LIMA

Sudah satu semester aku menjalani hari sebagai mahasiswa Teknik Lingkungan. Pusing? Banget!! Tapi aku bersyukur nilaiku gak anjlok-anjlok banget. Yaa dapet A dua biji, B lima biji dan C satu biji itu mah standar yak?? Yang penting IP-ku masih di atas tiga, walaupun lebihnya cuma nol koma delapan, hehehehe.

Sore ini aku menyetir mobil jeep-nya Papa, karena belakangnya luas dan hari ini aku ada janji sama tukang buat lemari. Yak, lemari buku custom yang kupesan beberapa waktu lalu akhirnya selesai. Memang lama karena desain dari Mama pun ribet parah. Untung gak terlalu besar.

Sebenernya aku agak takut sih bawa mobil ini, aku belum terlalu lancar nyetir mobil manual, takut nabrak. Tapi karena Papa lagi sibuk, jadilah aku yang ditumbalkan.

Sekitar pukul lima sore aku sampai di tempat pengrajin kayu. Ngobrol dikit-dikit sekaligus pesan lemari lagi buat ruang baca di rumah yang kata Mama lemarinya harus diganti karena sudah tua dan bukan kayu jati. Jadi ya gini, kasih desain dan nego harga.

"Udah ya Pak Januar, makasih lo!" Seruku.

"Sama-sama dek Estu."

Aku mengangguk, lalu pamit pulang.

Menyetir pelan, karena aku terus-terusan injek rem saking takutnya ini, aku mengambil lajur kiri biar kalo ada yang mau nyalip bisa ambil lajur kanan dan aku gak diklakson sama orang-orang.

Sengaja mencari jalan sepi, aku masuk ke sebuah perumahan, nyari jalan pintas biar gak ketemu banyak mobil di jalan raya, begitu aku ingin berbelok, aku kaget! Seseorang berlari dari arah yang tak kulihat dan... aku langsung menginjak rem beberapa detik setelah aku menabrak orang tersebut.

Ya Tuhan! Dicabut dah SIM aku sama Papa. Duhhh!

Tanganku bergetar ketika aku membuka pintu, lalu berjalan ke depan. Ada seseorang yang tergeletak dengan kaki sedikit berdarah. Dan tangannya... banyak luka baretan yang sepertinya lumayan parah.

"Kamu! Gak apa kan??" Tanyaku dengan suara yang bergetar.

"GAK APA-APA MATA LO!!!" Bentaknya.

Aku berjongkok melihat pria ini. Darahnya memang gak banyak, tapi aku bisa yakin tulang kakinya kayanya bergeser, terlihat sih kalau bengkok. Dan, tangannya keliatan daging putih-putih gitu. Duh!

"Aku bawa ke klinik ya??" Kataku.

"Gue gak bisa bangun!" Serunya.

Aku langsung mengulurkan tanganku, hendak membantu dia berdiri. Mata pria ini untuk pertama kalinya menatapku, lalu ia menatap tanganku. Tak lama, tangannya yang penuh tato dan luka baret itu menggengam tanganku, dan aku pun segera menariknya.

"Ohhh shitt! Fuck!" Makinya membuatku terkejut.

"Maaf! Sakit banget yaa??" Tanyaku.

Dia memandangku dengan tatapan mencela seolah-olah teriakan di kepalanya terdengar olehku 'Are you insane? You just broke my leg and my arm!' aku berjalan menunduk, tak kuat memandang tatapan tajamnya itu. Lalu membawanya ke kursi penumpang.

Setelah ia naik dengan susah payah, aku menyetir mobil ke UGD terdekat. UGD rumah sakit yang bersatu dengan Mall.

Aku memanggil perawat untuk keluar, biar cowok asing ini dibawain kursi roda gitu.

Seorang perawat memintaku menunggu di luar sementara beberapa awak medis lain menangani korbanku hari ini. Ya ampun, kenapa sial banget? Sengaja cari jalan pintas yang sepi, eh malah nabrak orang.

Sekian menit berlalu, seorang suster menghampirku, mengatakan kalau aku sudah boleh menengok pria tersebut.

"Gimana Sus?" Tanyaku sambil berjalan masuk.

"Tadi kakinya sudah di-rontgen, tinggal tunggu hasilnya paling Mbak, bentar kok gak lama." Katanya.

Lalu aku sampai di sebuah bangkar. Cowok asing bertato ini wajahnya terlihat datar, memandangku dengan tatapan menilai. Bisa kulihat kalau luka ditangannya sudah diperban, begitupun kakinya.

"Maaf!" Kataku, tapi dia diam saja.

"Kata susternya tunggu hasil rontgen, maaf sekali lagi."

Dia masih tetap diam.

"Nama kamu siapa?" Tanyaku.

"Ardra." Jawabnya.

Aku mengangguk.

"Estu." Aku mengulurkan tangan sambil menyebut nama, namun ia tak menjabat lenganku, dia hanya menatap tanganku.

Karena dianggurin, jadi kutarik lagi tanganku. Ini anak sombong banget ya??

Aku berusaha membuka obrolan, tapi si Mantra ini hanya menyahuti setengah hati. Kadang cuma mengangguk, kadang menggeleng, kalo keluar suara pun maksimal dua kata. Hih! Pelit!

Tak berapa lama menunggu, seorang perawat dan seorang dokter datang  menghampiri kami lalu menjelaskan hasil
rontgen, katanya tulang betis bagian fibula-nya agak sedikit trauma karena benturan, gak patah, syukurlah. Gak perlu di-gips, cukup dibebat saja.

Aku mengangguk lega mendengar penjelasan dokter ini.

"Untuk pulih berapa lama ya dok?" Tanya Ardra, wow, sama dokter aja, ngomongnya banyak!

"Mungkin lima hari, setelah lima hari coba jalan normal lagi ya? Bisa ke sini untuk terapi atau ke rumah sakit lain juga boleh." Ujar si dokter.

Ardra mengangguk, lalu aku diminta mengurus adminstrasi, jadi aku mengikuti salah seorang suster di bagian depan rumah sakit.

Setelah membayar, ponselku berbunyi.

PapaGans calling...

"Hallo Pa?" Sapaku menjawab panggilan Papa.

"Lama amat Kak?"

"Heheh ada yang mau diurus dulu." Kataku berbohong.

"Makan malem di rumah apa di luar?"

"Di rumah kok!

"Okee cepet pulang yaa Nak!"

"Oke Paa!"

Aku menutup telefon, saat berbalik aku melihat suster mendampingi Ardra berjalan dengan tongkat. Aku langsung menghampirinya.

"Sama saya aja, Sus." Kataku.

Si suster tersenyum tapi Ardra malah memandangku kesal.

"Ini obatnya tadi udah ditebus sama Masnya langsung!" Si Suster memberikanku seplastik berisi obat.

"Ohhh iya, Makasih Sus."

"Ya sama-sama, Makasih yaaa!" Kataku sambil menerima obat tersebut.

Lalu, aku membantu Ardra berjalan menuju mobilku. Kami jalan dalam diam karena Ardra gak buka suara sama sekali dan aku takut ngajak ngobrol dia.

Sesampainya di mobil, dengan hati-hati aku membantu Ardra naik, ia terlihat meringis ketika harus menggeser kaki kirinya itu. Setelah dia duduk sempurna, aku langsung beralih ke jok kemudi.

Berdoa sebelum jalan, aku berharap gak ada lagi orang yang aku tabrak hari ini.

"Rumah kamu di mana?" Tanyaku saat kami keluar parkiran.

"Atang Sanjaya!" Jawabnya kalem.

Ehh?? Itukan asrama militer?? Duh?? Aku nabrak anak TNI nihh?? Mampus lah aku!! Atau, apa jangan-jangan dia anggota TNI?? Postur badannya sih cocok jadi anggota TNI. Kalo bener... terkutuklah aku karena bikin seorang TNI nyaris cacat.

Aku tak merespon ucapannya itu, tapi langsung menyetir mengelilingi Kebun Raya Bogor ngikutin jalur satu arah untuk nanti menuju Atang Sanjaya.

"Lo baru bisa nyetir yaa!!" Serunya bikinku kaget.

Aku tersenyum, merasa bersalah.

"Aku baru bisa bawa yang manual, yang matic mah lancar." Kataku.

Dia langsung mendecak sebal.

"Papa kamu, TNI Angkatan Udara?" Tanyaku saat kami sudah ada di jalan menuju ATS.

"Kok tau??"

"Ya abis, tinggalnya di ATS, itukan markas TNI." Kataku.

"Ohh gue kira lo mau gombal." Sahutnya.

Aku langsung menoleh, tak menyangka kalau dia bisa becanda juga.

"Hehehe maaf yaa!" Kataku.

"Bosen gue denger lo minta maaf! Lagian denger kan lo kata dokternya? Gak kenapa-napa. Cuma jangan gerak dulu aja beberapa hari!"

"Iya tapi itu pasti sakit kan? Ngilu kan?"

"Ya mau gimana lagi?" Katanya.

Aku mengangguk.

"Di depan belok kanan!" Serunya. Aku mengangguk, langsung pasang lampu sein.

"Noh rumah nomor dua!" Ia menunjuk sebuah rumah sederhana. Khas rumah-rumah TNI gitu, tapi ini dicat warna biru telur asin. Terlihat sejuk karena ada pohon mangga di halaman rumah itu.

"Makasih ya udah anter gue balik!" Katanya.

"Ayok, aku bantu sampe masuk rumah!" Kataku.

"Eh jangan! Bokap gue galak!"

"Gak apa, aku mau tanggung jawab!"

"Denger! Lo gak lari aja itu tandanya lo tanggung jawab, malah lo bawa gue ke RS, terus lo anter gue balik. Lo bertanggung jawab kok!" Jelasnya.

"Tapi gak afdol, masa iya aku ninggalin orang pincang sampe depan rumah doang! Oh iya ini!" Aku memberikan KTP-ku.

"Buat apaan?" Tanyanya kaget.

"Tahan aja sampe kamu sembuh! Itu ada alamat rumah aku, bisa kamu datengin kalo mau minta ganti rugi. Ke Papa aku aja, aku gak bawa duit banyak soalnya." Kataku.

Dia tertawa, lalu menatap KTP milikku yang ada di tangannya.

"Denger yaa! Emm Nareswari!" Serunya sambil membaca namaku yang tertera di KTP.

"Nares! Gue singkat aja ya! Gue gak ada niat minta ganti rugi, dan ini gak seberapa kok! Gue pernah ngalamin yang lebih parah!" Serunya.

Aku mengangguk.

"Tapi izinin aku anter sampe rumah." Kataku.

"Satu syarat!"

"Apa?"

"Diem! Bokap gue ada di rumah. Gue yakin balik berbungkus perban gini gue bakal dimarahin, nah lo diem aja ya?! Bokap gue gak suka dibantah, gak suka argumentasinya dipatahkan."

Aku mengangguk.

"Boleh minta nomor HP kamu?" Tanyaku.

"Mana HP lo?"

Aku langsung mengulurkan ponselku, dan Ardra mengetikkan nomornya.

"Tuh ya! Ardra Pawaka!" Katanya. Aku mengangguk lagi, lalu turun dari mobil untuk membantu Ardra turun.

Selangkah demi selangkah menuju rumah Ardra, aku mendadak tegang. Gak ngerti kenapa indra penciumanku menangkap aroma keringat Ardra yang menyenangkan. Gosh! Aku mulai gila kali ya???

Ardra masuk ke rumahnya, aku ikut bersamanya dan degupan jantungku masih kencang. Lha? Ini jantungku kenapa? Kok kayanya lima menit yang lalu masih baik-baik saja, kenapa jadi gini??

"Kenapa kamu Ardra?!!!" Aku tersentak oleh sebuah pertanyaan dengan intonasi yang sangat berat.

Di hadapan kami, sudah ada seorang Pria yang berdiri tegap dengan tatapan marah kepada kami.

"Ini Pak, gak sengaja saya nabrak Ardra." Kataku membuka suara. Ardra langsung menoleh ke arahku dengan tatapan kesal.

Eh? Kenapa?? Kan aku jujur barusan.

"Di mana rumah kamu?!" Tanya Pria ini, masih dengan nada suara yang sama.

"Taman kencana Pak!" Aku langsung menyebutkan lanjutan detail alamat rumahku.

"Punya SIM gak kamu?!"

"Punya Pak!"

"Punya kok gak becus nyetir! Paling juga SIM hasil nembak!!" Suaranya kini terdengar mencela.

Agak sakit hati aku dengernya, sekalipun itu fakta, tapikan se-Indonesia Raya ini bukan cuma aku yang nembak biar cepet dapet SIM.

"Pulang sana kamu!"

"Ayah jangan gitu dong! Dia udah baik tanggung jawab, anter sampe rumah." Aku menoleh ketika Ardra buka suara.

"Diam kamu! Masuk kamar sana! Dan kamu, pulang sana!"

Aku mencoba tersenyum, lalu kulepas rangkulan Ardra yang sedari tadi kutopang, lalu mengatakan permisi untuk pamit pulang.

Di jalan, aku menghentikan mobil di sisi kiri. Lalu mengambil ponselku.

"Kenapa Kak? Kok belum pulang?" Suara Papa terdengar dikejauhan sana.

"Papa naik grab dong ke Atang Sanjaya. Estu takut bawa mobil! Tadi nabrak!"

"Astaga Kakak!!!! Yaudah iyaaa, Papa berangkat sekarang, share location Kak!!"

Perlahan air mataku keluar, aku bahkan gak tau menangis untuk apa. Sekujur tubuhku terasa bergetar. Aku takut. Aku bersyukur karena tadi Ardra hanya cidera ringan. Aku takut dan aku gak sanggup nyetir lagi, aku takut ada yang celaka lagi gara-gara aku.

Di ponselku, aku mencari kontak baru lalu mengirim sebuah pesan.

Me:
Ardra.. ini Estu
Maaf yaa
Serius gak sengaja nabrak
Tolong bilangin maaf ke Papa kamu
Sekali lagi maaf
Nanti kalau mau terapi jalan,
aku temenin
Maaf

Terkirim, jujur aku gak enak hati banget ini. Aku ngerasa harus bertanggung jawab penuh sampai Ardra sembuh. Lalu, satu notifkiasi masuk, balasan dari Ardra.

Ardra Pawaka:
Haha santai udah
Iyalah yang namanya nabrak pasti gak sengaja
Kecuali lo mau eksekusi mati gue
Itu baru pembunuhan berencana
Santai yee
Bokap gue emang kaya gitu
Gausah diambil hati
Btw, thanks ya Nara udah anter gue
Tau aja motor gue lagi mogok
Jadi dapet tumpangan gratis deh gue
Hahahah

Balasan panjang dari Ardra membuatku tahu kalau dia anaknya santai dan menyenangkan. Terbaca dari isi pesannya.

Me:
Makasih udah mau maafin
Nanti kalo terapi bilang ya??

Ardra Pawaka:
Santai ah Nar!
Lo udah di rumah?
Bisa bales cepet gini?

Me:
Belum
Nunggu Papa jemput
Aku gemeteran, gak bisa nyetir
Kayanya gak bakal bawa manual lagi

Ardra Pawaka:
Jeh??
Lo di mana? Sendirian?
Hati-hati ah! Arah jalan rumah gue kan sepi tuh!!

Me:
Hati-hati kenapa?
Kan ini asrama militer?
Kudunya aman dong?

Ardra Pawaka:
Hahaha iya aman!
Gak ada maling begal dll
Tapi hantu bertebaran 👻👻👻👻

Me:
JANGAN NAKUTINNNNN

Ardra Pawaka:
Baca doa sana!

Me:
Doa mau makan?

Ardra Pawaka:
Sakti!
Hantunya mau lo cemil???

Kemudian aku kaget setengah mati saat kaca sampingku diketuk. Ternyata Papa sudah sampai. Aku langsung membuka pintu dan menubruk Papa, memeluknya erat.

"Kenapa Kak?!" Tanya Papa sambil mengusap rambutku.

"Estu nabrak orang Pa!!"

"Terus gimana sekarang yang kamu tabrak?" Papa melepas pelukanku dan memandangku dengan tatapan serius.

"Udah Estu anter pulang!" Jawabku sambil menangis.

"Yaelah! Selamet toh! Papa kira metong anak orang!" Sahut Papa wajahnya sudah kembali santai.

Ya ampun... nabrak orang gak dianggep serius nih sama Pak Anton??

Keterlaluan!!

****

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xxx

Ps: sepertinya besok dan lusa gue gak bisa update yaa, asli udah hampir seminggu ini gue diare (gak cuma gue tapi sekeluarga diare semua, kaga ngerti dah keracunan apaan ini, karena gue dan orang2 rumah tipe yang males ke dokter) jadi gue mau istirahat dulu lah yaaa. Sampai ketemu hari senin.

****

ARDRA  PAWAKA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top