10. Rushing

Wow, thankyou buat kalian yg udah Vote cerita ini. Gak nyangka bisa sampe 60 vote di part 9 kemarin.
Alhamdulillah yah, tebar confeti ala-ala. 🎉🎉
thankyou so much 😘😘

.
.
.
.

Sejak keluar dari ruangan Reno, Tana jadi lebih diam. Pikirannya masih melayang di antara delusi yang diciptakan oleh Reno.

"Oy...." Alvin menepuk bahu Tana yang sedang menopang wajah dengan sebelah tangannya. "Bengong terus, kambing tetangga gue kemaren kesambet gara-gara kebanyakan bengong."

"Eh Chipmunk rese." Tana memukul pelan lengan Alvin, "Ya kali gue disamain kaya kambing."

"Ya udah bukan kambing," Alvin menahan Tawanya melihat Tana yang mengerutkan keningnya. "Tapi Ibunya kambing."

"Sama aja, Nyuk."

"Anjir." Alvin memekik. "Tadi chipmunk sekarang nyuk, bentar lagi juga nama gue ganti lagi."

"Bodo."

"Tadi liat Mba Falyn masuk ruangan Pak Reno, gak?" Mba Lani langsung ikut bergabung, berkumpul di kubikel Tana bersama Alvin.

"Falyn yang staf divisi perencanaan itu?" tanya Alvin dengan wajah yang berusaha mengingat bagaimana rupa cantiknya Ralyn.

"Huum." Mba Lani mengangguk antusias.

Gosip Time.

"Gue denger nih, dari sumber yang terpercaya. Kalo bos kita punya hubungan sama Mba Falyn."

"Terus Yunita di kemanain?"

"Emang Pak Reno sama Yunita kenapa?" tanya Tana dengan wajah penasaran, bisa-bisanya ia ketinggalan hot news.

"Waktu kapan yah. Gigi mergokin Yunita sama Pak Reno lagi jalan, di Central Park."

"Ngapain?"

"Arisan." Jawab Mba Lani gemas. "Jalan lah, Tan. Ya kali dia mau nyalon bareng."

Oh,

"Pasti ada hubungan lebih dari sekedar teman." Intuisi Alvin udah kayak detektif kalau masalah gosip.

"Gosip aja lo, vin." sungut Tana.

"Eh jangan sembarangan sama gosip." kelit Alvin dengan wajah seriusnya.

"Gosip adalah Fakta yang tertunda."

Heh,

Mana bisa begitu? gosip is gosip. Dari mulut satu ke mulut lainnya pasti selalu beda, hukum alamiahnya memang begitu.

Salah satu cara menghilangkan stress selain shoping bagi perempuan adalah dengan bergosip.

Tana masih ingat jelas petuah Mba Lani itu, meski perempuan memang tak harus menggosipkan hal yang serius. Yang penting dalam kadar normal kegosipannya.

"Wajar sih, si bos banyak deketin. Tampang Cover Boy begitu."

"Iya sih, coba gue yang kayak Bos. Udah disangka Terong pecicilan dah."

"Bukan Terong pecicilan lo sih, Terong disemur."

"Lagi sariawan neng, diem aja." Alvin melirik Tana yang sedang berpura-pura sibuk dengan ponselnya. "Mentang-mentang cutinya nggak diapprove."

"Udah gak diapprove, dideportasi pula ke Surabaya." ucap Tana lesu, "Kurang ngenes apa coba gue?"

"Nikmatin aja prosesnya." dengan santai Alvin menepuk bahu Tana, lalu tepukan itu berpindah ke kepala Tana. Layaknya gerakan bola basket yang memantul Alvin melakukannya secara berulang. "Nanti juga indah pada waktunya, kalo butuh bantuan kan ada gue."

"Unchhhh unchhh... co cweet banget abang satu ini." hazel Tana mendongak menatap Alvin yang kini malah gelapan sedikit kikuk.

"Kita kan Sahabat, susah senang bersama. Kalau adanya pas susah doang itu namanya pengkhianat."

"Aduh geli gue denger lo ngomong, Vin." tawa Mba Lani mengudara membuat fokus staf akunting terpaku pada mereka bertiga.

"Yeh benerkan gue."

"Iya bener, apasih yang gak buat Abang Alvin." Tana balas meledek Alvin dengan suara manjanya.

*******

Selly.

Tan.
Tan.
Tan.
Jadi Lo mau dateng sama siapa ke nikahannya Ardi?

Tana menggernyit sebelum akhirnya tersadar dengan pertanyaan Selly di whats app.

Nah kan sama siapa? gini nih gak enaknya jomblo, gak punya pegangan pas acara kondangan.

Pikiran Tana menerawang mengingat teman sekelasnya waktu kuliah yang masih available siapa aja, walaupun available pasti mereka membawa gebetan ke resepsi pernikahan itu.

Ya Tuhan, coba ada Rental Pacar. Kan Tana gak usah bingung nyari pegangan, Alvin mana mau diajak ke acara nikahan.

"Tan." Arini menepuk pelan pundak anaknya yang tengah duduk santai di depan televisi. "Mata kemana pikiran kemana lho. Kasian itu TV dikacangin."

"Arka kemana Bu?" tanya Tana, tumben sekali adik lelakinya satu itu belum pulang sudah pukul delapan malam masih belum terlihat batang hidungnya.

"Lagi belajar kelompok sama temennya, kejar target biar bisa masuk ITB."

Tana mengangguk mengerti, Arka memang menargetkan ITB di pilihan utamanya. Beda dengan adik pertama Tana, Randita. Tana dan Adik pertamanya satu almamater, Universitas Indonesia. Hanya beda Fakultas saja.

"Mentok-mentok UI lagi aja sih Bu."

"Arka enggak mau, dia pengen ITB yah kalau tidak IPB. Pengen beda dari kakak-kakaknya, masa semuanya satu almamater."

"Yah memangnya kenapa?"

"Gak tau lah, tau sendiri Arka orangnya susah diatur."

"Kamu tau Bu Karen gak?" tanya Arini, pasalnya dua hari yang lalu Arini bertemu Karen. Mereka berbincang tentang keluarganya sekarang.

"Iya tau, bu. Yang istrinya dokter Santoso kan?"

"Iya. Inget anaknya nggak? Genta?"

"Iya, yang seumuran sama aku kan?"

"Dokter juga lho sekarang."

"Ya, Terus?" Tana mulai mencium sesuatu yang aneh, biasanya kalo orang tua udah mulai muji-muji anak lelaki di depan anak perempuannya. Pasti ada yang gak beres.

"Bu Karen pengen Genta kenal lebih dekat sama kamu."

Tuh Kan.

"Maksudnya?"

"Ya, kali aja kalian cocok. Mau ya?"

Ya Allah, itu senyum Ibu Arini kenapa ada manis-manisnya. Mana tega sekarang Tana bilang ngga. "Iya, Tana coba. Tapi gak janji bisa ikutin sesuai niatan Ibu ya."

"Iya. Mulai pelan-pelan aja, ibu udah kasih no kamu ke Bu Karen lho. Biar Genta bisa hubungin kamu." Arini tersenyum penuh arti melihat mulut Tana yang membentuk huruf O.

"Ibu udah selangkah di depan aja." ucap Tana tak percaya, sepertinya Ibu nya benar-benar berniat menjodohkannya dengan Genta.

*********

Pagi ini dimulai dengan mood Tana yang sedikit rusak karena gangguan commuter line, lalu penumpang yang membludak karena gangguang tersebut.  Alhasil ia pasti terlambat tiba di kantor.

Tana menarik napas lega ketika keluar dari kereta, penumpang berhamburan memenuhi stasiun layaknya semut. Stasiun Sudirman memang selalu padat, beruntung tak ada aksi jambak-jambakan karena kepadatannya seperti yang sedang banyak dibicarakan.

Setelah sampai di Tower Kantornya, Tana langsung naik ke lantai di mana Divisi keuangan berada. Tower ini memang milik perusahaan Tana bekerja, hanya saja yang di pakai beberapa lantai. Dari 48 Lantai, yang dipakai hanya 6 lantai sisanya disewakan.

Tana mengendap-mengendap memasuki ruang divisi keuangan, bukan karena ia terlambat Tana hanya mau menghindari Reno.

Memangnya Reno siapa seenaknya saja cium-cium, kalo sekali mungkin dia khilaf ini kedua kali namanya apa? mana mukanya masih aja sedatar tembok setelah berhasil membuat hati Tana meletup-letup layaknya kembang api tahun baruan.

Dari radius sepuluh meter tidak ada tanda-tanda Reno yang terekam di retinanya, "Huffffft, aman."

Tana mengusap pelan dadanya menghembuskan napas lega, "Kayaknya lagi briefing."

"Siapa yang lagi briefing?"

"Wowh." Tana tersentak begitu menyadari jarak Reno yang begitu dekat denganya, Reno bertanya di balik punggung Tana dengan napas hangat yang menerpa leher Tana.

"Kamu kenapa kayak kancil ngendap-ngendap?"

"Kancil mana ada ngendap-ngendap, Pak. Larinya kenceng lho kalo Kancil."

Penting banget hal sepele itu dibahas? Tana tak peduli, yang penting ia bisa mengalihkan pembicaraan.

"Kenceng mana sama detak jantung kamu kemarin?"

Astaga, kemarin? kemarin yang waktu Reno ngecup sayang sudut mata Tana gitu?

Mata Tana langsung mendelik tak suka, ia menatap sekeliling takut-takut ada yang lewat terus gosip yang ngga-ngga tentangnya dan Reno. Maklum saja kecepatan rambat gosip itu lebih cepat dari cepat rambat cahaya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top