20). Too Many Obstacles (2)

This burning feeling. -K.P.

*****

"Bucin rasa toxic itu berbahaya, loh. Lo nggak pernah denger kasus bunuh diri saking hopeless-nya sama takdir cinta, ya? Sama seperti anak kecil yang dipaksa berhenti bermain boneka ketika sudah remaja, nggak semua kenyamanan bisa dilepas dengan cara baik-baik pula. Cinta karena terbiasa biasanya identik dengan ketergantungan yang berlebihan sehingga ada saja cara yang dilakukan untuk memaksanya berada di sisi kita."

Krisna mulai terbiasa dengan karakter Meira yang bawel seperti kaset rusak, tetapi tidak menyangka saja jika kata-katanya yang mengalir bak air keran itu bisa sarat akan makna yang berbobot.

"Nggak selamanya nyaman diartikan sebagai toxic yang berbahaya." Krisna berujar, mendadak merasa tersindir karena begitu relate dengan pengalaman hidupnya. "Itu udah tabiat manusia yang sejak dulu. Gue merasa nyaman, yaaa... gue memilih stay. Nggak usah jauh-jauh, deh. Sama seperti lo yang memilih menghindar waktu Edo ngobrol. Lo ngerasa nggak nyaman trus pindah, 'kan?"

"Oke, fix. Jadi, kesimpulannya... gue bakal jatuh cinta sama lo, dong?"

"Bukan itu maksud gue!" Krisna auto ngegas, membuat Meira tergelak.

"Ternyata seseru ini, ya, memutarbalikkan kata-kata Krisna Pramudya. Lo lebih menarik dari yang gue duga. Nggak salah waktu itu...."

"Apa?"

"Nggak. Abaikan saja."

"Ngomong kok nanggung."

"Ciri khas gue; ngomong setengah-setengah. Cecil juga bilang gitu."

"Oke, nggak minat juga."

"Hari ini nggak minat, besok bakal minat. Kayak pepatah 'hari ini amit-amit, besok amin-amin'."

Krisna memilih memusatkan perhatian pada jarum detik yang bergerak di dinding. Sepertinya, Meira sudah diatur untuk terus merespons sampai lawan bicaranya berhenti duluan.

Heran. Ada, ya, cewek sebawel dia.

*****

"Elina!" Terdengar teriakan familier dari belakang. Tanpa menoleh pun, Elina sudah tahu siapa empunya suara yang berjenis tenor itu.

Sudah pasti Krisna, tetapi untuk pertama kalinya kehadiran dia mengundang banyak tanya dari siapa pun yang melihat. Tentu. Selain jarang eksis di gedung fakultas Ekonomi yang mana letaknya sangat jauh dari fakultas Teknik, dia juga jarang terlihat se-easy going itu di antara khalayak ramai. Gelagatnya lebih cocok disebut sebagai mahasiswa teladan yang tahunya pulang-pergi hanya untuk urusan kuliah.

Meskipun demikian, ada sejumlah mahasiswa yang Krisna kenal. Tidak heran, mengingat banyak di antara teman SMA-nya memilih jurusan Ekonomi, termasuk 'mantan teman bangku barisan belakang' sesuai julukan Virga. Mereka spontan mengajaknya berbasa-basi, tetapi sayangnya, dia sudah menunjukkan gerak-gerik untuk tidak mau berlama-lama dan berdalih jika dia perlu membawa Elina ke suatu tempat.

Niatnya memang demikian. Lagi pula, Elina sudah menjadi pacarnya. Jadi, tidak ada yang bisa melarang, termasuk Andre meski Krisna tidak melihat batang hidungnya di sini. Bisa jadi, cowok itu masih sibuk dengan keperluannya di kampus.

Hari sudah mulai sore, terlihat dari penampakan langit yang meredup dan siluet keemasan menjadi pertanda bahwa senja yang akan mengambil alih. Krisna berinisiatif untuk menggenggam tangan Elina yang untungnya tidak bertindak impulsif sebagai spontanitas. Sebagai gantinya, gadis itu menatap Krisna dengan sebelah alis terangkat, tetapi tetap memilih bungkam.

"Kita mau ke mana?" tanya Krisna.

Elina balik bertanya, "Lo ke sini pake apa?"

"Selama rutinitas jemput-menjemput, gue terbiasa pake busway. Trus setelah tau lo pindah, gue pake motor. Lo nggak keberatan naik motor, 'kan?"

"Gue mesti ikat rambut dulu biar nggak jadi gadis singa pas turun," kelakar Elina sembari membuka tas selempangnya dan merogoh barang yang dia cari. Beruntung isinya tidak banyak, jadi dia sudah menemukannya sejurus kemudian. Ternyata letaknya di satu bagian kantong tas bersama gincu kesayangan.

"Gue yang iketin aja," tawar Krisna.

"Ah, nggak usah. Gue bisa sendiri, kok."

Elina beringsut menghindar, tetapi Krisna bersikukuh sehingga dengan sekali tarikan, karet gelang itu berhasil dipindahtangankan. Gadis itu akhirnya menyerah dan membiarkan cowok itu melakukan apa yang dia inginkan.

"Elina."

"Ya?"

"Thanks, ya."

"Buat?" Intonasi nada Elina meninggi bukan karena sensitif, melainkan terlampau bingung dengan perubahan Krisna yang begitu tiba-tiba. Kesannya jadi kontras di antara karakternya yang terkesan childish dan suka ngegas.

"Berterima kasih karena lo bersedia untuk meresmikan hubungan ini, berterima kasih karena udah ngasih gue kesempatan, dan berterima kasih karena lo percaya. Gue tau keputusan ini nggak gampang karena... karena, yaaa... faktanya dari segi materi dan abilitas, gue kalah dari Andre. Dia juga lebih tua dari gue yang anggapannya lebih dewasa."

Krisna sudah selesai mengikat rambut Elina yang jatuhnya jadi persis dengan ekor kuda. Lantas, gadis itu berbalik dan tatapannya kini berhadapan dengan sepasang netra yang seolah membor retinanya.

Jujur saja, jantung Elina sering dibuat dugun-dugun gegara tatapan itu. Bagaimana tidak? Munafik jika bilang tidak pernah. Hanya saja, dia belum sepercaya diri itu untuk menyimpulkan jika reaksi tersebut disebabkan karena jatuh cinta.

Hingga kini, rasa itu masih saja belum menemukan jawabannya. Lantas, apakah dia perlu menegaskannya sekarang?

"Krisna. Gue boleh nanya, nggak?"

"Boleh." Tatapan Krisna jadi melembut, benar-benar menciri-khaskan seorang pacar idaman. Dia bahkan mengisi ruang di antara jemari Elina dengan jemarinya sendiri, mengaitkan kedua tangan mereka dengan hangat. "Mau sekalian ke mana, nggak, biar nyaman ngomongnya."

"Nggak apa-apa, sambilan aja nanyanya." Elina berjalan duluan. Tangannya otomatis menarik Krisna untuk ikut bersama, berhasil menarik senyuman lebarnya khas orang kasmaran.

"Oke, nanya apa?" Krisna bertanya selagi langkah mereka hampir sampai ke parkiran.

"Lo... keberatan, nggak, kalo misalnya ketemu Papi—–bokap gue maksudnya. Bersedia, nggak?

"Emangnya beliau bersedia ketemu sama gue?"

"Bisa iya, bisa juga tidak. Gue cuma berjaga-jaga aja, tapi gue yakin masa itu bakal tiba."

"Nggak mungkin disuruh nikah, 'kan?"

"Papi nggak mungkin kasih restu." Ekspresi Elina spontan berubah dalam sekejap dan rupanya, ini juga berlaku buat Krisna.

"Trus buat apa juga bokap lo ketemu gue? Oh, mau pamerin calon mantunya kali, ya? Atau bakal dikasih cek kosong kayak di drama-drama?" Krisna tiba-tiba emosi. Entah kenapa, dia merasa harga dirinya tertampar mental.

"Reaksi lo kenapa gitu, Kris? Kenapa malah menghina keluarga gue?"

"Sori, gue cuman... merasa kayak... gimana, ya? Belum apa-apa, tapi udah tertampar sama kenyataan. Gue—–"

"Bukannya lo udah tau? Lo bahkan udah tau jauh sebelumnya. Lo kira curhatan gue selama ini, apa? Ngigau, gitu?" Elina memotong tak kalah galaknya hingga memancing perhatian. Untungnya, jumlah mahasiswa tidak sebanyak di luar. Bisa dibilang, mereka berada di sekitar sana untuk keperluan pulang atau tiba semata.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top