11. Mati Rasa
Hening yang menjebak, bahkan deru napas kasar tak beraturan pun terdengar laksana teror. Separuh bangunan rusun mungkin telah menjadi puing, kelak akan menua, membiarkan kami semua menjadi sejarah yang terlupakan. Thiya menarik napas dalam di sampingku, embusannya seperti lenguhan lembu yang nyaris mati. Tadinya kupikir tidak ada yang tersisa selain Thiya, Bhimo dan diriku. Namun, kini ada tujuh orang penghuni rusun lain yang belum terinfeksi. Aku tak ingat semuanya, tapi aku masih cukup waras untuk mengenali mereka sebagai anggota rusun.
Rasanya baru sekejap lalu, aku berdebat dengan Om Adit mengenai virus zombie yang tiba-tiba menyebar dan membuat mati seisi kota. Aku tak percaya pemilik Sugiono telah tiada. Mengapa dia tidak mencoba merayu para zombie itu dengan puisinya? Siapa tahu para makhluk kanibal itu baper, lantas mencintai pujangga itu dan membiarkannya lolos tanpa terinfeksi? Ah, tidak. Aku yang terlalu naïf.
"Thi?" Suaraku terdengar putus asa. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud demikian.
"Kenapa?" sahut Thiya dengan suara serak. Dia tak mengizinkan air masuk melewati kerongkongannya sejak kami memutuskan untuk menjebol lantai demi lantai rusun. Aku tak tahu apa motifnya melakukan itu, dan aku tak ingin mencampuri keputusannya.
"Nggak ada. Aku cuma butuh temen ngobrol untuk menjaga diri biar tetap waras." Hening yang janggal, mencekam, dan sama sekali tidak pantas jika disandingkan dengan kota Jakarta. Jakarta yang biasanya identik dengan debu pekat, polusi menampar jalanan yang kemudian terbang hinggap di muka, klakson yang berbunyi nyaring mengalahkan melodi keras lagu hardcore. Sangat padat, sangat ramai.
Begitu pula rusun yang biasanya ramai, tetangga-tetanggaku sering adu mulut hanya karena sempak basah yang dijemur sembarangan atau karena Sugiono—binatang iconic rusun—berak sembarangan di depan pintu-pintu kamar. Meski selalu ada satu fase paling sepi dalam satu bulan. Tentu saja, rusun mendadak menjadi hunian mati yang hening jika Mak Tary mulai menggedor pintu-pintu kusam yang sudah lebih dulu dikunci rapat oleh penghuninya yang pura-pura mati. Itu pun tidak sejanggal ini. Karena suara keras Mak Tary yang berlogat Batak akan mengudara sesaat setelahnya, menagih uang sewa rusun yang selalu sengaja ditunggak oleh pemilik kamar. Belum lagi dengan gedoran yang dihasilkannya. Hening semacam itu jauh lebih menyenangkan. Ketakutan yang terjadi kala itu hanya sekedar teror dari Mak Tary, bukan dari ratusan zombie lapar.
Lenyap sudah. Aku mungkin tidak akan bertahan sampai esok pagi untuk bisa kembali merasakan kericuhan itu. Benakku sesak, menyesal karena selama ini aku tak sering bergabung dengan mereka. Jika takdir sudi meluruskan nasib kami yang tengah morat-marit di ujung harap, mungkin aku akan bersikap lain dengan orang-orang yang ada di sekelilingku nanti.
"Ya, nggak ada yang tahu, sampai kapan kita akan tetap waras." Thiya melangkah pelan, sedikit memimpin perjalanan ketika kami hampir sampai di lantai 21. "Udah siap?" Thiya menoleh ke arah kami semua sebelum mendaki lebih tinggi. Setelah pertanyaan sederhana itu terdengar di sepanjang lorong sempit jalan kami, aku merasa seolah semua orang menarik napas dalam-dalam. Apapun yang terjadi, kami harus terus ke atas. Tidak ada waktu untuk menimbang-nimbang resiko. Tidak ada cukup waktu untuk menyatakan diri kami siap. Perlahan, satu persatu kami naik dan menjejakkan kaki di lantai 21.
Koridor lantai 21 tampak licin dan bebas debu, sejauh penglihatanku. Guratan-guratan ubin menyembul bak nadi di kulit manusia. Meski begitu, ada sebuah lubang besar di dinding yang paling dekat dengan kami. Seolah sengaja dibuat oleh seseorang yang ingin memaksa masuk. Bhimo yang tadinya berdiri di belakangku akhirnya berjalan melewati Thiya. "Ini ...," ujar Bhimo seraya menunjuk lubang besar di dinding itu, langit kelabu yang telanjang terekspos nyata di sana. "Apa ini tanda kalo lantai 21 udah kena serangan zombie?" lanjut Bhimo sambil menatapi kami bergantian.
"Kita harus periksa ruangan di lantai ini satu persatu untuk bisa mastiin." Lyn membuka suara. Aku harus menoleh langsung padanya untuk memastikan siapa yang bicara. Karena aku tak sering mendengar suara gadis itu untuk langsung mengenalinya.
"Gak bisa! Aku gak mau kayak gitu," protes Nindya keras. Perasaan tidak sukanya terhadap zombie langsung tertangkap radarku begitu ia berbicara dengan ekspresi jijik yang berlebihan.
"Iya, aku juga setuju sama Nindya." Tip menimpali, segera sebelum ada lebih banyak orang yang menyetujui usul Lyn. "Sementara kita buka ruangan di sini satu persatu, di kesempatan lain kita mungkin udah bisa sampe ke lantai 25."
"Tapi kita harus yakin dulu lantai ini aman biar kita bisa ke atas." Fika yang biasanya pendiam tiba-tiba berkata dengan suara tegas. Kerudung yang dikenakannya sudah sedikit sobek di ujungnya, begitu berantakan. Jauh dari kesan rapi yang biasa ia tampilkan saat lewat di koridor rusun pagi-pagi buta untuk berangkat bekerja.
"Waktu kita sempit. Meriksa ruangan satu persatu sangat nggak efektif." Akhirnya aku memutuskan untuk membela Nindya dan Tip. Siapa yang mau repot-repot membuka pintu ruangan yang—siapa tahu—ada zombienya. Bukankah itu sama saja dengan memancing bahaya?
"Jadi kita harus ..." Kalimat Olin terputus begitu saja oleh suatu hal.
Tiba-tiba saja suara debum keras menggema di seluruh koridor lantai 21. Lantai di kaki kami seakan ikut bergetar, begitu pula dindingnya. Persis seperti saat ledakan yang mengawali ini semua terdengar, namun kali ini dengan skala kecil. Suara itu berulang dalam tempo yang nyaris sama. Seperti suara gerekan kasar pada beton. Pastilah sesuatu yang sangat besar yang telah menghasilkan bunyi itu. Olin adalah orang terakhir yang berbicara. Setelahnya, kami semua membeku. Aku bahkan takut bernapas. Seolah jika lancang mencuri oksigen di lantai ini, aku bisa tiba-tiba menjadi mayat.
Mengikuti asal suara, akhirnya kami berjingkat-jingkat menyeberangi koridor. Suara itu tak juga berhenti, kali ini semakin konstan. Hingga kemudian kami sadar, kami memang berada dalam masalah besar. Gerekan beton itu berasal dari pojok lantai 21, tepat di balik pintu darurat menuju lantai 22.
"Bhim," bisikku pada lelaki yang ada di sebelahku. "Buka."
Bhimo menggeleng. "Bahaya, Kak." Setidaknya itulah yang mampu kutangkap dari gerak bibirnya.
Kami tak tahu apa yang tersembunyi di balik pintu darurat itu. Bisa saja lebih mengerikan dari segerombolan zombie yang sudah kami temui sebelumnya. Tapi tanpa melewati pintu darurat itu, mustahil kami mampu menjangkau lantai selanjutnya. Terlalu riskan untuk kembali menjebol lantai ruangan seperti sebelumnya.
"Sekarang gimana?" Yin memeluk lengan Nine, putus asa. Di situasi normal, keduanya memegang peran sebagai yang tertuduh dan yang menuduh. Namun, saat ini segalanya serba tidak normal. Melihat keduanya tegak bersisian tanpa prasangka, sama saja seperti melihat tanda kiamat besar. Tapi bisa jadi ini memang pertanda kiamat. Setidaknya bagi rusun ini.
"Aku buka pintu." Kutarik napas panjang sebelum lanjut mengungkapkan rencana. "Nanti aku hitung, apapun yang terjadi, di hitungan ketiga, lari. Oke?"
Aku tak menunggu persetujuan. Suara gerekan beton di balik pintu semakin nyaring. Aku tidak tahu mana yang lebih nyata, detak jantungku yang berpacu, atau nada berpotensi kematian di dalam sana. Namun, teman-temanku harus segera mendapatkan kepastian. Kami harus segera sampai ke atas, setidaknya untuk membayar lunas kematian-kematian yang terjadi sebagai konsekuensi berdirinya kami di sini.
Gemetar, tanganku menyentuh gagang pintu yang dingin. Mengherankan saat aku bisa merasakan dingin itu, sebenarnya. Karena itu artinya suhu tubuhku masih jauh lebih hangat daripada batangan besi aluminium. Derit kecil terdengar begitu aku mendorong pintunya, menandakan betapa tuanya pintu darurat itu. Merasa tak ada reaksi dari dalam setelah derit pintu terdengar, kubuka pintunya lebih lebar hingga menjeblak terbuka.
Hal pertama yang tertangkap mataku adalah sepasang kaki besar, sangat besar sehingga tidak ada hal lain yang bisa kulihat di balik pintu itu selain kaki raksasa itu. Sepersekian detik setelahnya, dinding di atas pintu darurat bergetar hebat. Lantas kami semua dengan cepat melangkah mundur. Semakin lama, timbul retakan-retakan kontras di antara dinding bercat putih itu. Yang bisa kulihat setelahnya, dinding-dinding yang awalnya terlihat kokoh, serta merta ambyar, tercerai-berai menjadi bongkah-bongkah besar.
Kepala Nine nyaris terhantam bongkahan itu, andai saja ia tak ditarik oleh tangan kecil Lyn. Aku tak memperhatikan keadaan yang lainnya karena mereka semua sepertinya baik-baik saja. Setelah Nine berada dalam jarak aman, kami kompak memasang mata ke arah retakan di dinding. Sosok yang berada di sana mewakili setiap rasa takut kami, mewakili setiap teror. Dia tampak menyedihkan, andai mulut laparnya tak terus menerus membuka dengan buas.
Naluri manusiawiku mengecut, mengambil alih kuasa atas diriku hingga lantas melangkah mundur. Gada besar yang tergenggam di salah satu tangannya menjadi jawaban atas suara-suara mengerikan yang kami dengar sejak tadi. Zombie itu telah menjadi mutant yang luar biasa besar. Tubuhnya begitu kekar dengan tinggi tidak kurang dari tiga meter. Namun, alih-alih menyerang kami, raksasa itu berdiri diam. Ia seperti begitu terusik dengan kedatangan kami, dan tampak linglung. Aku mencari-cari sesuatu dalam matanya, tapi yang kutemukan hanyalah selaput putih yang menutupi seluruh bola matanya.
Apakah ia tidak langsung meremukkan kami karena ia tidak tahu kami di mana? Apakah raksasa itu buta? Putus asa, aku memungut bongkahan paling kecil yang berada di dekat kakiku. Kemudian melemparkan batu itu ke sudut terjauh yang mampu kujangkau. Zombie raksasa itu beralih, kaki-kaki besarnya menghantam reruntuhan dinding untuk kemudian mendekati batu yang baru kulempar. Raksasa itu buta, tapi jelas ia begitu peka terhadap suara kecil sekalipun.
"Aw! Yin, sakit tau!" Suara Nine terdengar melengking. Sekarang seluruh kepala menatap marah kepadanya. Termasuk si zombie raksasa itu.
Pada akhirnya kami tak mampu berdiam menghindari raksasa itu lagi. Tak ada aba-aba hitung mundur yang lebih ampuh dibanding refleks kami masing-masing. Zombie ukuran jumbo itu mengaum marah, menghantam-hantamkan gadanya yang besar seraya berjalan ke arah kami. Mau tak mau kami berpencar, berderap menuju kamar-kamar kosong untuk kemudian menghilangkan jejak bau kami dari si zombie raksasa. Gerakannya untuk ukuran zombie terbilang lambat, namun karena tubuh raksasanya itu, ia bisa menjangkau apapun dalam jarak jauh. Kami pun terbagi dalam tiga kelompok kembali, aku sendiri terjebak bersama Tip si artis tiktok dan Thiya si pecandu lem aibon.
"Kita harus ketemu sama yang lain dulu." Tip berdiri di depan pintu ruangan yang tertutup. "Nanti baru kita susun strategi."
"Tadi aku liat Bhimo, Lyn, Nine sama Fika masuk di ruangan yang jarak tiga ruang dari kita." Thiya membungkuk, menemukan kaleng aibon di kolong kasur. Dikorek-koreknya sebentar kaleng itu, lalu membuangnya tanpa ragu setelah mendapati itu hanya lem kering bekas pakai.
"Aku tahu di mana Yin, Nindya sama Olin," sahut Tip cepat.
"Minggir, Tip." Kudorong gadis itu agar menjauh dari pintu, sehingga aku bisa dengan leluasa mengintip ke koridor. Tidak ada raksasa itu dalam jangkauanku, maka kuberanikan diri untuk memunculkan kepala dan mengintip lebih jauh. "Sial!" Aku tak mampu menahan gerutuan keluar dari bibirku saat melihat raksasa itu berdiri tepat di depan pintu darurat menuju lantai 22. Ia memblokir aksesnya.
"Kenapa, May?" tanya Thiya penasaran. Aku sama sekali tidak berminat menanggapi pertanyaan itu.
"Aku punya rencana." Perasaan tertekan yang tak tertahankan menghadirkan gagasan bodoh dalam kepalaku. Tapi aku sudah tak peduli, dibanding merasa takut, aku justru merasa muak. "Aku bakal mancing raksasa jelek itu biar dia mau menjauh dari pintu darurat. Nah, waktu aku berhasil bawa dia melewati ruangan ini, kalian harus cepet jemput Bhimo, Lyn, Nine, Fika, Yin, Nindya sama Oline."
"Terus?" Tip menyipitkan matanya yang memang sudah sipit, menilaiku.
"Terus apanya? Ya naik ke lantai 22 lah!" ujarku gemas. Masa gitu aja masih nanya?
"Nggak. Jangan bodoh, May. Terus abis itu kamu gimana?" Thiya menimpali. Ia berjalan mendekati kami yang sejak tadi terlalu dekat dengan pintu sementara ia terlalu dekat dengan kasur.
"Gampang. Aku bisa atur." Nada suaraku cukup meyakinkan, menurutku. Aku sudah tak peduli akan mati atau sampai di lantai teratas dan selamat. Terjebak di sini tak lebih baik daripada mati. Lagi pula, jika aku tetap hidup, apa ada jaminannya bahwa keluargaku masih manusia? Apa kekasihku yang otaku berat itu masih cukup manusiawi untuk mengenali aku? Atau justru ia akan memangsaku? Sudah terlalu buruk segalanya. Jika tidak ada yang mau mengakhirinya, biar aku saja.
"Kamu yakin?" Tip menyentuh pundakku. Tak pernah terasa sehangat ini, selama aku tinggal di rusun nyentrik ini.
"Iya. Aman terkendali," jawabku mantap.
"Ya udah," ujar Thiya akhirnya. "Tapi kamu jangan mati." Ucapan gadis ini membuat hatiku dijalari rasa yang tak pernah kualami sebelumnya. Yakni rasa diinginkan, rasa bahwa aku penting untuk tetap hidup, rasa bahwa aku tidak sendirian. Namun, tekadku sudah bulat. Kubalas ucapannya dengan seulas senyum sungkan.
Aku tak tahu sejak kapan, tapi Tip tiba-tiba saja sudah membawa Thiya dan aku dalam pelukannya. Terasa lengket dan agak bau ketek, tapi aku tak tega untuk memprotesnya. Jadi kubiarkan saja kami bertiga larut dalam pesta perpisahan kecil antar tetangga yang sebenarnya saling merasa asing. Lalu tanpa sepatah kata pun, aku keluar ruangan. Berdiri menantang di tengah koridor, mataku bertemu dengan mata raksasa itu, tetapi ia tetap diam di tempatnya.
Bagaimana caraku memancingnya?
"Hei, Zombie gede! Bau! Jelek! Kenapa duduk sendirian di situ? Sini!" Aku tidak yakin raksasa itu mengerti ucapanku, tapi aku yakin suaraku cukup keras untuk bisa didengar olehnya. Terbukti, setelah aku teriak, zombie raksasa itu langsung berdiri dan melangkah limbung, mencari tahu keberadaanku.
"Kak May! Ngapain?!" Kepala Lyn menyembul keluar dari salah satu ruangan. Aku menghardiknya dengan isyarat agar ia tetap bersembunyi di ruangan itu. "Aku nggak apa-apa, kok!" Sengaja kuucapkan itu sembari berteriak, agar mereka tidak cemas dan ikut berdiri bersamaku.
Sekitar dua meter di depanku, ada sebuah linggis tergeletak, pasti milik salah satu temanku yang terjatuh. Aku butuh linggis itu untuk membuat zombie raksasa semakin marah dan semakin bertekad mengejarku. Aku berlari ke depan, secepat kilat menyambar linggis itu, yang hanya berpapasan beberapa detik dengan hantaman gada besar miliknya yang mengenai lantai tepat di dekat aku mengambil linggis itu. Aku baru saja selamat dari kematian episode nyaris akhir. Tak lama lagi, ini akan tamat.
Aku berlari, kukira sudah jauh. Namun, bagi raksasa itu, jarak kami hanya sepenggalah. Ia bisa meraihku kapan saja jika aku lengah. Napasku sudah tinggal setengah, begitu aku berhasil membawa raksasa itu melewati ruangan tempat teman-temanku sembunyi. Mereka sudah aman.
Linggis di genggamanku mulai terasa licin, keringatku mengalir tanpa bisa dihentikan. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku berbalik, melemparkan linggis di tangan dan menyasar ke mata zombie raksasa itu. Kena, tapi tak mempan untuk menghentikan langkahnya. Aku terbatuk, sadar diri bahwa aku sudah lama tak berlari kencang dan berolahraga. Semua ini terasa amat sangat melelahkan. Selagi dalam pelarianku, sebelum berbelok ke arah lain koridor, aku melihat teman-temanku dari balik kaki zombie raksasa itu. Tak ada penyesalan dalam diriku saat harus menjadi satu-satunya orang yang tertinggal. Aku bisa melihat mereka terpuruk sejenak saat melihat sekaratku, lalu lekas melarikan diri begitu kepalaku dihantam oleh gada besar raksasa itu. Aku terkapar di sudut koridor, hal terakhir yang kusaksikan hanyalah pandangan kosong sepasang netra si zombie raksasa yang tertutup selaput putih.
Kepalaku terasa sakit luar biasa, tubuhku mengejang dengan aliran darah yang tiba-tiba kehilangan kestabilannya, denyut jantungku masih terdengar cepat, begitu cepat, terlampau cepat, lalu melambat. Hingga seluruh kesakitanku akhirnya memudar bersamaan dengan hantaman terakhir dari gada besar di tangan zombie raksasa itu. Aku mati rasa, selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top