17~ Selingan
Apa yang kita miliki, syukuri!
Apa yang tidak kita miliki, juga patut disyukuri!
Tuhan tidak akan pernah keliru untuk memberi pada hamba-Nya.
Jangan iri dengan apa yang dimiliki orang lain.
Bisa jadi apa yang kita miliki adalah yang orang lain inginkan.
~L.K~
🍃🍃🍃
Nardo menyusuri jalan dengan motornya yang baru kembali dari perawatan. Setelah menerima lokasi yang dibagi melalui pesan whatsapp, lelaki itu bersiap dan segera berangkat setelah menunaikan salat Magrib.
Lokasinya tidak begitu jauh dari sekolah, kurang dari setengah jam, Nardo sudah sampai pada alamat yang dituju. Sebuah rumah dengan halaman luas, berpagar hitam dengan tiang listrik di sisi kanannya. Ada juga pedagang kaki lima di seberang jalan rumah itu.
Nardo menghubungi si pemilik rumah. Seorang laki-laki dengan pakaian santainya berlari kecil dan membuka gerbang untuk si guru PKn. Keduanya saling melempar senyum.
"Dah sehat si kuda? Kapan diambilnya?" tanya si pemilik rumah.
"Ho'oh, sehat banget, Bang! Sepulang sekolah tadi sudah dapat telepon suruh jemput."
"Langsung parkir depan garasi, biar nggak kehujanan. Kayaknya bakal hujan gede malam ini."
Nardo turun dari motor dan menuntunnya sampai di tempat yang dimaksud. Sementara itu, Radit si tuan rumah sudah menunggu di teras rumahnya. Beberapa toples berisikan makanan ringan dan seteko minumn sudah tersaji di meja.
"Mau ada tamu, Bang?" Nardo bertanya sambil melucuti helm, jaket, dan sarung tangan.
"Nggak ada, sih! Emang biasanya disediakan sama Bunda, kebiasaan pas ada sepupu main biar nggak panggil-panggil lagi katanya.
"Saya nggak gangggu, 'kan? Kalau ada kegiatan lain lanjut aja, Bang! Saya di sini saja."
"Nyantai aja, anggap rumah sendiri. Lagian gabut juga nggak ada temen tiap harinya."
"Wes waktunya cari istri. Biar ada yang nemenin tiap malam," goda Nardo.
Keduanya terbahak sambil mulai mempersiapkan pekerjaan masing-masing. Nardo menyalakan laptop dan mengeluarkan setengah bagian dari berkas yang tersisa. Sementar itu Radit juga menyalakan laptopnya untuk mengerjakan rekap catatan pelanggaran beserta solusi yang diberikan.
Banyak bekerja, sedikit berbicara. Hanya sesekali keduanya mengobrol dan membahas beberapa siswa yang bermasalah. Begitulah guru, di sekolah mereka membahas anak didik. Di rumah ternyata masih memikirkan hal yang sama.
Bahkan sering kali guru juga menyelipkan sebait doa untuk kesuksesan anak didiknya. Menyelipkan doa-doa diantara sekian doa untuk keluarganya sendiri. Bukan darah daging sendiri, tetapi memiliki tempat tersendiri.
🍃🍃🍃
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rintik yang sedari tadi turun satu persatu berubah menjadi deras. Rintiknya turun bersamaan dan membuat gemuruh yang lumayan keras. Beberapa kali petir menampakkan cahaya dan suara yang bersamaan.
Sinar dari arah gerbang membuat Radit mengernyitkan dahinya. Lelaki itu bertanya-tanya siapa yang berani datang malam-malam disaat hujan lebat seperti ini. Jika saat ini Birendra masih ada, tentunya Radit akan mudah menebaknya.
Motor terparkir di depan teras. Si penunggang turun dan berteduh di pinggiran teras, cukup untuk melindungi diri dari terpaan hujan.
"Hai, Bang! Sehat? Numpang neduh ...," ujar si pemilik motor sport berwarna hitam sambil membuka helm dan jaket kulitnya.
"Zio! Ngapain hujan-hujanan?" Radit bergegas menghampiri Fabrizio Fauzan, sepupu Birendra dari pihak ayahnya.
"Abis dari rumah temen. Nggak tau bakal hujan deras begini."
"Masuk, Zi! Langsung ke kamar mandi, ntar gue anterin baju ganti!"
Zio memeras sebagian celananya yang basah. Beruntung jaket kulitnya tahan air, sehingga bajunya tidak telalu basah. Lelaki muda itu tak kunjung memenuhi perintah Radit. Dia masih sibuk memperhatikan Nardo yang duduk dan fokus memandangi laptop.
"Dek, ditinggal bentar nggak apa-apa, ya? Masih mau ngurus bocah dulu!" Nardo mendongak dan mengangguk saat mendengar panggilan Radit.
Lima belas menit kemudian, Radit kembali dengan membawa nampan berisikan minuman hangat untuk mereka bertiga. Aroma teh melati dan jahe menguar dari gelas itu. Nardo menaruh tangan kirinya di bahu kanan saat dingin mulai menyergapnya.
"Dingin, ya? Minum ini saja," tawar Radit sambil menyodorkan cangkir dengan asap yang masih mengepul.
Secangkir teh hangat ternyata tidak mampu mengusir dingin malam itu. Nardo beranjak dan mengenakan jaketnya yang tersampir di sandaran kursi di sebelahnya.
"Dah mau balik? Hujannya masih deras," tanya Zio.
"Nggak bawa mantel. Cuma mau pakai jaket, dinginnya kurang ajar banget!" seru Nardo.
Zio datang dan duduk di sebelah Radit. Pakain milik si tuan rumah tampak pas itu pas di tubuhnya karena ukuran yang sama. Handuk masih menutup kepalanya yang basah. Mandi air hangat setelah diterpa hujan cukup untuk membuat badannya menghangat.
"Tante Ajeng sama Om Yudis apa kabar, Zi? Ganesh gimana perkembangannya?"
"Ayah sama Mama baik, Bang, Mas Ganesh yaa masih gitu. Kita masih nggak berani nyebut nama Bi sering-sering. Dia bisa tiba-tiba ngamuk terus nangis nggak berhenti sampai dia capek dan tidur. Sepertinya penyesalan dia itu dalem banget, Bang."
"Mana ada rasa sesal di depan, Zi. Abang juga kalau mau dibilang nyesel ya nyesel juga. Malam itu abang masih chat sama dia. Kalau tau dia bakal pergi, Abang nggak akan ninggalin dia."
Nardo hanya bisa diam mencuri dengan percakapan keduanya. Tidak etis jika dia menyela ditengah obrolan yang serius itu. Namun panggilan alam seperti tidak bisa ditahan lagi.
"Ma-maaf, Bang, toiletnya di mana?" Ujarnya dengan wajah salah tingkah dan tidak enak karena menghentikan percakapan keduanya.
Radit beranjak dan mengantarkan Nardo ke toilet. Begitu kembali, Zio langsung menariknya untuk duduk di sebelahnya.
"Nemu dia di mana?"
"Lo pikit dia barang temuan? Dia guru baru di SMK Bina Bangsa. Jangan-jangan ..., lo udah nggak selera sama lawan jenis?"
"Bacot lo, Bang! Gue masih bener! Mana ada naksir sama yang begitu, cuma ...." Ucapan Zio terputus, lelaki itu seperti kehilangan kata.
"Cuma apa? Lo ngeliat ada yang aneh?"
Zio mengangguk dan menatap melas pada Radit. "Matanya ngingeti gue sama si Bi. Kangen sama dia, kangen ribut sama itu anak. Pas lihat ..., siapa dah namanya? Susah banget, dah! Asli, matanya bikin keinget Bi lagi."
"Kirain perasaan gue aja yang gitu. Ternyata lo juga ngerasain hal yang sama."
🍃🍃🍃
Hingga tengah malam, hujan tidak juga reda. Nardo yang berencana kembali ke indekosnya batal karena bunda Radit memintanya bermalam bersama Zio. Ingin menolak, tetapi dia tidak membawa mantel.
Nardo yang masih memiliki tugas melanjutkan pekerjaannya di ruang tengah. Radit masih menemaninya, sementara Zio sudah pamit untuk beristirahat setelah mengabari keluarganya.
"Abang anak tunggal? Enak nggak jadi anak tunggal?" tanya Nardo memecah keheningan diantara derasnya hujan.
"Enak nggak enak. Enaknya itu apa-apa nggak perlu dibagi. Nggak enaknya pas mau berbagi, bingung mau dibagi ama siapa. Jadi anak sulung enak nggak?"
"Sama kayak anak tunggal, Bang. Enaknya bisa nyuruh-nyuruh adik kalau mager. Nggak enaknya selalu dijadikan contoh, kudu ngurusin adik-adik dan harus selalu berbagi."
"Abang selalu salut sama anak sulung yang seperti itu. Jadi pengen punya adik biar rumah nggak sepi-sepi banget."
"Hm ..., kalau boleh tanya, yang dimaksud Mas Zio tadi itu kakaknya Pak Birendra, 'kan?" Nardo bertanya dan hanya dijawab dengan anggukan dari Radit.
Si guru PKn itu membaca raut wajah yang sedih saat dia membahas Birendra. Pertanyaan yang berputar di kepalanya harus rela dia tepis demi menjaga perasaan si tuan rumah. Nardo kembali melanjutkan pekerjaannya hingga lewat tengah malam dan memilih berbaring di lantai yang berlapis karpet berbulu.
🍃🍃🍃
Selama malam ....
Mohon maaf karena kemarin malam nggak update.
Jangan marah, jangan ngambek!
Hari ini aku kasih double up.
Kenyang nggak tuh ketemu sama Mas Nardo?
ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY17
Bondowoso, 15 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top