9). The Same 'Kris'

Back to you, I can't control it. -K.P.

*****

Krisna sebenarnya malas kuliah, apalagi mentalnya sempat dibuat breakdown secara bertubi-tubi.

Jika keluhannya didengar teman-teman sejurusan, Krisna pasti diduga salah makan obat atau pengar gegara coba-coba minum minuman beralkohol. Gimana, ya. Krisna Pramudya gitu, loh, yang tidak pernah absen, yang sering dicap sebagai mahasiswa aktif sejurusan, juga disebut sebagai mahasiswa paling sportif dalam meraih prestasi. Meski faktanya nilai IPK Krisna belum pernah menyentuh angka 3.7, setidaknya dia masuk jajaran mahasiswa yang serius dalam menekuni bidangnya.

Meskipun demikian, mau tidak mau Krisna tidak bisa mundur saat mendapati kakinya masuk ke kelas begitu saja, seolah-olah ada fitur peta dalam otak yang membuat langkahnya terarah di luar kemauan. Usai menghela napas berat, cowok itu akhirnya menghampiri meja kosong di dekat jendela sembari berharap agar angin semilir bisa mengobati rasa rindunya.

Meski Krisna sadar penolakan Elina bermakna harapan yang nihil layaknya air bah yang eksis di gurun pasir, tetap saja, dia berharap ada keajaiban. Gimana, ya. Rasanya sangat sulit menerima ketika dia tidak pernah menghadapi yang namanya kegagalan.

Masa, sih, kisah cintanya dikalahkan oleh seonggok prestasi?

"Kris."

Krisna spontan menetralkan emosinya lantaran mengalihkan pandangan ke sumber suara, meski kesannya jadi payah karena tidak jago akting. Untungnya, mahasiswa yang memanggilnya tadi tidak begitu memperhatikan ekspresi wajahnya, pun tidak akrab dengan Krisna.

"Ini punya lo, 'kan?" Cowok itu menyerahkan sesuatu pada Krisna.

Benda itu berbentuk segi empat, berwarna hitam, dan massanya ringan. Tadinya Krisna mengira sebuah dompet sampai ekor matanya menangkap tulisan yang terbordir di sana, membentuk nama 'Kris'.

"Bukan punya gue." Krisna menjawab, meski sempat bingung dengan empat huruf yang sama sebelum tersadar kalau jumlah mahasiswa kampus Trisakti mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Juga, awalan nama 'Kris' pastilah tidak sedikit.

"Jatuhnya di dekat kelas. Kirain punya lo. Boleh nitip ke lo nggak, sih? Gue harus balik, nih. Urgent."

Lantas, Krisna hanya bisa melongo ketika tahu-tahu, mahasiswa itu meletakkan dompet itu di mejanya dan segera meninggalkan kelas.

Krisna berpikir sejenak, kemudian memutuskan untuk membuka isinya. Siapa tahu, pikirnya, ada identitas sang pemilik sehingga dia tak perlu bersusah-payah mencari.

Kelas sudah kepalang ramai dan saat Krisna membuka dompet itu. Tidak heran, berhubung waktu sudah mendekati jam masuk. Bangku-bangku yang disusun mirip podium pun sudah disesaki oleh mahasiswa dan posisi bagian belakang jelas lebih diminati. Krisna terlalu berfokus pada benda segi empat yang ternyata adalah Hard Disk Drive yang permukaannya ditempeli stiker semacam logo, sampai-sampai tidak sadar kalau ada yang mendekat dan duduk di sebelahnya.

Krisna mengira yang duduk adalah Edo, seatmate langganannya. Maka, cowok itu sudah melontarkan pertanyaan tanpa menoleh, "Lo tau nggak ada mahasiswa yang nama depannya mirip gue? 'Kris'."

"Ada."

Krisna mendongak terlalu cepat bukan karena penasaran dengan nama lengkap 'Kris' tadi, tetapi lebih ke fakta yang menjawab pertanyaannya adalah berjenis kelamin perempuan karena suara lembutnya.

"Gue Kristina." Gadis itu berkata lagi sebelum mengucap kalimat lain dengan menggunakan Bahasa Inggris yang fasih, "And you know what? The stuff that you're holding on is mine."

"Oh, oke." Krisna hendak menyerahkan Hard Disk Kristina, tetapi sebelum benda itu benar-benar sampai ke tangannya, gadis itu menyambar lagi.

"I never thought that you're such a no-manner person. Don't you know anything about privacy?"

"Hm, look. Bukan itu—–"

"Defensive is the worst. Wrong acts should not be tolerated."

"Hah?"

"No more repeats. I just want to take mine." Kristina lantas menarik dompet segi empat dengan sekali tarikan. Kesannya jadi agak kasar karena Krisna sampai mengerutkan kening dan menatapnya dengan tatapan tersinggung.

Sebagai pelengkap atas semuanya, gadis itu beranjak sebelum meninggalkan bangku barisan depan, mengabaikan ekspresi Krisna yang menatap punggungnya dengan ekspresi ilfil.

Ck, cantik-cantik tapi belagu! Cantikan Elina ke mana-mana, kali!

Eh, ngomong-ngomong... dia kayaknya nggak asing. Pernah lihat dia di mana, ya—–hei, dia kan satu jurusan sama lo, Krisna, jelas nggak asing.

Hmm... kayaknya bukan ini....

"Sori, gue terpaksa duduk di sini. Bangku di belakang udah penuh semua gara-gara kelamaan ambil barang gue."

Krisna mendongak lagi dan mendapati ekspresi Kristina yang berbeda jauh dari yang tadi. Jika lima menit lalu ekspresinya terlihat menantang dan belagu seperti yang dikatakan Krisna, kali ini wajahnya memerah dan terlihat super canggung.

Jelas, dia pastilah malu setelah puas berlagak sombong dan kini harus menelan gengsinya demi mendapat satu-satunya bangku kosong yang tersisa.

Oke, Krisna jadi mau tertawa.

"Jangan ketawa!" tegur Kristina galak.

"Nggak terima? Pindah aja." Krisna menjawab enteng.

"Lo nggak berhak untuk itu."

"Lo juga nggak berhak melarang gue tertawa. Ha ha ha." Krisna cengengesan.

"Oke."

"Gitu aja marah. Tapi bagus, biar orang belagu kayak lo cepat nyadar."

"Gue paling benci sama orang yang langsung mengambil kesimpulan sebelum mengenal dengan baik." Kristina berujar dingin, bertepatan saat dosen mengabsensi para mahasiswa dengan menyebut nama satu per satu.

"Berlaku hukum cermin. Lo baru saja mengatai diri lo sendiri."

"Oh, ya?" sindir Kristina.

"Tadi lo udah menilai gue jelek waktu ngambil barang lo. Padahal kalo lo mau berpikir positif, gue bukannya lancang, melainkan sedang mencari identitas si pemilik. Mana tau, ada informasi lain yang memudahkan sang penemu."

"Lo bisa aja serahin itu ke bagian administrasi kampus tanpa perlu melihat isinya."

"Administrasi yang bertugas juga bakal ngecek isinya. Apa mereka juga bisa disebut lancang?"

Kristina sudah membuka mulut, bersiap untuk menyerukan kata-kata lain, tetapi Krisna sudah lebih dulu menyambar, "Judging people is the worst. I don't think you're such that—–hmm, let's say.... Stubborn? Yeah. It represents you so well."

"Ap—–"

"Krisna Pramudya."

"Hadir, Pak!" Krisna berseru keras, lantas melirik Kristina dengan seringai lebar, seolah-olah pamer bagaimana dia berhasil memenangkan debat, yang tak ada bedanya dengan kompetisi debat sesungguhnya.

"Kristina Meira."

"Hadir, Pak!" Kristina juga menjawab keras meski situasinya lebih mengarah pada keinginan untuk menelan Krisna bulat-bulat, yang tercermin dari tatapan tajamnya.

*****

"Gila aja, ya, dia satu jurusan sama aku!" Meira misuh-misuh lewat ponsel yang dia tempelkan ke salah satu telinganya.

"Oh, ya?" tanya suara lembut di ujung telepon. Bisa dipastikan, dia adalah Cecilia.

"Nggak cuma satu jurusan, nama depannya juga sama denganku. Tau nggak, namanya siapa?"

"Hah? Ada, ya, nama laki-laki dengan awalan nama 'Mei'?"

"Ck. Nama depan, loh."

"Lah, nama depan apanya?"

"Punya temen lemot gini amat, ya."

"Ck." Lantas, jeda beberapa saat sebelum terdengar pekikan. "OH! KRISTINA? IYA, YA. NAMA KAMU, KAN, KRISTINA MEIRA!"

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top