5. Ke Atas

Apa yang lebih sial ketimbang diserang zombi dan terjebak bersama ibu rusun yang galak? Tidak ada. Kupikir mendengar teriakan nyaring dan cabikan daging di lantai dasar sudah sangat buruk. Awalnya Fika berteriak-teriak histeris, lalu semua penghuni rusun kelabakan dan mencari tempat persembunyian di kamar terdekat. Aku salah satu yang panik, langsung masuk ke kamar Lyn dan mendapati lima orang tengah menghunuskan wajan dan sudip ke arahku.

"Syahid!" teriak Caroline, rambut panjangnya berayun marah. Aku ingat, dia penghuni yang suka minta lauk makan siang ke mana-mana. "Kupikir kamu zombi tadi."

"Aku masih suka makan mi dan nasi, belum manusia."

"Cepat tutup pintunya dengan kursi dan kasur!" teriak Lyn, pekerjaan mereka yang tertunda karena kedatanganku kembali dilanjutkan. Ibu Tary yang galak mengomando seperti prajurit Jepang kepada romusha.

"Geser yang betul! Eh kamu, angkat, jangan letoy. Ayo cepat, cepat! Belum pernah ada zombi vegetarian, daging kalian yang pertama dimakan kalau mereka masuk ke sini. Syahid, jangan melamun! Martina jangan nangis! Caroline siapkan perbekalan! Lyn cari barang-barang di kamarmu yang bisa dijadikan senjata. Nin, pakai kekuatan penuh. Kamu bisa, ayo!"

"Anu ... Bu, coba bantu supaya—"

"Siapa kamu berani perintah-perintah?! Geser, geser! Jangan banyak ngeluh." Bu Tary melotot, alih-alih membantu, dia malah mencambuk kami dengan kata-kata seruan. Setelah beberapa menit pintu tertutup rapat, kami mundur ke sudut kamar terjauh, dan merasakan situasi: lewat telinga, peraba, dan pengelihatan.
Aku menggenggam pulpen yang menjadi satu-satunya senjata dari sakuku: dapat di kelas, setelah ulangan harian, dan tidak ada satu pun murid mengklaimnya. Keberuntunganku mungkin sudah habis setelah mendapat pulpen gratis.

"Kira-kira, kenapa zombie itu muncul?" tanya Martina, lirih. Dia dan Nin yang paling muda di antara kami, ketakutan, rapuh, dan butuh perlindungan. Tas bekal yang merupakan ransel sekolah Lyn berisi air dari galon dan mi instan kering tergeletak di antara kaki Nin dan Martina.

"Mungkin mereka bosan mati," jawabku asal. "Jadi mereka bangkit sebagai mayat hidup."

"Ih Kak Syahid, yang serius!" Martina kesal.

"Kebanyakan main game jadi gitu," Nine menambah-nambah. Ada apa dengan mereka berdua?!

"Suara di luar ... terdengar seperti hyena yang memangsa gizelle." Lyn menatap lurus, di tangannya tergenggam sapu erat-erat.

"Kamu kebanyakan nonton Nat Geo," celetuk Oline. "Suaranya seperti Kak Pit kalau motong daging. Disayat, terus dibelah perutnya, dan dikeluarkan isisnya. Terus dipotong jadi tiga, ditaburi garam, gilingan kunyit dan bawang. Terus direndem cuka sebentar. Dan goreng."

Aku menatap Oline yang mengulum jari telunjuknya. "Kamu kebanyakan makan micinnya Kak Pit."

"Kak Pit gak pakai micin!"

"Terus apa, keringet?"

"Ya garam, gula, asam jawa."

"Kok kamu jadi belain masakan orang?"

"Habis, Kak Syahid duluan."

Bu Tary melotot, pisau dapur di tanganya berkilat-kilat. "Kalau kalian gak diem, kubuang ke tengah zombie buat pancingan. Mau?"

Kami berlima sontak menggeleng. Tapi jiwa pemberontakku tak dapat dibendung. "Buat apa mancing zombie?"

Bu Tary mendecakkan lidah sebal. "Kamu terbiasa mancing masalah ya?" Pisaunya tertawa seolah leherku akan terbelah esok. Jadi aku mengangkat tangan tanda menyerah sebelum jakunku masak di tangan manusia psikopat.

"Rasanya semakin hening," lapor Lyn. Ujung sapunya ia runcingkan selagi kami menunggu dengan pisau buah. Seperti meraut pensil. "Zombie semakin sedikit."

"Mungkin mereka keluar rusun," sahut Nin tampak berharap.

"Soalnya di luar daging manusia masih banyak." Martina menambahkan.

"Jadi kita keluar sekarang nyari bantuan?" tanya Oline. Bu Tary menggeleng, rol rambutnya bergoyang.

"Kita tunggu lagi. Yang mau tidur boleh istirahat."

Jadi kami duduk beralaskan karpet tipis. Saling berdoa dan memohon keselamatan. Listrik tiba-tiba padam. Kamar menggelap. Tidak ada lilin, kami tidak berani bergerak lebih jauh. Hanya temaram bulan yang datang dari luar dan sinar jingga dari daratan menyeruak masuk ke dalam jendela. Banyak kebakaran. Kota kacau dalam semalam.

Ada senyap-senyap bunyi teriakan, jeritan minta tolong, dan raungan putus asa. Gesekan kaki  zombie masih ramai di bawah. Kemungkinan akan ada zombie kalau kami ke atas. Lebih banyak lagi yang akan menunggu di luar rusun.

Kemana pun kami pergi, tidak ada jalan bersih.
Sampai jam tiga dini hari, kami masih diam di posisi yang sama. Rusun semakin hening. Awalnya kami mendengar bunyi pintu terayun dan pijakan kaki yang halus: derap kaki orang normal. Tetapi kami tidak berani berharap. Siapa tahu zombie sudah bisa berjalan bagus dan sedang keliling mencari mangsa segar dari dalam kamar.

"Kapan berangkat?" tanya Caroline. Dibandingkan yang lain, dia yang paling tertekan, dan tidak bisa tidur sama sekali. Matanya merah dan bibirnya pucat.

"Sebentar lagi saat subuh." Bu Tary menjawab. Meski galak, ia seperti penanggung jawab yang mengordinir semua tindak-tanduk kami.

Lalu, setelah jarum jam menunjuk angkat empat, kami serempak merapikan diri. Aku membawa pulpen. Martina membawa golok—agak mengejutkan karena ternyata dia punya keberanian lebih kalau menyangkut masalah nyawa. Lyn setia dengan sapunya. Oline dan Nin di tengah kelompok membawa perbekalan. Bu Tary di depan, menyingkirkan barang-barang, dan menjatuhkan lemari Lyn yang seketika memuntahkan puluhan novel.

"Selamat tinggal koleksiku," Lyn melambaikan tangan. Kami keluar satu per satu dengan sangat pelan. Tidak ada hujan cahaya, namun lampu koridor masih nyala beberapa sebagai hasil lampu cadangan yang otomatis berfungsi ketika mati listrik. Tinggal 24 jam sebelum kegelapan total melingkupi kami semua.

"Kita curi perbekalan," usulku, pelan. Kami nyaris tidak bersuara sama sekali selama beberapa langkah.

"Kamar siapa?" tanya Martina.

"Tuh!" Aku menunjuk kamar 28, seingatku itu kamar Kak Lilis. Dia wanita baik yang pasti punya simpanan makanan melimpah.

"Coba tengok." Bu Tary memberi restu. Selagi aku masuk ke kamar kak Lilis, anggota lain meneliti sekitar dan mendapati lantai dasar sudah kosong melompong berikut lantai satu dan—mungkin saja—lantai dua.

Di kamar Kak Lilis, aku tidak menemukan apa-apa kecuali jejak sepatu di atas karpet hijau, carikan kertas, dan perabotan berhambur dekat pintu. Ada kelompok lain. Aku mengambil kertas dan mengamatinya di bawah jendela. Sebuah denah, ada banyak coretan, dan titik tajam dari ujung pulpen yang ditekan kuat-kuat. Seolah menegaskan sesuatu.

Ada beberapa tulisan helikopter di atap ... militer lantai 29 ... ke atas tujuan kita. Aku memberitahu penemuan tersebut ke Bu Tary yang sedang melongokkan kepala ke kamar lain.

"Ada tim penyelamat di atap. Mereka semua pasti ke sana," Bu Tary menyimpulkan.

"Siapa mereka?" tanya Lyn. Aku mengangkat kedua bahu sesaat.

"Tetangga kita, mungkin."

"Kalau ke luar rusun tidak mungkin, berarti ke atap adalah satu-satunya jalan." Bu Tary mendongak, membayangkan puluhan lantai yang akan kami daki demi menyelamatkan nyawa. Kami semua pun mengangguk, seolah mengamini sabda tersebut.

"Baiklah, ayo jalan ke pintu darurat. Lift pasti rusak," perintah Bu Tary. Oline dan Nin memperbaiki posisi ransel di punggung mereka. Kami berenam pun maju serempak ke tangga darurat, dan berlari mendaki tangga, menuju titik akhir pengharapan.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top