14 ~ Sisi Lain

Terpaku menatapnya, terdiam mendengar celotehnya.
Ternyata ada rapuh yang bergelayut ketika bersamanya.
Sisi lain dari dirinya yang tidak pernah tersentuh.
Sisi lain yang tidak pernah terjamah oleh yang lainya.
Itulah yang membuatku terbawa ketika bersamanya.

~Nardo Shidqiandra~

🍃🍃🍃

Bentakan dari Pak Hadi adalah hal terakhir yang ingin Nardo dengar. Rasanya cukup sekali itu dia merasa dipermalukan. Nardo berjanji pada diri sendiri untuk lebih peka pada pekerjaannya.

Permasalahan pendataan bisa diatasi dengan baik. Meski mepet pada batas akhir pengumpulan, tetapi mereka masih bisa lolos dan termasuk tepat waktu. Jika orang lain kesulitan bekerja dalam tekanan, Nardo berbeda, otaknya itu terbiasa diajak kerja keras.

Pejuang deadline, begitu dia menyebut kebiasaan yang sering dilakukannya. Di saat detik terakhir itu, biasanya dia juga menemukan cara-cara unik yang bisa mempercepat pekerjaannya. Lain halnya dengan semboyan Pak Roni "no kepepet, no life" yang begitu mendarah daging.

"Kalau nggak dadakan, bukan dinas namanya. Kalau nggak ngebentak bukan Pak Hadi namanya." Pak Roni berceloteh begitu pemilik nama itu berlalu bersama sang rekan kerja, Bu Dara.

"Benar sekali, Pak. Kebiasaannya begitu. Kalau nggak sehari, ya, dua hari itu jeda waktu yang diberikan," sahut Nardo.

"Pak Nardo sudah biasa kerja seperti ini pasti paham 'kan? Sudah sangat fasih dan sangat paham dengan yang seperti ini."

"Sudah terlatih untuk patah hati karena dibentak banyak orang, Pak, mau nggak mau, bisa nggak bisa tetap harus mau dan harus bisa."

"Dipaksa untuk mau dan bisa," pungkas Pak Roni yang dihadiahi acungan jempol oleh Nardo.

🍃🍃🍃

Guru itu bisa memiliki banyak mata, banyak telinga, dan juga banyak hati untuk anak didiknya. Namun, tidak untuk memiliki banyak mulut. Sebab akan banyak hati yang sakit jika guru memiliki banyak mulut yang tidak terkendali.

Banyak mata untuk menilai karakter setiap siswa. Percayalah, guru pasti memiliki cara tersendiri untuk mengenali anak didiknya. Beliau akan memasang banyak telinga untuk mencari tahu tentang siswa dan latar belakang siswa yang bermasalah.

Sebelum Bu Hasnah cuti, Nardo diajak berdiskusi tentang anak didiknya di kelas X TSM 1. Beliau menandai beberapa siswa yang sepertinya akan menjadi bibit-bibit pembawa masalah. Beberapa nama sudah dikantongi Nardo.

Kini, guru muda itu mulai mengamati siswanya satu persatu. Beragam karakter anak didiknya sudah terbaca. Namun, ada satu dua siswa yang tampaknya benar-benar butuh perhatian.

"Le, coba bangunkan teman sebangkumu," pinta Nardo saat melihat seorang siswa menelungkupkan kepalanya di atas meja.

Si anak akhirnya mendongak, mengucek matanya yang memerah dan menggeliatkan badannya. Sepertinya tidur saat jam pelajaran sudah menjadi tabiatnya, sesuai dengan catatan yang diberikan oleh Bu Hasnah.

"Ada apa, Pak?" tanya si anak yang bernama Furqon.

"Bapak dapat teguran dari beberapa guru karena kamu sering sekali tertidur saat jam pelajaran." Nardo berucap pelan disaat siswa yang lainnya tengah fokus mengerjakan tugasnya.

"Maaf, Pak. Saya ngantuk berat."

"Apa yang kamu kerjakan di rumah? Selama ini Bapak tidak pernah mengganggu tidurmu, tapi laporan dari guru-guru membuat Bapak ingin tahu."

"Sepulang sekolah saya harus cari rumput untuk sapi tetangga yang saya rawat. Malam setelah Isya saya ke pabrik kopi untuk bantu-bantu memilah kopi sesuai kelasnya. Pagi sebelum subuh saya sudah harus cari rumput lagi, sebagian untuk sapi sebagian saya jual untuk beli bensin atau beli beras."

Nardo tertegun mendengar penjelasan dari Furqon. Di zaman seperti ini ternyata masih ada anak yang berusaha untuk hidup mandiri.

Meski Furqon sering tidur di dalam kelas, tetapi perangainya baik. Selalu sopan dan bertanggung jawab saat diberi tugas oleh beberapa guru. Hal itulah yang membuat Bu Hasnah meminta Nardo memberi perhatian padanya.

"Ya, sudah. Bapak tidak melarang kamu bekerja, tapi jangan sampai kamu ketinggalan dalam pelajaran. Jadi anak rajin, ya, kalau sekiranya kehabisan bensin, bilang sama Pak Nardo. Sekarang wudu dulu supaya lebih segar dan lanjut mengerjakan tugas."

Furqon mengangguk dan meninggalkan kelasnya. Sementara itu, Nardo masih bergulat dengan pikirannya. Mengingat kembali saat seusia Furqon dia justru dilarang bekerja supaya bisa fokus pada sekolah. Seperti teguran untuk dirinya yang mengingatkan bahwa usia tidaklah berpengaruh untuk membuat seseorang lebih dewasa.

🍃🍃🍃

"Pak Nardo, saya minta itu anak Bapak yang namanya Furqon diurus. Sering tidur di kelas, bolosnya juga makin sering. Entah sudah berapa kali saya menegurnya, tapi bukannya baik malah makin sering bolosnya." Bu Dara mengawali kedatangannya dengan membanting buku dan berbicara keras di ruang guru.

"Iya, Pak, anak itu sering sekali membolos. Pernah diberi surat panggilan orang tua, tapi tidak ada wali yang hadir," timpal Bu Janetta.

"Coba Pak Nardo ke rumahnya saja. Dulu Bu Hasnah rencana mau Home Visit, tapi berhubung hamil besar teman-teman melarang karena jalan ke rumah Furqon itu tidak rata dan jauh." Pak Jaya berusaha memberikan saran.

Nardo mendengarkan saran Pak Jaya dan meminta pendapat Radit. Meski terbilang sekolah elit, SMK Bina Bangsa tidak serta-merta mengabaikan siswa yang bermasalah begitu saja. Selalu ada tindakan dan pendekatan yang dilakukan bersama wali murid.

Pemanggilan orang tua adalah salah satu cara untuk bisa membangun hubungan baik antara sekolah dan wali murid. Untuk mereka yang tidak memenuhi panggilan, maka akan dilanjut dengan pihak sekolah yang berkunjung ke rumah peserta didik.

Nardo berangkat ke Furqon setelah salat Duhur. Dia tidak sendirian, Radit mengajukan diri untuk menemani sebab dia adalah guru konseling. Mereka berangkat menggunakan motor milik Nardo.

Jalan yang ditempuh tidak semulus jalan di kota. Rumah Furqon ternyata tidak terlalu jauh, tetapi jalan yang rusak parah, dengan lubang-lubang besar dan juga bebatuan membuat perjalanan terasa lama.

Belum lagi dengan jalanan yang berliku dan menanjak. Membuat Nardo harus pandai mengendalikan kuda besinya. SMK Bina Bangsa memang sekolah elit yang berada tak jauh dari pusat kota, tetapi siswanya tersebar dari berbagai daerah hingga pelosok yang sulit terjangkau kendaraan.

Dengan bekal bertanya pada warga sekitar setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, keduanya kini berdiri di depan sebuah rumah. Rumah dengan dinding gedhek-dinding yang terbuat dari anyaman bambu-berlantai tanah dan beratap genting yang sudah tampak lapuk.

"Permisi, Furqon ada?" tanya Radit pada beberapa orang yang duduk di dalam rumah tersebut.

"Ada, sebentar saya panggilkan dulu." Salah seorang wanita paruh baya berdiri dan memasuki ruang tengah.

Rumah itu terbilang cukup ramai. Beberapa orang tampak sibuk memasak dan melayani orang-orang yang hadir. Kerukunan yang tetap terjaga di daerah tempat tinggal Furqon membuat Nardo bertanya-tanya ada acara apa hingga rumah ini ramai dengan tetangga.

"Asalamualaikum," ujar Nardo saat melihat Furqon dengan baju koko dan sarung yang menempel di tubuhnya.

"Wa alaikum salam .... Ba-Bapak?" Furqon tampak terkejut dengan kehadiran dua gurunya.

"Sehat, Le?" tanya Radit sambil menerima uluran tangan Furqon dan mencium tangan gurunya secara bergantian.

"Ada acara apa? Kok sepertinya tetangga kumpul semua?" Nardo ingin menuntaskan rasa penasarannya.

"Bapak saya meninggal semalam. Tadi pagi jam sembilan baru selesai pemakaman. Maaf saya tidak sempat izin," ujar Furqon sembari menunduk.

"Innalillahi wainnailaihiroji'un, kami mewakili pihak sekolah turut berduka atas meninggalnya bapak. Jadi anak kuat, Le. Semoga bapak husnul khotimah, dilapangkan dan diterangkan kuburnya, amin." Radit mengusap punggung Furqon.

Tetes bening itu jatuh membasahi pipi lelaki belasan tahun itu. Kedua guru itu seakan kehabisan kata-kata sebab tak tega melihat Furqon yang menjadi sebatang kara. Ibunya tidak tahu ada di mana, dan ayahnya juga sudah tiada.

Sepanjang perjalanan pulang, Nardo dan Radit terjebak dalam keheningan. Hingga saat istirahat di sebuah masjid Nardo baru mengungkapkan apa yang menjadi ganjalan di hatinya.

"Pak, apa tidak ada kompensasi untuk Furqon? Sepertinya dia layak untuk mendapat keringanan biaya sekolah."

"Bukan lagi keringanan, tapi dibebaskan dari segala beban biaya sekolah. Anak seperti Furqon sudah sepantasnya kita bantu."

"Benar sekali, Pak."

"Pak Tjah pernah bilang, kalau ada anak didik kita yang memang butuh keringanan atau pembebasan biaya, tidak perlu menunggu izin kepala sekolah. Guru atau wali kelas yang lebih tahu kondisi anak didiknya, langsung ajukan saja pada bagian keuangan."

"Alhamdulillah, saya lega mendengarnya."

"Jangan pernah ragu untuk membantu anak-anak yang kesulitan dalam mencari ilmu. Sebab jika kita memberikan satu kemudahan untuknya, maka Allah juga akan membuka pintu kemudahan untuk kita."

Selalu ada sisi lain yang bisa dilihat dan dinilai dari dunia pendidikan. Tidak hanya menekan siswa, tapi ada kalanya hati juga harus berbicara. Itulah gunanya lebih banyak menggunakan mata, telinga dan hati, daripada menggunakan mulut.

🍃🍃🍃

Selamat malam ....
Masih bersabar sama Nardo?
Harus dong!
Terima kasih pada yang memberi semangat untuk Nardo dan juga Na.
Semoga semangat itu juga kembali pada kalian.

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY14
Bondowoso, 11 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top