27. Rushing


Ya Ampun Ranknya naik, aku gak nyangka. Alhamdulillah ya 😊

Kalian tau cerita ini dari mana sih?
Pertengahan Mei yang lalu cerita ini tuh readernya masih gak nyampe ratusan masih puluhan gitu.

Surprising banget bisa nyampe ribuan sekarang readernya 😀

Sekali lagi, Hatur Nuhun dan Makasih XD.

I really know, cerita ini masih banyak kekurangannya. Terutama masalah EBI dan Tanda Baca, Nanti aku Revisi kalau sudah selesai yah XD XD

******

"Meeting apa lagi sih?"

Tana merenggut kesal, mengambil note dan alat tulis. Baru pulang dari luar kota manajernya sudah mengadakan meeting saja.

"Itu yang Transfer Pricing Doc. Sama laporan penempatan harta yang diikutkan Tax Amnesty."

Bang Rahman sedang mempersiapkan Mac Book yang biasa ia bawa saat Rapat, Alvin sedang khidmatnya mendengar musik dari komputernya menggunakan Speaker Bluetooth.

"Aku pun mulai berpikir, ku sakit hati dan mulai ku merasa... Cukup tau...,"

"Berisik nih yah." omel Tana, ia melempar Alvin menggunakan pensil di tangannnya hingga Alvin megaduh.

"Penganiayaan ini namanya."

"Lo berisik, rapat sana gantiin gue."

"Biasanya, kalau rapatnya cuman perwakilan kan cukup Lo sama Bang Rahman aja. Gue sama Mba Lani kan Figuran."

"Terus gue gak ada yang bantu?"

"Terus Aku kudu piye?"

Dasarnya Alvin memang tidak terlalu menyukai Meeting, mana mau dia menggantikan Tana kalau tidak terdesak.

"Gue liat tadi mukanya si Bos ditekuk terus, jangan-jangan ada masalah sama Subsidiary yang di Lampung."

"Lo liat si Bos pas kemana, Mba?"

"Tadi pas si Bos khotbah di anak Tax."

"Eh... Anak Tax kena masalah? Jangan sampai kita juga kena khotbahnya lagi."

"Yah mangkanya gue nyuruh Tana nyiapin apa aja yang bakal dibahas nanti." ucap Bang Rahman yang dibalas cengiran oleh Tana.

"Bos lagi PMS kali."

"Si Tana yang lagi PMS mah Mbak." Alvin sukses mendapat lemparan pensil untuk kedua kalinya.

"Gue laporin ke Komnas Perlindungan Anak lo, tindak penganiayaan."

"Najis banget, anak dari hongkong." cibir Tana dengan kesal, Alvin memang menyebalkan apalagi soal ia yang ternyata memberitahu Reno waktu itu. Pasca Tana dijemput Reno waktu itu, Tana sama sekali tak memperbaiki hubungannya dengan Reno.

Tana sukses mengabaikan Reno di hari Senin, dan hari berikutnya seperti Tuhan sedang berpihak kepadanya karena Reno harus ke luar kota selama tiga hari.

"Udah deh, cepetan ke Meeting Room."

Dengan langkah malasnya Tana mengekor di belakang Bang Rahman, pasti dia akan bertemu Keisha dan Yunita.

Bukan karena Tana tidak menyukai dua perempuan itu, hanya saja terakhir kali bertemu di toilet keduanya tengah membicarakan soal Reno.

Jelas bukan rahasia umum jika Yunita menyukai Reno, mungkin saat itu Tana tidak peduli tapi sekarang jelas beda. Ada perasaan tak nyaman saat Yunita menunjukan dengan eksplisit tentang rasa sukanya pada Reno.

Reno memasuki ruang rapat dengan wajah datar seperti biasanya, pria itu terlihat biasa saja tak ada yang terlihat berbeda.

Sementara Tana hanya menunduk berpura-pura fokus dengan notenya, sungguh di luar dugaan ketika Tana mempersiapkan hatinya agar tidak mengingat kejadian di resepsi Falyn. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, saat melirik wajah Reno sekilas yang terbayang di pikirannya adalah saat Reno memeluk Arin dengan wajah marahnya. Bisa kah Tana simpulkan jika itu ada sikap protektif Reno untuk Arin.

Ya Allah, kenapa yang membekas waktu Reno pelukan sih.

"Jadi untuk bagian Tax ada yang mau ditanyakan?" Reno memfokuskan netra nya tepat pada anak Tax.

"Tidak ada Pak, kalau untuk harta Tax Amnesty mungkin enggak terlalu berpengaruh ke depannya, tapi untuk bagian Accounting justru sangat berpengaruh." jelas Keisha, pada dasarnya yang diucapkan gadis itu memang benar. Tapi tolong lah ya, itu wajah jangan berseri-seri begitu karena dinotice manajer.

Kali ini Reno melirik tepat ke arah Tana, enggak bisa sama Bang Rahman aja gitu tatap-tatapannya?

"Untuk Harta Repatriasi kita bisa Keep di Indo, karena kan memang enggak boleh keluar dalam batas waktu yang ditentukan." jelas Bang Rahman, ia melirik Tana sekilas memberi kode agar Tana menjelaskan soal penyusutan yang mungkin mempemgaruhi Laba tahun ini.

"Seperti yang kita tau, jika Fixed Asset yang di TA kan tidak bisa disusutkan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Artinya Beban Penyusutan akan berkurang, meski tidak signifikan artinya tidak ada penambahn beban penyusutan berarti Laba akan naik." Tana memutar pulpennya di atas meja hanya untuk mengurangi rasa gugupnya, biasanya ia tidak pernah merasa segugup ini. Reno masih menatapnya dengan tatapan menghakimi.

"Tidak ada masalah, lagi pula persentase beban penyusutan tidak terlalu material dibanding beban yang lain. Kemarin saat di Lampung ada masalah dengan barang Retur dari perusahaan Retail yang nilainya puluhan Milyar tapi yang terlapor di Retur tidak sesuai dengan barang yang ada."

"Sebenarnya itu karena mereka terlambat lapor Retur sehingga ketika mereka mengembalikan 46.000 Karton yang dilapor di Retur hanya 36.000 Karton. Artinya secara Pajak yang bisa diakui hanya 36.000 karton." jelas Keisha.

Rasanya Tana ingin tertawa ketika Keisha menjelaskan hal seperti itu, Reno jelas sudah tahu tentang pengakuan secara pajak. Pria itu jelas ingin tahu masalahnya lebih dulu dibanding pengakuannya.

"Marketing sudah memiliki rencana akan mengekspor barang Retur tersebut, hanya saja yang bisa kita lapor di PEB sesuai barang terlapor di Retur, kerugian atas barang yang tidak terlapor bisa kita adjust ke Potongan penjualan." Bang Rahman memberi intruksi pada Tana agar menjelaskan masalah Quantity barang yang diekspor.

"Sisa Quantity yang tidak terlapor bisa kita upgrade sebagai produk baru dari hasil produksi."

"Bagian Cost?"

"Biaya tidak bertambah tapi nantinya hasil produksi bertambah, cukup impas k walau biaya produksi tidak naik. Setidaknya kita sudah membebankan ke potongan penjualan, Meski harga pokok produksi turun."

"Okay, saya tunggu hasil print out laporan perihal Retur."

********


Boss.an.

Udah makan?

Pulang sama siapa?

Tana hanya mendengus membaca sekilas pesan dari Reno, ia masih dalam tahap mengabaikan Reno.

Yang terbaik menghukum seseorang bagi Tana bukan dengan cara memarahinya atau melukai orang itu dengan cara yang sama, bagi Tana mengabaikan orang itu seperti lebih setimpal.

"Tan."

"Tan."

"Tanaa...." Selly berteriak tepat di samping telinga Tana.

"Enggak usah teriak kali, Sell." Tana melirik ke arah sekitar toko baju yang sedikit ramai, untung mereka tidak jadi pusat perhatian karena teriakan Selly.

Saat Selly mengajak Tana pergi shoping ke Central Park, ia sedikit malas. Karena pada dasarnya Tana memang bukan perempuan yang senang menjajakan kakinya dari satu outlet ke outlet lain.

"Lo ngelamun aja, gue tanya barusan warna hijau atau putih lo diem aja enggak denger."

Tana hanya memamerkan deretan gigi putihnya tanpa merasa bersalah, "Kurang Aqua kayaknya gue."

"Yeh."

Selly mendengus, ia cukup memaklumi sikap Tana kali ini yang seperti anak ayam kehilangan induknya.

"Jadi masih warzone nih sama Reno?"

"Bodo ah, lagian dia ngeselin."

"Tapi ngangenin kan?" ejek Selly dengan sebelah mata yang berkedip. "Tiga hari enggak ketemu masa enggak ada rindu-rindunya?"

Rindu sih, tapi gengsi kalau bilang duluan.

"Enggak." lain di mulut lain di hati, maunya bilang kangen. Tapi yang dikangenin lagi ngeselin.

"Terus yang lo bilang Yunita, itu siapa lagi? setelah Falyn, Arin, dan sekarang Yunita." tanay Selly, tangannya sibuk memilih baju. Tana sudah pusing sendiri melihat Selly yang hyperaktif.

"Sama Yunita sih sebenernya karena digosipin di kantor, Reno ketauan jalan di CP bareng Yunita. Untungnya gue gak pernah ketauan jalan bareng."

Selly tertawa terbahak mendengar ucapan Tana, "Gimana mau ketauan, Lo paling jalan di warung kaki lima. Dikasih pecel lele sama nasi goreng pinggir jalan aja udah seneng, beda ceritanya kalo lo jalan ke Grand Indonesia, Taman Anggrek atau Season City. Mangkanya punya perut agak mahalan dikit."

Wuashuuu, ini punya temen mulutnya bener-bener gak diayak.

Tapi apa kata Selly memang ada benarnya, mana ada temen sekantor Tana yang makan di kaki lima. Mereka kebanyakan Gengsi.

"Tana."

Saat berbalik ke sumber suara, Tana melihat Ibunya Aren tengah menuntun Kenji. Kemana Baby Sitternya? Tana menggeleng pelan, mengenyahkan pertanyaan konyol yang mampir di otaknya.

"Tante." Tana melangkah mendekati Ibunya Aren, kalau Tana tidak salah nama Ibu Aren itu Sofi. Tana mencium tangan Ibu Sofi, "Sendiri aja, Tante?"

"Ini sama Kenji."

Astagfirullah, kayaknya Tana beneran harus minum Aqua galon. Ya kali Kenji ini boneka kayu macam Pinokio, bukan orang gitu.

"Salim sama Ateu Ana." Kenji melakukan apa yang diperintahkan Neneknya, gigi putihnya berderet saat bibirnya menyunggingkan senyum.

"Atteu apa kabal?" Kenji mengedip-ngedipkan matanya sebelum mengusapnya pelan, sepertinya anak itu sudah mengantuk.

"Baik, sayang. Kamu gimana?"

"Mau beli Hop Hop, engga boleh tapi sama Eyang." Kenji mengurucutkan bibirnya. Yang ditanya kan kabar, bujan Kenji mau apa. Tana hanya tersenyum.

"Tunggu dulu sebentar yah."

Eh Selly kemana? Tana celingukan mencari temannya, kebiasaan Selly suka menghilang kalo Tana khilaf sedikit. Pasti ke Kamar Pas.

"Mau sama Atteu Ana beli Hop Hop nya?" Tana mengulurkan Tangannya untuk menggengam jemari mungil Kenji.

"Mauuuu...!"Seru Kenji dengan riangnya.

"Tante lagi nunggu sepatu yang dicariin sama Mbaknya." ucap Ibu Aren dengan raut wajah tidak enaknya. "Kenji udah enggak sabar banget dari tadi."

"Enggak apa-apa sama aku aja Tante, lagi pula aku enggak lagi ngapa-ngapain. Temenku ilang enggak tau kemana."

"Hop Hop." Kenji terus berceloteh sepanjang koridor Mall.

Tana sudah mengirim pesan lewat Whats app jika ia sedang di Lantai Food Court pada Selly, sementara Tante Sofi akan menyusul jika sudah selesai dengan sepatunya.

"Hop Hop enak Atteu." Kenji menyeruput minumannya, rasanya agak mengaharukan melihat Kenji. Reno pernah bercerita pada Tana jika Kenji memang tidak terlalu diperhatikan ke dua orang tuanya.

Tana memilih rasa minuman yang sama dengan Kenji, mereka duduk bersisian agar Tana lebih mudah menjaga Kenji.

"Enak mana sama Es Krim?"

"Es Klim, tapi Om Alen bilang makan es klim bisa bikin sakit panas."

"Terus Kenji suka apa apa lagi, selain power rangers?" tanya Tana, tidak terlalu sulit mengajak Kenji bicara. Ia terbilang anak lelaki yang cerewet.

"Kenji suka Lego, Om Alen beli banyak." Kenji memamerkan ke sepuluh jarinya.

"Om Alen...,"

Yang seharusnya terkejut adalah Tana karena Reno bisa ada di sini, bukan justru Reno dengan wajah kakunya.

Kalau saja tidak ada Kenji, sudah pasti Tana lebih memilih meninggalkan Reno.

"Tadi Mamah minta jemput, katanya nunggu di Food Court." jelas Reno saat Tana hanya diam membisu. "Ini Arin, temen aku."

Iya aku tau, yang buat kamu ninggalin aku di pestanya Falyn kan?

"Aku Tana, Staffnya Pak Reno di Kantor." Tana bisa melihat wajah Reno yang mengeras, mungkin karena ucapan Tana yang melukainya.

"Arin," Aryana mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Tana. "Waktu di resepsi Falyn belum sempet kenalan."

"Wah Mbaknya inget saya di pernikahan Mbak Falyn." Tana menatap Reno sekilas. "Padahal yang pergi sama saya aja lupa dia ngajak saya."

Tana tertawa ringan seolah yang baru ia ucapkan adalah lelucon yang layak ditertawakan.

"Mamah pikir masih lama jemputnya, habis tadi kamu bilang mau anterin temen kamu dulu." Ibu Aren datang dengan menenteng paper bag, "Mangkanya Mamah bilang kamu ke Food Court aja."

Awkward.

Tana lebih memilih pamit pada Tante Sofi, ia tidak mempedulikan Reno yang menyuruhnya untuk tetap tinggal.

"Kamu kekanakan."

Reno menggenggam jemarinya, menariknya masuk ke dalam lift yang hanya terisi beberapa orang.

Diam, Tana masih enggan berbicara. Ia masih dalam mode mengabaikan.

Dengan gusar Reno membuka pintu mobilnya, lewat tatapannya ia menginstruksi Tana agar segera masuk.

"Aku pulang bareng Selly." Tana merogoh Tasnya mencari keberadaan ponselnya.

"Aku anterin."

"Gak usah." Akhirnya ia bisa menemukan ponselnya, Tana dengan cepat menyuruh Selly ke Basement. "Lagian kamu harus nganterin Kenji pulang, belum lagi kamu juga sebelumnya mau nganterin temen kan? Aku gak mau nambah beban kamu."

Reno menggeram frustasi dengan sikap keras kepala Tana, padahal sudah tiga hari tidak bertemu rasa rindu sudah menyeruak di hatinya. Bukan balasan yang sama didapat justru kemarahan Tana yang semakin menjadi.

"Kita perlu bicara." Reno balik menatap Tajam Tana, berharap Tana akan menuruti kemauannya.

"Enggak sekarang, kamu harus anterin Tante Sofi dan Arin pulang."

"Kapan?" suara Reno meninggi. "Kamu menghindari aku."

"Aku gak menghindar." cuman mengabaikan, batin Tana.

"Oh Ya?" sebelah Alis Reno terangkat, melangkah mendekat ke arah Tana. Mengunci pergerakan Tana agar gadis itu tidak lolos kali ini. "Puluhan panggilan tidak terjawab, berapa banyak pesan yang aku kirim ke kamu? Enggak ada satupun yang kamu balas."

Reno mengusap wajahnya, rahangnya mengeras menunjukan gurat-gurat emosi yang terpendam. "Karena Arin? kamu marah cuman karena aku nganterin Tempo hari?"

Lalu hari ini artinya apa? Artinya kebersamaan kamu sama Aryana, nggak sengaja?

"Enggak, aku sama sekali nggak marah tentang kamu yang mengantar Arin. Justru dengan begitu aku tau siapa yang kamu prioritaskan." Tana menunjuk dada Reno dengan pelan. "Kamu lebih memilih mengabaikan aku waktu itu, artinya aku tidak cukup berarti dibanding Arin."

"Arin sakit Tan, pacarnya itu Psycho. Aku cuman mau nolong dia, enggak lebih." Reno memainkan anak rambut Tana, berharap Tana mau menatap ke dalam matanya.

"Kenapa bukan temen kamu yang lain yang menolong Arin?"

"Karena mereka pikir aku yang lebih dekat dengan Arin."

"Aku pulang bareng Selly."

"Kamu jangan diem begini dong, lebih baik kamu marah sama aku. Pukul aku atau apapun itu, jangan mengabaikan aku lagi." Reno menarik Tana dalam pelukannya. "Aku beneran enggak tau harus ngapain buat memperbaiki semua ini, aku udah jujur sama kamu."

"Aku mau pulang."

Selly berdiri di sana, mempermudah Tana agar bisa pulang tidak bersama Reno. Membiarkan prianya termenung dengan sejumput rasa sesak.

********

"Vin." Tana menyenderkan kepalanya di Bahu Alvin.

"Menurut Lo, pasangan yang baik itu yang gimana?"

"Lo bukan lagi mau ngajak gue pacaran kan cuman karena lagi marahan sama si Bos."

"Enggak lah, sampe semua tukang bubur naik haji juga kita kayaknya enggak ada cocok-cocoknya jadi pasangan."

Alvin mengerutkan keningnya, ini dia sekarang kok kayak partner Tana di mana-mana. Harusnya malam ini Alvin sedang menikmati secangkir kopi di sebuah Cafe di daerah melawai, bukannya mengantar Tana pulang dengan naik kereta saat ini karena ternyata Selly bersama pacarnya.

"Sebenarnya aneh gak sih? kalo Lo nyari pasangan yang bisa menutupin kekurangan lo, padahal kan kekurangan dari dalam diri kita itu tanggung jawab kita. Di luar kekurangan fisik pastinya."

"Misalnya, gue nyari pasangan yang rajin menabung, hemat pandai merencanakan keuangan. Percuma aja mau pasangan gue hemat kaya gimana juga kalau gue boros sama aja bakalan gue abisin juga nantinya.*"

"Jadi?"

"Gue nyari pasangan yang mau berubah ke arah lebih baik bersama-sama, bukan nyari pasangan yang mau menutupi kekurangan gue. Karena apa yang gue bilang tadi, kekurangan dalam diri kita itu tanggung jawab diri kita sendiri."

"Vin." suara rendah Tana mengusik Alvin. "Gue jahat banget gak sih sama Reno? marah sama dia sampai sekarang. Gue bahkan rasanya males dengerin penjelasan dia."

"Tana yang suka galau karena nonton drama, akhirnya bisa galau karena cowok juga." ledek Alvin dengan tawa yang mengejek. "Coba dengerin baik-baik apa yang dijelasin Reno, lo coba tatap matanya waktu dia ngomong sama Lo. Orang kalau bohong bakalan keliatan kok, tapi Reno. Dia kayaknya beneran cinta sama Lo, cuman lo aja yang mengutamakan gengsi. Cewekan gitu, bilang kangen duluan aja susahnya minta ampun."

"Kangen."

"Ngapain kangen sama gue?"

"Sama Reno." Rengek Tana membuat Alvin geli.

"Najis, makan tuh gengsi."

********

*Quotes dari Sabtu bersama Bapak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top