14. Semoga (Tidak) Selamat Sampai Tujuan

BHIMO mengambil ancang-ancang untuk menjebol pintu darurat menggunakan kakinya. Jika saja pintu tidak dalam keadaan terkunci, maka kami sudah lari terbirit-birit. Namun risikonya, entah sudah berapa banyak zombie yang memasuki lantai 24. Tempat bermalam kami jadi, mungkin sekarang kami sudah menjadi mayat. Untung Bhimo laki-laki sehingga kekuatannya bisa diandalkan.

Suara berisik kresek berisi makanan yang Oline pegang terdengar jelas. Aku berbalik, memastikan apa yang ia lakukan meski aku tahu Oline sedang mengecek perbekalan. Tepat sebelum Bhimo menjebol, raut wajah Oline tampak muram.

"Kenapa?" Aku bertanya. Pikiran buruk seperti Oline telah terinfeksi aku enyahkan. Tak baik berprasangka yang tidak-tidak terhadap teman satu tim sendiri.

Sedikit lesu, Oline menjawab, "Aku masih syok sama Kak Thiya. Padahal -kan, kalau kita berjuang sedikit lagi pasti ada jalan keluarnya. Kita bisa sama-sama pergi dari sini. Tapi apa yang dibilang Kak Thiya ada benernya. Gak semuanya bisa selamat"

"Karena itu kita harus cepat sampai. Yuhuuu!!!" Bhimo memotong dan mendobrak pintu darurat menggunakan jurus bak taekwondo. Kupikir hanya perasaanku saja, tapi, Bhimo-lah yang menganggap dikepung sekawanan zombie bukan hal yang perlu ditakuti. Terlihat jelas dari raut wajahnya itu, selalu dibawa santai.

Mungkin baginya, semua ini terasa seperti . Setelah , bisa mengulang kembali dari awal. Hah, kenyataannya kami bukanlah para pejuang yang memiliki banyak nyawa. adalah kematian, tidak bisa kembali hidup. Dunia tidak seindah game yang membodohi.

Kali pertama, pintu sedikit bengkok dan ia mengerang kesakitan sembari mengelus-elus kaki panjangnya. Tidak langsung menyerah, Bhimo kembali mendobrak untuk kali kedua, ketiga, dan keempat. Ada harapan, pintu terpental, memberikan akses bagi kami untuk melanjutkan perjalanan.

Aku sedikit takut-takut karena suaranya terdengar begitu nyaring. Barang kali ada zombie yang mendengar, sehingga datang lebih cepat menuju sumber suara. Menemukan kami dan akhirnya aksi kejar-kejaran terjadi. Bagian terburuknya, aku khawatir kami tidak bisa selamat. Aku tak sudi memikirkan tubuhku tercincang habis. Dimangsa mayat hidup bukanlah skenario kematian terbaik.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama, aku ambil posisi dan memimpin di depan. Setelah memastikan kami pada posisi seharusnya, aku memegang erat. Bersiap dengan segala kondisi dan serangan.

Daerah tangga darurat lumayan hening. Udara dingin membuat tubuhku menegang, bulir keringat mengucur begitu deras. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara erangan di bawah sana. Seketika aku sadar jika kematian tepat di depan mata. tidak ingin seperti Kak Thiya yang menjemput ajalnya lebih cepat.

Mengingat apa yang baru saja terjadi seharian ke belakang, mendadak rasa kehilangan menyelubungi hati. Bagiku, Rusun Montaks adalah surga tersendiri. Aku, sebagai pelajar tingkat akhir yang sebentar lagi Ujian Nasional, seharusnya bisa beristirahat dengan tenang karena tidak berada di rumah. Tempat terkutuk itu akan membuat tekanan lebih tinggi, ada Ibu yang selalu mengomel ini dan itu. Terkadang tidak pernah akur sama sekali. Ibu selalu marah-marah, dan aku memasang tampang dingin. Ibu terus ksa meski tahu aku tidak menyukai gagasannya.

Jadi aku lebih memilih meminta uang pada Ayah dan mengontrak di sini. Tidak senang dengan omongan Ibu mengenai dokter, sementara aku lebih ingin menjadi seorang psikolog serta mengerjakan segala hobiku di kamar. Dan, Ibu selalu memandang sebelah mata mengenai cita-citaku.

Mungkin ini hukuman bagiku, karena tidak pernah akur dengan Ibu. Memang, Ibu orang yang keras sehingga anak kurang kasih sayang sepertiku merasa tidak pernah diperhatikan. Penuh tekanan, penuh keterpaksaan, dan akhirnya muak. Aku meninggalkan Ibu dan bersenang-senang di sini sembari mempersiapkan bekal untuk ujian nanti.

Kalau saja aku menurut, mimpi buruk dikepung zombie ini idak akan terjadi. Namun -ku sudah melebihi batas . Aku seperti robot, yang tak pernah dibiarkan menggapai impiannya.

Namun, bertemu teman-teman di sini, warna kehidupanku kembali terisi. Aku bebas, aku merasa hidup. Semuanya, aku kenal mereka. Walau di sekolah aku orang yang judes dan dingin, entah mengapa aku melunak pada anak-anak Rusun Montaks. Aku selalu mencoba tersenyum dan menjadi orang yang baik untuk mereka.

Mereka menyenangkan, dan aku sudah menganggap mereka seperti keluargaku sendiri. Kejutan pesta ulang tahun Kak Pit yang gagal, seharusnya kemarin itu menyenangkan. Seharusnya itu adalah momen menakjubkan (karena kemarin bukan hari ulang tahunnya), yang mendadak menjadi momen kebersamaan terakhir kami. Kenapa semuanya mendadak berubah? Tidak ada yang ingin mati sia-sia dimakan zombie. Tidak ada seorang pun.

Jika semisal diriku selamat, bohong kalau aku bilang aku senang. Aku hanya bisa bernapas lega. Berterima kasih kepada Tuhan karena masih diizinkan untuk hidup, itu artinya Dia ingin memberikan pelajaran padaku. Sisanya, aku sedih karena telah kehilangan banyak orang. Kehilangan keluarga keduaku. Jika aku mati, maka itu adalah hukuman.

Namun, aku akan bernapas lega. Karena aku pikir, kehidupanku tidak lebih pantas dari kehidupan milik orang lain.

Aku mengatur napasku sejenak. Tanganku melambai pelan memberi kode pada teman-temanku untuk enaiki tangga tanpa suara. Kepalaku melongok ke atas, jantungku berdegup lebih kencang. Rasanya darahku mendidih. Dalam hati aku terus melafalkan .

Ini memang hukuman.

"Kamu yakin ini aman, Lyn?" tanya Nine setengah berbisik. Ta kami semua sama-sama tidak ingin bertemu banyak zombie.

Baru juga aku ingin mengangguk, sesuatu meloncat turun dari atas. Ya, ampun. Aman pantatmu! Oline dan Nine memekik, sementara Bhimo mengatakan sesuatu yang tak sempat kudengar. Karena kaget, refleks aku mengayunkan sapuku tepat pada lehernya.

Darah berhamburan ke luar, mengenai wajahku. Aku menatapnya jijik. Segera aku bereskan mayat yang satu ini. Suara gedebuk-gedebuk terdengar. Kegaduhan yang terjadi rupanya mengundang gerak para zombie.

"Lyn! Cepet maju! Banyak zombie datang dari bawah," Bhimo melapor, "Aku atasi yang di bawah!"

Tenang, tenang. Meski kenyataannya kami harus di hadapkan banyak zombie, aku harus tetap tenang.

Bersorak dalam hati, aku lari ke atas. Apa pun yang terjadi, jangan menengok ke belakang. Aku percaya Bhimo bisa mengatasinya. Pokoknya, bagianku adalah menyapu bersih di depan. seandainya Bhimo gugur, Oline atau Nine akan memberi tahu. Dalam tim, rasa saling percaya adalah hal yang paling utama. Jika tidak, jangan sebut tim kalau begitu.

Satu dua zombie menunggu. Mereka berjalan terseok-seok menuruni tangga dengan tangan yang mengulur ke depan. Kutarik linggis di belakang saku celanaku. Zombie pertama membuka mulutnya lebar-lebar, langsung kutusuk mulutnya. Ia memekik, secepatnya aku pecahkan kepalanya menggunakan sapu. Beres.

Aku menarik linggisku, kembali menghancurkan kepala zombie satunya. Untung mereka cukup lemah dan tidak banyak, aku bisa bernapas lega karena tidak seberat di lantai bawah.

"Hei, siapa pun lemparkan sesuatu!" Bhimo berteriak, tampaknya ia sedikit tersendat.

Dari atas aku bisa melihatnya. Rupanya, Bhimo menghalang jalan mereka sementara Oline dan Nine bersembunyi di belakang tubuhku. Aksi tarik-menarik golok yang dipegang Bhimo terjadi. Ia bisa saja langsung menarik kembali goloknya, namun zombie yang tidak menarik goloknya terus mengincarnya. Kenapa zombie cukup pintar untuk menghancurkan senjata terlebih dahulu?

Dari pada turun ke bawah, aku ingin melemparkan sapuku. Namun terlambat. Nine lebih dulu melempar beberapa bungkus mie instan, tepat mengenai kepala si zombie. eramannya terlepas, Bhimo langsung memenggal kepalanya. Ia mengacungkan jempol.

"Kenapa kamu lempar perbekalan kita, sih??" tanya Oline sedikit rasi .

"Lha. Sebentar lagi kita sampai, dan kita nggak ada waktu buat makan!" Nine menjawab sedikit emosi sembari menatapku. "Ayo, Lyn. Kita harus cepat."

Sebentar lagi sampai adalah kalimat yang njam jantungku. Sebentar lagi? Kenyataannya terasa sangat lama. Jadi, ya, harus cepat. Aku segera naik ke atas, rupanya di sana beberapa zombie datang.

Keringatku terus mengalir, debarang jantungku semakin kencang. Sampai-sampai aku hampir tak sanggup lagi, lelah dalam raga. Namun ingin berjuang. Sampai kami semua selamat, kuharap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, aku menyerang zombie itu.

Inilah perjuangan. Karena itu, selamat sampai tujuan adalah keinginan bersama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top