6). Non-sense

I'm impossible to you. -E.F.

*****

Elina belum pernah benar-benar dekat dengan cowok sebelumnya. Jangankan lawan jenis, yang sejenis saja bisa dihitung dengan jari padahal dia tidak pernah mengungkit sejarah keluarga atau sekaya apa latar belakangnya. Sama seperti sepupunya yang tercinta, Luna Lovandra, dia juga menerima siapa saja sebagai teman secara terbuka.

Namun sayangnya, tidak seperti Luna, pergaulannya hanya sebatas teman duduk sebangku atau sekelompok, pun tidak ada sesi curhat-curhatan atau haha-hihi layaknya sosialisasi pada umumnya.

Hingga suatu kali Elina tahu alasannya mengapa. Pernah, ada salah seorang teman sekelas yang mengata-ngatainya secara frontal, mengungkap secara gamblang apa yang membedakan dirinya dengan Luna yang secepat itu tenar tanpa perlu berusaha di hari pertama sekolah. Sepupunya dikenal sebagai cewek yang easy going, yang sekali bertatap muka tidak hanya membuat jatuh cinta kaum adam, tetapi juga kaum hawa.

"Muka lo galak, trus kalo ngomong suka nyelekit." Lisa berkata jujur suatu kali. Dia selalu sekelas dengan Elina dan duduk bersamanya, kecuali tahun ketiga karena Elina berhasil duduk di sebelah gebetannya, Ferdian.

Elina yang sedang berusaha merapikan tenda saat latihan kepemimpinan, mengalihkan atensinya. Alisnya berkerut, kelihatan tidak terima dengan kejujuran Lisa meski turut penasaran apa alasannya mengemukakan statement itu.

"Luna selalu murah senyum. Meski sepele, tapi biasanya itu yang diharapkan oleh sebagian besar orang karena merasa dihargai."

"Gue nggak pernah merendahkan orang tanpa alasan." Elina membela diri. "Tiap orang punya sisi uniknya dan lo nggak bisa menyamakan semua orang."

"Bukan itu maksud gue," kata Lisa dengan nada meminta maaf. "Gue hanya memberi masukan sebagai teman, walau kita hanya sebatas teman sebangku selama dua tahun. Meski tahun ini gue duduknya sama Krisna, tetap aja, posisi duduk kita berdekatan. Walau level gue belum masuk sahabat, gue rasa gue bisa mengerti karakter lo."

Elina terdiam, tetapi matanya masih berkelana, tepatnya mengekori duo Ferdian dan sepupunya yang menjauh. Kepala mereka berdekatan, jelas memberi penegasan bahwa dia sudah tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan hati Ferdian.

"Mungkin yang lo bilang itu bener." Elina berbisik pelan. Beruntung situasinya mendukung karena terdengar celetukan Virga yang keki karena diabaikan Ferdian sebelum meninggalkan lokasi.

"Kayaknya ini yang namanya mau ngumpat tapi nggak sudi nambah dosa. Emang bener kata Krisna, bangsat satu itu emang ambyar munafiknya."

"Did someone just call my name?" Elina mendengar suara Krisna menyambut. "Gue denger kata munafik juga. Kalo ceritanya mau ghibah-in si cowok belagu, gue nggak mau ketinggalan."

"Cowok belagu yang lo maksud udah jadian sama Luna rupanya. Any swears?"

"Tuhan masih sayang sama dia rupanya," celetuk Krisna. "Seharusnya orang munafik kayak dia dijadikan bulan-bulanan sama instruktur aja."

"Mendingan dia daripada lo yang nggak pernah pacaran alias jomblo." Elina akhirnya ikut nimbrung usai menyerahkan tenda yang sudah dilipat rapi ke salah satu instruktur. Dia melipat kedua lengan di depan dada, menatap Krisna dengan keangkuhan yang cocok dengan karakter antagonis.

Sejujurnya dia sengaja melakukan itu untuk melampiaskan emosinya, tetapi Elina tidak pernah tahu bahwa sebanyak momen yang dia kumpulkan bersama Krisna, nyatanya menjadi pemicu untuk mengakrabkan keduanya di kemudian hari.

Ya, bisa dibilang, Ferdian menjadi jembatan bagi keduanya untuk berinteraksi.

"Lo lagi ngomong sama cermin, ya? Soalnya pernyataan lo yang tadi bisa juga ditujukan buat lo sendiri," balas Krisna kalem sembari mengangkat sebelah alisnya dengan sama angkuhnya.

"Tapi gue tau cara mencintai," jawab Elina tidak mau kalah. Cewek itu tidak lupa mengibaskan rambut halusnya dengan gaya sok. "Daripada lo yang dua-duanya nggak pernah. Kasian banget."

"Sori-sori ya, gue nggak mau jadi bucin. Nggak terdaftar dalam kamus gue, soalnya."

"Be careful, Mister Pramudya. Maybe you will be the first suspect after your own statement."

"Nah... kalo ini gue setuju sama lo, El. Nggak usah jauh-jauh, Ferdian buktinya." Virga berujar, mengabaikan Krisna yang merasa terkhianati.

Elina merasa puas karena ada yang bersedia membelanya, tetapi ekspresinya berubah menjadi terkhianati lantaran mendengar kata-kata Virga selanjutnya.

"Mana tau, kan, kalo Krisna jadi bucinnya Elina. Bisa gempar seluruh sekolah dan saat itu bakal jadi harinya patah hati SMA Berdikari karena semua visual udah pada laku."

Oke, Elina tidak menyangka saja kata-kata Virga menjadi doa yang sudah di-amin-kan dan terkabulkan.

Meskipun demikian, menyadari kekurangan Elina yang ternyata 'diterima' oleh Krisna berasa menjadi penyembuh. Ketika awalnya dia tidak pernah memiliki wadah curhat pribadi, kini dia bisa menggunakannya semerdeka yang dia mau. Gadis itu jadi menikmati kebersamaannya bersama Krisna yang dia tahu tidak mungkin bisa dia realisasikan dengan orang lain.

Fakta yang tidak disangka-sangka juga Elina temukan dari Krisna, ketika dia tahu bagaimana perasaan cowok itu padanya. Gimana, ya. Sebaik-baiknya perlakuan cowok ke cewek, apakah ada yang rela mengantar-jemput ke kampus, yang jarak tempuhnya memerlukan waktu hampir dua jam? Oke, katakan Krisna gabut, tetapi dengan durasi yang berlangsung selama dua tahun jelas tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kemudian, hari itu tiba, ketika Elina harus mengambil keputusan. Dia mungkin bukan pribadi yang baik ke semua orang, tetapi setidaknya, dia tidak ingin Krisna terluka.

Pada momen dia menyadari perasaan Krisna, di saat itulah dia harus bertindak.

Sebelum perasaan Krisna semakin dalam, bahkan nggak menutup kemungkinan, ini juga berlaku buat gue....

"Krisna, look." Elina mengembuskan napas beratnya lagi. "Lo tau gue berasal dari keluarga yang mana. Lo tau gimana ketatnya aturan itu sampai-sampai gue sebagai keturunannya aja ingin memberontak. Plis, Krisna, pahami posisi gue. Gue juga punya satu hal lain yang membuat hubungan kita nggak mungkin."

Krisna bungkam. Alih-alih balas menatap Elina, dia mengalihkan fokus ke cekungan besar yang diletakkan di tengah kolam buatan. Desainnya dibuat estetik, dilengkapi dengan kucuran air yang mengalir seperti anak sungai.

"Kita beda agama, Kris. Dari suku juga sama; gue keturunan Chinese. Dari situ aja bisa lo rasain gap-nya, 'kan? So... nggak mungkin bagi kita.... Terlalu banyak rintangan, Krisna." Elina berujar lagi. Suaranya hampir hilang, tepatnya ditelan oleh rasa bersalahnya yang menguat.

"Kalo cinta beda agama yang bikin lo ragu, that's not a big deal, El--"

"Apa lo bahkan bisa melepas agama lo demi gue? Nggak akan mungkin, Kris. Sama halnya lo nyuruh gue pindah agama... gue nggak bisa. Apa kata Papa saat tau gue mau jadi mualaf?"

"You think too much, Elina."

"Anggap aja demikian. So, udah jelas, kan, sekarang?"

Elina segera mengambil kesempatan ketika Krisna lengah. Tepat pada saat itu, dia melihat sosok Andre yang berjalan mendekat. Map yang tadi dijinjingnya sudah raib, digantikan oleh tas lain yang dia sampirkan di bahu yang bebas dari tas miliknya yang berwarna hitam.

Jika ditilik dari motifnya yang lagi-lagi girly, Krisna segera tahu tas milik siapa itu.

Gue bahkan belum pernah bawain tas Elina, trus ngurusin keperluan kuliahnya.

Apa... apa sejauh itu, gap di antara kita?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top