13. Perpisahan

Katakan padaku, ini tidak nyata.

Sungguh, tak dapat dipercaya. Benar-benar mengejutkan.

Semua serasa mimpi.

Rasanya, baru kemarin aku tertawa lepas bersama Layyn, mengemis semangkuk mi instan pada Fika, kemudian berlari ke kamar Kak Tip hanya untuk menyaksikannya berjoget ria Tik-Tok di depan pintu kamarnya sendiri. Kini, semua hancur.

Runtuh. Tumbang tanpa sisa. Berantakan. Tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi joget Tik-Tok yang menghibur. Mungkin, memang tak akan ada lagi rusun Montaks yang berbahagia.

Bahkan beberapa dari kami akhirnya harus meregang nyawa dengan berbagai cara sadis yang monster berliur itu dapat berikan.

Ini konyol, konyol sekali. Aku masih tak percaya barusan habis menyaksikan sebuah peristiwa langkah yang pernah ada; Kak Thiya, sosok yang kukagumi diam-diam karena sering membagi jatah makan siangnya padaku, kini memilih untuk meloncat keluar jendela berlantai dua puluh ini. Sebenarnya apa yang ia pikirkan? Apa bunuh diri merupakan jalan yang terbaik?

"Nggak, nggak. Nggak mungkin. Kak Thiya ..." Meski diucapkan begitu lirih, aku dapat mendengar jelas ada kekecewaan yang tersimpan pada kalimat Kak Nindya.

Gadis itu berjalan perlahan, nyaris tertatih mendekat pada jendela hanya untuk menatap nanar kaca dan gorden yang robek tak karuan. Jarinya gemetar saat menyentuh tembok. Air mata menggenang pada kelopaknya, jelas ada ketakutan dan kekecewaan dalam netra indah itu.

Aku mengepal tinju dalam kecemasan, meneguk saliva berat sementara Nine menyentuh bahuku lembut, memberi penghiburan walau hanya lewat remasan pelan.

"Dia bener-bener pergi." Samar-samar, suara Kak Tip mengudara, terdengar begitu tenang padahal aku yakin hatinya berguncang hebat. Aku tak pernah melihat ekspresinya seserius ini sebelumnya. Biasanya gadis itu menjadi penengah kalau-kalau beberapa dari kami mengalami konflik.

Kini, orang yang paling tegar pun tak dapat menyembunyikan air mata mereka.

Beberapa detik berjalan, semua masih bungkam dalam kecemasan. Tak ada yang membuka suara, dan kendati aku membenci keheningan yang melingkup, aku tetap tak dapat melakukan apa-apa walau hanya mengucapkan satu kalimat penghiburan yang menenangkan.

Karena aku tahu, sedikit pun dari kami tak membutuhkan penghiburan. Tidak sedikitpun.

Kami butuh gerakan baru, ide cemerlang, kerjasama kuat demi bisa selamat dari kejaran monster berliur yang senantiasa menunggu mangsanya untuk keluar.

"Kita nggak bisa gini terus."

Aku mendongak, menepis air mata dengan cepat kala netraku bertemu dengan netra Bhimo. Pemuda berkacamata itu mengepal tinju kuat setelah mendengus pelan, sukses mengundang atensi dari kami semua.

"Kita harus cari jalan untuk keluar," katanya tegas, menatap serius Kak Tip yang masih bungkam seribu bahasa. "Kita nggak bisa diem aja, sementara zombie di sana semakin buas."

Aku membenarkan dalam hati. Benar-benar sekali. Tapi apa yang harus kita lakukan saat pikiran dan hati masih bertubrukan akan kenyataan yang terjadi?

Kak Tip mendengus pelan, memijat pelipis frustrasi. Wajahnya menyiratkan kelelahan yang terpendam, serta keputusasaan yang tertahan. Meski begitu ia tetap berusaha nampak tegar, menatap kami lurus dengan sorot serius yang tak main-main. Mungkin ia tak ingin kami kehilangan harapan, meski sebenarnya kami semua tahu, tak semua bisa selamat di sini.

Helikopter hanya mampu mengangkut tak lebih dari empat orang, sedang kami semua lebih dari jumlah itu.

Lantas, bagaimana?

"Kalau begitu kita bergerak." Suara Kak Tip terdengar serak, melukiskan ketakutan yang tersirat. Ia menepis helai rambut yang mengusik pandangan, menggigit bibir bawah ragu sebelum kembali melanjutkan, "Gimana kalau kita berpencar jadi dua kelompok? Aku rasa, itu satu-satunya cara supaya kita bisa selamat sama-sama."

"Berpencar? Apa? Nggak, aku nggak setuju." Aku menggeleng cepat, mendengus tak percaya setelah berhasil menepis air mata. "Kita sudah ketemu di sini. Itu artinya, kita harus berjuang sama-sama. Gimana kalau satu kelompok nggak selamat?"

"Nggak, Lin, kamu nggak ngerti." Tip mengerang putus asa, mendesah lelah saat jemarinya menarik ujung rambut kesal. "Jalan udah banyak tertutup, zombie udah ada di depan mata. Kalau kita tetap kukuh untuk keluar sama-sama, yang ada kita langsung diserbu sama zombie. Kamu mau kita mati sama-sama?"

Nadanya meninggi walau masih terjaga volumenya. Melihat itu Nine langsung melingkarkan lengannya pada tubuh ringkih Kak Tip, mengelus-elus lembut sembari menyahut pelan, "Kak Tip ada benernya, Oline." Suaranya teduh, sesaat mampu membuat emosiku mereda. "Kita nggak bisa beramai-ramai keluar. Zombie akan lebih mudah untuk dapetin kita."

Benar juga.

Tapi, tetap saja.

Aku tidak mau lagi berpisah. Tak boleh ada perpisahan lagi.

"Nggak, Kak ..." Lagi-lagi aku menggeleng, menekuk alis kuat saking lelahnya. Bagaimana lagi aku harus menjelaskan pada mereka, huh? Air mataku kembali menetes perlahan. Ah, mengesalkan. Bikin malu saja. "Aku nggak mau lagi kita pisah. Aku nggak mau lagi ada korban. Aku mohon, Kak ... kita tetap berjuang sama-sama."

Melihatku menumpahkan air mata jelas membuat mereka menatap tak tega. Tapi baru beberapa detik diisi keheningan dengan tatapan putus asa, tiba-tiba Layyn membuka suara, menatapku tegas dengan tangan terkepal kuat.

"Nggak, Oline. Kak Tip benar. Kita harus berpencar." Aku menatapnya nanar, tak percaya, tapi gadis itu setuju dengan opsi mengesalkan itu. Iya kalau kita berhasil ketemu, kalau tidak?

"Kalaupun harus ada yang menjadi korban, satu-satunya cara hanya untuk merelakan. Karena untuk selamat, terkadang memang harus ada yang dikorbankan."

Aku masih menatapnya tanpa kedip saat tiba-tiba ia bangkit, mengacungkan jari telunjuk tinggi-tinggi sembari berkata, "Aku yang akan memimpin kelompok pertama. Kalaupun harus berkorban ..." Gadis itu menjeda dengan mengembuskan napas panjang, memejamkan mata sesaat seolah sedang mengambil keputusan penting. "... biar aku yang menjadi korbannya."

Dan untuk satu fakta yang jelas harus kuakui sekarang, gadis itu punya tekad dan keberanian yang berlapis baja, tak peduli walau tubuhnya ringkih dan fisiknya tak melebihi.

"Jadi, siapa yang ikut denganku?"

Hening. Tak ada yang berani menjawab. Semua bungkam seribu bahasa, lebih memilih menatap hamparan debu dan runtuhan bata di tanah dibanding menatap mata nyalang Layyn. Detik-detik berlabuh lambat, sebelum kemudian ujung netraku menangkap sebuah tangan teracung mantab.

Napasku tertahan sesaat.

Itu jelas Kak Bhimo, pemuda pendiam yang lebih sering menghabiskan waktu dalam kamar sendirian. Namun kini, dia mengacungkan jari tanpa ragu, menatap Layyn lurus-lurus tatkala berkata, "Aku ikut denganmu."

Layyn tersenyum tipis. Senyum haru kelihatannya. Aku kira semua berhenti sampai sana, tapi nyatanya tetap berlanjut saat tangan Nine teracung tinggi. "Aku juga." Gadis itu menjeda, menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan, "Aku ikut denganmu."

Dan saat itu, dalam jerit batin yang masih tidak terima, dalam kesesakan yang membalut hati begitu erat, dalam keheningan dan kekesalan yang menyelimuti, aku dapat merasakan sentuhan pada tanganku, begitu lembut sampai akhirnya memberi remasan pelan hingga menyalurkan kehangatan yang memang sedang kubutuhkan.

Aku mendongak. Tatapan teduh Layyn menyambutku hangat. "Oline, ikutlah denganku." Suaranya lembut, menenangkan, tak ada niatan sama sekali untuk menghasut, aku rasa. "Aku berjanji, kita semua akan bertemu kembali di atas dengan keadaan selamat."

Entah saat itu apa yang merasuki pikiranku, air mataku kembali turun deras dengan isakan pelan. Tak lama, Kak Tip menghampiri, Yin, Fika, Kak Nindya serta Bhimo mendekat, memberikan pelukan hangat yang tak pernah kuimpikan sebelumnya.

Kalaupun ini pelukan terakhir, biar aku menikmati hangatnya sekarang.

"Eh, udah, udah. Kok malah jadi nangis-nangis gini." Yin berusaha meredakan suasana haru yang mendadak hadir. Kami tertawa pelan sembari melepaskan pelukan.

"Oke." Aku menghirup napas dalam, menatap Layyn lurus-lurus. "Aku ikut kamu, Layyn."

"Berarti, Kak Tip, Yin, sama Fika bareng aku ya?"

Dan perjalanan kami pun kembali dimulai, kala perpisahan menjadi dua kelompok terjadi.

Saat itu, entah apa yang merasuki benak, meski aku berharap kami akan terus selamat sampai pada akhir tujuan, perasaanku justru malah berbisik lirih, nyaris merasuki saat Layyn berjalan memimpin di depan; Entahlah, aku rasa, kami tidak akan bisa bertemu secara utuh di atas sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top