15. Terus Kita Harus Gimana?
"Terus kita harus gimana?" gerutu Nindya.
Memang sih ini cewek kalau lagi bete apalagi stressuka bikin orang lain ikutan naik pitam. Dikira aku tidak pusing apa? Namun mau bagaimana lagi, toh, aku yang paling tua di sini. Kalau aku meladeninya, justru makin kacau saja semuanya.
Harapan hidup saja rasanya sudah tidak punya. Peristiwa Thiya bunuh diri tepat di hadapanku masih sangat segar di ingatanku. Untuk bertarung dengan para zombie, aku sudah tidak memiliki tenaga apa pun lagi.
"Kak, kita harus bagaimana nih?" Fika terisak seraya menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Aku membalasnya dengan senyum kecil.
Ingin rasanya aku berkata, aku masih mikir tahu gak sih!
Kenapa pula kejadian ini harus terjadi sebelum aku membuat acara meet and greet dengan penggemarku? Kalau aku sudah bertemu para penggemarku, setidaknya aku bisa menjamin akan ada yang mengingatku di dunia ini. Sekarang ini apa arti lima ratus ribuku kalau aku akan mati sia-sia di sini? Apa gunanya aku nari dua jari sampai manjat-manjat pohon biar bisa viral?
Aku mengacak rambut dengan rasi .
Aku melirik Yin yang hanya diam saja sedari tadi. Jujur saja, dia menyeramkan. Kadang aku sepemikiran dengan Nine, kalau mungkin saja gadis ini bersindikat sebagai teroris. Lantaran dia jarang banget keluar rumah dan bersosialisasi dengan para anak rusun lain.
Aku menatap langit-langit yang mulai menunjukkan gelagat akan runtuh kapan saja. Masih ada lima lantai lagi untuk dipanjat.
Mataku tidak sengaja menemukan ventilasi yang letaknya tidak terlalu tinggi. Tampaknya itu bisa dijadikan jalan keluar.
"Itu ada ventilasi," ucapku seraya menunjuk ventilasi yang setelah kupikir-pikir lagi ukurannya termasuk kecil sekali.
"Kita masuk ke dalam sana?" tanya Nindya dengan alis terangkat.
Aku mengangguk pelan. "Mungkin itu satu-satunya cara?"
"Apa tidak terlalu kecil, Kak Tip?" balas Fika.
"Bisa kok, kalau satu orang masuk satu per satu. Lagian badan kita kan kecil-kecil, gak ada yang segede babon," jawab Yin yang sempat membuatku kaget karena akhirnya memberi ide. "Di sini juga ada barang-barang yang bisa kita pakai buat naik ke atas."
. "Memangnya ada jaminan kalau kita bisa sampai di lantai 29 kalau lewat
"Pasti!" jawabku semangat. "Soalnya ventilasi gedung ini menyambung dan mengarah ke atas. Hanya saja, ini akan cukup sulit tapi tidak terlalu ."
"Aku ikut, pokoknya aku gak mau sendirian di sini," sahut Fika, "Jangan tinggalin Fika sendirian ya."
Aku mencari-cari sesuatu yang bisa kugunakan untuk mengikat rambut. Jujur saja, rambut mulai terasa gatal sekali. Dari tadi aku berusaha menahan untuk tidak menggaruknya meski diam-diam kulakukan. Abisnya, sampoku sudah habis semenjak seminggu yang lalu. Dan P , saudara tidak serahimku itu, tidak mau meminjamkanku sampo. Apa daya aku anak kos miskin yang tidak mampu membeli sampo di akhir bulan. Mana Mak Tary mulai mengancam akan menaikkan uang sewaku kalau tidak rajin membersihkan kamar.
Sekarang sih sudah tidak ada Mak Tary yang bisa mengomel-ngomel, sudah tidak ada teman-teman rusun yang sering kumintain megangin hape kalau aku lagi tiktokan, sudah tidak ada lagi Tip yang dipuja-puji seantero jagad tiktok. Mana si pemerintah seenaknya main blokir aplikasi tiktok. paling cocok dijogetin pake tiktok terus remix sama Aisyah.
Diam-diam aku berjoget dua jari sembari bersenandung lagu Syantik.
"Lagi pengen dimanjah, pengen berduaan dengan dirimu sajah."
"Kak Tip gak apa-apa?" tanya Fika khawatir yang langsung membuyarkan semua imajinasiku. Sial.
"Eh? Gak apa-apa kok."
"Kak Tip kangen main tiktok ya?" tanya Nindya dengan wajah khawatir.
Mataku mendadak terasa perih kayak ngeliatin orang lagi ngupas bawang merah. Ya kan? Aku jadi nangis beneran gara-gara inget tiktok. Tanpa sadar aku sudah menangis tanpa suara, sampai Fika, Nindya, bahkan Yin mulai bingung.
"Aku kangen mainan tiktok," rengekku.
"Sabar ya, Kak Tip. Kita harus keluar dari sini biar Kak Tip bisa main tiktok lagi, biar bisa bikin acara meet and greet yang lebih gede dari punyanya Bowo. Jangan nangis ya, Kak?" hibur Fika sambil mengelus-elus rambutku yang justru membuatnya makin gatal.
"Aduh, Fik, jangan dipegang-pegang. Jadi gatel lagi nih rambut," omelku.
"Eh maaf, Kak. Pantes kok tangan Fika jadi bau gak enak," ujarnya dengan tangan yang mengelap-elap ke segala arah.
"Kak Tip gak keramas berapa lama?" tanya Nindya sambil melirik rambutku. "Kayaknya udah lama ya, Kak? Dari tadi ada bau gak enak soalnya kalau deket-deket kakak."
"Kak Tip gak dikasih sampo sama Kak Pit ya pasti? Soalnya Kak Pit sering curhat samponya cepet abis kalau Kak Tip abis minta," tambah Fika.
"Sialan," umpatku pelan.
Aku nyaris saja melempar benda di sebelahku ke Nindya kalau tidak sadar sedang memegang besi yang ujungnya cukup tajam. Bisa mati anak orang nih, tapi gak apa-apa sih. Mengurangi saingan yang lemah.
"Bisa kita mulai sekarang gak?" tanya Yin tiba-tiba.
"Hah?" Aku, Fika, dan Nindya kompakan menyahuti Yin. Kayaknya kami sama-sama gagal paham dengan Yin yang mendadak out of topic.
Yin menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak ada kecoaknya. "Naik ke ventilasinya mau kapan?"
Aku langsung ber-oh begitu paham apa maksudnya. Efek kebanyakan main tiktok ya begini, lemot kalau diajak omong.
"Ayo sekarang, jangan buang-buang waktu lagi," ajak Nindya semangat. Memang deh, dia ini mood swing banget ya, tadi , sekarang ceria banget. "Gimana kalau kita angkat meja itu," usul Nindya yang langsung kami semua setujui.
Kami berempat mengangkat meja yang cukup besar yang sebelah kakinya sudah sisa setengah, tanpa menimbulkan suara decitan. Bisa-bisa kami mengundang para zombie untuk memakan kami hidup-hidup.
Selanjutnya, Yin dan Nindya yang banyak memimpin kami menyusun tangga untuk naik ke ventilasi. Maklum sih, badan kami ini kurus dan pendek-pendek semua. Mana bisa naik ke ventilasi yang jaraknya cukup jauh dari kami. Kalau saja aku punya kekuatan seperti Reed Richards yang badannya super elastis, pasti aku sudah memanjangkan tanganku buat naik ke atas dan menarik ketiga temanku dengan mudahnya. Sayangnya, itu hanyalah imajinasi sutradara. Aku mah cuma anak tiktok yang terjebak di kawanan zombie.
"Jangan lupa bawa senjata, jangan yang berat tapi tetap berguna ya." Aku memperingati ketiga temanku begitu tangga buatan kami sudah jadi.
Ada meja sebagai pondasi, sisanya hanya kursi dan beberapa kayu. Aku mengambil pisau dapur yang tergeletak di lantai dan mulai dikit berkarat .
"Siapa yang harus naik duluan?" tanya Fika dengan raut bingung.
Ah iya ya, kenapa aku baru memikirkannya. Aku perhatikan ketiga orang di hadapanku yang mulai saling tatap seolah menyuruh satu sama lain untuk memimpin jalan. Sebenarnya, Yin cocok untuk naik duluan karena badannya paling kecil, tapi dia tidak bisa menolong teman-teman di bawahnya kalau terjadi sesuatu.
Aku menggaruk telingaku yang mulai ikut-ikutan gatal seperti kulit kepalaku, mungkin ketombenya sudah menjalar ke mana-mana.
Antara aku atau Fika, hanya kami yang memiliki perawakan lebih tinggi dan berisi dibandingkan Yin dan Nindya. Tampaknya aku lebih cocok untuk memimpin perjalanan ini, aku lebih tinggi dan tenagaku lebih kuat dibanding mereka bertiga.
"Aku saja yang memimpin di atas, kalian bertiga mengekor di belakang. Hem, tapi Fika kamu terakhir ya, soalnya kamu bisa bantu Yin dan Nindya buat naik. Mereka kan lebih pendek dari kita, nanti takutnya lebih susah," jelasku.
Nindya tahu-tahu memelototiku sampai aku kaget dibuatnya. "Aku gak pendek, Kak!"
"Iya, iya lagi masa , nanti kamu tingginya kayak si zombie raksasa kok. Tenang aja," candaku.
Nindya masih mengerucut tidak senang tapi juga tidak berniat protes lagi.
Dengan hati-hati aku naik, tanpa membuat tangganya bergoyang. Abisnya ini cukup mengerikan, sekali ini ambruk, pasti meja dan kursi langsung menimpa tubuhku. Tidak usah dibayangkan deh, belum lagi kalau ada zombie yang menyeruak masuk saat aku berusaha membebaskan diri. Bisa mati mengenaskan aku.
Aku menggelengkan kepala cepat, berusaha menghilangkan imajinasi mengerikan di dalam pikiranku.
Begitu sudah sampai di puncak, aku berusaha naik ke atas ventilasi dengan setengah berjinjit. Tidak begitu sulit karena tangga yang kami buat juga sudah cukup tinggi.
Aku mengedarkan pandangan ke ventilasi yang cukup gelap ini. Ventilasi ini saat menukik ke atas pasti sangat sulit.
"Ayo, Yin," panggilku begitu melihat ketiga orang di bawahku yang masih kebingungan.
Dengan sigap Yin langsung menaiki tangga darurat buatan kami tanpa ada masalah. Memang tubuhnya lebih ringan. Dia kelihatan lebih jago dibandingkan aku. Tanganku terulur ke bawah begitu Yin sudah sampai di puncak. Yin menangkap tanganku dan berpegangan. Ah sial, ternyata melakukan ini tidak semudah kelihatannya, padahal di film-film sangat mudah. Aku menarik tubuh Yin sembari memegang ujung ventilasi agar tubuhku tidak tertarik ke bawah. Begitu Yin sampai di puncak, dia menangkap ujung ventilasi dan naik sendiri.
"Makasih, Kak Tip," ujarnya dengan senyum. Cantik loh kalau Yin lagi senyum.
Nindya juga melakukan hal yang sama, walau dia sempat agak histeris saat tangganya agak bergoyang. Namun kali ini aku bisa mengangkatnya dengan mudah karena ada Yin yang membantuku. Begitu giliran Fika, tangga darurat di bawah sudah mulai bergoyang, tampaknya efek terlalu banyak orang yang sudah naik dan dia giliran terakhir. Fika hampir terjatuh tapi aku buru-buru menangkap tangannya.
"Kak, tolong," jerit Fika tertahan karena dia nyaris terjungkal ke belakang.
"Sini, Fik, tanganmu. Ayo cepat!"
Aku menangkap tangan Fika sebelum suara gedebuk dari tangga darurat kami yang sudah hancur berantakan. Kami bertiga berusaha menarik Fika secepat mungkin, karena para zombie pasti sudah mendengar suara-suara ini.
Aku bisa mendengar suara pintu berusaha didobrak dan suara-suara erangan para zombie. Tuh kan.
Tanpa membuang-buang waktu, aku memimpin perjalanan ini. Awalnya semua masih mudah karena kami hanya melewati ventilasi yang bisa ditempuh dengan merangkak mesti ini sangat sempit. Begitu ventilasi ke lantai 25, aku harus susah payah untuk naik.
"Ini pasti susah," omel Nindya di bawah.
Aku berusaha menahan kedua kakiku di dua sisi ventilasi dengan tangan yang juga menahan tubuhku sembari pelan-pelan naik. Aku pernah melihat orang melakukan ini di acara , dan sekarang aku melakukannya, padahal dulu aku selalu mengatai kekonyolan mereka. Beberapa kali aku hampir terjatuh, tapi Yin yang juga sudah menyusul di bawahku berusaha menahan berat tubuhku hingga imbang lagi.
Meski diselingi beberapa percekcokan, kami tetap berusaha naik dan merangkak tiada henti. Aku hanya terus merangkak tanpa tahu ini akan sampai di mana. Entah sampai kapan ini akan berlangsung, yang kutahu kukuku mulai patah dan mengeluarkan darah. Semua rasa sakit itu terasa mati rasa, padahal biasanya aku pasti sudah heboh dan teriak-teriak kesakitan.
Buntu! Pekikku dalam hati begitu tidak sengaja menabrak puing-puing runtuhan gedung. Aku bisa merasakan dahiku terasa perih karena puing tepat mengenai jerawatku yang sedang bengkak parah.
"Kenapa, Kak?" tanya Yin dari belakangku.
"Jalan buntu. Kayaknya ventilasinya keputus gara-gara runtuhan," jawabku frustrasi.
"Serius, Kak Tip?!" pekik Nindya cukup keras.
"Kita cari jalan lain, Kak. Tadi aku lihat ada persimpangan pasti ada jalan, Kak," jelas Fika dengan suara samar-samar. "Aku bakalan mundur dulu, yang lain juga ikutin ya. Pelan-pelan, nanti tetep Kak Tip yang pimpin jalan."
Kami semua menyetujui usul Fika tanpa banyak ribut. Sepertinya mereka juga sama lelahnya denganku, bahkan lututku sudah terasa mati rasa, sudah tidak bisa merasakan sakit.
Aku mengikuti instruksi Fika yang mengarahkan ke persimpangan yang dilihatnya. Kemudian aku memimpin jalan begitu sudah paham dengan instruksinya. Kami kembali merangkak dan memanjat ventilasi, sampai ada sebuah ventilasi yang mengarah ke koridor.
"Kak, kita harus merangkak sampai berapa lama?" keluh Nindya yang mulai merintih kalau sikunya berdarah.
"Bentar ya. Aku mau lihat koridor dulu, kalau aman. Kita bakal keluar sekarang."
Aku melongokkan kepalaku ke luar ventilasi. Memicingkan mata melihat keadaan di luar yang tampak tenang-, bahkan ruangan-ruangan di sini masih utuh, tidak mengalami kerusakan seperti di lantai-lantai lainnya. Mataku mencari-cari tanda keberadaan kami, sampai aku menemukan pintu gedung yang menunjukkan angka 28-01, 28-02, 28-03.
"Kita di lantai 28!" pekikku gembira. "Di sini semua kelihatan aman. Gedungnya masih utuh semua, gak kayak di lantai-lantai lain yang kita lewati tadi. Ayo kita keluar! Hati-hati ya!"
Dengan hati-hati aku kakiku untuk turun pertama, agar mendapat pijakan dan tidak berguling-guling secara konyol di lantai yang jelas-jelas keras dan tidak empuk.
Sayangnya, harapanku untuk bisa turun dengan aman, hanyalah angan. Pasalnya, kakiku yang tadi mati rasa begitu menapak lantai langsung diserang rasa sakit yang luar biasa. Benar! Aku berguling-guling secara konyol di lantai. Aku bisa mendengar suara teman-temanku yang terkejut melihat aksi konyolku.
Aku menyuruh mereka untuk meregangkan kaki terlebih dahulu sebelum nekat turun dari ketinggian tiga meter. Terbukti, saranku yang tidak kulakukan dulu, membuat mereka tidak sampai terguling-guling dengan konyol.
"Tunggu!" Yin menghentikan langkah kami untuk bersembunyi dan mencari cara ke lantai 30. "Coba dengerin deh. Ada suara ribut-ribut dari arah sana."
Kami mengikuti arah jari telunjuk Yin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top