1. Romantisme Rusun Bernama Montaks
Aku menatap mantap biru langit, di teras ini, melamun. Teras rusun yang penuh romansa, ditemani buntalan awan yang seenaknya membentuk sebuah donat, seolah mengejekku yang terlarut dalam ungkapan akhir bulan. Aku belum makan, 'bekerja' tanpa gajian, jomlo, dan merana. Di rusun ini, Rusun Montaks, aku perjelas, aku paling tua sendiri, ngenes sendiri, tapi di sini adalah tempat tersinting yang pernah aku temui untuk menulis, dengan beragam penghuni mulai dari yang waras meski sedikit sekali, hingga yang terakut sekali pun. Namun, aku menyayangi mereka dan sering mengamati mereka. Mengamati? Terdengar bejat.
Perkenalkan, aku pengangguran kelas kakap, yang nekat menjadi penulis puisi di masa orang-orang yang ogah memeluk romantisme dari sekumpulan kata yang diracik sedemikian rupa. Lalu terdampar di rusun ini, karena pengurus yang berbaik hati mengizinkanku menyewa dengan harga teramat murah untuk sebuah kamar kecil, sempit, kumuh, penuh kotoran Sugiono--- itu nama kucingku, dekat dengan jendela, dan pemandangan super romantis yang kadang berhias jemuran dengan celana dalam sobek menggantung. Itulah mengapa aku menyukai tempat ini.
Namaku, Aditya Avery. Papaku, yang tiada romantisnya, mungkin sama Mama beda ya. Beliau yang memberikan nama tersebut. Penghuni rusun ini beberapa ada yang memanggil Adit, mungkin mereka yang cinta Indonesia dan menyukai budaya lokal, juga ada yang memanggil Avery, mungkin bagi mereka yang menganggap nama itu keren, ke-bule-bulean, ke-inggris-inggrisan, atau apa pun namanya. Aku pun pernah penasaran apa arti dari Avery, tapi ketika kutanya ke Papa, beliau justru mengaku keliru memberi nama, dia menganggap Avery adalah nama yang berasal dari bahasa Arab. Seriusan? Pikirku waktu itu.
Jiwa penasaranku, atau mungkin tepatnya arwah penasaran, akhirnya mengantarkanku pada sebuah buku, bernama buku pintar. Isinya macam-macam, ada biodata setiap negara, ada nama-nama presiden, ada nama-nama flora-fauna, kecuali nama-nama mantan tetaplah dalam hati dan melayang bersama kentut, dan yang terpenting di buku itu adalah arti nama-nama bayi dari berbagai negara. Akhirnya, bahagia sekaligus bingung saat menemukan arti namaku setelah dua puluh tahun lebih lahir di bumi ini.
Avery berasal dari bahasa Anglo Saxon yang berarti penguasa bidadari. Serius, aku tertawa nyinyir bin nyebelin. Apanya yang penguasa bidadari? Pacaran ditinggalin, dicuekin, diputusin, lihat doi ganti status lagi dengan orang lain setelah lima belas menit putus, galau, dan sekarang berakhir melajang. Apanya yang penguasa bidadari? Bidadarinya Sugiono, si kucing hitam kampret yang kalau buang hajat di dalam sepatu. Lagian, dia jantan, apanya yang bidadari? Semprul.
Kembali pada soal rusun. Hampir genap dua tahun aku tinggal di sini. Sedikit banyak, atau lebih tepatnya cukup kenyang melihat kelakuan seisi rusun. Rusun ini memang disediakan untuk kalangan masyarakat menengah, cenderung ke bawah. Penghuninya? Beragam. Ada dari kalangan mahasiswa, ada yang buruh, pengangguran, dan pengkhayal. Aku masuk kategori pengkhayal, sok sibuk, menulis puisi sambil melihat sempak bolong menggantung. Dapat duit? Boro-boro.
Bagaimana aku bisa membayar uang rusun?
Pertanyaan yang bagus, sekaligus menyebalkan. Aku seorang ghostwriter, dan dari sana aku paham rasanya melahirkan anak lalu anak tersebut diakui orang lain, walaupun kita tahu anak tersebut bahagia dengan kehidupan layaknya. Dan aku orang tuanya, mendapat persediaan beras, sambal terasi, ikan, serta makanan kucing. Juga uang receh untuk si penjaga rusun yang galaknya melebihi klien ketika masa deadline - aku menyebutnya Mak Tary - membuatnya diam di saat penagihan uang perawatan rusun. Di masa itu, sering terlihat penghuni rusun pura-pura mati. Pernah ada yang sengaja mencium lem aibon hingga muntah, dan terkapar. Jika perlu kusebut nama manusianya, dialah Thiya. Semenjak itu, dia justru semakin ketagihan dengan aroma lem legendaris 'pelepas ocehan Mak Tary' itu. Dia bahkan pernah ribut dengan kucingku, Sugiono, hanya karena Sugiono bermain dengan kaleng bekas lem Aibon. Thiya mengejarnya dan berdebat seolah dia paham bahasa kucing. Dan ya, aku mendengar mereka bicara dan paham bahasa mereka.
"Hei, Sugiono, pinjem kalengnya cepat!" Aku lihat waktu itu Thiya sempat tersandung tong sampah berisi kulit pisang sisa pesta semalam.
"Apaan sih, lagi asik main juga. Jarang-jarang dapat mainan yang baunya bikin nge-fly!" Ini si Sugiono juga rada-rada. Aku bahkan sampai menulis sebuah puisi untuk mereka.
Memperebutkan Aibon
Ada dua makhluk di depanku
Manusia dan kucing, berperang
Demi sebuah aroma yang bisa buatmu melayang
Demi sebuah tenang
Aku mengambil alih kaleng yang diperebutkan
Dan menciumi kaleng tersebut
Untuk diriku sendiri
Melihat mereka melongo di depan
Dan aku melayang di balik pintu yang terkunci
Aditya Avery
Di Sebuah Rusun Bernama Montaks
Aku terkadang membayangkan, bagaimana kekasihnya Thiya, seorang tukang parkir, berkencan ditemani aroma Aibon di depan trotoar mini market dengan kopi kalengan dan setumpuk revisian skripsi. Thiya adalah mahasiswa semester akhir yang sedang dirajut cinta, yang bingung membagi waktu antara kekasih, aibon, dan skripsi. Benar-benar cinta segitiga yang nyata. Aku pernah memantau mereka sambil bersandar di tiang listrik. Beberapa orang lewat melempariku dengan receh, meskipun aku tak tahu mengapa mereka melakukannya, tapi lumayanlah.
Aku menatap langit yang tenang, sembari mendengar lagu Peterpan berjudul 2DSD. Bersama meja kecil dan kursi warteg yang kubeli dari pasar, aku menuliskan puisi. Tentang hati yang sedang kasmaran, pada seorang di luar rusun.
"Kamu nulis puisi galau sambil tersenyum lagi?" Sugiono mengeong sambil duduk di meja, menatap datar secarik kertas bertuliskan nama Afifah dan beberapa bait sederhana yang berbaris rapi di bawahnya. Seseorang yang membuatku sesak juga tersenyum sendiri, gila. Dia yang menghadirkan imajinasi menyebalkan, dan dia yang membuatku kembali merasakan cinta, setelah banyaknya sarang laba-laba di ruang hati yang beraroma busuk ini.
Pagi yang hangat, di Indonesia dengan iklim tropis yang seharusnya tiada salju bertebaran. Namun, suasana romantis yang teramat aneh hadir di balkon kamarku. Salju tak dingin terbang mengikuti arah angin. Dan kulihat seorang Dewi Salju, lebih tepatnya Dewi Ketombe, sedang mengibaskan rambut lurus berminyak dan penuh bintik putih seperti bintang di malam hari. Menurut kabar, dia hanya keramas setelah haid saja. Dan dia tinggal tepat di sebelah kamarku. Dewi Ketombe itu bernama Lilis.
"Ah, Changmin, my dead love, cinta matiku," ucapnya sembari melihat sebuah foto pria, tidak tampan. Tentu saja karena aku masih suka wanita, walaupun beberapa penghuni menganggapku homo. Rasanya aneh menyebut seorang pria dengan sebutan tampan. Itu bisa membelokkan naluri.
Kembali ke foto pria yang dipegang Lilis, wajahnya terlihat kelaparan seperti ingin melahap habis foto tersebut. Aku curiga, dia mengambil foto model-model pria di tempat pangkas rambut, mengguntingnya, lalu dibawa pulang. Hebat sekali.
***
Ponsel berdering, kulihat pesan whatsapp masuk, dari Bhimo. Bocah SMA yang keberadaannya diragukan itu tiba-tiba meminta tolong untuk membantu Lin yang tertindih di kasur. Bocah zaman sekarang memang ekstrim ya. Aku membawa Sugiono menghampiri kamar Lin, tidak jauh dengan kamar Bhimo yang menjadi tempat terindah bagi para tikus. Bocah gamer ber-hoodie ini memang terkenal pemalas. Bak pemburu hantu, aku lepaskan Sugiono mencari makan malamnya di sana, hari ini akhir bulan, harus hemat.
Kembali ke kamar Lin, yang terlihat kesakitan tertindih di bawah kasur. Dan bocah perkasa bernama Bhimo justru sedang asik dengan ponselnya, memainkan dating-game dengan karakter anime imut, juga suara cempreng-cempreng yang khas. Dia begitu serius seperti sedang mengikuti turnamen dota.
"Hei, Bhimo pedofil! Cepat tolong aku! Gadis berhijab bernama Lin makin keras berteriak, memukul-mukul lantai kamarnya.
"Bro, nama game-nya apa?"
"Love Plus, Bang."
"Oh, yang ada Manaka Takane, si rambut kuncir kuda itu?"
"Iya, Bang."
Bhimo pun beranjak ke game berikutnya, bernama BanG Dream!, game musik dengan karakter imut lagi.
"Wah, apaan lagi tuh? Mantap kayaknya."
"Yoi, Bang! Game keren nih. "
"Kalau aku sih cuma main SID Story, itu game lumayan keren, game kartu-kartu gitu. Aku punya semacam guild juga di sana, jadi ketuanya."
"Tiba-tiba sebuah buku melayang tepat di hadapan kami."
"Woi, bantuin!"
Aku mencoba membantunya, dan berat. Apa-apaan, di bawah seprai ditumpuk begitu banyak buku, mending komik, ini sekelas buku kuliahan pengantar akuntansi, kamus, atau sejenisnya.
"Woi, Bhim, bantuin sini!" Wibu satu itu masih tidak beranjak dari tempatnya.
"Bro, aku punya voucer game nganggur, kali bisa buat tambah-tambah item di salah satu game kamu. "
"Seriusan, Bang?"
"Iya, seriusan, tapi bantuin si Lin dulu nih."
"Iya, Bang. Siap!"
Bhimo dengan sigap langsung menarik tubuh Lin, sementara aku menyingkirkan buku-buku yang menindihnya. Berhasil.
"Jadi, bisa dijelaskan, bagaimana bisa Lin tertindih kasur---tumpukan buku itu?"
"Begini, Bang. Tadi Ibu Tary sedang melakukan invasi, dan ya kami belum dapat kiriman dana untuk bayar uang rusun. Akhirnya kita sembunyi, aku berhasil lolos dengan menelepon teman yang menyamar menjadi petugas ambulan dan membawaku keluar dari rusun, tapi saat itu tiba-tiba Lin menghilang, begitu kembali aku melihatnya tertindih kasur buatannya sendiri, kebetulan ada event di game jadi aku meminta bantuan."Alasan yang terlalu logis.
Tiba-tiba seorang perempuan berjalan ke arah kami. Dia seorang mahasiswi, kantong matanya hitam, dan hampir sama seperti Bhimo, dia gamer akut yang pikunnya bukan main, namanya Mayang.
"Hai Kak Mayang, kuliah ya Kak?" Bhimo dengan sigap menyapa manusia sebangsanya.
"Hmm, siapa ya kayak kenal." Sudah kuduga, dia masih tidak bisa menghafal nama-nama penghuni rusun, padahal sudah cukup lama dia terdampar di rusun ini.
"Aku Bhimo, Kak. Semalam kan kita hunting monster sampai jam satu malam. Lupa?"
"Oh iya, kamu bocah rese yang ganggu waktu nugasku? Gara-gara game itu, cowokku jadi ikutan main juga, dia jadi lupa nelepon buat ucapin selamat pagi, dan karena itu aku kesiangan ke kampus."
"Cowok yang mana, Kak?" Dengan polos bin kopong, Lin bertanya sesuatu yang mengerikan.
"Eh, tunggu. Aku lupa, selama ini yang bangunin pagi-pagi cuma aplikasi alarm berbasis dating sim yang terprogram khusus untuk menghadirkan panggilan suara palsu di waktu yang telah diatur. Lupa, cowokku gak lebih dari zombi sinting yang matanya cuma tertuju sama game dan anime. Aku heran kenapa bisa pacaran sama itu orang ya?"
"Curhat, Tong?"
"Ya, simpel kak, kalian memiliki banyak kesamaan. Sama-sama gamer, sama-sama tidak peduli sekitar. Jodoh!" Jawaban yang cerdas, Dek Bhimo.
"Ngaca, Bhim." Lin menggerutu sembari membereskan buku kesayangannya.
"Yo, Mayang! Kenal aku siapa?"
"Hafal nama kucingmu doang, Sugiono 'kan? Si tukang buang air besar sembarangan. Makanya itu kucing dikasih makanan yang bergizi, biar pintar. Kamu kasih puisi mulu sih."
"Aku doain badanmu berisi."
"Makasih loh ..., eh maksudmu badan ini enggak berisi?"
"Aku punya obat cacing di kotak obat, mau?"
"Yeh, nyebelin nih om-om."
"Kan aku doain biar berisi, demi kebaikanmu. Bukannya bilang terima kasih."
"Hmm, iya juga sih. Oke, makasih banyak loh ya. Sudah, aku mau ngampus dulu, kesiangan nih."
Akhirnya aku bisa meninggalkan beberapa makhluk penghuni rusun dan kembali ke kamar pribadi yang nyaman, tentram, dan bau kotoran kucing---Sugiono. Setelah puas mencari makan malam, Sugiono kembali menginjakkan kakinya di meja, tempat biasa aku menulis puisi. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, aku membukanya. Dia yang rutin mengunjungi penghuni rusun menjelang jam makan siang untuk meminta lauk, dia adalah Caroline. Siswi SMA, yang uang jajannya selalu pas-pasan, ditambah dolar yang nyaris mencium angka Rp. 15.000,- lalu ditambah penurunan daya beli masyarakat membuat gaji kedua orang tuanya semakin terserut oleh kebutuhan belanja sehari-hari. Tumben siang ini, kepala sedikit lebih bijak setelah membaca koran gratisan yang dikasih Mak Tary, sebagai bonus karena membayar uang rusun tepat waktu.
"Kak, ada lauk sisa enggak?" Wajahnya selalu saja dapat meluluhkan hati.
"Ada, sebentar ya. Hari ini tempe orek sama tahu bacem, sama ada sedikit nasi, tidak masalah kan? Biar tidak usah masak mie dulu hari ini. Kasihan itu usus."
"Iya Kak, itu sudah lumayan buat hari ini.
"Ah, satu lagi, jangan kebanyakan main HP, lumayan uang pulsa dan paket bisa buat tambahan bayar uang rusun dan makan. Hemat-hematlah dan rajin belajar juga bersihin kamar biar pikiran tidak fokus pada dompet. Kita sama-sama memiliki dompet yang pedas, fokus pada hal lain adalah hal yang penting. Untuk menjaga pikiran agar tidak begitu gila."
"Baik, Kak! Siap!"
***
Arittake no yume wo kakiatsume
Sagashimono wo sagashi ni yuku no sa
One Piece
Senandung merdu terlantunkan dari kejauhan, sebuah soundtrack dari anime One Piece. Bisa ditebak siapa penghuni rusun yang jarang terlihat, dia introvert akut yang selalu mengurung diri di kamarnya. Sepertinya dia sedang maraton anime One Piece. Lyn, beda dengan Lin, meski sama-sama kutu buku. Aku lebih menganggap Lyn adalah gabungan antara Lin dan Bhimo. Lyn hanya keluar ketika berangkat sekolah dan ketika lapar, sekadar membeli makan di sekitar rusun.
Lyn memang tidak banyak bicara, tapi ketika ada beberapa teman yang datang, mulutnya seolah habis dicas, tiada berhenti bicara, aku tidak akan bisa tidur ketika teman-temannya menginap. Menurut kabar yang beredar, dia suka menulis. Untuk seorang anak kelas 3 SMP yang akan menghadapi dahsyatnya Ujian Nasional, dia benar-benar mandiri. Aku membayangkan seumuran dia, masih merengek ketika pilek melanda.
Berbeda dengan Lyn, di rusun ini terdapat beberapa petasan berwujud manusia yang siap merajam ketenangan yang lebih aktif dibanding trio maut antara Nine, Tip, dan Pit dengan mulut toa yang merdu, bahkan Sugiono bisa melompat kaget ketika mendengar ocehan mereka. Bak Tamiya yang diberi dinamo kilikan, super cepat, super rusuh, di mana pun dia berada selalu saja terdengar kabarnya. Entah dia di sudut terpencil rusun ini. Dialah Nindya, cewek yang sering bolak-balik beli makanan, tapi badan tidak bisa gemuk, sama seperti Mayang.
Aku membayangkan jika suatu saat ada zombi menyerang seperti di film-film, orang ini bisa saja menjadi yang terakhir selamat. Jika aku menjadi zombi, aku lebih memilih tidur di comberan, menatap langit, dan mati kelaparan dibanding harus mengejar manusia ini. Mungkin cacing di perut mereka sering pergi nge-gym sehingga kuat memperoses makanan yang masuk dengan cepat. Nindya, kurasa dengan mulut pedasnya mampu membuat para zombi bertobat.
Belakangan ini aku semakin sering membayangkan zombi, semenjak menonton ulang film Train to Busan untuk bahan tulisanku berikutnya.
Sore hari tiba, katanya senja adalah hal paling romantis bagi setiap orang, khususnya penulis. Aku memperhatikan berapa banyak kata senja di puisi-puisi yang pernah kubaca, di samping kata hujan, mawar, sepi, dan lain sebagainya. Aku sering berbicara pada Sugiono tentang puisi yang kubuat, hidupku datar, dan Sugiono selalu ada untukku. Mengambil pulpen yang terjatuh dengan mulutnya, ketika aku sedang asik chatting dengan makhluk indah bernama Afifah di kota yang berbeda. Aku ingin melamarnya akhir tahun ini. Semoga.
Dia yang membuat puisi-puisi suramku menjadi lebih berwarna, atau terkadang membuatnya semakin membusuk dan bau. Depresi, tidak tidur, adalah hal indah sekaligus kubenci dari jatuh cinta. Apa cinta sebegitu menyebalkan?
Meong! Meong!
Ah, kamu benar! Aku harus tetap fokus menulis, untuk mengumpulkan modal menikahinya. Aku paham, target ini gila dan kadang membuatku ingin muntah. Mengingat saldo rekening akhir bulanku tiada pernah menyentuh angka Rp. 200.000,- dan bicara apa aku kepada Papa, atas rencana melamar dia tahun ini. Bodohnya, untuk menghibur diri aku selalu membayangkan, jodoh atau mati yang akan menyambutku? Mengingat keduanya itu adalah rahasia yang tiada pernah bisa dibocorkan.
Aku tahu ini berlebihan, tapi rusun ini memiliki banyak cerita. Dan aku tidak ingin sesuatu merusaknya. Tidak semua bisa kusebutkan, meski begitu mereka tetap yang terbaik dengan karakteristik masing-masing. Mereka adalah bagian dari novel yang kelak menyebar di penjuru dunia. Novel yang kaya akan diksi, karakter beragam, dan tentu tidak pernah mampu jika penulis amatir bernama Avery ini yang menuliskannya sendiri. Suatu saat, jika umurku cukup, aku ingin menuliskannya. Jika tidak, setidaknya aku pernah memiliki impian tersebut.
***
Ditulis oleh: seruputsepi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top