3). The Possible Way

I'm reflected in your eyes, look at me properly. -K.P.

*****

"Loh, tumben ke sini?" Sebuah pertanyaan menyambut Krisna begitu dia sampai di ambang pintu indekos.

Dipikir-pikir, wajar jika Krisna disuguhi pertanyaan demikian. Sudah lama sekali sejak dia mampir. Kalau tidak salah yang terakhir adalah saat libur semester ganjil dan sekarang sudah masuk tahun akademik baru. Alasannya sudah tahu, kan, mengapa?

Krisna sedang malas menjawab. Maka, dia memilih mengabaikan pertanyaan Virga dan mendaratkan bokongnya di atas sofa dengan ekspresi yang tidak puas seakan sedang dilanda masalah yang berat.

Beruntung, suasana kos sedang sepi dan yang sedang nongkrong di ruang tamu adalah teman-teman yang Krisna kenal; mulai dari Aditya bersepupu--Virga dan Tristan, Yoga, serta Yoana.

Berhubung Krisna sedang dilanda patah hati, pemandangan di hadapannya otomatis membuat dia salty, padahal teknisnya, Yoga dan Yoana tidak menunjukkan kemesraan. Pas banget, mereka duduknya tepat di depan Krisna. Otomatis, cowok itu merasa sedang disuguhkan tontonan penuh sindiran. Mau kesal, tapi dia tidak tahu bagaimana melampiaskannya.

"Kenapa, sih, lo?" Gantian Tristan bertanya usai memperhatikan bagaimana gerak-gerik Krisna yang semakin cemberut, kemudian segera mengerti mengapa dia berlaku demikian. "Oh, gue tau."

"Kayaknya kita sependapat." Virga menimpali, merasa pede kalau intuisinya bakal sama dengan sepupu tercintanya. "Coba spill."

Tristan mulai mendalami peran. Lantas, dengan menopang tangan ke dagu seolah sedang mengajukan hipotesis, dia menatap Krisna terlalu intens. Tak tanggung-tanggung, dia juga mencondongkan tubuh melewati Virga yang duduk di antara dirinya dan Krisna. "Lo... abis gelut, 'kan? Sama siapa?"

Krisna masih bungkam, tetapi ekspresinya terhina sementara Virga mengetuk kepala sepupunya dengan gulungan kertas.

Meski pukulan sang sepupu tidak ada apa-apanya, tetap saja, Tristan merasa kesal. Dia lantas menghadiahi Virga dengan tatapan mencela.

"Ck, kirain pendapat kita sama. Mana nebaknya sembarangan lagi."

"Lah, ekspresi Krisna, kan, memang ngajak berantem! Lo lihat, deh! Bener, kan, tebakan gue?" Tristan melanjutkan ketika death glare-nya Krisna tertuju padanya. Lagi-lagi salah paham karena mengira dugaannya dibenarkan oleh yang bersangkutan.

"Ya, kali! Berantem, tapi masih mulus gitu mukanya. Lo kira muka ditekuk gitu cuma karena itu doang?" protes Virga.

"Trus apa, dong?" Tristan balas nyolot, mengabaikan Yoana yang menggeleng-geleng dengan tatapan I'm-so-done-with-you, serta Yoga yang hanya menyimak dengan kalem.

"Nggak ada apa-apa." Krisna akhirnya menjawab. "Gue cuma mau mampir. Memangnya nggak boleh?"

"Gue kasih tau, ya, Krisna. Ekspresi lo itu persis cewek yang kalo ditanya, pasti jawab nggak apa-apa. Tapi sekalinya kita cuek, langsung di-judge nggak peka." Tristan mulai mengeluh. "Si Clara juga sama. Jawabnya terserah mulu, padahal 'terserah' itu, kan, bukan pernyataan cinta."

"Jadi, ceritanya lo curhat?" tanya Krisna sarkastik. "Kalo jadi cowok nggak bisa ngerti apa maunya cewek, mending nggak usah pacaran aja. Dasar payah!"

"HEH—–"

"Udah, udah! Lo, sih. Kalo orang lagi sensian, nggak usah diladenin, kali!"

"Lah, kok, salahin gue?" Tristan mengalihkan fokus ke Virga yang menuduhnya.

"Kalo dari kacamata Mister Aditya—–"

"Mulai, deh, mulai...." Tristan spontan meledek.

"Diem. Gantian gue nebak."

"Ck."

Persis sepupunya, gantian Virga yang mendramatisir suasana. Dengan alis yang mengerut seperti mbah-mbah dukun kalau lagi meramal, dia mulai mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya, "Gue mulai paham duduk masalahnya. Walau kita jarang ketemu, gue taunya lo selalu ngapelin Elina tiap hari. Bener, 'kan?"

Virga tersenyum puas saat mendapat respons anggukan dari Krisna, tidak lupa memamerkannya pada Tristan.

"Lantas, ketika seharusnya jam segini lo masih wara-wiri di luar sama Elina, trus yang jadi pertanyaan gue; kenapa lo bisa ke sini? Jelas, gue sepeka itu untuk tau kalo masalahnya ada pada Elina. Kenapa? Lo diputusin sama dia?"

"Gimana mau putus, pacaran aja belum." Suara Krisna teredam di antara giginya yang menggertak.

"Meski hubungan kalian PTS, tapi tetep aja—–"

"HAH? PTS TUH APA?" tanya Tristan dan Yoana bersamaan hingga kesannya berteriak.

"Ck, masa nggak tau, sih—–"

"Pacaran Tanpa Status." Krisna langsung menengahi. "Nggak usah pake singkatan aneh-aneh, deh. Kenapa nggak FWB atau TTM aja?"

"Lo sama Elina udah sampai tahap mana memangnya?" Virga tiba-tiba kepo.

"Masih nanya?" tanya Krisna galak.

"Ap—–"

"Udah, udah!" lerai Tristan usai mengetuk kepala Virga dengan gulungan kertas, lalu berlagak pamer. "Lo, sih. Kalo orang lagi sensian, nggak usah diladenin, kali!"

"Balas dendam ceritanya?" tanya Virga keki, tetapi situasinya tidak berlangsung lama karena sudah kepalang kepo. "Ya sudah. Mau PTS kek, mau FWB atau TTM kek, yang jelas hubungan lo sama Elina udah deket tapi nggak pacaran. Oke? Nah, sekarang ceritain masalahnya. Elina nyuruh lo jangan jemput dia lagi, ya?"

"Lah, kok, tau?" Ekspresi Krisna berubah jadi takjub dalam sedetik.

"Luar biasa ternyata kacamata seorang Mister—–"

"Trus... trus?" tanya Tristan, mengabaikan Virga yang keki sendiri karena kata-katanya dipotong sesuka hati.

"Ya... gitu."

"Ish!"

"Mungkin Elina kesel karena lo nggak kasih kepastian." Yoana akhirnya berargumen, lantas melirik Tristan sekilas sebelum melanjutkan perkataannya, "Nggak ada cewek yang suka berhubungan tanpa status dalam durasi yang lama. Kalopun ada, cewek itu udah pasti bego."

"Oh, iya. Lo, kan, sempat digantungin Tristan selama—–hmm... berapa, sih? Enam atau tujuh tahun?"

"Tujuh tahun," jawab Yoga kalem.

"Ihhh, Yoga. Kamu pengertian banget, sih?" puji Yoana dengan suara yang ditarik-tarik manja. "Peka banget jadi cowok."

"HEH! GUE JUGA PEKA!" raung Krisna, tetapi segera berdeham pada detik berikutnya untuk menutupi kecanggungan. "Hmm... maksud gue, Elina jelas tau gimana perasaan gue."

"Udah gue bilang, cewek butuh kepastian. Emangnya kalo boleh tau... dia bilang apa aja?"

"Selama ini, gue sama Elina dekat gegara dia punya masalah keluarga." Krisna akhirnya bercerita, "Elina punya impian jadi artis, tapi bokapnya nggak ngizinin. Elina memberontak. Makanya, dia kuliah di UPH dengan harapan supaya bisa ketemu banyak relasi. Yang nggak gue ngerti, setelah perjuangannya selama dua tahun ini... kenapa, sih, sekarang dia milih nyerah dan tunduk sama bokapnya?"

"Tunduk?" ulang Yoana. Sepasang alisnya menyatu selagi berusaha memahami cerita Krisna.

"Iya. Dia nyuruh gue nggak usah antar-jemput dia lagi, trus nggak lama lagi dia bakal dipindahkan ke kampus Trisakti—–"

"Ya, bagus, dong—–"

"Gue belum selesai cerita, Pea!" Krisna auto ngegas pada Tristan. Lucu juga, padahal barusan dia menolak curhat. "Pindahnya bukan karena gue, tapi karena cowok lain yang dijodohin sama Elina."

"Woah." Tristan dan Yoana auto mangap, sedangkan Yoga terkejut dalam diam. Virga lain lagi, dia mengangguk beberapa kali seakan mengetahui apa solusinya.

"Oke. Jadi... Elina pindah ke Trisakti, trus nyuruh lo nggak usah antar-jemput dalam artian nggak mau ada hubungan karena udah dijodohin sama cowok yang entah siapa namanya?"

Krisna mengangguk lemah, berbanding terbalik dengan Virga yang kini berekspresi senang seolah-olah melihat bintang jatuh.

"Malah bagus, Kris. Lo nggak perlu jauh-jauh ke Tangerang lagi. Jadinya lebih deket sekarang."

"Hah?"

Virga mengangguk mantap, seolah wasit yang memberi izin untuk memulai pertandingan. "Elina ada dalam genggaman lo, maka rebut dia sebelum semuanya terlambat. Sebelum janur kuning melengkung, lo masih punya kesempatan!"

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top