7. Rushing

Tana mengaduk sop kaki sapi yang tersaji di depanya agar daun bawang yang begitu banyak meresapi kuah sop, Reno mengerutkan keningnya melihat tingkah Tana.

"Saya laper." Tana melirik Reno yang hanya menggelengkan kepalanya, setelah acara menontonnya batal Reno dengan sikap diktatornya membawa Tana ke rumah makan.

"Kenapa enggak ikut acara entertaint?"

Baru satu suap nasi masuk ke dalam mulutnya ketika ia harus menjawab pertanyaan Reno. "Males aja."

"Terus nonton sama Alvin nggak males?"

"Beda itu."

"Jadi kalo sama Alvin itu beda? Karena apa? Dia itu istimewa gitu?"

"Bedalah, Alvin itu...," Tana mengerjap bingung. "Kenapa kita bahas Alvin? kok Bapak kayak pacar yang cemburu sih."

"Aren."

Mata Tana menyipit melihat perempuan yang menepuk bahu Reno, perempuan yang tak asing bagi Tana.

"Eh ada Tana juga." dengan bibir yang mengurva perempuan yang Tana kenal itu memandang geli padanya. "Kalian kok bisa makan bareng? jangan-jangan kalian pacaran. Pantes, Aren kan dari dulu emang udah naksir Lo."

Kening Tana mengerut mencerna setiap informasi yang keluar dari mulut Freya, Dari dulu?

"Aren kan sengaja Les sama nyokap Lo di rumah lo, cuman biar bisa ketemu lo." Gadis itu kembali mengudarakan tawanya tanpa menilik ekspresi kedua objek pembicaraannya yang kini memasang wajah kikuk. "Ren... Ren... ternyata Tana bukan sekedar cinta monyet lo yah."

Aren?

"Jangan bilang Lo lupa?" Freya menggeleng tak percaya. "Aren, bocah kriting yang gendut itu Tan."

Mulut Tana terbuka sempurna mendengar penjelasan Freya.

*****

Tana tak cukup banyak bicara setelah mendengar penjelasan Freya, Reno pun tak menjelaskan hal apapun.

Bukan Tana tak peduli dengan fakta yang Freya lontarkan, hanya saja ia tak tahu harus bereaksi seperti apa?

Ia masih tidak percaya jika Bocah Gendut kriting yang selalu mengelap ingus layaknya gerak repentitif itu bermetamorfosis dengan sempurna.

"Bu." Tana menyesap Teh hangat yang baru saja ia buat, malam seperti ini biasanya akan ia sempatkan waktu untuk sekedar bercengkrama dengan ibunya seolah menjadi daily activity yang wajib untuknya. "Inget Aren, anak yang dulu pernah les sama Ibu itu loh?"

"Yang dulu tinggal di blok D itu kan?" Ibunya Tana--Arini, sibuk menonton berita politik yang sedang hangat diperbincangkan.

Tana mengangguk mengiyakan pertanyaan Ibunya. Setahu Tana dulu Aren memang tinggal di Blok D tak jauh dari Blok yang Tana tinggali sekarang, mereka jelas satu komplek hingga rentetan pertemuannya layaknya rotasi bumi yang terjadi.

"Nama lengkapnya Aren siapa yah Bu?"

Tatapan bingung Arini membuat Tana sedikit kikuk, "Kenapa tanya soal Aren tiba-tiba?"

"Aku cuman mau tau aja bu, soalnya tadi aku ketemu Freya. Dan dia cerita soal Aren."

"Albima Mareno, waktu itu dia Les pas kelas 6 SD. Kamu sendiri masih kelas 4 SD, lagi bandel-bandelnya." Tangan Arini menjawil gemas hidung Tana mengingat bagaimana Tana kala itu yang begitu hyperaktif.

Fixed.

Jadi Reno itu adalah Aren, dan Aren adalah Reno. Sekarang Tana justru yang dibuat bingung, artinya selama ini Reno mengenal Tana bukan sekedar hubungan karyawan.

Dan yang membuat Tana sedikit kecewa adalah sikap Reno yang tak mengakuinya sebagai teman masa kecil, pertemanan kala mereka kecil dulu mungkin tak cukup berarti untuk Reno. Tana saja yang terlalu berlebihan, toh sejak awal mereka berteman Reno selalu menjadi anak lelaki jutek dengan sejuta rahasia.

"Gimana Aren sekarang yah, Tan?" pertanyaan Arini menyentak kesadaran Tana. "Dulu dia 'kan susah banget bersosialisasi, temennya aja cuman kamu sama Freya waktu itu."

Dia bukan Aren yang dulu bu, bukan Aren yang dengan senang hati tersenyum saat Tana mengajaknya bermain di bawah pohon, bukan Aren dengan ingusnya yang membuat Tana terkikik geli, bukan Aren yang akan cemburut jika Tana mengusili rambut kritingnya.

"Aren yah...."

"Kamu nih kenapa sih Tan? Ibu ajak ngobrol kok yah asyik sendiri."

Bibir Tana hanya mengurva, lengannya malah memeluk erat ibunya. Ia sama sekali tak ingin membahasa Aren saat ini, padahal tadi Tana sendiri yang begitu antusias terhadap Aren.

*****

"Tan," Alvin menepuk pelan punggung Tana. "Agreement soal pengembalian Dana dari pihak XJ bisa diubah gak?"

"Emang kenapa, Vin? bukannya Agreementnya udah jadi? udah ditandatanganin semua pihak, kalo diubah harus proses dari awal lagi dong?"

"Iya, itu kan pihak ketiga minta ditransfer ke dia dulu. Karena dulu kan dia jual barang yang kita gak akui atas nama dia, Alhasil dia kena pantau BI dari DHE*. Harus ada cashflow masuk hanya untuk sekedar lewat." Alvin mendengar jelas tarikan napas Tana, ia merasa tidak enak karena kesalahannya yang mereview Agreement tersebut.

"Gue sih bisa aja ganti, bikin yang baru. Terus yang jadi masalah, kenapa Agreement nya baru ketahuan sekarang kalau ada DHE yang salah?" Tana memijit pelipisnya pelan, pasti setelah ini ia akan mendapatkan ceramah panjang dari Reno.

"Maaf yah, Tan. Gue lolos check invoice sama PEB* nya."

"Lo kirim ke server gue dong data Invoice mana aja yang gak sama kaya PEB."

Mau bagaimana lagi, jika sudah seperti ini Tana harus bertanggung jawab.

"Thanks yah, Tan. Gue traktir Soto Ayam Seminggu deh."

"Gak mau itu." Kening Tana mengerut memikirkan imbalan yang lebih menarik dari sekedar soto ayam seminggu. "Mau Kaasstengels aja."

"Deal!" Seru Alvin. "Setoples yah." berikutnya hanya gelak tawa Alvin yang terdengar melihat Tana yang merenggut.

"Satu hari setoples selama seminggu."

*****

Ragu dalam hati Tana kian meninggi, ia bukan takut karena Agreement yang harus direvisi dan bertemu Reno. Tana justru tak tahu harus bersikap bagaimana setelah ia tahu siapa Reno dan bagaimana Reno tak mau memperkenalkan dirinya sebagai Aren.

"Gak langsung masuk, Tan?" Mata Maya menyipit melihat Tana, dokumen di tangannya ia sampirkan ke atas. "Gue mau ngasih dokumen."

Mulut Tana membentuk huruf O melihat Maya yang memang selalu jutek, "Gue emang mau masuk kok."

Ketika tangan Maya membuka Pintu ruangan di depannya, sebelah alis Reno terangkat melihat Tana dan Maya berdampingan.

"MOU* dengan pihak Sync, Pak." Maya menyimpan amplop coklat yang ia bawa di atas meja Reno.

"Makasih, May."

Maya melangkah pergi setelah Reno memberi isyarat membiarkannya pergi.

"Ada masalah dengan Agreement dengan Pihak XJ pak." Tana mulai membuka mulutnya menjelasakan rentetan permasalahan tentang Agreement tersebut.

Di balik kacamata tipisnya Reno memperhatikan Tana dengan seksama, Tana sedikit gugup ketika Reno tak lepas memandanginya. "Kita bisa buat surat keterangan klaim dari buyer biar DHE nya jadi lebih kecil, Pak."

"Kenapa bisa lolos?" sorot mata Tegas Reno membuat Tana meringis takut, ini memang salahnya yang tak mengecheck ulang. Tana pikir Alvin sudah melakukan yang terbaik, ia percaya jika tak ada yang salah karena Alvin sudah memeriksanya. "Saya udah percaya kamu perihal Proyek dengan XJ, kenapa justru sekarang kita terancam kena Sanksi BI?"

"Maaf, Pak." Tana berusaha menahan rasa takutnya, ini memang kesalahannya matanya mengerjap melihat Reno yang terlihat sedikit frustasi. "Saya baru dapet PEB nya setelah terjadi PEB itu dilapor."

"Nominalnya cukup besar Tan, kamu tau kan Sanksi yang BI kenakan?"

Buku-buku jemari Reno memutih menahan amarah. "Kamu seperti karyawan baru yang gak tau apa-apa sampe harus melakukan kesalahan seperti ini."

Tana meringis, baru kali ini ia melihat Reno yang begitu marah kepadanya. "Saya pikir kita masih bisa menghindar dari sanksi BI dengan cara membuat surat klaim dari XJ dan merevisi Agreementnya."

"Bukan itu inti masalahnya, saya tau setiap masalah pasti ada jalan keluarnya." Suara Reno meninggi membuat Tana terhenyak. "Saya tidak suka kamu yang dengan cerobohnya meloloskan PEB itu."

"Maaf." Tana menunduk dalam, wajahnya memerah bukan karena malu tapi lebih kepada menahan amarah yang sama besarnya seperti Reno.

******

Setelah keluar dari ruangan Reno, Tana tak banyak bicara. Gadis itu lebih diam karena moodnya yang rusak hari ini, ia bahkan tak mendengar dengan jelas cerita Lani soal diskon besar-besaran di Grand Indonesia. Padahal jika sedang dalam kondisi normal mata Tana akan langsung berbinar mendengar kata diskon.

"Sakit yah Lo?" Lani menarik kertas yang ada di depan Tana, kertas yang bertulisakan Agreement yang baru saja Tana Revisi. Mata Lani mengintip dalam diam bagaimana teman satu timnya itu hanya merenung tak merespon ucapannya. "Kenapa sih?"

Hembusan napas lelah keluar dari mulut Tana. "Gak kenapa-kenapa, Mba."

"Jangan terlalu dipikirin, itu bukan mutlak salah Lo kok Tan." Lani menepuk pelan bahu Tana, Kalau dipikir-pikir Lani sudah jelas tau siapa yang paling diandalkan di timnya, Tana selalu mendapatkan tanggung jawab paling besar bahkan sebelum Rahman. Meski pekerjaan Rahman lebih berat akan tetapi risikonya tidak terlalu tinggi.

Lani masuk ke Perusahaan ini satu tahun yang lalu, sementara yang paling lama di antara mereka berempat itu Rahman lalu Tana setelahnya Alvin dan yang terakhir masuk itu Lani.

"Yah masih ke bayang aja, Mba." Jika dipikir lagi, sikap Reno tidak ada yang salah. Ia berhak menegur karyawannya yang salah agar tidak melakukan kesalahn yang sama untuk kedua kalinya, tapi tetap saja Tana merasa sedikit sesak di hatinya.

Pantas saja waktu itu Kiara sampai menangis tersedu karena melakukan kesalahan, ternyata Reno memang orang yang tegas dalam hal pekerjaan.

"Yah yang sabar aja, mau ikut beli martabak mini yang baru buka di Tebet nggak?"

"Gak deh Mbak." Tana merapihkan berkas-berkas di atas mejanya, karena ini memang sudah jam pulang. "Gue mau maen sama Selly."

"Oh, Selly masih nge kost tuh di daerah Kuningan?" tanya Lani, ia sudah tak asing dengan nama Selly. Teman se Universitas Tana yang sering Tana ceritakan.

"Masih lah, Mba. Mana mau Selly pulang pergi naik kereta ke Bogor." Tana tertawa ringan membayangkan Selly yang selalu berceloteh ketika harus berdesak-desakan di kereta.

"Mau nginep di Kostan Selly?"

"Iya, dia ngajakin hang out. Cari jodoh dong Mbak, ya masa gue nyari selisih dana terus."

"Jodoh nggak dapet, masuk angin ia."

*****

Saat kita ingin menghindari seseorang, entah kenapa Tuhan dengan indahnya selalu mempertemukan kita dengan orang itu.

Padahal Tana masih enggan bersitatap dengan manajernya, tapi apa daya Reno masuk lift ketika pintu lift hampir saja tertutup.

Sunyi, tak ada suara dari keduanya. Tana berpura-pura sibuk dengan ponselnya melihat newsfeed Instagram, padahal ia sama sekali tak berniat melihatnya.

"Kamu boleh bertanya apapun?"

Dahi Tana mengerut ketika Reno berbicara. "Saya?"

"Iya, kamu."

"Saya tidak tertarik, Pak."

"Tidak tertarik atau kamu sudah tahu jawabannya?"

"Saya tidak mengerti maksud Bapak."

"Aren."

Lidah Tana kelu seketika, semua kata sepertinya telah tertelan habis.

"Kamu nggak mau nanya tentang itu sama saya?"

"Nggak, Pak." Tana menggeleng, meski sebenarnya ia ingin tahu mengapa Reno tak memperkenalkan dirinya sebagai Aren? "Saya tak cukup peduli sampai harus tau tentang hal pribadi bapak."

Pintu Lift terbuka memberi udara segar untuk Tana, akhirnya ia bisa terbebas dari Reno.

"Dari dulu kamu memang selalu tidak pernah mau tau tentang saya."

TBC

*DHE = Devisa Hasil Ekspor
*PEB = Pemberitahuan Ekspor Barang
*MOU = Memorandum Of Understanding

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top