7. Kehilangan dan Hilang

Derap suara rendah tapakan kaki memijaki tangga darurat. Semua pandangan tampak siaga. Perkakas sederhana digenggam erat sebagai senjata. Kalau-kalau makhluk mengerikan itu tiba-tiba muncul bagai hujan di tengah kemarau.

Aku, Bhimo, Kak Avery, Kak Lilis, Kak Mayang, dan Kak Thiya hampir menuntaskan pijakan tangga darurat ke lantai lima belas. Zombie-zombie yang entah bagaimana berkeliaran di setiap lantai betul-betul memperlambat kami. Ada kalanya kami menghindar, mengendap, bersembunyi, bahkan bertarung selayaknya adegan film laga.

Kutolehkan kepala ke belakang sesekali. Berharap dua orang di belakangku, Bhimo dan Kak Mayang, tidak dengan tiba-tiba berubah jadi zombie. Siapa tahu mereka tergigit atau kerasukan hantu zombie di lantai sebelumnya.

"Ngapain, Lin?" Bhimo bertanya. Merasa aneh dengan gelagatku yang kerap menoleh ke belakang dan malah memperlambat langkahku pada pijakan tangga.

"E-enggak papa, kok." refleks kembali mengalihakan pandangan ke depan dan menemukan punggung Kak Thiya.

"Nggak usah takut," Bhimo kembali berkata, "aku ada di belakangmu."

"Ini bukan waktu yang pas buat gombal, Bhim."

Bhimo tak menanggapi. Ia malah sibuk menyengir di belakang sana. Seolah tak memiliki kecemasan sedikit pun, atau mungkin dia coba menyembunyikannya.

Undakan tangga lantai lima belas hampir habis. Artinya Kak Avery, Kak Lilis, dan Kak Thiya yang berjalan di depan sudah hampir mencapai lantai enam belas. Alih-alih terus berjalan ke lantai tujuh belas, mereka malah berhenti mendadak. Aku hampir saja mencium punggung Kak Thiya kalau saja refleksku sedikit lebih lambat.

"Ada apa?" Kak Mayang merangsek maju.

"Pintu ke lantai berikutnya ..." Kak Thiya menunjuk pintu ke lantai tujuh belas tanpa melanjutkan kata-katanya.

Aku melongok ke depan. Menyelipkan pandang di antara sela punggung-punggung tinggi. Reruntuhan bangunan--yang keliatannya masih baru--menutup akses kami ke lantai tujuh belas. Dinding-dinding di lantai enam belas juga tampak retak dan sebagian jebol. Kak Avery menyimpulkan ini semua karena sebuah ledakan. Mungkin saja ledakan kompor gas atau yang lainnya. Lantai enam belas benar-benar porak poranda. Reruntuhan material juga berbagai perabotan berhambur ke mana-mana.

"B-bagaimana ini?" tanpa sadar titikan air mata mulai berkerumun di sudut mataku. Aku memang sering menangis karena suatu hal, tapi akses ke lantai tujuh belas yang terhalang bukan hal yang sepele seperti kehilangan laptop kesayangan tiga bulan lalu. Bukan lagi harta, mungkin saja aku akan segera kehilangan nyawa. "Kita akan mati," lanjutku tanpa sadar.

"Hush, jangan bicara yang tidak-tidak!" Kak Lilis menyela. Ia tampak terusik di tengah memikirkan alternatif untuk sampai ke lantai enam belas.

"Pelarian ini sia-sia. Ini semua tidak akan berhasil." Ketakutanku akan kematian semakin menjadi selepas mendengar pernyataan Kak Thiya.

"Jangan bicara seperti itu!" Kak Mayang menimpali. "Setidaknya kita sudah berusaha untuk bertahan hidup. Kita akan selamat," ia meyakinkan.

Setelahnya, kami semua terdiam. Membuang opini tentang akhir hidup kami jauh-jauh. Masa depan hadapi nanti, ini waktunya berjuang. Aku ikut terdiam, memandangi wajah-wajah yang tampak berpikir. Mencari jalan keluar dari kebuntuan.

Aku menghela napas. Menyandarkan punggungku yang rasanya makin lemas saja. Kupandangi langit-langit yang tampak kotor dan memiliki retakan di beberapa bagian. Kurasa aku harus menulis pesan terakhir sebelum mati sungguhan. Lagaknya aku juga sudah dibuntuti malaikat pencabut nyawa sejak empat puluh hari lalu. Aku tertawa dalam hati. Sungguh bayangan kematian yang menakutkan.

"Ayo cari jalan lain!" Kak Avery membuyarkan suasana hening yang melingkupi kami untuk berpikir. Ia memberikan isyarat dengan lengannya.

Kami mengangguk, tanpa pikir panjang membututinya melangkah. Kami menyisir kamar per kamar di lantai enam belas, berharap keajaiban mempertemukan kami pada tangga ke lantai berikutnya. Akses terbuka untuk naik. Namun, hasilnya nihil. Yang kami temukan hanya jajaran kamar yang porak poranda.

"Tak akan ada jalan," kata Kak Thiya, "setiap lantai hanya memiliki akses satu tangga dan lift, bukan?"

Semuanya terdiam. Memikir ulang kebenaran perkataan Kak Thiya. Jujur saja, aku berpihak padanya. Keputusasaan rasanya sudah menarikku makin jauh.

"Tidak." Kak Mayang akhirnya berkata. Memecah selubung putus asa tipis yang sempat melingkupi kami. "Kita bisa menjebol langit-langit dan memanjat ke atas."

Kak Avery dan Kak Lilis berpandangan sesaat. Berbicara lewat isyarat mata. Pada akhirnya mereka mengangguk mantap. Kak Thiya pun tampaknya setuju. Aku dan Bhimo mengangguk ikut-ikutan. Mengingat kami terdesak dan aku sama sekali tidak memiliki ide.

Kami menyisir kamar per kamar. Berharap mendapatkan perkakas yang cukup berguna, tambahan perbekalan, juga kamar yang cocok untuk dijebol langit-langitnya. Di kamar yang terletak di tengah barisan, Kak Avery menemukan palu yang cukup besar. Palu itu bisa digunakan untuk menjebol langit-langit.

"Ayo kita berusaha!" Kak Avery memikul palu di bahunya. Bergaya semangat, seakan di dahinya ada tulisan "ganbate" yang besar.

"Kak Avery seperti tukang batu," komentar Bhimo. Ia cekikikan sembari menatap Kak Avery yang memikul palu.

Tawaku pecah. Kak Avery termanyun. Yang lainnya hanya terkekeh. Sesaat, kerecehan Bhimo dapat sedikit meredakan ketakutanku. Ini semua tidak terlalu buruk untuk dihadapi. Selagi aku punya kuasa untuk lari, aku akan bertahan hidup.

"Ya, ya." Kak Avery memutar mata. "Ayo jebol langit-langitnya."

Perlu waktu beberapa saat untuk membuat lubang di langit-langit. Kami memanjat ke atas setelahnya. Menyadari taktik ini cukup berguna dengan sedikit risiko, kami melakukan hal yang sama di lantai berikutnya. Menjebol langit-langi di salah satu kamar yang dirasa aman dan memanjat naik ke atas.

Namun, taktik ini bukan tanpa risiko. Tetap saja kami bertemu zombie di beberapa tempat. Makhluk itu datang silih berganti. Berjalan terseok-seok, membawa bau busuk yang menguar dari tubuh mereka, juga tampang yang sungguh luar biasa jelek hingga membuatku tak berani menatap mereka lewat sepuluh detik. Di beberapa keadaan, kami terpaksa melawan mereka. Membantai berapa saja jumlah mereka yang tiada habis. Kami berusaha semaksimal mungkin. Bermodalkan perkakas sederhana: palu, pisau, sudip, tongkat, dan kayu. Maksimal, kami berenam membantai lima zombie dalam satu saat.

Dengan keadaan yang berhasil dikuasai dan dikendalikan, kami sampai di lantai sembilan belas. Kini, aku duduk terengah di sisi sebuah kamar. Kulihat Kak Mayang menutup pintu kamar. Berharap para mayat hidup tidak masuk dan mengusik kami yang tengah mencoba menjebol langit-langit. Di sampingku, Kak Thiya duduk. Dia sempat melamun sebelum mengaliihkan pandangannya pada Kak Avery yang dibantu Bhimo dan Kak Lilis untuk menjebol langit-langit.

Langit-langit mulai retak, terkikis dan akhirnya runtuh. Menghasilkan lubang cukup lebar. Lagaknya lapisannya cukup tua hingga sangat mudah dibencah. Aku beranjak, sebelum tiba-tiba sekeluarga zombie jatuh bersama runtuhnya langit-langit yang Kak Avery jebol. Semuanya berjumlah enam, setara dengan jumlah kami.

Kami kalang kabut. Para zombie membabi buta, bagai singa kelaparan menyerang kami. Aku menjerit tanpa sadar. Menyadari kami ada dalam satu ruangan tertutup bersama para mayat hidup. Kak Avery mencoba melawan degan palu di tangannya. Memutarnya bagai palu Thor, menghantamkannya pada kepala-kepala zombie. Darah muncrat ke mana-mana, termasuk mengotori wajah Kak Avery. Namun, di tengah pertarungan, Kak Avery dikeroyok dua zombie. Ia kewalahan. Pada akhirnya, dirinya harus menerima kekalahan telak. Tubuhnya digigit dan lumat oleh dua zombie yang menyerangnya.

Kakiku gemetaran. Tidak bisa melangkah barang sejangkah. Menatap tubuh Kak Avery yang tak lagi bergerak digigiti zombie.

Kak Lilis masih teguh bertarung dengan zombie. Satu zombie berhasil ia lumpuhkan. Sebelum serangan zombie yang tak sempat ia hindari membuat lubang di perutnya. Ususnya terburai pecah. Sontak aku menjerit melihat kejadian tersebut.

"Lin, lari!" Bhimo berteriak. Ia memberi isyarat untuk keluar lewat pintu tanpa memikir ulang adakah zombie di baliknya.

Kulihat Kak Mayang yang berdiri paling dekat dengan pintu berlari ke sana. Membuka pintu sesempit mungkin dan memloloskan dirinya dari dalam kamar. Kak Thiya ikut ambil langkah seribu. Berlari cepat mengikuti jejak Kak Mayang.

Memaksakan diri, aku berlari. Sesekali terjatuh karena kakiku sungguh lemas. Bulir air mata membanjiri wajahku. Mengabarkan ketakutan yang membelenggu. Tentang kehidupanku, haruskah berakhir seperti ini? Aku memaksakan kakiku melangkah lebih cepat. Mengikuti Bhimo yang sudah hampir menggapai pintu. Kak Mayang dan Kak Thiya sudah lolos.

"Aku akan sampai!"

Teriakku mencoba menggapai tangan Bhimo yang hampir menghilang di balik pintu. Namun, tarikan keras membuat usahaku lari gagal. Tubuhku tersentak ke belakang, gemetaran, aku menatap ke arah pintu yang tertutup dengan mata berderai. Semuanya terjadi begitu cepat, begitu pula kehidupanku. Aku menutup mata perlahan, berharap tidak merasakan seberapa sakit tubuhku dikoyak para zombie. Semuanya gelap. Dan aku sungguh lupa bagaimana rasanya tubuhku kehilangan daya untuk kembali terbangun dan melawan. Aku berakhir di sini. Aku sampai di sini saja.

"Tetaplah hidup, kalian semua ..."

****

Ditulis oleh: AleenaLin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top