10. Bergabung
Aku dan Kak Fika berdiri tepat di ujung ruangan dengan kaki gemetar ketakutan. Jemari kanan kami saling bertautan sedangkan sepasang mata kami tak hentinya menatap lubang yang menganga lebar di atap, bersiap menyerang dengan apapun yang ada di sekitar kami jika ada sesuatu yang bergerak turun dari lubang itu. Cukup lama untuk memastikan lubang itu aman sebelum kami mulai saling menatap, "aman!" seru Kak Fika dengan suara seraknya. Aku mengangguk mengiyakan.
"Jadi? Kita naik ke atas sana?" tanyaku memastikan maksud kata-kata Kak Fika. Gadis itu kembali menatap lubang besar itu sebelum kembali menatapku lekat-lekat sambil mengangguk mantap.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus segera naik ke atas sana sebelum zombie-zombie itu memakan otak kita."
"Tapi, bagaimana dengan yang lain?"
Kak Fika kali ini menatap ke arah pintu, mencoba mendengarkan teriakan-teriakan di luar sana. Hening, baik dirinya maupun aku tidak bisa menebak apa yang terjadi di luar sana atau bagaimana keadaan teman-teman kami. Satu-satunya yang bisa kami lakukan sekarang adalah berdoa untuk mereka, semoga Tuhan masih terus bersama mereka, melindungi mereka.
"Mereka pasti selamat. Ayo naik," putus Kak Fika akhirnya.
Meskipun berat meninggalkan yang lainnya, aku akhirnya mengangguk setuju. Aku menarik meja yang berada di dekat jendela sementara Kak Fika menarik kursi yang ada di depan meja itu. Kami berdua menumpuknya untuk memudahkan memanjat atap berlubang itu.
"Naik lah lebih dulu," saran Kak Fika.
Tanpa banyak berpikir lagi aku menaiki meja dan kursi itu, kemudian meraih bagian tepi lubang dan berhasil mengangkat tubuhku masuk ke dalam lubang. Sampai di atas, aku segera mengulurkan tangan, membantu Kak Fika naik. Ketika tubuhnya sudah berada di atas, Kak Fika menendang kursi itu hingga terjatuh dari atas meja.
"Kenapa?" tanyaku bingung dengan tindakan Kak Fika.
"Siapa tahu zombie-zombie itu mengikuti kita. Mereka tidak punya otak kan? Mereka pasti tidak akan bisa naik tanpa kursi itu." Benar juga. Tidak pernah terpikir olehku akan melakukan hal itu, terutama di situasi semenegangkan ini.
"Ayo, sebelum mereka menemukan kita!"
Kami berdua merangkak melewati atap, naik ke lantai 17. Kepalaku refleks menatap langit-langit ruangan, berharap menemukan lubang lain untukk melarikan diri. Ada! Aku buru-buru menarik lengan Kak Fika yang tengah membungkuk membersihkan pakaiannya.
"Ada apa?" tanya Kak Fika kebingungan. Aku mengarahkan pandangan menatap langit-langit ruangan yang berlubang cukup besar di bagian tengahnya, kak Fika mengikuti arah pandangku. Ini jelas bukan kebetulan, pasti ada orang yang berada di tempat ini sebelumnya dan melubangi atap.
"Kita bukan satu-satunya yang selamat kan?" tanya Kak Fika mulai nampak sedikit berharap. Aku mengangguk kaku, tidak yakin juga dengan jawabanku, tapi aku sangat berharap kami bukan satu-satunya yang selamat. Mungkin orang yang membuat lubang di atap itu masih selamat, semoga.
"Ayo, waktu kita tidak banyak!" Aku menarik tangan Kak Fika dan mengajaknya naik dan masuk ke dalam lubang yang menghubungkan lantai 18 dengan lantai 19.
Seperti lubang pertama, aku yang lebih dulu naik dan masuk ke dalam lubang itu. Begitu kepalaku keluar dari lubang, pandangan mataku langsung tertuju pada tiga buah senjata berupa pisau, palu dan golok yang teracung tepat di hadapanku, hanya berjarak beberapa senti meter dari wajahku.
Aku terkesiap. Kepalaku refleks mendongak, menatap wajah-wajah yang tengah mengacungkan senjata mereka kepadaku. Sedangkan di bawah, Kak Fika terus menggoyang-goyangkan kakiku, menyuruhku untuk naik lebih cepat lagi.
"Tunggu-tunggu! Ini aku Yin! Kita tinggal di lantai yang sama! Itu ada Kak Fika di bawah! Lihat! Kita manusia, bukan zombie!" terangku panik melihat senjata-senjata berbahaya itu teracung di depanku, hanya beberapa senti dari hidungku. Mereka bertiga menurunkan senjata yang mereka pegang, salah satu dari mereka bahkan melongok ke bawah, memeriksa Kak Fika yang masih ada di bawah.
"Yin? Fika? Astaga! Kalian berdua selamat?!" teriak Kak Thiya heboh. Dia mengulurkan tangannya, begitu juga satu gadis lain yang baru ku sadari adalah Kak Mayang. Di sampingnya, Kak Bhimo tersenyum lebar sambil menatap kami. Aku segera menyambut uluran tangan itu, membiarkan mereka membantuku berdiri sebelum membantu Kak Fika naik dan memeluk mereka erat-erat bahkan menangis saking bahagianya bertemu orang-orang yang selamat.
"Di mana yang lain?" tanya Kak Mayang sambil menyodorkan minum pada kami, entah dari mana dia menemukannya, mungkin peninggalan pemilik kamar yang mereka lalui. Tanpa banyak berpikir, aku dan Kak Fika mengambil minuman dalam botol itu dan menandaskan isinya sekaligus sebelum menjawab pertanyaan Kak Mayang.
"Ada zombie yang menyerang kami, kami terpisah," terangku tanpa bisa merangkai kata lebih panjang lagi. Di sampingku, Kak Fika juga tidak berniat menambah jawaban sama sekali karena jelas setelah terpisah, kami tidak tahu bagaimana nasib yang lain.
"Oke, yang penting kalian selamat. Tunggulah, kita bertiga akan membuatkan jalan ke atas." Kak Thiya menyudahi keterdiaman kami dan mulai bergerak membuat lubang di langit-langit ruangan dengan senjata-senjata yang ada di tangan mereka.
"Kalian yang membuat lubang-lubang ini?" tanya Kak Fika penasaran. Sejujurnya, aku juga penasaran dengan lubang-lubang ini. Mereka tidak mungkin tiba-tiba ada kan?
"Ya, terlalu berbahaya kalau kita memilih lewat lorong. Lewat sini lebih aman, hanya akan ada satu atau dua zombie yang akan menyerang dan kita bertiga bisa mengatasinya bersama." Kali ini Kak Bhimo yang menyahut. Dia bahkan sudah berdiri dan mulai bekerja membuat lubang dengan senjata yang dia pegang bersama dengan Thiya. Melihat hal itu, Kak Mayang bergegas membantu, meninggalkan aku dan Kak Fika yang terus menatap lubang tempat kami masuk, takut jika ada zombie yang berhasil naik.
Brak!!
Sebuah lubang besar tercipta berkat usaha keras dari mereka bertiga. Aku sudah berdiri, hendak bersiap naik sebelum Kak Thiya mencegahku dan meminta kami semua untuk diam dan melihat ke lubang yang baru saja tercipta.
"Apa yang kita tunggu?" tanyaku bingung. Tepat saat Kak Mayang berbalik menatapku, seorang zombie tua muncul dari dalam lubang itu, menggeram-geram mengerikan dengan gerakan tubuh yang aneh. Secepat kilat Kak Bhimo mengayunkan goloknya, membuat kepala zombie itu menggelinding ke lantai. Refleks aku dan Kak Fika menjerit, itu jelas bukan hal yang biasa kami berdua lihat.
"Kamu tadi bertanya apa yang kita tunggu? Dia. Kita tidak boleh gegabah kecuali ingin mati diserang kawanan mereka," terang Kak Mayang sambil menendang pelan tubuh zombie tanpa kepala itu. aku bergidik ngeri melihat tubuh tanpa kepala itu di dekat kakiku.
"Ayo naik, sebelum kawanannya datang dan merepotkan kita semua."
Kali ini Kak Thiya yang memimpin dengan palu di tangannya, Kak Mayang mengikuti di belakangnya dengan pisau yang terus teracung ke depan sementara aku dan Kak Fika berada tepat di belakangnya, dijaga oleh Kak Bhimo di belakang kami yang membawa golok yang baru saja dia gunakan untuk menebas zombie.
"Apa kita akan membuat lubang lagi?" tanyaku penasaran. Sejujurnya, aku ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini. Rusun ini tiba-tiba saja berubah menjadi kuburan paling mengerikan yang pernah aku tau dan aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Well, tidak ada juga yang ingin berlama-lama di sini dengan banyaknya zombie yang siap memakan kita di luar sana.
Aku melihat Kak Thiya dan Kak Mayang tengah mengaduk-aduk tas yang mereka bawa. Aku bahkan baru sadar mereka membawa tas di punggungnya. Kemana saja aku, padahal aku bergerak tepat di belakang mereka. Keduanya terlihat saling pandang, kemudian menggeleng. Aku masih belum tahu apa yang ada di dalam otak mereka sekarang.
"Tidak ada apa pun di sini." Tiba-tiba Kak Bhimo berseru pelan. Aku juga baru menyadari dia sudah menyisir setiap penjuru ruangan yang ditinggalkan ini.
"Sepertinya kita tidak akan membuat lubang lagi, kita kehabisan bahan makanan dan air. Kita harus ke luar dan mencari perbekalan."
Mendadak aku merinding, memikirkan kembali ke luar dan bertemu zombie-zombie menyeramkan itu membuat nyaliku menciut. Aku benar-benar tidak ingin berurusan lagi dengan mereka, tapi aku tidak punya pilihan bukan?
Kak Bhimo lebih dulu mengendap ke luar, memeriksa lorong yang sudah berantakan. Aku ikut mengintip di balik pintu. Dinding-dinding lorong itu tidak lagi bersih seperti saat aku mengingatnya. Sekarang dinding itu penuh bercak darah. Perabot yang sudah hampir tidak berbentuk memenuhi sepanjang lorong. Menimbulkan sensasi mengerikan yang lagi-lagi membuat bulu kudukku meremang, tapi hal baiknya, tidak ada zombie di sepanjang mata memandang. Aman.
"Ayo ke luar," putus Kak Bhimo setelah merasa benar-benar aman. Semua orang mengangguk mengiyakan. Dengan formasi yang sama seperti saat melewati lubang, kami berjalan perlahan menyusuri lorong yang sepi dan mencekam. Zombie bisa datang kapan saja dari arah mana saja dan itu membuat kami berjalan berdempetan satu sama lain, mencoba saling menjaga.
"Tunggu!" teriakku dengan suara teredam. Aku sudah menghentikan langkahku, begitu juga dengan orang-orang di depan dan belakangku. Semua orang menunggu, entah mengerti atau tidak mengapa aku menghentikan langkah mereka. Tubuhku mendadak menegang saat mendengar suara derap kaki dari arah belakang. Refleks aku memutar tubuh, menatap pintu darurat yang sedikit terbuka.
"Kalian dengar itu?" tanyaku setengah berbisik. Aku melihat Kak Fika dan Kak Bhimo yang ada di kanan dan kiriku mengangguk pelan. Pandangan mata mereka tertuju pada pintu darurat yang tengah ku tatap lekat-lekat.
Kriett!
Pintu darurat itu terbuka pelan, tanpa sadar kami berpegangan tangan, takut menemukan zombie muncul dari balik pintu itu. Jantungku sudah berdetak tidak karuan sejak tadi, mendadak saja aku merutuki keputusanku untuk keluar dari ruangan. Aku memejamkan mata, tidak ingin melihat apapun yang keluar dari pintu darurat itu.
"Kalian?!"
Teriakan Kak Thiya yang akhirnya membuatku memberanikan diri mengintip, melihat siapa yang keluar dari balik pintu darurat itu. Menyadari siapa yang keluar dari balik pintu darurat, kami semua refleks berlari menghampiri mereka dan memeluk mereka erat-erat, tidak menyangka akan menemukan mereka di tempat tak terduga seperti ini. Aku bahkan tidak menyangka Kak Tip, Kak Nine, Lyn, Kak Nin dan Kak Oline bersama-sama selama ini.
"Bagaimana bisa kalian bersama-sama?" Kak Bhimo menyerukan pertanyaan yang sama yang tengah berlarian di kepalaku.
"Awalnya aku hanya bersama Nine. Lalu kita berdua bertemu Lyn, Nin dan Oline saat berusaha melarikan diri dari zombie." Kak Tip menjelaskan diikuti anggukan kepala oleh Kak Nine dan yang lainnya.
"Syukurlah kalian selamat. Ayo pergi bersama-sama, lebih mudah mengalahkan zombie-zombie itu jika bersama." Kami menyetujui usul Kak Mayang dan bergerak bersama menyusuri lorong.
Perjalanan menyusuri lorong tidak terlalu mulus memang, ada satu atau dua zombie yang menghadang kami, tapi bersama-sama, kami berhasil melawan zombie itu dan terus bergerak menyusuri lorong. Sesekali kami berhenti, mengumpulkan bahan makanan yang mulai menipis sambil memeriksa keadaan dan beristirahat hingga kami semua sampai di lantai 21 dengan aman.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top