12. Hal Paling Mendamaikan
Lantai 24. Awal keheningan tercipta. Setelah nyaris 18 jam tanpa istirahat dengan benar, akhirnya kami menemukan lantai kosong, dan kamar yang masih rapi untuk ditempati. Selagi merenggangkan badan dan membuka perbekalan, malam pun turun. Kegelapan melingkupi kami perlahan-lahan. Awalnya langit berwarna kemerahan, kemudian ungu memar. Ditutup nila yang semakin pekat. Sampai akhirnya gelap dan bulan sabit naik sebagai penerang ala kadarnya.
Bintang-bintang gemerlapan. Dari atas kami bisa melihat hampir seluruh kota tertutup kegelapan. Tidak ada bising kendaraan. Hanya teriakan, suara tembakan dari kejauhan, desing angin, dan aroma kematian yang pekat. Aku menyentuh kaca kamar yang padat, lalu mengangkat palangnya, dan menganggetkan semua orang karena bunyinya yang keras.
"Maaf," ucapku tidak menyesal. Aku perlu udara segar. Aneh melihat seisi kota mati seketika. Padahal sebelumnya tempat ini sangat ramai dan bising sampai ke isi gendang telinga. Hal yang menyebabkan rusun dijual murah dan mahasiswa sepertiku dapat membelinya.
Sekarang, aku menyesali keputusan tinggal di sini. Sepanjang pagi saraf, berkonsentrasi mendengar langkah kaki mayat hidup, dan melawan hanya menggunakan senjata ala kadarnya. Aku tidak yakin parang di tanganku berfungsi. Sebab aku nyaris kehilangan seluruh orang: Avery, Lilis, Lina, dan Mayang.
Betapa aku merindukan Mayang sekarang. Ia gadis yang baik. Pendiam dan tidak merepotkan. Ia selalu diam di kamar, kadang menyetel musik keras-keras, dan lebih memilih menjauhi konflik ketimbang ikut campur ke dalam urusan orang. Sekarang aku ingin mendengar teriakan tetanggaku, ulang tahun yang gagal, siraman air comberan, mentertawakan mereka, atau dikejar-kejar Ibu Rusun yang galak.
Entah di mana mereka semua sekarang. Hanya ada aku, Bhimoo, Nine, Tip, Oline, Nindya, Yin, dan Fika. Ternyata aku hafal. Kupikir selama ini aku tidak peduli pada tetangga. Bagaimana bisa aku melupakan Tip yang senang joget Tik Tok di beranda, atau Nine yang pengekor, Bhimo anak gamers, Fika yang suka histeris, atau Oline, Lyn, Nindya, dan Yin yang seumuran.
Aku rela menukar masa depanku sekarang untuk melihat kerusuhan mereka lagi. Atau bertukar tempat pada Mayang, yang mengorbankan diri memancing zombie raksasa menjauh dari kami semua. Sangat berani. Sementara aku terdiam, dan hanya berlari menjauhi bahaya seolah hidup besok masih bisa dipertahankan.
Apanya yang besok. Toh, hampir seluruh isi rusun sudah dikuasai monster. Bertarung mati-matian tidak akan menjamin dirimu selamat. Termasuk nyawaku, yang seorang amatiran, dan seumur hidup tidak menduga akan terjebak pada situasi menyulitkan.
Aku butuh rokok, kopi, atau permen untuk meneteralkan asam mulut.
"Apa gak papa kita pakai kompor gas?" tanya Lyn.
"Lantai ini sepi. Pintu darurat udah ditutup rapat-rapat. Gak, gak papa." Suara Tip berayun menyemangati, rambut panjang bersemir murahannya bergoyang. "Tidak akan ada zombie."
Semua orang bernapas lega. Mereka membersihkan ruang tengah dengan sapu patah dan kain lap kumal. Berusaha menjadikan lantai tempat yang nyaman untuk tidur. Fika berdiri dekat pintu, mengajukan diri menjaga kamar jikalau ada zombie mendekat, dan kami bisa menyiapkan diri lebih cepat. Sementara Oline membantu Lyn merebus air mineral dengan panci di atas kompor gas. Perbekalan mereka banyak. Cukup untuk bertahan hidup 24 jam ke depan.
Itu pun jika kami masih hidup untuk makan mi
"Kak Thiya mau mi apa?" tanya Nine. Wajahnya kucel, kaosnya berdebu, dan ada bercak-bercak darah yang tidak ingin asalnya .
"Terserah," jawabku, tidak bernafsu makan. Selain air yang dengan sukarela kuminum. Makanan jadi terasa seperti batu yang menyesakkan.
"Jadi, ada yang mau berbagi cerita, tentang apa yang sudah kita lewati selama ini?" tanya Nindya. Pertanyaan yang tidak membangkitkan semangat.
Semua orang terdiam. Kendati penasaran dengan nasib akhir tetangga-tetangganya,
"Sst, jangan ganggu selera makan." Lyn menyikut. Ia membawa panci rebusan mi ke tengah ruangan. Tidak ada piring, semua habis terpecah belah. Jadinya kami makan dalam satu panci bersama, diambil sedikit-sedikit mengandalkan bungkus mi sebagai piring dadakan.
Tidak ada yang mulai makan duluan. Sementara lilin yang jadi penerangan satu-satunya mulai lumer separuh. Sisa malam akan sangat gelap gulita.
"Makan, besok kita butuh tenaga untuk naik ke atas," Tip sebagai yang tertua angkat bicara. Aku merasa tidak berguna. Seharusnya aku mengontrol suasana, paling tidak berpura-pura tidak sedih, dan merasa kehilangan. Tapi aku tidak sanggup. Terlalu banyak kematian lewat di depan mataku: Avery tercincang dan ususnya terburai ke luar. Lilis yang terus mempertahankan diri meski digigit dari dua arah berlawanan. Atau Lina yang hampir saja melewati pintu, tapi terlambat, dan tubuhnya koyak dimakan selagi ia berteriak kesakitan.
Kami pun berdoa untuk berkah yang sedikit dan umur yang panjang. Meski rasanya mustahil. Aku berharap diberi kekuatan lebih untuk menghadapi pertempuran, atau mati saja supaya tidak jadi beban. Pikiran itu terus melayang dalam kepala.
Mi yang menjadi jatahku mulai bengkak dan dingin. Saat kumakan sehelai, rasanya memualkan, dan perutku bergejolak hendak memuntahkan isinya yang sedikit. Aku menahan diri. Meneguk ketakutan. Memakan separuh bagianku dan meletakkan sisanya di atas lantai.
" ... kelompok kami terpecah. Emak Tary mengorbankan diri untuk memberiku waktu keluar," cerita Lyn. Satu ceritanya membawa kisah lain ke ruang makan sekaligus tidur. "Kalau dia gak ada, mungkin aku sudah mati sekarang."
"Kalau kelompokku terpencar," Tip ikut-ikutan. Walau sedih, bercerita ternyata membuat suaranya terdengar tegar dan jernih. "Pit kegigit, dia jadi zombie. Terus nyerang Alma. Aku melarikan diri sama Nine. Lalu, kami ketemu kalian."
"Kita awalnya mencar-mencar semua." Nindya mengingat, kedua matanya sempat mengawang ke atas. "Syukurlah kita kembali bersatu. Dengan begini, kita punya kekuatan baru untuk bertahan."
"Hm-mm." Oline mengangguk. "Pas sedikit, rasanya serba takut."
"Eh, apa itu?" Lyn meletakkan bungkus mi di tangannya. Ia merangkak ke sudut, masuk ke kegelapan. Lalu kembali ke tengah cahaya membawa benda berbentuk kota dengan antena miring di atasnya. Radio!
"Desainnya jadul." Lyn berkomentar sambil menyalakan benda tersebut. Berbunyi. Meski hanya suara semut mendominasi.
"Coba cari siaran pemerintah," Fika mengusulkan. Lyn berkonsentrasi memutar-mutar tombol pencari. Kiri ke kanan, ketika ada tanda-tanda suara seseorang ia bolak-balik di daerah frekuensi tersebut dengan lambat. Setelah itu suara payah dan berisik terdengar cukup jelas.
" ... ulangi sekali lagi. Kota sudah ditutup dan diisolasi. Bagi warga yang selamat harap mendatangi posko militer terdekat ... penyebab ... pabrik ... kemungkinan laboratorium ... masih diselidiki. Tetaplah bertahan ... kami sedang mengusahakan ... di stadion ... di dekat perumahan ... di atas rusun Montaks tersedia sebuah helikopter ... hanya mampu membawa empat orang ... karena keterbatasan personil, kami tidak bisa bertahan selamanya. Akan pergi ... tidak ada tanda-tanda kehidupan dalam waktu 12 jam. Setelah itu ... semua gedung dan bangunan tinggi akan kami hancurkan. Kota dibumihanguskan demi mencegah epidemi menyebar. Pengumuman akan diulang sepuluh menit lagi."
Kami terdiam. Lilin tinggal seperempat dan nyaris redup. Makanan sudah habis. Tinggal sembilan pasang mata yang merenung dalam hening memikirkan nasib mereka sekarang.
Hanya empat orang? Sementara jumlah kami lebih daripada angka tersebut. Apa yang akan militer lakukan jika kami datang melebih kuota angkut? Dibunuh di tempat? Ditinggal? Lebih mudah tidak menyelamatkan siapa-siapa karena mungkin saja, seluruh warga sudah terserang virus yang mengubah orang mati menjadi pemangsa kelaparan.
Tinggal menunggu pencetusnya bangkit. Seperti Pit, yang barusan diceritakan berubah seketika setelah tergigit. Tidak dapat mengenali temannya lagi, lalu menyerang secara membabi buta. Aku tidak mau berakhir seperti itu.
mati, aku ingin mati dengan tenang. Bukannya jadi mayat hidup dan menggigit teman sendiri.
"Terus kita gimana?" tanya Lyn. Ia mengedarkan pandang. "Jumlah kita lebih."
"Lebih banyak lebih baik," sambar Tip. Tahu apa yang dipikirkan Lyn.
"Tapi, gak semuanya bisa diangkut."
"Ya, kita terus bekerja sama, biarkan militer yang memutuskan."
"Gak. Segalanya bisa terjadi. Kita gak tahu militer akan menyelamatkan sisa orang atau tidak. Ini keadaan gawat darurat. Dengar, 'kan? Mereka mau menghancurkan kota." Lyn berdiri. Seolah menegaskan posisi.
Aku tidak mau ada perpecahan.
"Kalau kita mencar lagi, nanti bahaya." Tip bersikeras.
"Kalau sama-sama berisik. Nanti zombie raksasa datang. Ingat apa yang terjadi di lantai 21?"
"Kebetulan itu."
"Kak Tip, gak selamanya rame-rame itu bagus."
"Ssst, tenang-tenang." Yin yang paling kecil menenangkan. Tiba-tiba semua orang berdiri. Setelah perutnya terisi, inilah cara mengungkapkan stres yang paling tepat.
"Jangan misah, kita tetangga. Kita harus selalu bersama." Tip sedikit meninggi. Meski cekcok, suara mereka tetap di taraf orang bisik-bisik yang sedikit berbunyi.
"Gak, kita harus bersama. Lebih banyak tenaga lebih bagus." Fika ikut andil.
"Sama-sama cuma menghambat. Aku lihat banyak orang cuma bikin pelarian kita lebih lambat." Bhimo tiba-tiba memberikan pendapat. Aku setuju. Kami pernah terjebak di kamar berisi zombie dan kehilangan separuh anggota kelompok. Lina, kawan dekatnya, terlambat mencapai jalan keluar.
Aku benci tekanan!
"Cukup! Mending kita saling bunuh aja, biar selesai." Aku bangkit sembari mengacungkan parang.
"Jangan gila!" Tip mengambil senjatanya, ikut mengangkatnya tapi mundur menjaga jarak.
"Gak, aku gak gila." Seharusnya ini sudah kulakukan dari tadi. "Hidup dikejar-kejar monster. Ngeliat teman mati tercabik-cabik. Gak tahu besok masih bernyawa apa enggak. Iya, aku waras pake banget."
"Thiya, tenang." Tip mendekat, masih bersenjata.
"Mundur!" Aku menghunuskan parang. Ikut mundur ke arah jendela. Angin berembus menyejukkan tengkuk. Seketika aku sadar emosi menguasai tubuh. Aku tidak bisa berpikir jernih. Rasanya mati adalah pilihan terbaik.
"Thiya ... jauhin jendela." Tip mendekat. Ia melepaskan senjatanya.
"Lalu?"
"Kita akan berjuang ke lantai 30." Fika menjawab. Sementara di belakang mereka, anak-anak lain menatapku ketakutan. Seperti monster. Aku sudah menjadi monster.
"Gak, aku udah gak kuat," tangisku, tanpa air mata.
"Kita bisa bertahan." Tip membujuk.
"Enggak, gak bakal." Aku membuang parang. Seketika Fika dan Bhimo berlari ke arahku. Mereka akan menarikku, menyeretku, dan menyuruhku menghadapi kematian yang tidak kuinginkan.
"Dah." Aku melambaikan tangan, membuat keputusan. Lalu mundur dan menjatuhkan badan ke luar jendela. Kepalaku terjun lebih dahulu ke tanah. Langit menyambutku seperti pelukan ibu yang tenteram. Aku menengadahkan tangan. Berusaha menggapai bulan dan bintang ke dalam dada. Lalu jendela tempatku jatuh semakin kecil, kecil, dan tersisa titik.
Tiba-tiba hentakan keras mengirimkan rasa sakit ke seluruh badan. Hanya sedetik. Lalu segalanya gelap. Dan aku tidak merasakan apa-apa lagi kecuali kehangatan.
Inilah kedamaian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top