21). Solution

Burning blazingly like fireworks. -K.P.

*****

"Maksud gue bukan gitu--"

"Trus kita meresmikan hubungan ini untuk apa, Krisna Pramudya? Untuk bersenang-senang, iya? Oh, ya... gue hampir lupa. Hubungan kita, kan, cuman berlandaskan friends with benefit alias simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan! Kenapa nggak sekalian aja iyain hubungan yang lebih dari--"

"Stop, Elina! Kenapa kita malah bertengkar?"

"Kayaknya status kita lebih cocok FWB-an, deh." Elina menunjukkan tawa, tetapi Krisna tahu itu adalah jenis tawa yang sarkastik.

"Gue punya perasaan yang lebih sama lo, Elina! Masa lo nggak--"

"Saran gue," potong Elina dingin, sepaket dengan tatapan yang mengintimidasi. "Kayaknya lo perlu pertimbangkan lagi perasaan itu. Gue yakin itu bukan cinta."

"Elina." Krisna berhenti sampai di sana. Entahlah, lidahnya tiba-tiba kelu. Rasanya seperti mempunyai miliaran kata yang mumet di dalam otak, tetapi tidak tahu bagaimana mengungkapkannya.

"Katanya, definisi menderita karena cinta itu banyak, tapi gue nemu dua kasus nyata. Ada yang memilih tidak mengekang dan bersikap gentle dengan merelakan si dia mengambil keputusan. Sebaliknya, ada pula yang memaksakan perasaan dengan berteguh pada prinsip bahwa perjuanganlah yang akan menang...."

Elina memberi jeda dengan membuang atensinya ke luar, di mana dia bisa melihat penampakan langit yang mulai menggelap karena waktu sudah bergerak menuju malam. Dalam waktu beberapa detik, jejak senja sudah hilang dan digantikan oleh hamparan bintang-bintang.

Lantas entah kenapa, Elina mendadak mengerti sesuatu hal dan berekspresi seolah mendapatkan ilham.

"Sekarang gue mau nanya sama lo, Kris. Apakah sesuatu yang dipaksakan bisa berakhir baik?"

"Elina."

"Bukan itu jawaban yang gue inginkan. Krisna, gue mau denger jawaban yang serealistis mungkin; tanpa embel-embel baper dan anggaplah ini pertanyaan yang nggak ada kaitannya sama hubungan kita."

"Gimana dengan alur cerita klise yang selalu laris dan jadi santapan pasar? Kisah romansa yang bertepuk sebelah tangan, tapi banyak yang berhasil pada akhirnya."

"Namanya juga drama, Krisna!" Elina langsung geregetan hebat.

"Tapi itu bukannya nggak nyata, Elina!" balas Krisna.

"Tapi proses kita udah lama, Krisna. Faktanya di awal-awal gue udah mewanti-wanti saat tau lo punya perasaan lebih sama gue. Gue udah ngasih batasan dengan memperingatkan sebesar apa gap kita; mulai dari beda agama, beda suku, bahkan beda impian. Realistis aja, Krisna. Kalopun mau berjuang, cinta kita belum matang! Kita belum sedewasa itu.

Seumpama langit malam di luar." Elina melanjutkan, sengaja berujar cepat agar bisa mendahului Krisna. "Kita nggak bisa menunda kapan malam itu tiba, yang mana menggantikan situasi siang hari. Sama berlakunya dengan senja dan gerhana, Krisna. Lo nggak bisa memaksakan untuk memperpanjang masa waktu, termasuk apa pun di langit yang berdurasi singkat. Yang benar bukannya berfokus pada masa singkat dan menyayangkan mengapa terlalu cepat berlalu, tetapi lebih kepada cara kita menerimanya. Berfokuslah pada penampakan alam lain yang mungkin bakal lebih indah dari yang lo bayangkan. Pantulan bulan yang bervariasi di tiap malamnya juga mempunyai keindahan tersendiri, Krisna."

Krisna tadinya mau protes, tetapi setelah mendengar penuturan Elina berikutnya, ternyata berhasil memberikan semacam perspektif yang berbeda. Kata-kata Elina ada benarnya dan meski cowok itu merasa tidak rela, lagi-lagi lidahnya berasa kelu untuk mengungkapkan isi hatinya.

Apakah ini berarti Krisna juga menyetujui asumsi Elina secara tidak langsung? Entahlah, tetapi yang jelas, dia kaget sendiri saat mendapati emosinya tidak sebrutal awal-awal, tepatnya pada momen mendengar keputusan sepihak untuk tidak melanjutkan hubungan FWB tersebut.

Jika begitu... apakah benar situasi yang Krisna alami seperti yang dikatakan Elina barusan, bahwa itu bukanlah cinta? Atau apakah persis seperti kata-kata Meira tentang kenyamanannya yang mengacu pada hubungan toxic?

Sepertinya Krisna butuh penasihat atau setidaknya seseorang yang bisa meyakinkan bahwa kata-kata Elina benar adanya meski Krisna sejujurnya masih belum rela.

"Jadi, keputusan lo gimana?" tanya Krisna sembari berusaha agar suaranya terdengar netral. Walau bagaimanapun, seperti yang dia rasakan sebelumnya, cowok itu masih tidak rela.

Apalagi membayangkan Elina benar-benar menerima perjodohan itu.

"Gimana apanya?" Elina malah bertanya balik.

"Tadi lo bilang, 'berfokuslah pada penampakan alam lain yang mungkin bakal lebih indah dari yang lo bayangkan'. Apa kutipan itu berlaku buat lo juga?"

"Gue nggak tau." Elina menjawab jujur dan dia memang tidak tahu apa yang mesti dia lakukan selanjutnya.

"Jujur sama gue. Lo suka sama Andre? Karena dari yang gue denger, kayaknya lo udah lama ngenal dia berhubung sering interaksi sama keluarga lo."

"Iya," jawab Elina, lantas menjawab buru-buru, "Gue bilang iya untuk menjawab soal Andre udah ngenal lama sama keluarga gue."

"Trus soal perasaan?"

"Nggak tau." Elina menjawab, tetapi bertindak impulsif saat mendengar Krisna menghardiknya.

"Bukannya jawab 'nggak', tapi 'nggak tau'? Elinaaa! Yang benar aja?" Krisna menyugar surai dengan sekali sapuan diiringi tenaga yang berlebihan hingga rambutnya berantakan.

Lokasi parkiran mulai sepi, tetapi sepertinya tidak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda 'ngeh' akan situasi tersebut. Untungnya, lampu-lampu sudah dinyalakan terlebih dahulu oleh staf kampus yang sedang bertugas.

"Gue jawab nggak tau ya karena memang nggak tau!" Elina berdalih, berusaha terlihat santai, tetapi rahangnya menegang. Kentara sekali perasaannya sedang gundah karena ragu. "Tapi posisi lo jelas lebih tinggi dari dia karena hanya lo satu-satunya yang menampung curhatan gue selama ini. Sementara Andre...."

"Andre kenapa?"

"Andre jarang banget interaksi sama gue, tapi sekalinya ngobrol sama dia... entahlah, dia dewasa banget. Dia berhasil membuang persepsi gue tentang usia matang yang condongnya otoriter dan sok benar. Andre... dia nggak gitu."

"Oke, jelas beda sama gue, yekan? Gue kayak anak kecil."

"Stop being childish, Krisna!"

"Tuh, kan. Baru aja bilangin gue!"

"Ck. Maap. Intinya, gue udah jujur. Apa adanya dan lo pasti tau gue nggak lagi bohong karena lo lebih dari tau kalo lagi meledak-ledak, gue nggak bisa bohong. Yang ada malah makin frontal."

"Bener dan lo nyakitin gue."

"Krisna!"

"Kayaknya memang nggak ada harapan lagi, Elina." Nada bicara Krisna melemah dan terdengar kecewa, terwakili dari sepasang netranya yang sarat akan luka. Jujur saja di antara kebimbangan tadi, dia masih sempat berharap agar hubungan keduanya tidak dilanjutkan atas dasar ketidakmampuan untuk dipaksa, bukannya ragu karena Andre.

Kenapa rasanya sakit banget? Berasa kayak dikhianati, tapi gue nggak bisa menyalahkan siapa-siapa. Bahkan Andre karena tanpa berusaha, rupanya berhasil membuat seorang Elina Fredella bimbang.

"Udah malam, kita pulang aja, ya."

"Krisna...." Elina jadi serba salah.

"Gue anter lo pulang." Tanpa berniat melanjutkan pembicaraan, Krisna menyerahkan helm cadangan dari bagasi motornya.

Elina hanya bisa mengembuskan napas panjang. Jujur, melihat Krisna begini juga sama sekali bukan kehendaknya.

Andaikan bisa, dia tidak ingin Krisna patah hati dan sejujurnya... ini juga berlaku buat dirinya sendiri.

Karena akan tiba saatnya gadis itu berada di posisi Krisna, melihatnya bersama gadis lain. Cepat atau lambat.

Pertanyaannya; apa dia juga sanggup?

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top