6. Berjuang!
Tubuhku tersentak kaget seraya membuka mata. Uh, bukan cara terbaik untuk bangun tidur. Gelap. Lampu kamar ini mati. Perlahan aku duduk sambil menguap. Kamar yang asing. Tapi ada boneka kucing gendut yang lucu berwarna oranye di sebelahku. Itu boneka Garfield, namanya Garfield 3 . Hadiah ulang tahunku bulan lalu.
Di mana ini?
Oh iya, kamar Kak Pit.
Kemarin ada ledakan, menakutkan sekali. Sangat. Ternyata zombi menguasai rusun. Suara cacahan daging dan jeritan memilukan ada di mana-mana. Terdengar seperti binatang buas yang sedang mengunyah daging dan tulang yang-oh, aku tidak mau membayangkannya lagi.
Ini nyata, ya? Kuharap hanya mimpi buruk.
Aku mau pulang. Kangen Papa dan Mama. Papa pasti tahu bagaimana cara menenangkanku di saat seperti ini, atau Kak Lilis yang selalu punya cara terbaik dan membuat perasaan menjadi lebih baik. Oh iya, ponselku … ada di kamar. Menyebalkan!
“Pagi, Alma. Udah bangun?”
Kepalaku menoleh dan menemukan Kak Pit yang tengah memakai hijabnya kembali. “Udah, Kak.” Itu mengingatkanku untuk meraih jilbab sorong warna hitam yang kupakai sejak kemarin sore.
Kak Lilis memang sudah tidak ada, tapi sekarang ada Kak Pit dan kakak-kakak yang lain juga Yin. Rasanya lega karena aku tidak sendirian di sini. Semuanya pasti bisa diandalkan.
“Yin, bangun. Jangan impit jilbabku.” Aku menggoyangkan badan kurus Yin, rambut panjangnya tergerai ke mana-mana. Tadi malam, karena aku dan Yin adalah yang termuda, kakak-kakak yang lain berbaik hati mengalah, membiarkan kami tidur di atas kasur. Sedangkan yang lain tidur di atas karpet kamar.
Karena perabotan sudah digunakan untuk menahan pintu, jadi lantainya cukup luas sebagai tempat tidur empat wanita dewasa.
Sebenarnya, kami bisa saja langsung kabur mengingat suara jeritan, teriakan, dan benda pecah yang sangat mengerikan di luar sana mulai hilang sejak tengah malam. Kacau sekali. Dadaku sesak karena menahan napas terus-menerus.
Namun, kami butuh istirahat. Itu yang Kak Pit bilang sampai akhirnya pikiranku yang sudah lelah memerintahkan untuk tidur.
Setelah lima kali goncangan, akhirnya Yin bangun.
“Kak Pit, bisa pinjam sisir?” pinta Yin, bahkan saat dia belum duduk. Kak Pit menyodorkan sisir setelah meraba meja di samping kasur. Aku cukup kenal Yin. Kami memang jarang mengobrol, apalagi ia tampak begitu pendiam. Tapi Yin baik, buktinya dia mau saat kuajak memberi kue ke Kak Pit.
Saat aku selesai memakai jilbab yang sudah kusut, ternyata yang lain juga sudah bangun. Cahaya matahari yang menerobos tirai memudahkanku melihat semuanya. Kak Tip mengucek-ngucek mata dan meminta sisir pada Yin yang sekarang sedang mengucir rambut. Kak Nine menguap sambil membenarkan baju, dan Kak Fika berusaha agar jilbabnya tidak miring. Terakhir Kak Pit yang tampak mengutak-atik ponselnya.
Kamar makin terang saat Kak Tip bangkit dan membuka tirai, menyebabkan rambut semir cokelatnya diterpa sinar matahari pagi.
“Kalian semua manusia, ‘kan?”
Jika keadaannya tidak seperti ini—zombi menguasai rusun dan kami sedang dalam pelarian untuk menyelamatkan diri—aku pasti sudah tertawa dengan segala kecurigaan Kak Nine. Alih-alih sekarang kalimat itu cukup membuatku berjengit.
“Iya. Kalau enggak, kamu udah mati kumakan,” jawab Kak Fika yang masih saja berusaha merapikan hijabnya. Aku senang Kak Fika terdengar tenang sekarang. Habisnya kemarin dia paling histeris, sampai-sampai aku ikut takut.
“Jangan ngomong yang aneh-aneh, Nine. Sekarang hanya ada kita, kamu harus belajar percaya pada kami. Jangan suka curiga lagi,” ujar Kak Tip pelan.
“Aku kan hanya memastikan!”
“Dan itu membuatku tidak nyaman!”
“Cukup!”
Aku meremas tangan Yin yang juga terlihat khawatir. Kak Pit baru saja menghentikan Kak Tip dan Kak Nine yang hampir bertengkar. Aku memeluk boneka mungilku dengan lengan yang lain.
“Jangan bertengkar! Apa kalian tidak sadar situasi sekarang seperti apa?!”
Semua diam. Kak Pit berseru tegas, tapi di telingaku, ia terdengar marah. Biasanya aku biasa-biasa saja menyaksikan Kak Pit, Kak Tip, dan Kak Nine bertengkar, hanya saja rasanya beda kali ini.
“Di luar sana ada zombi, hanya menunggu waktu sampai kita semua-“
“Sekali lagi, kepada para penghuni rusun Montaks, bahwa pihak pemerintah telah menerbangkan helikopter untuk mengevakuasi kalian. Untuk itu, dimohon segera pergi ke atap. Kami menunggu 32 jam dari sekarang. Sekali lagi….”
Semua mata tertuju pada ponsel Kak Pit. Itu radio darurat. Akan berbunyi otomatis jika ada pengumuman dari pemerintah.
Kukira semalam sinyal sudah mati. Apa aktif lagi, ya? Soalnya, semalam sinyal ponsel Kak Tip sempat hilang.
Benda itu masih terus berbunyi menyampaikan pengumuman sedang kami saling pandang.
“Ada helikopter. Kita masih punya harapan!” pekik Yin terdengar semangat. Suara nyaringnya seolah membangkitkan suasana.
“Kita bisa selamat!” Aku berseru, bersama Yin menatap kakak-kakak itu.
Kami berdua berdiri. Kak Pit tersenyum dan meraih ponselnya. Begitupun Kak Fika yang juga tampak mulai membara. Untungnya, Kak Tip dan Kak Nine tidak terlihat akan melanjutkan percekcokan mereka lagi.
“Mereka hanya mayat hidup! Mereka bodoh!” Kak Tip menyeringai. Rasa percaya dirinya terlihat jelas. Artis tik-tok memang beda!
“Setidaknya, kita masih punya tenaga dan akal.” Kali ini Kak Fika yang mengeluarkan pendapat. Cengiran terbit di wajahku, begitupun dengan Yin.
“Hancurkan saja kepala mereka, mereka pasti mati. Sesimpel itu.” Kak Nine ikut-ikutan menyeringai. Ini keren! Semuanya membara.
Ruangan makin terang seiring matahari mulai naik. Suasana kamar berubah, dipenuhi oleh aura perjuangan.
“Kita ke atap,” putus Kak Pit mantap.
Tiga puluh menit kemudian, setelah kami memakan kue ulang tahun Kak Pit yang aku dan Yin bawa untuk sekadar mengganjal perut, kami mulai bersiap-siap untuk berangkat. Bekal juga sudah disiapkan. Dengan sukarela aku mengajukan diri untuk membawa botol minum Kak Pit yang bisa disandang seperti tas.
Kami pun bahu-membahu menyingkirkan perabot dari pintu. Kak Pit mengecek ponselnya lagi, memastikan kembali pengumuman dari pihak pemerintah, tapi ia justru mengerang sebal.
"Kenapa?" tanya Kak Nine.
"Sinyal hilang, terus low bat." Kak Pit berjalan tenang ke jendela dan membuang benda tipis itu ke luar. Mataku membulat. "Enggak ada gunanya lagi." Kak Pit melangkah santai ke pintu depan.
Suara degup jantung menggema sampai ke telinga, saat tangan Kak Pit mulai menggenggam kenop pintu. Aku yakin yang lain juga sama gugupnya.
“Kalian siap?”
Kami semua mengangguk. Pelukanku pada Garfield 3 semakin erat seiring dengan terbukanya pintu.
Bau darah yang pekat menguar di sekeliling kami. Aku mengernyit sekaligus merinding. Kak Fika seperti mau muntah. Jangan tanya seperti apa ekspresi Yin. Kak Nine juga sudah menutup hidungnya.
“Gila, ini bau banget!” komentar Kak Tip dengan suaranya yang keras. Suaranya memang seperti itu.
“Jangan berisik!” Hanya Kak Pit yang terlihat biasa-biasa saja. “Sepertinya, di bawah masih banyak zombi.”
“Kak Pit .…” Aku beringsut ke belakang Kak Pit, memegang baju kedodorannya sedikit erat. Tentu saja karena takut, syukur-syukur tidak sampai gemetaran seperti kemarin. Aku hanya punya bekal semangat hidup, selebihnya hanya seorang gadis penakut yang manja. Sebuah fakta yang tak bisa dibantah.
“Kita harus cari jalan keluar ke atap.” Yin berujar sambil memelintir rambut panjangnya yang dikucir kuda. Dia tampak lebih tenang dariku.
“Memang harus.” Kak Nine masih menutup hidungnya dengan jari jempol dan telunjuk. Suaranya jadi terdengar agak aneh. Kak Fika di belakangnya mengangguk setuju.
“Aku tak mau mati sia-sia dimakan zombi. Aku belum bikin meet n greet.” Aku tahu Kak Tip sedang berusaha menaikkan mood dan semangat dengan cara mencairkan suasana.
Kami semua tertawa kecil dibuatnya. Itu benar. Aku juga belum datang ke konser TVXQ!, pokoknya tahun depan aku dan Kak Lilis harus pergi bersama. Karena itu, kami harus segera naik ke atap, bagaimanapun caranya.
“Semua, ayo jalan. Kalian harus terbiasa dengan bau darah. Kita jalan pelan-pelan, jangan sampai terpisah.” Kak Pit mulai mengomando. Kami pun mulai berjalan menyusuri lorong. Tanganku tak lepas dari baju Kak Pit.
Lantai ini sunyi sekali. Tak heran suara di lantai bawah terdengar jelas, begitupun suara langkah kaki kami. Padahal sudah berjalan dengan pelan, tapi gesekan antara sepatu dan lantai tetap menimbulkan bunyi.
“GRAA!”
Aku nyaris menjerit saat mendengar suara raungan, disusul beberapa zombi keluar dari salah satu kamar. Reflek saja tanganku melempar Garfield 3 ke salah satu dari mereka, sedangkan Kak Tip dan Kak Nine secara mengejutkan menendang dua zombi lain.
Kak Fika dan Yin langsung menutup pintu kamar itu dengan kompak. Meskipun di balik sana para zombi terdengar menggedor-gedor dan menggaruk pintu dengan berisik.
Wajah kami semua memucat, zombi-zombi itu lebih seram dari yang kami bayangkan. Muka tak berbentuk dan liur yang menetes, gerakan patah-patah dengan tubuh berisimbah darah. Bahkan di mimpi buruk pun, hantu tidak semengerikan itu!
“Uuh ….” Pandanganku mulai mengabur karena air mata.Ditambah lagi Garfield 3 yang kini berada di dalam kamar berzombi. Itu hartaku yang berharga.
“Tenang. Semua tenang. Alma, jangan nangis. Fika, jangan teriak.” Kak Pit menggeser badanku pelan ke samping, dia muncul dengan linggis di tangan. Yin menyingkir dan langsung menggenggam tanganku yang sudah kosong. Kak Fika menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara. Detik berikutnya, kenop pintu sudah hancur.
“Zombi-zombi itu sensitif pada suara.” Kak Nine menepuk kakinya yang tadi menendang zombi. Sebercak darah mengotori celana jin biru dongker itu.
“Pit, kita gimana? Mereka cukup bodoh untuk memutar kenop pintu.” Kami semua melihat pada Kak Pit seiring dengan pertanyaan Kak Tip.
“Pintu darurat.”
Kak Pit menunjuk ujung lorong dan segera berlari. Kami semua sontak mengikuti.
“Kenapa nggak lift aja?”
“Kurasa lift pasti rusak, Yin,” jawab Kak Fika.
Kalau tidak rusak pun aku tak mau naik benda kotak tertutup itu. Mengambil risiko terkurung bersama sekumpulan zombie lapar bukan ide yang bagus. Masih untung kalau bisa lari lagi ke pintu darurat, kalau langsung tertangkap dan mati di tempat, bagaimana?
Kami terus berlari dengan cepat. Saking terburu-burunya, aku tersandung rok sendiri sampai terjatuh. “Aduh ….” Desisan kesakitanku tak membuat yang lain berhenti berlari.
“Angkat rokmu, Alma. Di sini enggak ada laki-laki.” Kak Tip menarik tanganku untuk berdiri. Aku mengangguk mantap dan menyingsing rokku ke atas, lanjut berlari mengejar yang lain.
Kami merusak semua kenop pintu, menguncinya dari luar. Semua dilakukan dengan sangat cepat. Adrenalin kami semua berpacu. Keringat mengucur dari pelipis. Tak ada lagi waktu untuk merengek maupun menjerit. Melihat ke belakang saja tidak.
Berlari ke pintu darurat, menendang zombi, menutup pintu, menghancurkan kenop, berlari naik di tangga darurat, berlari ke pintu darurat, menendang zombi lagi, dan menghancurkan kenop lagi, begitu seterusnya tanpa berhenti.
Kak Pit yang paling depan akan memberi aba-aba, aku mengayunkan linggis ke kaki zombi yang muncul. Kak Tip dan Kak Nine akan menendang zombi itu ke luar. Lalu Yin dan Kak Fika kompak menutup dan menghancurkan kenop pintu.
Pembagian tugas yang muncul secara alami.
Kami beruntung, di lantai-lantai yang kami lewati hanya ada sedikit zombi. Sepertinya, mereka sudah dikalahkan oleh orang lain. Mungkin saja itu kelompok yang lain. Fakta itu membuatku lega diam-diam. Itu artinya mereka mungkin saja masih hidup, tetangga-tetangga yang kusayangi.
Beruntung, kami hanya tinggal lari secepatnya menuju pintu darurat, sambil sesekali menyerang dan mengurung mereka di kamar.
“Yin, awas!” Botol minum terayun ketika sesosok zombi yang tak sempat kami kurung di kamar mengejar sampai ke pintu darurat. Botol dari plastik keras itu sukses membuat zombi itu terhuyung ke belakang.
Kak Pit membanting pintu dan Kak Fika menghancurkan kenop dengan linggis. Linggis yang beralih ke tangan Kak Fika sejak lantai dua belas. Tanganku memerah memegang tangkai besi itu, sehingga tugasku beralih menutup pintu dengan Yin.
“Alma, Yin, kalian enggak pa-pa?”
“Enggak pa-pa, Kak Tip,” jawab kami hampir serempak. Meskipun tanganku bergetar melihat botol itu kini berlapis darah di salah satu sisinya. Yin pun pucat, ia nyaris ditarik zombi kalau aku terlambat mengayunkan botol.
“Ayo lanjut lagi, kita hampir sampai lantai lima belas.”
Kami kembali berlari menaiki tangga. Tidak ada waktu untuk istirahat, semakin cepat ke atas semakin baik.
“Kita hebat. Bisa sampai di sini secepat ini.” Kak Nine tersenyum lebar di tengah napasnya yang memburu. Rambut sebahunya sedikit basah karena keringat.
“Iya. Tinggal lima belas lantai lagi, dan kita bisa selamat,” timpal Yin.
“Semangat!” seruku meninju udara kosong.
“YEAH!” sorak yang lain serempak.
Dan Kak Pit pun membuka pintu ke lantai lima belas.
***
Ditulis oleh: SalmaNaru7
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top