25). Speechless

I already have no time to breathe. -E.F.

*****

"Aku bilang Krisna kekanakan, tetapi faktanya, ledekan itu lebih cocok buat diriku." Elina bersuara duluan, padahal Andre baru sampai di ambang pintu.

Kelas sudah terlalu lama kosong karena perkuliahan berakhir setengah jam yang lalu. Gadis itu masih betah di bangkunya, sendirian di antara meja-kursi yang berbaris berbentuk kubah. Lantas dengan statusnya yang masih baru di kampus, siapa lagi kalau bukan Andre yang menghampirinya?

Karena yang datang nggak mungkin Krisna. Elina menunjukkan seringai getir saat mengucap kata-kata tersebut dalam hati.

Andre diam saja, mungkin menurutnya akan lebih sopan jika menjamah bangku terlebih dahulu sebelum berbicara.

Benar saja. Cowok itu berujar usai meletakkan sesuatu berbentuk bantal di meja Elina yang ternyata adalah yoghurt squeeze, "Is something wrong again?"

"Indeed," jawab Elina. "It's definitely over."

"Tapi kelihatannya... kamu nggak bahagia, Elina." Intonasi nada Andre sama kalemnya dengan Elina, tetapi tetap saja, perbedaan di antara keduanya begitu kentara. Jika Andre menatap teduh, Elina malah menunjukkan kepasrahan yang sarat akan sesal.

"Oh, ya?" Elina menyeringai selagi bertanya. "Bisa jadi, aku cuma nggak terbiasa saja. Sama kayak aku pindah kampus, 'kan? Semua hanya perlu waktu."

Andre mendudukkan diri di bangku depan Elina, lantas memutar punggung ke belakang untuk menghadap gadis itu. Jarak di antara mereka menjadi dekat, apalagi ketika dia menopang dagunya ke telapak tangan yang dia letakkan di atas meja, semeja dengan gadis itu. "Kalo gitu sama artinya dengan kamu membutuhkan seseorang untuk beradaptasi. Jika aku bersedia bantuin kamu di kampus, maka aku juga bersedia bantuin kamu terbiasa tanpa eksistensi Krisna.

Aku bisa mengisi ruang kosong itu." Andre menambahkan di antara jeda yang mengepung mereka atau lebih tepatnya, gadis itu tidak tahu harus merespons apa.

"Itu bukan hal besar, kok, Andre. Aku cuma ngomong random aja."  Elina akhirnya menanggapi setelah berdeham sekali. "Ayo pulang."

Elina segera beranjak, sedangkan Andre tersenyum diam-diam. Sejujurnya, reaksi tersebut lebih kuat disebabkan karena gadis itu masih sempat-sempatnya mengambil yoghurt yang sejak tadi nangkring cantik di atas meja.

"Aku tau itu kesukaanmu." Andre berbisik sambil ikut beranjak.

"Hah?"

"Oh, nggak apa-apa. Yuk, pulang." Andre mengajak, lagi-lagi menunjukkan senyuman malaikatnya meski Elina tidak memperhatikan karena sibuk membuka bungkusan yoghurt pemberian cowok itu.

"Thanks, ya, Andre. Setidaknya, yogurt ini bisa mengademkan mood yang nggak enak. Modelan squeeze juga, sih, jadi rasanya kayak makan es krim."

"Sama-sama, Elina. Kamu pengen ke mana, nggak? Mumpung aku udah selesai bimbingan. Mau ke lokasi yang agak jauh juga boleh. Aku bawa mobil."

"Hng... nggak usah, Ndre. Aku nggak kepikiran mau ke mana. Kalo kamu? Aku temenin aja."

"Serius?" Andre bertanya takjub. Tidak menyangka saja jika Elina berinisiatif untuk menawarkan diri.

"Iya. Aku lagi bosen juga."

"Kalo gitu, mau kunjungi proyek di Cengkareng, nggak? Kebetulan kepala insinyurnya baru hubungi. Katanya, ada beberapa mahasiswa yang minta izin buat tugas pratikumnya. Gue cuma disuruh hadir buat crosscheck aja, sih, karena katanya pada nggak enak kalo nggak ada pengesahan dari legislatifnya—–hm, berasa kayak pengesahan Undang-undang aja, ya?"

"Nggak apa-apa, daripada nanti Tante Brenda yang ke sana? Hayo, ribetan yang mana?"

"Iya, sih." Andre menunjukkan senyum andalannya lagi yang memaksimalkan visualnya. "Kamu tau, ya, tentang ini?"

"Iya, dong. Kamu paham keluargaku luar dalem, tentu berlaku juga buat aku yang paham keluarga kamu meski ke kamu-nya aja yang nggak akrab. Kita jarang interaksi, soalnya."

"Hehe... bener, Elina, tapi intensitas interaksi kita mulai ada perkembangan. Ya, 'kan?"

"Hmm... bener juga."

*****

Krisna bisa saja berhasil duduk di depan, tetapi dia tidak tahu saja jika Meira sudah memperhitungkan segalanya.

Dari semua mata kuliah yang pernah dipelajari, gadis itu suka sekali dengan semua hal yang berbau pratikum. Itulah sebabnya mengapa ketika dia sudah menjejaki semester empat yang mana pembelajarannya mulai didominasi oleh praktek, Meira begitu excited.

Hari ini adalah mata kuliah Ilmu Ukur Tanah. Dari nama mata kuliahnya saja, para pelajar prodi Teknik Sipil jelas akan belajar bagaimana mengukur beda tinggi tanah dan memetakan lahan. Meira langsung bersorak saat mendapat informasi dari kakak tingkatnya bahwa dulunya mahasiswa langsung diatur sekelompok yang beranggotakan sepasang sebagai syarat untuk melaksanakan pratikum.

Maka, gadis itu sudah bertekad penuh agar bisa duduk di sebelah Krisna dengan harapan untuk menuntaskan persyaratan pratikum Ilmu Ukur Tanah. Meski awalnya sempat gagal karena cowok itu pindah lokasi tempat duduk gara-gara hilang feeling dengan Meira, tetap saja gadis itu mempunyai ide lain agar bisa sekelompok dengannya.

"Seumpama banyak jalan menuju Roma, gue juga punya sejuta jalan untuk berteman sama lo, Krisna." Meira berbisik selagi memperhatikan punggung Krisna yang menjauh.

Tepat pada saat itu, dosen memang sudah memasuki kelas dan Meira tidak bisa pindah ke depan, tetapi akal bulusnya segera aktif ketika mahasiswa disuruh mengumpulkan nama kelompok ke salah satu mahasiswa lain yang ditunjuk secara khusus.

"Kebetulan banget, sih, lo duduk di sebelah gue." Meira cengengesan, ekspresinya terlalu girang yang sempat membuat beberapa mahasiswa menatapnya dalam durasi yang lebih lama dari biasanya.

Tentu, mengingat branding-nya sebagai cewek jutek sudah mendarah daging. Melihat ekspresinya seperti itu tentu memberi kesan asing sekaligus tidak biasa.

Meira sudah menduga bagaimana reaksi Krisna, tetapi berlagak tuli saat mendengar cowok itu berteriak tidak terima dan melotot ke arahnya sejurus kemudian.

"APA? KENAPA GUE SEKELOMPOK SAMA DIA?" Krisna ngamuk, tetapi mendapat sorotan penuh celaan dari mayoritas mahasiswa. Selain merasa terganggu, tidak sopan juga jika cowok itu berteriak di hadapan dosen yang masih mengajar di depan.

"Tukerin gue sama mahasiswa lain, dong. Plisss—–oh, ya. Edo, lo pengen sekelompok sama cewek bawel ini, 'kan? Gue bersedia jiwa dan raga plus lelah hayati buat tukeran nama sama lo." Krisna menatap penuh harap pada Edo, yang posisi duduknya di belakang.

"Ogah." Meira mendengar Edo merespons. "Nggak, ah. Alamat nggak lulus mata kuliah ini nanti. Meira cocoknya jadi gebetan yang cintanya dikejar, bukan partner akademik."

"Lah, apalagi gue? Kejar dia aja gue kagak mau—–"

"Sudah? Ahmad, kumpulkan ke saya kalo semua absensi sudah lengkap." Dosen di depan seolah memvonis hukuman mati pada Krisna karena dia segera menunjukkan ekspresi seperti terkena mental breakdown.

"Nasib lo adalah jadi temen gue, Krisna. Terima aja, deh." Meira berbisik, kemudian tertawa di dalam hati.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top