapan, mengelus rambutnya dengan kasih sayang seorang kakak pada adiknya.
"Justru aku yang minta maaf, maaf membuatmu terlibat."
Tan tidak memperdulikan semua ucapan maaf yang dibisikkan Eloy dengan lirih. Dia hanya melepaskan tangisnya keras-keras, membiarkan dekap Eloy semakin erat mengurungnya. Untuk pertama kalinya, dia membiarkan orang lain selain kakeknya memberi pelukan.
Kakek benar, dia tidak sendirian.
Dia punya teman sekarang, banyak teman.
rebellés
Manhattan, New York City, U.S.A
"Aku melakukannya dengan cukup baik, 'kan?"
Pertanyaan bernada menghina itu membuat Park menahan kuat-kuat umpatannya yang sudah di ujung lidah. Jika dia punya kesempatan, kepala wanita cantik bernama Charlotte itu pasti sudah bercumbu dengan pelurunya.
"Hm, cukup bagus. Kukira kau hanya membual saat kau bilang bisa menembak dengan bagus."
Tawa Charlotte menguar di udara, terdengar menyebalkan bagi telinga Park. Meski Charlotte tergolong wanita yang sangat cantik —cukup untuk membuat orang-orang menoleh dua kali— yang paling Park inginkan sekarang hanyalah menghancurkan wajah cantik itu dengan satu pukulan.
"Tapi, kurasa tembakan tadi tidak akan cukup untuk membuatnya mati."
Tentu tidak, kubunuh kau kalau sampai melakukannya.
"Sayang sekali, bukan?" Park memainkan pistol di tangan kirinya, mengokangnya.
Charlotte sempat keheranan dengan perbuatan Park yang terlihat aneh, tapi perhatiannya dengan cepat dicuri hal lain. Wanita cantik itu menatap ke luar jendela, tepatnya ke arah dermaga. Wajahnya memucat, dia mendongak, menatap ke atas dengan mata membola.
"Park!"
Wanita itu berbalik, terkejut setengah mati saat melihat moncong pistol milik Park sudah berada lima senti dari dahinya.
"Pengkhianat sinting!" Makinya tak tahan lagi. "SAU memberimu kesempatan untuk hidup dan kau membalasnya dengan pengkhianatan bodoh?"
Tawa Park bergema di ruangan itu, dalam sekejap langsung berganti dengan ekspresi sinis.
"Kesempatan untuk hidup, katamu?" Dia mendekatkan moncong pistolnya, kini sudah menempel pada kening Charlotte. Jarinya siap menekan pelatuk kapan saja. "Kau dan organisasi sintingmu itu merebut hidupku, membuatku harus membunuh diriku untuk bertahan hidup, menjalani kehidupan yang busuk!"
"Hidup ini sejatinya sudah busuk, kau tidak perlu repot-repot mengubahnya!" Untuk ukuran seseorang yang terancam bahaya, Charlotte pastilah golongan yang cukup berani. Wanita berambut coklat gelap itu memandang Park dengan tatapan nyalang. "Aku juga sama sepertimu, dulunya. Pada akhirnya, SAU memberiku kebebasan. Kenapa kita harus repot-repot menyelamatkan dunia saat dunia selalu mengambil apa yang kita miliki?"
"Jangan membuatku tertawa, Charlotte," tukas Park dengan tajam. "Apa pun yang terjadi padamu di masa lalu, kau tetap tak berhak mengambil nyawa orang sesukamu."
"Kau! Bahkan jika aku mati disini, kau akan tetap menghadapi SAU, menghadapi dia. Kau tahu 'kan dari mana anak-anak itu berasal? Dari dunia yang bahkan tidak pernah kau bayangkan dalam lamunanmu."
"Jangan repot-repot membuatku mundur." Park tersenyum miring. "Aku tidak peduli dari mana mereka berasal atau siapa mereka sebenarnya, aku bahkan tak peduli dengan ramalan bodoh soal kiamat jika tidak menghentikan anak-anak itu. Aku hanya membantu temanku."
"Park!"
"Hasta la vista, Baby."
Park menekan pelatuk, mencipta tembakan yang menembus dahi Charlotte dan membuatnya kehilangan keseimbangan, terdorong ke belakang membentur jendela kaca gedung dan jatuh dengan dahi berlubang.
Park menyimpan pistolnya, berjalan mendekat ke jendela yang rusak. Dia tidak tertarik pada jasad Charlotte yang terbaring kacau di tanah, sudah pasti tewas karena luka tembakan dan jatuh dari lantai sebelas gedung yang ditempatinya. Apa yang menarik perhatiannya adalah keramaian di dermaga, disusul dengan suara helikopter yang berisik.
Senyum di wajahnya terkembang lebar.
.
.
.
Jesselyn nyaris merelakan kesadarannya dipeluk kegelapan. Dia sudah susah payah mempertahankan kesadarannya, menunggu siapa pun datang membantunya. Namun, tampaknya teman-temannya yang lain sedang sibuk berjuang juga. Gadis itu memegang perutnya yang terus mengucurkan darah. Tangan kanannya memegang jarum suntik, satu-satunya yang tersisa.
Dia tidak tahu harus memakainya atau tidak. Kendati Wendy berulang kali mengingatkan mereka pada resiko cairan ajaib ciptaannya itu, rasanya dia benar-benar butuh cairan biru terang itu sekarang. Jesselyn tahu, cairan itu hanya mampu menopang tubuhnya sementara, setelah itu justru akan menimbulkan efek samping bagi tubuhnya. Tubuh yang sudah hancur tidak seharusnya dipaksa bertarung, bukan?
Dia hampir menusukkan jarum suntik itu ke perutnya saat sebuah tangan menahan pergerakannya. Jesselyn pikir mungkin indranya melemah hingga dia tidak menyadari kehadiran siapa pun sejak tadi.
Tetes salju berhenti membasahi wajahnya karena wajah seseorang yang berada tepat di atas wajahnya, melindunginya dari salju. Jesselyn susah payah menarik senyum, air mengalir turun dari sudut matanya, pertanda dia tidak kuasa menahan rasa harunya.
"You're here," katanya dengan helaan lega di ujung kalimat. Asap putih menguar bersama helaan nafasnya. "You're here." Dia mengulang kalimatnya lagi, terlalu senang.
"I'm here." Tan membalas dengan senyum lebar andalannya, menurunkan tangan Jesselyn yang sedari tadi terangkat. "Kau tidak butuh racun aneh itu, aku repot-repot belajar ilmu kedokteran bukan untuk membiarkan salah satu dari kalian mati."
Jesselyn terkekeh, membiarkan jemari Tan menghapus air matanya yang berjejak. "Apa ternyata aku yang paling lemah di antara kami?" tanyanya tak serius.
"Tidak, area milikmu yang paling bersih. Lagipula, musuh banyak datang dari dermaga."
"Kau tidak mengatakan itu untuk menghiburku, 'kan?"
"Sorry to say, aku tidak akan repot-repot menghiburmu. Hanya mengatakan fakta."
Jesselyn membiarkan Tan mengangkat tubuhnya dengan mudah, membawa gadis itu ke tempat yang lebih aman. Arena bertarung Jesselyn adalah di dekat dermaga, tidak terlalu jauh dari gedung data tempat Jack dan Yeressia berada. Karena itu, dia bisa melihat dengan jelas kapal-kapal yang menepi di dermaga, juga suara berisik helikopter di atas mereka.
Ah, bala bantuan.
Bak tengah syuting film, Aceruz dan Jocasta berdiri paling depan. Tongkat bisbol di tangan Aceruz dan dua katana di punggung Jocasta semakin menambah kesan heroik pada dua remaja itu. Di belakang mereka, berdiri puluhan orang-orang bersenjata dengan berbagai gaya busana. Wajah-wajah mereka juga tampak berasal dari berbagai negara.
Jesselyn tertawa, ternyata Eloy tidak menyia-nyiakan satu hari di Manhattan untuk istirahat.
.
.
.
Pemuda itu berdiri di antara lima orang yang mengelilinginya, mengawasinya dengan tatapan setajam elang. Tongkat bisbolnya yang patah dibuang ke sembarang arah.
"Kau terluka parah, aku bisa lihat itu." Salah satu lawannya melemparkan provokasi. "Kau mampu bertarung dengan tubuh penuh luka seperti itu?"
Aceruz tertawa geli, merasa lawannya sangat bodoh merangkai strategi. "Aku memeluk luka, menganggapnya seperti kawan lama," katanya santai. "Jadi, jangan khawatir, aku akan menghajar kalian semua sampai berharap mati."
"Kau kelihatan sangat yakin."
"Dan kalian kelihatan sangat takut padaku."
Cemoohannya dibalas dengan serangan bertubi-tubi dari lawannya. Aceruz dengan senang hati meladeninya. Meski gerakannya sangat cepat, musuh kali ini sepertinya tergolong cukup pintar. Karena salah seorang dari mereka bisa membaca gerakan Aceruz dan menangkap lengannya.
Aceruz tertawa, padahal situasinya bisa dibilang berada dalam bahaya. Lawan di depannya adalah ahli bela diri ternama dari Timur. "Kau mengingatkanku pada seseorang," katanya santai.
"Seseorang yang pernah mengalahkanmu?"
"Seseorang yang bisa mengacaukan irama bertarungku." Aceruz menarik lengannya, melompat mundur menjauhi lawannya. Dalam hati dia menghitung, sementara mulutnya terus saja bicara. "Aku tahu caramu mengacaukan irama bertarungku. Karena aku bergerak sesuai dengan prediksi kemana lawanku nantinya akan bergerak, kau melawan arus dengan bergerak ke arah yang tidak akan kuprediksi."
"Dengan kata lain, tetap maju meski kau menyerang."
Aceruz tertawa. "Tindakan yang butuh keberanian sangat besar," katanya. "Hanya orang sinting yang berani maju ke tengah-tengah pukulan."
"Peraturan pertama untuk melawan Rebellion; kau harus lebih sinting dari mereka."
"Setuju."
Aceruz menyentak tangannya, mengeluarkan pisau dari lengan jaketnya. Mata merahnya berubah pekat seiring dengan senyum miring yang terkembang di bibirnya. Sepersekian detik kemudian, dia sudah bergerak cepat menyerang kelima musuhnya.
"Peraturan kedua; jangan sampai teralihkan, apalagi oleh mulut sampah kami."
Kelima musuhnya ambruk dengan luka di leher mereka, mengucurkan darah yang tidak sedikit karena goresan Aceruz sangat dalam.
"Aku ingin bertarung lebih lama dan dengan cara yang lebih terhormat. Tapi, maaf, aku sudah lelah meladeni Yakuza dan Triad," katanya beralasan. "Omong-omong, aku pinjam teknik membunuh dengan pisau itu dari Eloy, dia orang pertama yang bisa mengacaukan irama bertarungku."
Dia berjalan menjauh, meninggalkan lima lawannya menanti kematian mereka di tanah. Pemuda berambut merah itu berbelok ke simpang, berhenti begitu sampai di area kosong diantara dua gedung. Kalau tidak salah, ini arena bertarung Eloy.
Area itu lebih mirip pemakaman massal.
Aceruz memutuskan begitu setelah dia melihat betapa banyaknya orang-orang yang terbaring tanpa daya di sekitarnya. Dia membungkuk, berusaha mengamati lebih detail kondisi musuhnya yang mungkin sudah tewas.
Dagger.
Aceruz berdiri, tahu siapa pelakunya hanya dengan melihat luka goresan di tangan korban. Tidak ada diantara anggota Rebellion yang bisa mengalahkan musuh dengan luka goresan setipis dan serapi itu. Jocasta memang hobi menggunakan katana, tapi hasil serangannya lebih sering berupa tebasan menganga yang panjang.
"Ck, dia pakai berapa banyak?" decak Aceruz kesal. Pemuda berambut merah itu mengedarkan pandangannya, berusaha mencari keberadaan Eloy. Matanya membola saat menemukan Eloy tengah berdiri kepayahan, menyangga tubuhnya pada dinding gedung.
Eloy nyaris terjatuh jika saja Aceruz tidak dengan cepat menangkapnya. Pandangannya memburam, namun masih bisa mengenali Aceruz dari rambut merah dan bau tubuhnya yang khas.
"Jadi, kau berhasil menyelesaikan urusan di Korea dan mengumpulkan mereka?" tanyanya lirih.
"Seperti yang kau lihat, musuh SAU ternyata banyak sekali di Asia. Mereka sukarela ikut dengan kami, mengatakan akan menghancurkan SAU dengan cara apa pun."
Eloy tersenyum senang mendengarnya. Pemuda itu tiba-tiba memegang dadanya, merasa sesak mencekik paru-parunya dengan tiba-tiba.
Aceruz berdecak, membantu Eloy duduk menyandar pada dinding. "Kau harus berhenti merokok."
Eloy tertawa, sadar kalau itu hanya sebentuk sarkasme dari Aceruz. Tidak, dia tidak kepayahan seperti ini karena rokok. Namun, tubuhnya sudah hancur lebur karena dia memaksakan begitu banyak racun untuk membuat tubuhnya tetap sadar dan mampu bertarung.
"Kau tidak bisa bertarung jika seperti ini."
"Mereka membutuhkanku," sanggah Eloy.
"Dengan keadaan seperti itu, kau hanya akan mati konyol."
Eloy tertawa, masih keras kepala menolak berhenti. "Aku tidak akan mati, aku hanya ... lelah."
Aceruz menahan dirinya untuk tidak mencekik Eloy sekarang juga. "Kumohon, istirahatlah," pintanya lirih. "Serahkan pada kami, aku akan memastikan semuanya baik-baik saja."
Eloy menggeleng lemah, membuat Aceruz mengumpat dengan gemas. "Kata Park, ini hari terakhir, aku ingin berjuang sampai akhir, bersama-sama."
Aceruz menatapnya, dibuat terdiam dengan tekad keseriusan yang terpancar lewat kedua bola matanya. Dia akhirnya menyerah, sadar jika tidak ada yang bisa dilakukannya kalau Eloy sudah bertekad seperti itu.
"Lima menit, setidaknya beristirahatlah lima menit." Aceruz menampilkan wajah paling memelas yang dia punya. "Setelah itu, kita akan menyelesaikan semuanya."
.
.
.
Yeressia dan Jack berdiri saling memunggungi, sama-sama bersikap waspada pada keadaan di depan mereka. Strategi mereka cukup membantu. Yeressia tidak perlu repot-repot mengawasi punggungnya, dia cukup mempercayakannya pada Jack. Begitu juga sebaliknya. Metode ini cukup menghemat waktu dan tenaga, menilik dari bagaimana lelahnya keduanya sekarang.
Jack nyaris terkena pukulan salah satu lawannya, tapi tebasan katana menyelamatkan rahangnya dari kemungkinan babak belur. Jack terpana, menatap bergantian pada Jocasta dan lawannya yang kini terduduk di tanah, mengerang kesakitan dengan luka menganga di bahu.
"Serius, kupikir kau menebas tulangnya."
Jocasta hanya mengangkat bahu, menggesekkan tepian katananya yang kotor oleh darah pada jaketnya. "Setidaknya, sambut aku dengan benar, adik-adikku yang manis."
Demi mendengar suara Jack bicara dengan Jocasta, Yeressia langsung menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke tanah. Memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya terkapar di atas lapisan salju yang mulai menebal. Gadis yang biasanya cukup banyak bicara itu terlalu lelah sekarang. Lagipula, dia tidak bisa terus-terusan bertarung dengan pandangan yang semakin lama kian buram.
"Siapa yang mengizinkanmu tidur?!"
Jack ikut merebahkan tubuhnya, bernafas pelan sembari memejamkan mata. Dia juga lelah, efek samping dari obat racikan Wendy membuat tubuhnya terasa digerus dari dalam. Tingkah keduanya jelas membuat Jocasta jengkel, sudah siap menyiapkan seribu satu cacian jika saja dia tidak menyadari musuh-musuh mereka kembali mendekat.
"Tidak apa-apa, Nona. Kami akan mengurus yang di sebelah sini."
Jocasta lupa kalau mereka punya banyak pasukan sekarang.
Jocasta tersenyum saat dua orang lelaki kembar identik sudah berdiri di dekat Yeressia. Secara teknis melindungi gadis itu dari serangan apa pun yang akan menghadangnya. Jocasta juga bisa melihat beberapa orang yang ikut bersamanya ke Manhattan mendekat, bermaksud memberinya perlindungan.
"Terima kasih, setidaknya aku bisa bertarung tanpa rasa khawatir sekarang."
Gadis cantik itu berlari, memilih menyapu area yang dikabarkan masih diisi banyak musuh. Dia hendak berbelok ketika sampai di persimpangan, tapi barisan musuh berdatangan memblokir jalan di depannya. Dia menunggu hingga musuhnya lumayan dekat, dalam hati memperkirakan jurus yang bisa digunakannya.
"Nona, menyerahlah." Salah satu dari mereka mengangkat pistolnya, tersenyum miring dengan tatapan merendahkan. "Sekuat apa pun dirimu, tetap akan mati jika sebutir peluru menembus jantungmu."
Jocasta tidak menjawab, bahkan ketika mereka mulai menembakinya. Gadis itu melakukan gerakan melindungi dengan kedua katananya, secara akurat membuat peluru-peluru yang seharusnya menembus tubuhnya berakhir melakukan tabrakan dengan katananya, tidak berhasil menembus senjata khas itu.
Belum sempat lawannya terperangah, Jocasta sudah bergerak maju dalam kecepatan tak terbaca, memberikan beberapa serangan yang gerakannya sulit dilihat dengan mata orang awam. Gadis itu berhenti ketika dia sudah melewati semua musuhnya, membiarkan kedua ujung katananya mengalirkan tetes merah di salju yang putih.
Di belakangnya, barisan orang-orang yang semula hendak menyerangnya jatuh dalam tempo yang nyaris serentak, dengan luka tebasan menganga di bahu, perut, kaki, dan leher mereka.
Dua peluru mengenai tangannya, membuat kedua katana dalam pegangan Jocasta terlepas. Gadis itu hanya diam, menatap tak minat pada orang yang menembaknya, seorang pemuda dengan wajah khas Asia Timur.
"Tanpa katana kebanggaanmu, kau pikir kau siapa?"
Kening Jocasta berkerut, menunjukkan ketidaksenangannya pada ucapan lawannya.
"Jangan menatapku seperti itu, kau kelihatan menyeramkan." Pemuda berambut putih itu terkekeh, memain-mainkan pistol di tangannya. "Kau tahu? Kau bisa menyerah saja, aku akan mengampunimu jika kau memohon dengan wajah cantikmu."
"Kurang ajar." Jocasta berdesis marah, kemudian tanpa diduga berlari kencang ke arah musuhnya.
Tindakannya membuat pemuda berambut putih itu panik, memosisikan pistolnya dengan segera. Dia melepaskan tembakan dengan kesal, mengenai bahu Jocasta. Gadis itu tidak menghentikan langkah, tetap maju dan menerjang pemuda di depannya. Membuat mereka berdua terjatuh ke tanah dan pemuda itu tak sengaja membuat pistolnya terlepas dari tangan.
"Aku masih Jocasta Zoya." Gadis itu menutupi mata pemuda di bawahnya dengan tangan kirinya yang berdarah, membuat si pemuda menyumpah serapah. Jocasta tidak peduli, kali ini mengepalkan tangan kanannya yang terluka karena diserempet peluru. "Dan aku masih bisa menghajarmu tanpa katana!"
Dia menghajar musuhnya bertubi-tubi, tidak memberi kesempatan bagi lawannya untuk memberi serangan balasan. Matanya memerah pekat, pertanda dia sangat marah.
"Kau dan organisasi sintingmu saja yang menyerah, bocah brengsek! Kami akan tetap teguh!"
.
.
.
Park bertemu dengan Ketua Tim SAU di lorong, sedang bicara pada beberapa anggota SAU. Park berjalan mendekat, beberapa anak buahnya mengikuti di belakang dengan patuh.
"Charlotte memerintahkanmu untuk menarik pasukan."
Pria yang merupakan bawahan Charlotte itu menoleh, menatap ragu pada Park atas perintah anehnya barusan.
"Apa kau yakin? Kami diperintahkan berada di area ini untuk memberikan Rebellion pertarungan yang membuat mereka mati," katanya memberi alasan.
Park tetap memasang wajah tenang. "Kau tidak lihat? Rebellion juga punya bala bantuan, orang-orang yang pernah SAU buat menderita. Mereka saudara, teman, ayah, anak, rekan, kekasih, dan keluarga dari orang-orang yang pernah SAU bunuh."
"Kenapa kau tidak melaporkan rencana mereka pada kami?"
"Aku sudah memberitahu Charlotte kalau dia harus berhati-hati. Kami datang ke Manhattan kemarin, tapi baru menyerang SAU sekarang, kau pikir karena apa? Dagger sibuk mengumpulkan sekutu untuk membuat kalian luluh lantak."
"Caramu bicara mencerminkan kalau kau bukan bagian dari kami." Pria di depan Park mengokang pistolnya, mengarahkannya pada Park yang hanya mematung. "Kau tahu apa hukuman untuk pengkhianat? Kematian."
Park mengangkat sebelas alis. Anak buah Park dan anggota SAU yang tadi bicara dengan Ketua Tim bergerak cepat, menodongkan pistolnya pada si Ketua Tim, siap menembak kapan saja pria di depan mereka.
Park tersenyum miring. "Kau tahu? SAU punya sistem perekrutan yang buruk. Lihat bagaimana anggotamu dengan mudah berganti pihak."
.
.
.
Park hendak keluar dari gedung, berpapasan dengan Eloy yang berdiri tenang di lantai mezanin, menatap Park dengan sebelah alis terangkat. Di sepanjang tangga dan mezanin lantai dua, banyak tubuh-tubuh berserakan dalam keadaan sekarat. Darah dimana-mana, dan pemuda itu berjalan tenang menuruni tangga?
Hah, setan satu itu.
Park membetulkan letak topi hitamnya, membiarkan Eloy mendekat sendirian tanpa siapa pun yang melindunginya.
Eloy berdiri menatap lawannya yang kini hanya berjarak beberapa langkah. Pria itu balas menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Keduanya saling bertukar pandang tanpa melakukan pergerakan berarti. Pertarungan ini jelas akan menjadi tidak seimbang secara jumlah karena lawan Eloy mempunyai satu pasukan di belakangnya. Eloy hanya punya dirinya sendiri.
Oh, dan Aceruz yang baru saja muncul dari belakang Eloy. Pemuda jangkung itu menghentikan langkahnya dan terlonjak mundur satu langkah begitu mengenali pria yang Eloy tatap.
Pertarungan belum dimulai ketika dua sosok pemuda melompat turun dari lantai dua dan mendarat dengan selamat. Itu Victor dan Kaizer. Kaizer bereaksi sama dengan Aceruz, beda dengan Victor yang menggeram marah. Langkah Victor berderap cepat, menghampiri pria yang menjadi pusat perhatian teman-temannya.
"Kau berkhianat?" Yang ditanya tidak menjawab, wajah tampannya tetap dihiasi gurat datar tanpa perubahan emosi yang berarti. Namun, Victor yang berada dalam jarak dekat bisa melihat pergerakan mata pria itu yang sempat bergetar mendengar pertanyaannya. "Jawab aku, Bedebah!"
"Apa semuanya terlihat seperti itu bagimu?" Pria itu balas bertanya dengan intonasi dingin, berbeda dengan Victor yang kacau.
"Lalu apa?" tantang Victor. Bergerak maju selangkah lebih dekat. Mati-matian menahan air matanya agar tidak turun. Pantang baginya menangis saat ini, tetapi dadanya terasa sesak.
"Vict," panggil Eloy. Namun Victor menghiraukannya. Ia tak peduli meski anak buah pria di depannya mulai mengarahkan senjata padanya. Siap menembak kepala Victor begitu pemuda itu melakukan gerakan mencurigakan yang berpotensi menyakiti pemimpin mereka.
Kaizer melempar beberapa pistol yang dibawanya pada teman-temannya, memberi kode untuk melindungi Victor jika serangan terjadi. Meskipun mereka jelas kalah telak dari segi kuantitas. Musuh mereka lebih banyak. Sebenarnya, mereka tak perlu mengkhawatirkan Victor mengingat kemampuan bertarung pemuda itu yang diatas rata-rata. Namun, siapa pun tahu resiko bertarung dengan emosi tidak stabil. Emosi Victor sangat berantakan sekarang. Pertarungannya akan jadi tidak terkendali.
"Semuanya tidak sesederhana itu, Bocah."
"Kapten Song percaya padamu." Victor menukas cepat, amarahnya mulai berkumpul melihat pria di depannya masih bersikap tenang. "Aku percaya padamu, kami percaya padamu!"
Dua kelereng hitam itu menatap iris merah Victor dengan pandangaan yakin, membuat yang ditatap terkesiap seketika. "Karena itu, tetap percaya padaku."
Jawaban yakinnya membuat Victor terdiam, menatap Park dengan tatapan menilai.
"Apa kau yang menembak Jesselyn?"
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan mudah. Park memang tidak menembak Jesselyn, tapi dia membiarkan Charlotte melakukannya.
"Jawab aku, Agen Park."
"Dia tidak menembaknya."
Suara itu memecah keheningan, membuat perhatian semua orang teralih pada Song yang baru saja muncul. Dia memberi kode pada Eloy.
"Aku bisa jamin," katanya yakin.
Eloy memandangnya sebentar, lalu dengan cepat mengangguk pada Kaizer dan Aceruz, meminta keduanya percaya pada Song.
"Victor, cobalah mendengarkan mereka." Itu saran Eloy sebelum dia berbalik dan pergi keluar gedung, langkahnya diikuti oleh Aceruz dan Kaizer. Meninggalkan Victor bertiga saja dengan Park dan Song.
"Apa pun yang terjadi, kau tenang disana, Victor." Song langsung memerintah dengan wajah dingin, membuat Victor tak jadi protes dan memutuskan menurut. Pria bertopi itu kelihatan sangat marah hingga Victor ragu untuk membantah.
"Song, kau membuatnya bingung." Park menyahut dengan intonasi jahil, bersikap seperti bagaimana dia biasanya di depan Song.
"Diam kau, Brengsek." Song mengangkat pistolnya, mengarahkannya pada Park yang hanya berjarak beberapa langkah. "Jangan bercanda kecuali kau ingin isi kepalamu tercerai berai. Jelaskan padaku semuanya, dari awal hingga akhir."
Victor terperangah, tidak mengira kalau Song akan setegas itu walaupun mengetahui kawan dekatnya ternyata pengkhianat.
"Jujur, aku takut."
Song menggeser arah tembakannya, melepaskan satu peluru ke anak buah Park membuatnya terjatuh telak. Anak buah Park yang lain mengangkat senjatanya, hendak membalas tembakan Song. Park mengangkat tangannya, meminta anak buahnya berhenti.
"Jangan macam-macam denganku, Park."
Park sadar kalau kawan karibnya tidak bercanda sama sekali, karena itu dia memberi isyarat pada anak buahnya, meminta mereka pergi dan membawa rekannya yang terluka. Setelah selesai, Park kembali menatap Song, tersenyum tipis.
"Kau mau mendengar apa dariku?"
"Kapan kau pertama kali bergabung dengan SAU?"
"Lima tahun lalu, ketika aku pulang dari misi di Timur Tengah." Park menjawab dengan tenang. "Kau tahu, saat itu semua anggotaku mati karena organisasi penjahat. SAU datang padaku, menawarkan bantuan untuk balas dendam yang tidak bisa diberikan NIS untukku. Singkat cerita, aku bergabung. Lalu, aku baru tahu kalau SAU itu lebih mirip pembunuh bayaran, mereka memusnahkan siapa pun yang diperintahkan atasan mereka. Atasan mereka dapat uang dari pihak yang menginginkan kematian. Seringkali, justru orang-orang baik yang mati."
"Kenapa kau tidak berhenti?" Song meneguk ludahnya, mengutarakan pertanyaan berikutnya dengan suara lirih. "Kenapa kau tidak bilang padaku?"
Park tertawa getir. "Kau pikir SAU akan dengan mudah melepaskanku? Tidak. Mereka merengggut kebebasanku, membuatku jadi mesin pembunuh rahasia mereka. Mereka mengancam banyak hal dariku, kau, NIS, dan rekan-rekan kita."
"Aku membaca data yang memuat target dan eksekutor SAU." Setetes air mata Song turun begitu saja. "Kau membunuh rekanku dan masih sanggup bicara soal NIS?!" tanyanya frustasi.
Park tidak ingin menjawab apa pun. "Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tahu itu salah, tapi aku tidak punya kesempatan untuk lari dari SAU, sampai ketika Rebellion datang."
Park menatap Victor, yang tumben-tumbennya diam mendengarkan.
"Karena kau tahu Gallen bersama kami, bukan?" tanya Victor retoris. "Kau yakin bisa mengalahkan SAU karena ada Rebellion dan Argento Gallen, juga temanmu, Kapten Song."
Park mengangguk. "Maaf, karena memanfaatkan kalian untuk melepaskan diri."
Victor tidak menjawab, justru menatap Song yang masih menodongkan pistol ke arah Park, meski kini tangannya gemetaran.
"Kapten, apa yang akan kau lakukan?"
Pertanyaan itu dijawab Song dengan satu tembakan, mengenai kaki kiri Park yang langsung ambruk di lantai. Tindakannya tidak hanya membuat Park terkejut, tapi juga Victor yang hanya bisa menganga menyaksikan semuanya.
Song maju beberapa langkah, masih dengan menodongkan pistolnya ke arah Park.
Park yang terduduk dengan darah berceceran di lantai mendongak, menatap Song dengan senyum terkembang di wajah.
"Benar begitu, kau harus membunuh pendosa."
Song justru berjongkok, memukul kepala Park dengan gagang pistol. Tindakannya, sekali lagi membuat Park terkejut dan membuat Victor menganga makin lebar.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku memukulmu, idiot bodoh." Song menghantamkan gagang pistolnya sekali lagi.
"Song—"
"Kau bilang aku satu-satunya teman yang kau miliki." Song menatap Park dengan lembut, membuat yang di tatap membalas pandangannya dengan heran. "Kau tidak akan mengkhianati temanmu. Aku senang aku selalu bisa mempercayaimu."
Park berani bersumpah bahwa itu adalah salah satu kalimat yang paling melegakan yang pernah di dengarnya. Dia tersenyum, lega temannya masih memberinya kepercayaan.
"Ah, mengharukan sekali." Victor merusak suasana dengan celetukannya. Pemuda bersurai kelabu itu mengusap air matanya yang menggenang. Tiba-tiba, dia beralih memegang kepalanya, mengeluh sakit dengan keras.
Tindakannya membuat Song panik, cepat-cepat menghampiri Victor dan menangkapnya sebelum pemuda itu ambruk.
"Dia kenapa?" tanya Park, susah payah berjalan mendekat karena Song menembak kakinya tadi, membuatnya kesulitan berjalan.
"Badannya dingin. Aku bertaruh dia sehabis melompat ke dalam air dan kembali ke darat seolah-olah dia itu amphibi."
"Tapi dia akan baik-baik saja, bukan? Maksudku, dia Rebellion. Mereka tidak akan mati semudah itu."
"Seharusnya," balas Song dengan muram. Pemuda itu melepas jaket kulitnya, menyelimuti Victor yang menyandar ke dalam pelukannya. Bocah itu meracau tak jelas, mengigil kedinginan. "Tapi, kurasa ini efek samping dari obat yang dia suntikkan."
"Obat?" Park mengerutkan kening.
"Kau pikir, kenapa Rebellion bisa baik-baik saja padahal mereka terus bertarung dan bertarung? Padahal mereka luka parah? Mereka menawar luka dengan racun, membuat mereka setidaknya bisa bertahan sementara. Setelah itu, efek sampingnya akan mulai bekerja."
"Separah apa?"
"Tidak tahu, aku hanya berharap Victor dan yang lainnya baik-baik saja."
Jawaban Song membuat wajah Park pucat pasi, cemas dengan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
.
.
.
Buram.
Eloy sadar tubuhnya tidak baik-baik saja, dia tahu itu dengan baik. Sensasi lengar dan dingin yang sejak tadi menyerangnya adalah bukti kalau tubuhnya tengah menjerit kesakitan. Dia menggigit bibir, mati-matian menjaga kesadarannya tetap hinggap di tubuhnya.
"Ah, mulai kelelahan, Tuan Dagger?"
Lawannya tinggal sepuluh orang, pria-pria bertubuh kekar dengan gerakan lincah. Kekuatan dan kecepatan, kombinasi yang bagus untuk melawan Eloy Dagger yang tengah kelelahan.
"Kau tahu, seharusnya kau tidak membiarkan kedua temanmu pergi. Kau sangat kesulitan sekarang, bukan?"
Eloy melempar belatinya, tepat mengenai celah antara kedua alis lawannya yang langsung tumbang.
"Kau sangat berisik," katanya. Dia menarik napas panjang, menyesaki paru-parunya dengan udara dingin. "Mau selemah apa pun, selama aku bisa melawan kalian, aku akan melakukannya."
"Benarkah?" tanya pria di depannya dengan skeptis. "Kau sudah kelelahan seperti itu, masih memaksakan diri untuk melawan? Belatimu bahkan sudah habis."
Eloy tidak menjawab dengan kata-kata. Pemuda itu menampilkan iris merahnya yang pekat, menjadi merah sepenuhnya. Tatapannya membuat musuhnya terpaku, kehilangan fokus karena rasa takut.
Eloy tersenyum bengis.
"Satu."
Pukulan kuat di ulu hati, lawannya terpental jauh.
"Dua."
Tiga tendangan di rusuk, pinggang, dan belakang lutut.
"Tiga, empat."
Tendangan tinggi ke arah dagu, disusul tendangan samping ke arah rusuk lawannya.
"Lima, enam, tujuh."
Kuncian leher, patahkan. Sikutan di pelipis dan bantingan.
"Delapan."
Serangan telapak tangan di samping leher.
Satu-satunya lawan Eloy yang masih tersisa berlutut, menjatuhkan pistolnya ke tanah. Dia gemetaran, tak percaya dengan kecepatan dan kekuatan Eloy yang mengerikan.
"Ampuni aku." Dia menunduk, mengatupkan kedua tangannya sambil menangis.
Eloy tidak menjawab, hanya mendekat pada satu-satunya lawannya yang masih tersisa. Ketika mereka hanya berjarak satu langkah, Eloy mengentikan langkahnya. Pemuda itu menarik rambut musuhnya, dengan kejam memaksanya mendongak.
Tangan kanannya terangkat, memberikan satu tamparan keras ke pipi kiri lawannya. Tamparan itu jelas tidak main-main, karena lawannya langsung terlempar dan terkapar di tanah.
Eloy mengembuskan napas, menatap lawannya yang berserakan di sekitarnya. Dia menekan alat komunikasi di telinga kirinya.
"Ann, laporkan keadaannya padaku."
"Seluruh area berada dalam kendali Rebellion dan pasukan bantuan."
"Apa ada pasukan tambahan dari SAU?"
"Ya, Tuan."
"Lalu, kenapa kau bilang kita yang pegang kendali?"
"Tuan, apakah kau melihat suar di langit?"
Eloy menatap langit, terperangah begitu melihat suar datang dari sisi dermaga. Kobaran cahaya itu membumbung tinggi di langit, berganti menjadi nyala api yang berkobar terus menerus. Eloy tersenyum, matanya yang semula merah pekat berubah biasa, bahkan cenderung memucat. Pemuda itu meringis, bisa dengan jelas merasakan organ dalam tubuhnya seperti digerus dan terbakar. Dia jatuh berlutut, memuntahkan darah dari batuknya. Kemudian, dia terkapar dalam keadaan menyamping. Dingin menerpa tubuhnya dan salah satu pipinya terasa membeku tanpa ampun.
Eloy menatap butiran salju yang jatuh ke tanah, membentuk lapisan salju yang kian menebal. Pandangannya memburam seolah dilapisi kabut asap. Dia menghembuskan nafas pelan. Perlahan, matanya memejam.
Hei, Gallen. Perhitunganmu ternyata benar.
Mereka benar-benar datang.
.
.
.
Park berdiri di depan gedung, mendongak ke arah langit.
"Kobaran api di musim salju?" katanya, nyaris tak percaya jika bukan dia sendiri yang melihatnya dengan jelas.
Song ikut-ikutan menengadah, menatap terpesona pada kobaran api di langit yang pucat. Dia menoleh pada Victor yang dipapahnya. Tampaknya, pemuda juga melihat apa yang dia dan Park saksikan.
"Kapten, kobaran api itu adalah tanda kalau kami berhasil."
Cengiran kotaknya kembali muncul.
.
.
.
"Aku tidak percaya kalau aku terbaring di sini bersama kalian." Jocasta bicara sambil menikmati pemandangan di langit. Dia berbaring di samping Jack, mengusap darah yang mengalir dari hidungnya.
"Hei, mau tahu apa mahakarya yang paling indah?"
"Kobaran api itu? Seni adalah ledakan, begitu?"
"Ck, seperti Deidara saja."
Yeressia menggeleng atas jawaban Jack dan hinaan Jocasta. "Senyuman kalian. Itu mahakarya paling indah bagiku." Tatapannya tidak lepas dari langit ketika menjawab.
Suara tawa Jack dan Jocasta terdengar bersamaan.
"Aku tidak tahu kalau kau bisa begitu cheesy, Dik."
.
.
.
Aceruz dan Kaizer duduk bersebelahan, menyandar pada dinding gedung sambil menatap kobaran api. Di dekat mereka, lawan-lawan yang masih bisa bergerak berusaha menyelamatkan diri. Baik Aceruz atau pun Kaizer membiarkannya saja, terlalu lelah untuk mengurusi musuh mereka.
"Aku tidak berharap bisa menyaksikan pemandangan seindah ini denganmu, Kai."
"Kau pikir aku bersedia? Tidak sama sekali."
Aceruz tertawa, "Kau menyuntikkan berapa sampai masih bisa bertahan? Kudengar lawan-lawanmu sangat kuat."
"Entahlah, mungkin lima? Kau?"
"Aku dan Jo memakainya ketika kami baru sampai di Manhattan tadi, mungkin empat?"
Kaizer terbahak, mengusap keringat dingin di dahinya. "Idiot sinting, kita pasti akan segera merasakan efeknya."
.
.
.
"Kau belum sembuh betul, Jes, tidak bisakah kau duduk?"
Jesselyn tidak mendengarkan ucapan Tan. Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah langit, memandang kagum pada kobaran api yang menghiasi langit. Dia memejamkan mata, menikmati hangat yang menerpa pipinya.
Lalu dia berbalik, tersenyum lebar pada Tan.
"Kita berhasil, Tan!"
Tan mengerutkan kening. "Tapi, bukankah pertarungannya belum selesai?"
Jesselyn masih mempertahankan senyum lebarnya. "Yang jelas, kita berhasil menghancurkan SAU," katanya menjelaskan. "Perhitungan Gallen dan rencana Eloy, keduanya berhasil. Kami tepat waktu."
Tan tidak mengerti, tapi dia memaksakan senyum. Tidak tega juga melihat Jesselyn tersenyum begitu lebar meski wajahnya pucat pasi, dia tidak mau merusak kebahagiaan gadis itu. Meski jauh di dalam hatinya, Tan merasa akan ada hal buruk yang terjadi.
Cerita mereka jauh dari kata selesai.
-------------------------------------------------------
REBELLION
(Revised edition)
First series from S I E T E
09/09/2019--06/12/2019
C O M P L E T E D
--------------------------------------------------------
astagaastagaastaga
Centang gaesss😭
Insomku bermanfaat😭
IYA, TAMAT SERI INI AKHIRNYA! HUHUHUHUHUHUUUHUHUHU AKU CRY DONG GAES SINI IKUTAN CRY SAMA AKU😭😭😭😭
First of first, MAKASI BANYAK BUAT KALIAN YANG SELAMA INI UDAH DUKUNG DAN SETIA BACA WORK AKU, KASI VOMENT DE EL EL . AKU SAYANG KALIAN SEMUA ❤️🧡💛💚💙💜🖤♥️💘💝💖💗💓💞💕💌❣️💟
Oh ya, kalau kalian punya pertanyaan bisa drop dibawah ini. Tapi sebelum itu, may i ask you any questions?
Ga banyak-banyak kok, bantu jawab yaaa :)
1. Apa/ Siapa yang pertama kali membuat kalian datang ke work ini?
2. Tanggapan, kritik, saran, atau harapan untuk Rebellion?
3. Tokoh paling favorit atau adegan paling memorable?
4. Punya pertanyaan buat saya? :v
See you in next work!
Pertanyaannya bakal aku jawab di bab selanjutnya, ya!
Sincèrement,
Lume✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top