1. Rushing
"Yang bener aja Pak?"
Sebodoh Iblis mau dibilang enggak sopan atau melunjak bos sendiri, Tana enggak peduli.
Ini sudah pukul sebelas malam, dan Albima Mareno si Manajer sialannya masih menahan dirinya karena sebuah laporan yang harus diselesaikan secepatnya. Besok Weekend, apa susahnya senin saja ia kerjakan.
Dari sekian banyak anggota Departement Accounting, kenapa harus Tana gitu? Kenapa selalu dia yang terjebak bersama si Manajer Gilanya? Hah?
"Saya harus pulang, Pak." Tana menggeram kesal, "Kalau Bapak lupa, saya pulang ke Bogor lho."
Dan sialnya pria itu masih duduk dengan tenang, tidak peduli dengan Tana yang sudah kalang kabut.
"Itu 'kan Perusahaan tanggungjawab kamu, jadi sudah sewajarnya dong saya minta kamu revisi sekarang."
Oh Tuhan, ini manajernya sungguh menyebalkan. Kalo sudah begini Tana harus pasrah, ia bisa naik Taksi ke Bogor.
Dengan langkah yang dihentak kesal Tana keluar dari ruangan Reno, di tangannya sudah ada Laporan Keuangan yang harus di revisi.
"Reno sialaaannn!!!" Teriak Tana kencang, tidak akan ada yang mendengarnya karena di ruangannya sudah tak berpenghuni.
Reno sama sekali tidak akan mendengarnya karena ruangannya kedap suara, Tana harus bersyukur karena hal itu ia bisa mengumpat sesuka hati tanpa takut terdengar oleh Reno.
"Awas aja, abis nyelesaian masa Konsolodasi gue tinggalin." Tana Tertawa mengingat dirinya yang berniat berhenti setelah perusahaannya selesai menerbitkan Laporan Keuangan Konsolidasi dengan Perusahaan Subsidiaries nya.
"Biar gue nggak usah liat muka asemnya, dia pikir siapa suka seenaknya nyuruh ini, nyuruh itu." Tangan Tana tidak tinggal diam, jemarinya dengan cekatan menari di atas keyboard mengolah angka di dalam Excel yang sudah menjadi makanannya sehari-hari.
"Mana ada Karyawan kayak gue coba," Tana masih dengan santainya bermonolog. Dia benar-benar harus istirahat total besok, "Loyalitasnya tinggi banget."
"Pantesan ini Laporan salah."
Senyum mengembang tercetak jelas di wajah Tana, ia segera memprint out laporan yang sudah ia revisi. Langkahnya terasa ringan masuk ke ruangan Reno, ia ingin cepat pulang. Tana tak lagi mengetuk pintu ia langsung masuk begitu saja
"Pak, selesai nih."
"Jadi kenapa beda dengan controller yang kita buat?"
"Itu karena penjualan yang dilapor di SPT PPN beda dengan Penjualan di Buku mereka. Entah Penjualan menurut buku atau Invoice yang salah, yang jelas PEB dan Invoice berbeda."
"Tapi PEB dengan penjualan di SPT PPN sama?"
"Sama Pak."
"Konfirmasi bagian Pajak, bisa-bisanya mereka lolos verifikasi PEB nya."
Tana hanya diam mendengarkan tanpa ada maksud menyela.
"Tunggu apa lagi?"
Mulut Tana terbuka sempurna, "Sekarang?"
Reno mengangguk, bicaranya sangat irit tapi sekalinya bicara pedesnya kayak cabe.
"Bapak gila yah? ini jam 11 malem pak, dan asal Bapak tau, kita tinggal berdua aja di Divisi Keuangan." Tana memasang muka melasnya, gurat-gurat wajahnya menyiratkan dengan jelas jika ia benar-benar sudah lelah. "Bapak seneng banget nyiksa saya."
"Kamu nggak bilang kalo Anak Pajak sudah pulang semua." kelit Reno, pria satu ini memang pandai cari alasan.
Jika saja bukan karena gaji yang lumayan besar, Tana sudah pasti tak mau bekerja dengan Manajer menyebalkannya ini.
"Terserah." Tana membuang napas kesal, setelahnya ia langsung pamit pulang. Ia harus segera memesan taksi, agar bisa cepat sampai rumahnya.
Tana tidak pernah mengeluh soal sulitnya pekerjaan dia sekarang, ia hanya terkadang kesal dengan Albino alias Albima Mareno. Pria itu selalu menekan dirinya dalam hal pekerjaan, padahal kebanyakan apa yang diperintahkannya bukan tanggung jawab Tana.
Sudah hampir setengah dua belas malam, dan Tana masih belum mendapatkan Taksi. Kemana taksi yang biasa berjajaran di sepanjang jalan Kuningan?
Tana bisa melihat Range Rover hitam yang baru keluar dari basement, ia mengenal jelas bahwa itu Mobil Reno. Tana pikir pria itu akan menginap di kantor menenggelamkan dirinya dalam dokumen-dokumen berisikan nominal.
Hati Tana cemas tak karuan, takut-takut Reno akan mengajaknya pulang bersama. Setahu Tana, Reno tinggal di Appartement daerah Gatot Subroto cukup dekat dengan kantornya.
"Mana ada gue diajak pulang bareng." umpatan kesal itu lolos begitu saja dari mulut Tana, Pria kejam seperti Reno mana mau mengerti penderitaan kaum jelata seperti Tana.
Tuhkan mobilnya melengos begitu saja, jangankan mengajak pulang bersama. Pria itu bahkan tak menegur Tana yang sedang berdiri di pinggir Trotoar keluar gedung. "Dasar Pria Kejam."
Rasanya Tana ingin menangis jika sudah seperti ini, untung saja ia selalu mengingat nominal setiap bulan yang ia terima di rekeningnya yang cukup besar.
Semakin tinggi nominal yang kau terima. maka semakin besar pula tekanan di tempat kalian bekerja.
Tana itu puteri pertama dari empat bersaudara, Ayahnya sudah meninggal sejak dia SMP. Selama ini Ibunya lah yang bekerja keras menghidupi ia dan ketiga adiknya, Ibu Tana tidak lebih dari seorang Guru di salah satu Sekolah Dasar yang ada di Bogor.
Hingga Tana sudah bekerja sekarang, Tana meminta Ibunya untuk tidak lagi bekerja. Sudah cukup Ibu nya banting tulang untuk menghidupi ketiga adiknya, kini biarlah Tana mengambil sedikit beban di punggung Ibunya.
Langkah Tana terhenti ketika ia akan menaiki Jembatan penyebrangan, Range Rover Reno berhenti dan menglakson berkali-kali.
"Cepet naik!"
Masa Allah Pak, bisa lembut dikit gak sih mintanya.
Kali ini tidak ada gengsi dengan segala atributnya, Tana tidak peduli Reno mau mengantarnya sampai mana. Paling tidak mungkin bisa sampai daerah yang masih menyisakan Taksi.
Ketika bokong Tana menyentuh kursi mobil, tangannya langsung cekatan melingkarkan seatbeltnya. Ia pernah dimarahi berkali-kali oleh Reno karena lupa memasang sabuk pengaman ketika mereka melakukan perjalanan bersama karena ada meeting dengan klien.
"Tumben inget pasang seatbelt." cibir Reno, matanya mulai fokus pada jalanan.
"Lupa dikomentarin, inget juga dikomentarin." Tana menarik napas dalam. "Mau Bapak apa sih?"
"Mau kamu."
Itu tadi Tana salah denger atau apa yah? Bahkan Tana tak yakin jika itu suara Reno, ia lebih yakin jika itu suara penunggu mobil ini yang sedang mencoba menakutinya.
"Pak," Tegur Tana masih dengan ketidakpercayaannya. "Tadi Bapak ngomong apa?"
Reno hanya menarik sudut bibirnya tanpa ada maksud memperjelas ucapannya. "Kita makan dulu, saya lapar."
Detik berikutnya Mobil Reno sudah berbelok ke sebuah restaurant cepat saji. Tana bahkan belum sempat menolak, Reno sudah memakirkan mobilnya.
"Saya nggak bilang setuju untuk makan dulu pak."
"Saya nggak butuh persetujuan kamu."
"Ya udah saya pulang duluan aja Pak, lagian kayaknya di sana sepertinya ada Taksi." Ini sudah mendekati daerah Setiabudi, Tana ingat ada pool taksi di daerah ini.
"Masuk! ikut makan sama saya." perkataan tegas Reno sama sekali tak mengurungkan niat Tana untuk memesan taksi.
"Ini udah tengah malem pak, please jangan ngajak debat. Saya butuh istirahat dan tidur sekarang."
"Perut kamu juga butuh diisi, dari tadi pagi perut kamu hanya diisi dua buah apel." Reno menarik tangan Tana paksa, ia tidak peduli penolakan Tana.
Kening Tana mengerut, bagaimana Reno tau jika dirinya hanya memakana dua buah apel sejak tadi pagi. Ia sendiri bahkan lupa, bagaimana mau ingat makan jika pekerjaannya tak ada habisnya.
Tana menghentikan langkahnya, ia tidak bisa menurut terus menerus pad Reno. Untuk masalah pekerjaan mungkin ia akan selalu patuh, tapi ini masalah di luar pekerjaan jadi terserah Tana mau membantah juga.
"Saya mau pulang, jadi bapak tolong lepasin tangan saya."
"Katanya tadi nggak mau debat, saya sudah lelah Tana. Butuh Tenaga buat nganterin kamu pulang sampai rumah." Kali ini ucapan Reno begitu datar tapi justru mampu membuat Tana terkejut. "Jadi boleh kan saya makan dulu sebelum mengantar kamu pulang?"
Mau nya Tana sih debat ala-ala cewek manis yang suka nongkrong di Starbucks. Kaya Melisa atau Yunita, yang suka malu-malu kucing.
"Beneran bapak mau anterin saya sampai rumah kalo saya temenin bapak makan?"
Reno mengangguk yakin, ia mengusap rambutnya ke belakang. Ia bahkan menanggalakn jasnya tadi di mobil.
Tana mengulum senyum dalam anggukan penuhantusias, kali ini ia yang menarik tangan Reno agar segera masuk Restoran.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top