3
🌿🌿🌿
Tumben abangnya menelepon dan bertanya di mana dirinya. Apa abangnya mau kesini? Rupanya jawaban dari pertanyaannya terjawab sudah. Laki-laki dengan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Tubuh atletis yang dibungkus kemeja polos navy dengan lengan kemeja digulung sampai siku juga celana bahan hitam itu masuk ke dalam butiknya. Pria tersebut beberapa kali menganggukkan kepalanya saat karyawan Lady menyapa.
Lady bangkit dari kursinya menyambut kedatangan abangnya. "Cepet banget sampainya,perasaan baru telepon, Bang. Ada apa? Tumben kesini? Biasanya kalau nggak sama Arumi males," cibir Lady menempatkan badannya di samping Eru yang sudah duduk di sofa.
"Memang nggak boleh nyamperin adik sendiri," jawab Eru ketus.
"Yaelah, Bang, gitu aja sewot. Sensi ya, Sis?" ledek Lady berusaha membuat abangnya tersenyum. Namun sepertinya abangnya sedang tidak ingin bercanda. "Ada apa sih, Bang? Kelihatannya serius banget."
Sebelum menjawab pertanyaan Lady, Eru menghela napasnya lalu mengubah duduknya menyamping sampai mereka berhadapan. Eru menggenggam tangan Lady yang berada di pangkuan adiknya itu. "Dek, kalau pertunanganmu dibatalkan bagaimana?"
Keterkejutan tampak pada wajah bermake-up natural itu. Darimana abangnya dapat pemikiran seperti itu dan kenapa tiba-tiba? Bukankah dia sudah merestui hubungannya dengan Seno. Apa abangnya mengetahui sesuatu?
"Kenapa, Bang?" tanya Lady ragu-ragu.
"Dek, Abang tahu kamu cinta dia tapi sepertinya dia belum sepenuhnya menerimamu. Abang rasa sudah cukup kamu bertahan di sampingnya, sudah waktunya kamu lepaskan dia dan memulai yang baru."
"Maksud Abang?" tanya Lady bingung. Apa yang sebenarnya abangnya ingin katakan. Apa sekarang abangnya menarik restu yang sudah ia berikan?
"Kamu tahu maksud, Abang. Dia nggak pantes kamu perjuangkan, ini bukan masalah harta maupun jabatannya tapi karena dia tak pernah menghargai usahamu. Abang lihat Seno juga tak ada usaha lebih mendekat padamu. Mencoba membuka hatinya untukmu. Sudah cukup Abang nggak mau lihat kamu terus bersedih, Dek."
"Bang, kan Abang sendiri yang bilang kejar sampai dapat. Sekarang ini Lady sedang berusaha, Bang. Kasih semangat dong jangan bikin down gitu."
Pria itu menghela napasnya saat mendengar ucapan adiknya. Ia bukan bermaksud menjatuhkan hanya saja dia tidak ingin Lady membuang waktunya dengan sia-sia. Seno memang baik tapi jika harus membuat adiknya terus menerus sakit, dirinya tidak akan segan-segan memberinya pelajaran. "Bukan gitu, Dek---"
"Bang, please dukung Lady," pinta Lady dengan manjanya. Menurutnya ini jurus andalan untuk meluluhkan abangnya itu.
Huft!
"Baik. Tapi Abang kasih waktu enam bulan dari sekarang, sampai Seno tetap nggak berubah pertunangan kalian bubar." Dengan jelas dan lugas Eru memberi ultimatum untuk adiknya. Bukan ia tak setuju hanya saja melihat adiknya seperti ini perasaannya ikut tersakiti. Ia tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang secara sepihak karena itu Eru tak ingin Lady meneruskan hubungan yang tidak jelas seperti ini.
Lady menyentak genggam Eru di tangannya, wajahnya juga merengut. "Ck! Abang apaan sih kayak debkolektor nagih cicilan aja pake ngasih waktu."
"Lady. Abang nggak main-main, kamu tahu sendiri Abang seperti apa."
Tidak ada ekspresi bercanda yang seperti biasanya Eru tampilkan. Dan, Lady tahu jika abangnya serius dengan perkataannya. "Bang, please kali ini biar Lady sendiri yang putuskan. Aku tahu Abang khawatir melihat hubungan kami seperti ini, tapi ini sudah kesepakatan kami. Jadi tolong, Bang, kali ini jangan ikut campur. Lady mohon, Bang," pinta Lady dengan sungguh-sungguh. Ia ingin kali ini abangnya tidak ikut campur. Ia tak mau merepotkan keluarganya hanya karena urusan cintanya.
Kakak beradik itu saling menatap. Eru melihat kesungguhan dari tatapan Lady. Meskipun manja tapi jika menginginkan sesuatu adiknya akan menjadi pribadi yang keras kepala dan pantang menyerah. Ia akan melakukan apa saja sampai dapat.
"Ya sudah kalau mau-mu begitu, tapi jika sudah lewat batas Abang nggak janji diam aja."
"Makasih Abang."
Lady memeluk Eru begitu juga sebaliknya. Eru berharap pelukan yang ia berikan dapat menguatkan Lady. Jika seperti ini baru ia sadari jika perempuan dalam dekapannya ini sudah dewasa, sudah waktunya mengambil keputusan sendiri tanpa ikutan campuran tangannya atau orangtua mereka. Adik kecilnya sekarang menjadi wanita dewasa yang tahu mana terbaik untuknya. Terkadang mengalami kepahitan dalam satu perjalanan hidup bisa membuatnya lebih baik.
Eru mengurai pelukan adiknya, menepuk-nepuk puncak kepala Lady. "Abang pulang dulu. Jika perlu sesuatu jangan sungkan telepon Abang." Eru beranjak dari kursinya dan mulai berjalan kearah pintu.
Lady mengangguk mengantar abangnya sampai depan dengan dirinya bergelayut di lengan Eru. Kebiasaan yang Lady sukar hilangkan dan kerap kali membuat orang-orang yang melihatnya salah paham, mereka pasti mengira jika mereka adalah sepasang kekasih. Setelah kepergian Eru, Lady masuk ke dalam ruangannya dan kembali memikirkan kata-kata abangnya. Haruskah dirinya menyerah padahal sudah sampai sejauh ini? Namun ia sadari jika dirinya mulai lelah dengan hubungan yang tak menentu ini.
🌿🌿🌿
Seno masuk ke salah satu rumah makan disekitaran kantor milik Eru, ia sudah terlambat dari waktu yang dijanjikan. Dengan tergesa-gesa ia langkahkan kakinya masuk, manik matanya menyusuri ruangan tersebut. Ah rupanya di sana. Seno membawa kakinya berjalan ke arah orang yang di tujunya. Senyum manis ia lemparkan pada perempuan yang sudah menunggunya. Perempuan yang sudah ia kenal sejak masa SMA lalu mereka berpisah karena Asti meneruskan studinya di kota lain dan baru bertemu secara tidak sengaja di kantor Eru.
Sejak itu perhatiannya teralih dari adik bos-nya. Seno sempat bingung dengan perasaan pada Lady. Dan bertemunya dia dengan Asti yang merupakan cinta pertamanya namun belum bersambut membuat Seno melupakan perasaan tidak jelasnya terhadap Lady.
Katakan dia labil seperti ABG namun itulah dia. Perasaan dan hatinya tak bisa ia perintah. Namun di luar dugaannya, ketika ia berhasil mengendalikan dirinya juga perasaannya Lady mulai mendekat padanya sedangkan ia sudah beralih pada Asti.
"Udah lama?" tanya Seno saat mendudukkan dirinya di kursi hadapan Asti.
Perempuan itu mendongak dari daftar menu yang di bacanya lalu tersenyum manis. "Nggak kok barusan," jawab Asti, "udah makan? Kalau belum sekalian aja pesannya."
Setelah menentukan apa yang diinginkan, Seno memanggil karyawan rumah makan tersebut dan menyebutkan apa saja pesanan mereka. Sembari menunggu pesanan datang mereka saling bertanya kabar, kegiatan mereka. Meskipun mereka hidup dalam satu kota, karena kesibukan mereka sehingga jarang bisa bertemu.
"Asti, ada yang ingin aku katakan," ucap Seno ragu-ragu. Sebelum bertemu dengan Asti, ia sudah menyusun kata-kata yang ingin ia ucapkan. Mungkin dia sedang menggali lubang kuburnya sendiri saat dirinya mengambil keputusan ini.
"Ya?"
Perempuan di depannya itu membasahi bibirnya yang di pulas lipstik warna nude, pandangan matanya menatap kearah Seno dengan intens.
"Kenapa, Sen? Apa yang ingin kamu katakan?" Asti menunggunya dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Aku...aku...eemm...begini."
"Seno sebenarnya kamu mau bilang apa?" ucap Asti dengan lembut.
Sosok perempuan ramah, lemah lembut meski di dalamnya tersimpan kemandirian membuat Seno susah menghilangkan bayang-bayang Asti. Tapi bodohnya dia yang tak mempunyai keberanian untuk mengatakan perasaannya.
"Aku.." Seno menggigit pipi bagian dalam di mulutnya. Mengapa berat sekali bibirnya mengucap saat ia ingin mengutarakan maksudnya.
"Kamu itu sebenarnya mau ngomong apa? Dari tadi kok aku..aku aja."
"Asti, selama kita berteman aku merasa nyaman sama kamu, dekat denganmu aku bisa jadi diriku sendiri tanpa harus berpura-pura. Selama itu juga aku sebenarnya..."
Asti terlihat ikut tegang mendengar ucapannya. Mungkinkah dirinya tidak salah tebak jika di mata perempuan itu juga terlihat binar-binar cinta untuknya? Apakah perasaannya bersambut?
"Apa?" tanya Asti lirih. Terselip dalam hatinya jika Seno akan mengatakan cinta untuknya.
"Sebenarnya..."
"Abang!"
🌿🌿🌿
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top