24). Distraction
Fill me up with your red heart. -K.M.
*****
"Neng, kunaon? Naha ngalamun (kenapa? Kok melamun?)?" Sebuah suara yang kentara akan dialek Sunda berhasil menyentak Meira kembali ke dunia nyata. Jika ditilik dari ekspresinya, ternyata dia juga baru sadar telah mengabaikan ayahnya.
"Eh, Abah." Meira salah tingkah sebelum buru-buru mengucapkan maaf. "Puntennya."
"Teu kunanaon. Saurna teh pami anak gadis sok ngalamun eta teh tandana nuju jatuh cinta (Nggak apa-apa. Katanya teh kalau anak gadis suka melamun itu tandanya lagi jatuh cinta)." Agus, sang ayah, menatap dengan kasih yang terwakilkan jelas dari binar matanya.
"Ih, Abah. Nggak gitu." Meira spontan bereaksi impulsif. "Mungkin karena lagi adem di sini, jadi keenakan nyantai."
Soal ini, Meira memang tidak berbohong. Tadinya sepulang kuliah, dia melihat Agus sedang membaca buku di taman dekat kompleks perumahan. Niatnya sebatas menemani, tetapi siapa sangka, dia jadi keenakan bereksplorasi dalam pikiran sehingga tidak sadar saat abahnya memanggil.
"Teu disangkanya. Anak Abah teh udah dewasa. Tos waktuna ngaraos jatuh cinta ka lawan jenis (Nggak nyangka, ya. Anak Abah udah dewasa. Udah saatnya melabuhkan hati ke seseorang)." Agus lantas menutup buku, tak lagi tertarik dengan isinya. Tubuhnya dimiringkan sedemikian rupa supaya bisa berhadapan dengan sang anak gadis. "Lagian anak abah teh geulis pisan kieu. Saha nu bakalan nolak (Lagian anak Abah cantik begini. Siapa yang bakal nolak)?"
"Yang demen sama Eneng memang banyak, tapi belum tentu cocok di hati." Meira tersenyum lebar hingga sepaket dengan matanya yang melengkung indah. "Eh, tapi kalo soal nolak... ada, kok, yang nggak kepincut sama Eneng."
"Oh, iya? Saha (Siapa)?"
Meira kemudian menceritakan siapa tepatnya dia. Dia yang memberi kesan berlebihan di awal gegara pendramaan sebelum berlanjut ke permasalahan yang lebih kompleks hingga menarik perhatian Meira seutuhnya. Dia yang ternyata selama kurang lebih dua tahun sejurusan dengannya, tetapi baru disadarinya. Dia juga yang ternyata berhasil membuat Meira berpikir bahwa tidak semua cowok mutlak tertarik padanya.
Gadis itu bukannya kepedean. Faktanya jika dianalogikan, Meira seumpama satu-satunya ikan koi yang diincar oleh banyak orang. Tidak ada yang tidak terpukau dengan keindahannya. Seakan dipengaruhi kekuatan magis serupa magnet berjalan, selalu saja ada yang mengekor Meira ke mana pun dia pergi.
Namun, Krisna berbeda. Untuk pertama kalinya, ada yang berani melawan argumennya dan meladeni debatan mautnya. Kemudian, tak cukup sampai di sana karena untuk pertama kalinya cowok itu berhasil menemukan kesalahannya dan memaksanya untuk 'tunduk'.
Meira tahu ada yang berbeda dari dirinya, yang mana tidak akan sama dengan pribadinya yang dulu. Katanya, pendewasaan diri bisa ditemukan seiring berjalannya waktu sekaligus bertemu dengan orang yang tepat.
Lantas, apakah Krisna Pramudya yang berhasil memenuhi ketentuan itu?
"Abah tau, kan, karakter Eneng? Eneng itu keras kepala trus sekalinya ngajak debat, nggak mau ngalah. Makanya, Eneng nggak pernah punya temen awet selain Cecil. Cuman Cecil yang sabar sama Eneng."
"Iya. Abah teh apal sipat anjeun. Anjeun teh sami sipatna jeung emak, sami-sami teu pernah ngalahan lamun teu acan diberenin. Tapi teh, gitu-gitu oge masih saimbang jeung sipat abah (Abah tau sifatmu. Kamu itu persis Emak yang nggak pernah mau ngalah sebelum dibenerin. Tapi gitu-gitu, bisa juga diimbangi sama karakternya Abah).
Jadi... Krisna teh anu nyiuen maneh ngalamunin salama babaraha menit? Ari Abah teu manggil mah, maneh teh bakalan kapikiran anjeunna nepi ka ?magrib, atuh (Krisna ini yang bikin kamu lamunin selama beberapa menit tadi? Kalo Abah nggak manggil, mungkin kamu bakal mikirin dia sampai magrib)." Agus melanjutkan, lantas tertawa kebapakan saat mendapati anak gadisnya mendelik dan bertindak impulsif lagi.
"Astaghfirullah, Abah! Nggak gitu!" Meira menyangkal, tetapi gerak-gerik tubuhnya mulai gelisah. Matanya juga berseliweran ke sana kemari demi menghindari tatapan Agus. "Bisa aja Eneng sesenang itu karena dapetin temen yang mungkin awetnya kayak Cecil."
"Apa pun itu, Abah nungguan kabar alusna weh. Sababaraha waktos, ajak kadie buat nemuin Abah (Abah tunggu kabar baiknya, ya. Kapan-kapan ajak ke sini buat nemuin Abah)."
"Ck, masi lama kali, Bah."
"Jadi, hartina aya kamungkinan atuh (berarti ada kemungkinan, dong)?"
"Ish, Abah!" Meira menggeram kesal. Dia bisa saja selalu menang jika beradu mulut dengan teman sepantarannya, tetapi tidak untuk sang abah tercinta. "Krisna udah punya tambatan hati, cuma sayang beda agama sama cewek itu. Udah gitu, ternyata beda suku juga."
"Gusti Allah teh moal ngasih ujian ngaleuwihan pangabisa umatna, tapi sakapeung Allah teh mempertemukan jalmi supados urang tiasa jadi dewasa. Meureun tina ujian-ujian eta teh, urang jadina leuwih ngarti anu dijadikeun palajaran ti Gusti Allah. Da Allah mah Maha Pangasih, moal ngabiarin urang teu tentu arah. Allah Maha Penyayang, moal ngalantarkeun umatna. Percanten, Gusti Allah pasti ngarahan urang nepi ka jalan anu bener (Allah tidak akan ngasih rintangan yang melampaui kemampuan umat-Nya, tapi kadangkala, Allah mempertemukan seseorang agar kita bisa mendewasakan diri. Mungkin dari cobaan-cobaan yang ada, kita bisa lebih mengerti pembelajaran apa yang disampaikan Allah. Allah Maha Pengasih, tidak akan membiarkan kita tak terarah. Allah Maha Penyayang, tidak akan menelantarkan umat-Nya. Dengan percaya, niscaya Allah akan mengarahkan kita ke jalan yang benar).
Lewat Eneng, misalnya." Agus menambahkan di saat-saat terakhir selagi memperhatikan si anak gadis dengan tatapan teduh yang seolah-olah tak ada habisnya.
Meira menghadiahi sang ayah dengan senyuman yang tak kalah teduhnya. Meskipun demikian, baru kali ini dia merasa ada yang aneh karena untuk seketika serasa ada yang bergemuruh di dalam dadanya terutama saat mendengar kalimat terakhir itu.
Lantas, Meira diingatkan kembali ke kenangan beberapa jam lalu di kampus, tepatnya saat berhadapan dengan Krisna.
"Gue minta maaf, Krisna Pramudya."
Jeda berlangsung cukup lama di antara keduanya. Susana menjadi canggung karena perubahan karakter Meira yang mendadak hingga Krisna akhirnya merespons, "O-oke, gue maafin."
"Udah, 'kan? Nah, sekarang gantian. Lo juga harus minta maaf sama gue."
"Hah?"
"Wrong acts should not be tolerated."
Terdengar jeda yang kedua kali. Lagi-lagi seolah dejavu dan tak ada habisnya, Krisna dibuat terbengong oleh aksi Meira.
"Alright. I'm sorry." Krisna mengucap maaf pada akhirnya.
Lantas tanpa aba-aba, cowok itu beranjak dari duduknya dan bersiap untuk keluar dari area bangku bagian tengah. Namun, langkahnya berhenti karena dicegah oleh Meira. "Lo mau ke mana?"
"Pindahlah." Krisna berujar sambil memakai tas punggungnya. "Lo nggak mau pindah, jadi biar gue aja."
"Ck. Nggak asik, deh. Lo pasti dikekang sama pacar lo, 'kan? Kasih tau dia kalo gue murni nyari temen, bukannya--"
Kata-kata Meira terpotong begitu saja karena Krisna sudah meneruskan perjalanannya ke barisan depan, benar-benar mengabaikan gadis itu seolah dia adalah bagian dari bangku.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top