2). The Obstacles

You flip my mind upside down
Proudly, you ruin it completely. -K.P.

*****

Semua pasti setuju kalau pesona Elina Fredella tidak bisa dianggap remeh. Lagi pula, fakta dia kuliah di UPH saja sudah mendefinisikan bagaimana latar belakang keluarganya yang borjuis, yang lantas melengkapi segalanya.

Namun, tetap saja, tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa cobaan yang dia hadapi. Ya, iyalah. Namanya juga tidak ada manusia yang sempurna. Selain gengsi dan sok kuat, Elina juga sudah terbiasa mandiri. Atau lebih tepatnya, gegara kekurangan itulah, dia bisa menjadi cewek yang sekuat batu karang.

Makanya untuk masalah cinta, secara tak terduga, Elina bisa menghadapinya dengan lebih bijak daripada Krisna.

Namun sayangnya, cowok itu kepalang baper padahal hubungan mereka tidak pernah resmi; tidak ada acara tembak-tembakan atau ngaku-ngaku jadi pacar di depan orang lain, bahkan tidak ada acara 'lo milik gue, jadi nggak boleh ketemu sama dia'.

Ya, sebebas itu. Makanya, Elina santai saja setiap dekat dengan Krisna dan tidak pernah bersikap jaim seperti layaknya pendekatan sesama gebetan. Malah saking nyamannya, hubungan mereka masuk kategori friends with benefit.

Eits, bukan FWB versi dark romance yang biasa dilakukan di negara liberal-bukan, bukan seperti itu. Kontak fisik ternekat yang pernah dilakukan keduanya paling-paling sebatas pelukan yang sarat akan hiburan yang tulus, yang mana dilakukan setiap Elina mencurahkan isi hatinya.

Elina masih ingat di masa dia dan Krisna bertransisi, dari yang awalnya adu debat random hingga akur. Waktu itu, keduanya berada di tahun terakhir SMA. Alasan pertengkaran mereka tak lain tak bukan adalah Ferdian Michiavelly, gebetannya Elina sekaligus saingannya Krisna. Maka tidak heran, pertengkaran mereka sulit dihindari karena gadis itu senang membela Ferdian, sedangkan Krisna tidak terima. Begitu terus hingga insiden susulan yang mengatur keduanya duduk bersama.

"Lo duduk sama gue!" perintah Krisna waktu itu pada Elina, saat kelas dalam situasi geger gara-gara Ferdian protes pada posisi tempat duduk di hari pertama dia jadian sama Luna--sepupu Elina.

"Kenapa gue harus duduk sama lo?" Netra Elina membeliak.

"Emang lo mau tetap duduk sama Ferdian? Nggak, 'kan? Dan juga di antara gue sama Yoga, lebih dekat gue-lah sama lo walau kita sering debat absurd! Tambahan lainnya juga, gantengan gue ke mana-mana!"

"Idih! Pede banget!" hina Elina, tetapi dia tidak punya pilihan lain dan merasa apa yang dijabarkan Krisna cukup masuk akal.

Itulah yang menjadi awal dari kedekatan mereka dalam arti yang sebenarnya.

Apakah ini takdir? Elina tidak tahu, tetapi entah kenapa sejak saat itu, pertengkaran mereka secara berangsur mereda dengan sendirinya. Gadis itu jadi berasumsi, bisa saja kesengitan itu berkurang setelah Elina tak lagi berharap pada Ferdian atau Krisna yang tak lagi menganggap Ferdian sebagai rivalnya.

Atau... apakah gegara rasa iba karena Elina menjadi sadgirl? Bisa jadi. Ini juga yang sempat dipikirkannya sewaktu Krisna kedapatan beberapa kali menawarkan diri untuk mengantar-jemputnya ke kampus, padahal jarak antara UPH ke Trisakti begitu jauh.

Ya, Krisna kuliah di Trisakti, tetapi rela menghabiskan waktu sekitar satu setengah jam hanya untuk menghampirinya.

Elina ingin menolak, tetapi mulai menerima ketika rasa nyaman mulai menyelimutinya.

Gimana, ya. Siapa, sih, yang bisa menolak sebuah ketulusan? Jujur saja, Krisna begitu baik. Bahkan, kenyamanan itu membuat Elina menjadikan cowok itu sebagai wadahnya untuk curhat dan ternyata baru kali ini dia merasa sebahagia itu meluapkan isi hatinya.

Ternyata begini rasanya mempunyai seseorang yang perhatian meski di sisi lain, Elina juga merasa miris karena mendapatkan perhatian itu dari orang lain, alih-alih keluarganya.

Lantas, jika ditanya apakah dia pernah menganggap Krisna sebagai gebetan seperti halnya memosisikan levelnya dengan Ferdian, rasanya Elina tidak mempunyai pilihan selain membuang perasaan itu jauh-jauh.

Mengapa? Karena dia tahu, hubungannya dengan Krisna tidak akan mungkin terealisasikan. Lagi pula, katakan Elina jahat, tidak apa-apa, karena sejujurnya, dia hanya memanfaatkan situasi.

Ibarat kata sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, gadis itu melakukannya untuk menentang keluarganya.

"Ini bakal jadi dua kali lebih ribet daripada gue menentang keluarga buat masuk dunia hiburan." Elina berujar lugas. Tatapannya menyorot Krisna intens, menunjukkan seberapa serius ucapannya.

Sori, Kris. Gue baru tau ternyata sedalam itu perasaan lo ke gue.

"Gue bakal nerima perjodohan itu."

Ngelihat lo kayak gini... ck, bener dugaan gue. Sayang sekali, Krisna. Andaikan lo bisa mengusir perasaan itu, kedekatan kita mungkin masih bisa dilanjutkan.

"Trus... gue bakal dipindahin ke Kampus Trisakti." Elina melanjutkan sebelum buru-buru menambahkan, "For your information, gue dipindahin karena ada dia. Maksud gue... cowok yang dijodohin Papa."

Bisa berabe kalo dia sangka gue pindah ke Trisakti karena sengaja PHP-in dia.

"Gue nggak akan nanya siapa dia karena gue nggak mau tau." Krisna akhirnya merespons meski terdengar sinis. "Yang gue mau tau adalah... kenapa lo bisa manut gitu aja sama keluarga yang lo akui benci-sebencinya selama bertahun-tahun? Jujur, gue lebih kepo sama jawabannya ketimbang calon yang lo sebut tadi—–ahhh... kayaknya kata 'calon' terlalu bagus karena semestinya... julukan itu cocok buat gue. Ya, 'kan?"

"Udah gue bilangin bakal ribet, Krisna. Jadi, plis... gue sebenarnya nggak mau nyakitin lo lebih dalem lagi."

Keluarga udah cukup mengekang gue. Jadi, gue rasa... gue yang harus mengalah sebelum perasaan lo makin dalem lagi.

"Dengan lo clueless begini udah cukup bikin gue sakit, Elina."

Segini aja lo udah sakit—–bener, tatapan lo udah mewakili semuanya.

"Hubungan kita nggak mungkin berakhir baik, Kris. Kita sama-sama sadar kalau hubungan ini hanya berlandaskan saling membutuhkan, bukan saling cinta dalam artian—–"

"Definisi cinta adalah saling membutuhkan."

"Gue nggak mengira lo bakal baper. Tapi berhubung kita nggak pernah mengesahkan hubungan ini, jadi gue nggak merasa jahat dengan menyelesaikan secara sepihak. Bener, 'kan? So... gue duluan, ya."

Elina, keputusan lo udah bener. Sudahi saja dan hadapi kenyataan di depan mata. Mulai detik ini, jangan pernah lagi lo mengandalkan orang lain.

"Elina!"

Terutama cowok.

"ELINA!"

Seharusnya lo belajar dari pengalaman yang lain, Elina. Mulai dari Ferdian-Luna, Virga-Nara, hingga Tristan-Clara, seharusnya lo bisa belajar bahwa nggak ada satu pun pertemanan lawan jenis yang murni tidak melibatkan perasaan.

"ELINA!"

Jujur saja, lo sendiri juga punya perasaan khusus buat Krisna, 'kan? Nggak mungkin nggak ada, apalagi ketika dia terus berada di sisi lo dan memberi perhatian yang lebih kayak pacaran.

"Elina."

Suara itu membuat kepala Elina terangkat dan dia menemukan sumber suara. Ekspresinya tak terbaca, tetapi sebelah alisnya sedikit terangkat kala Andre Liam—–yang memanggilnya tadi—–menghampirinya.

Semakin lo menyangkal, semakin tertantang perasaan itu. Dan lo jujur aja, deh, Elina Fredella. Pernyataan itu juga berlaku buat Andre Liam, 'kan?

'Definisi cinta adalah saling membutuhkan'. Kata-kata lo bener, Kris. Hanya saja kesalahannya adalah; gue membagi-bagi porsi kebutuhan itu untuk keegoisan gue sendiri.

Ibarat butuh penerangan di tempat gelap, gue lebih suka menyalakan banyak lampu dengan watt kecil ketimbang satu lampu dengan watt besar.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top