5 | Regret and Reborn
Kurosaki yang melihatku terbelalak pun menoleh, mendapati Hijirikawa yang telah terjaga.
"Hi-Hijirikawa-san!"
Manik biru pemuda itu menatap nanar ke arah selimut yang membalut tubuhnya. Setelah itu, beralih melihat kedua tangan yang terbalut perban. Ia tidak merespons panggilanku, tetapi aku sadar alasannya.
Dia terlalu terkejut dengan insiden sebelumnya.
"Ini ada di rumah sakit, ya?" tanya Hijirikawa memandangi jendela yang merambatkan sinar mentari.
"Kau... dirasuki hantu tiga hari yang lalu. Kalau boleh tahu, apa masalahmu?" sahutku sekaligus ingin tahu jadi bertanya pula kepadanya.
Air muka Hijirikawa berubah drastis--- kini mengeruh dan terlihat tatapan sendu menghiasi wajahnya.
Aku tersenyum lemah.
"Aku tidak akan memaksamu berbicara tentang hal ini sekarang, jadi bagaimana kala---"
"Tidakkah kau kelewat tertutup untuk masalahmu sendiri?" tegur Kurosaki memutar kursi ke arah Hijirikawa.
"Kurosaki-san, dia baru saja terjaga," ucapku merasa tidak enakan.
Kulihat kedua tangan Hijirikawa hendak mengepal, mencengkram selimut erat-erat. Puncak kepala Hijirikawa tertunduk sehingga hanya menampakkan helaian rambut biru lautnya. Kurosaki membuang muka tanpa menyahutku balik.
"Berikan aku waktu. Aku janji akan menceritakan semuanya," kata Hijirikawa terlihat mengusap wajahnya, "dan maaf telah membuatmu sampai dirawat ke rumah sakit, [Name]-san."
Aku mengangguk. "Yang telah terjadi bukan sepenuhnya salahmu. Aku memang kurang pandai menjalankan tugasku sendiri."
Kurosaki menautkan alis. "Tugas?"
Sepertinya hanya pemuda menyebalkan satu ini yang tidak tahu (atau sengaja berpura-pura) mengenai kehadiranku di mansion.
Aku berdeham. "Oke, aku ini cenayang. Dan kejadian di kamar Hijirikawa-san seharusnya sudah sangat JELAS. Aku bisa melihat hantu."
Pemuda berambut jabrik keabu-abuan itu bergeming. Aku bisa menyadari kalau sepasang manik heterokromnya tidak berkedip usai aku berkata demikian. Semoga dia percaya. Karena aku yakin hanya dia yang tidak yakin.
☆ ☆ ☆
Atau mungkin bukan hanya seorang Kurosaki yang tidak percaya.
Camus tidak tahu. Ya, sepertinya hanya dua orang yang tahu. Tidak, yang mengetahui statusku hanya tiga. Terhitung laki-laki yang menyelamatkanku.
Laki-laki misterius berambut gondrong biru pucat itu baru-baru menjadi penghuni kamar nomor enam. Berhubung dikabari oleh Ichinose, aku tidak lagi akan merasa terkejut kalau ternyata kami bersebelahan.
Selama aku merasakan berbagai sakit selama hidupku, ini pertama kalinya aku dirawat di rumah sakit. Biasanya, aku hanya sering melihat adegan seperti ini di drama-drama. Sepertinya menarik juga kalau bisa bersantai-santai, tetapi setelah menyadarinya, aku kelewat berekspektasi.
Banyak orang mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkan kembali "sehat" yang diperoleh. Lain kali, aku tidak boleh bertingah gegabah. Tindakan seperti ini akan sangat merepotkan banyak pihak.
"Apa... orangtuaku tahu soal ini, ya?" gumamku merapatkan selimut.
Hijirikawa menolehku. Tempat tidurnya sejajar ada di samping kananku. Kurosaki sedang keluar, entah ke mana. Kamar pasien jadi terasa lebih tenang tanpa pemuda itu.
"Maafkan aku, [Name]-san," ucap Hijirikawa tidak menatapku. Manik birunya menerawang.
Aku menggeleng. "Bukan salahmu. Serius. Justru aku yang salah. Badanmu terluka dan harus dirawat di sini. Apa orangtuamu akan datang menjenguk?"
Hijirikawa berkata, "Mereka tidak akan datang meskipun tahu aku sedang dirawat seperti ini."
"Heee--- kenapa?" kejutku ingin tahu.
"Karena... aku tidak akan diakui sebagai anak selama aku bisa membanggakan mereka."
Sekarang, tidak mengherankan bagiku untuk menyimpulkan hal ini; alasan hantu itu mampu menguasai hatinya. Hati yang terluka menjadi sasaran empuk bagi penjelajah antar dua dunia. Perasaan kasih yang terkikis pun tercemar oleh rasa sakit hati. Yang akan sulit diperbaiki seperti sedia kala.
Aku melepas tali infus yang menyelangi tanganku, lalu turun dari tempat tidur.
"[N-Name]-san?" Manik Hijirikawa melebar.
Kakiku tergerak menuju kursi yang tadinya diduduki Kurosaki. Aku tersenyum lebar.
"Aku sudah sehat, kok. Hijirikawa-san, masih mau berteman denganku?"
Hijirikawa terdiam sesaat.
"A-apa aku salah bertanya, ya?" gumamku sedikit gelisah.
"Bukan begitu. Teman, ya. Sudah lama tidak ada yang berkata seperti itu kepadaku."
Aku menganga. "Yang tinggal bersama di mansion itu, bukan teman?"
Kukira mereka selalu akrab, bahkan sebelum aku menginjakkan kaki ke sana. Mengejutkan.
Hijirikawa mengusap dagu. "Hanya sebatas tetangga karena menghuni di tempat yang sama. Kami jarang sekali berinteraksi kalau tidak bertemu di ruang tamu."
Astaga.
Tanpa sadar, aku telah memegang tangannya. Aku mau mengenal dirinya, begitu pun dengan seluruh penghuni mansion ini lebih dalam.
"Kalau begitu, aku teman pertamamu di sini, dong? Omong-omong, kita belum bicara soal tanaman! Aku bahkan sudah beli bukunya."
"Tentang bunga, ya... rupanya kau benar-benar membelinya," ungkap Hijirikawa tersenyum tipis.
Kulirik dengan manik menyipit. "Ei, kaukira aku menyepelekan ajakanmu itu? Aku bersung---"
Pintu pasien pun terbuka. Rupanya Kurosaki baru saja kembali, melihat kami telah berbicara bersebelahan.
"Ternyata sebagai gadis, kau ini kelewat nakal, ya?" sindir Kurosaki menghampiri kami.
Aku mengernyitkan dahi. "Aku sudah sehat walafiat! Kau tidak tahu, aku lelah tiduran berlama-lama di sana."
Kurosaki berdecak. "Masa bodoh. Kau hanya akan mengganggu waktu tidur Masato, selain itu aku yang bakalan repot juga."
Aku mendengus. "Kenapa kau yang harus repot?"
Detik berikutnya, dia menghela napas lalu menggendong tubuhku.
Aku memegang lengan jaket hitamnya. "Tunggu! Aku bisa jalan kaki ke tempat tidurku sendi---"
"Jangan berontak atau kujatuhin?" ancamnya.
Apa-apaan dia?
Usai dia menempatkanku, telepon yang terletak di atas meja dipergunakan Kurosaki.
Mungkinkah di balik sikapnya yang judes bin jahil, apa sebenarnya dia memang mengkhawatirkanku?
"Tolong pasang kembali selang infus untuk pasien ruang 1108," ucap Kurosaki beralih menolehku, masih terhubung dengan panggilan telepon, "dan siapkan tali jemuran kira-kira sepanjang tiga meter. Hm, untuk apa? Soalnya ada pasien nekat."
Tidak. Kutarik ucapanku barusan. Dia, Kurosaki Ranmaru, selalu senang mengerjaiku di saat kesempatan yang ada. Ketika aku melakukan sesuatu yang menyimpang, di situlah kesempatannya untuk menggangguku. Dan, ketika dia bisa melakukannya, dia
"Kurosaki-san... kau nggak bermaksud untuk itu, 'kan?" tanyaku menyeringai kaku.
Kurosaki menutup gagang telepon. "Iya. Aku akan mengikatmu supaya kau beristirahat dengan tenang."
Di lain sisi, aku bisa menyadari ekspresi Hijirikawa; syok bercampur ngeri.
"Kau... membuatku terlihat seperti orang tidak waras," dengusku memijat dahi.
"Memangnya kapan kau pernah bersikap waras?" ledek Kurosaki.
Lihat saja, kalau sudah sembuh, aku tidak akan diam seperti ini! Aku ingin segera pulih dan belajar menjadi lebih kuat lagi.
☆ ☆ ☆
Camus dan Tokiya juga menyempatkan diri untuk menjenguk kami keesokan harinya. Dan, siang ini, aku sudah bisa rawat jalan alias bisa dikeluarkan dari rumah sakit. Aku meregangkan sendi-sendi tubuhku yang terasa kaku karena terlalu lama berada di tempat tidur. Hijirikawa juga dipulangkan pada hari yang sama. Sambil berberes, Ichinose telah menunggu kami, hendak akan mengantarkan kami ke mansion dengan sedan.
Belum sebulan dan berada di rumah sakit perkotaan adalah hal yang takkan terlupakan untukku.
"Hijirikawa-san, habis ini, mau memutuskan hidup seperti apa?" tanyaku sembari berjalan bersamanya menuju elevator.
Hijirikawa terkejut sejenak lalu tersenyum tipis. "Aku akan berusaha menemui orangtuaku, tapi, bolehkah kaupertemukan aku dengan hantu yang merasukiku?"
Aku mengerjap. Tidak seperti orang kebanyakan yang memilih melarikan diri dari ketakutan, sepertinya Hijirikawa adalah sosok tegar yang bisa menerima hikmah dari kejadian itu.
Namun, hantu yang merasuki Hijirikawa telah dimusnahkan secara paksa oleh pemuda sinis waktu itu. Aku tidak yakin jika tanpa menyegelnya, hantu itu bisa terpanggil kembali.
"Maaf, Hijirikawa-san. Bukannya aku tidak mau, tapi... aku tidak tahu dia bisa terpanggil kembali atau tidak," jawabku tersenyum getir sambil mendorong koper.
Hijirikawa mengangguk kecil. "Tidak masalah. Aku hanya ingin berterima kasih kepadanya."
Manikku membelalak. "Kenapa? Tidakkah dia memberikan pengaruh buruk kepadamu?"
Hijirikawa cengo sesaat lalu membuang muka. Samar-samar, aku menganggap dia sedang malu-malu.
"Kalau tidak ada dia, kita tidak bisa sedekat ini, 'kan? Menurutku, penghuni mansion mulai belajar untuk saling memahami, meskipun kaubelum lama tinggal di sini."
Kurasa, dari sikapnya yang kuanggap kaku dan sulit diajak berinteraksi, dia memiliki pemikiran yang mendalam. Dia memiliki sisi positif yang menggugah hati, dan aku yakin, sisi ini mulai berkembang ada setelah insiden itu terjadi.
Aku tersenyum mantap. "Aku masih tahap amatir sebagai cenayang... jadi maaf, ya. Kalau aku sudah bisa, aku akan berusaha memanggil rohnya!"
Saat kami telah berada di parkiran rumah sakit, kebetulan pula aku dihadapi Ichinose yang tidak sendirian. Pemuda yang menyelamatkanku--- yang kurasa memang cenayang--- berada di sebelah Ichinose. Pemuda itu masih bergeming, sedangkan Ichinose telah menghampiri kami.
Sebenarnya, dia siapa?
• To be Continued •
A/N:
Yaaap, kasus Hijirikawa akhirnya selesai juga~
Part berikutnya private, tapi tidak ada kaitan dengan part sebelumnya (jadi semacam one shot). Part itu khusus mengupas sisi permasalahan Masato di masa lalu sebelum [Name] tiba di mansion. Jadi, kalau nggak follow saya juga nggak apa, hanya saja kasus Hijirikawa akan berakhir sesuai bayangan sendiri ;)
• Question 4 •
Kira-kira main cast berikutnya siapa? ;3
A. Mikaze Ai
B. Kurosaki Ranmaru
C. Ichinose Tokiya
D. Camus
See ya on the next part!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top