19). Too Many Obstacles

You probably want me like crazy, too. -K.P.

*****

Jika membicarakan takdir, mayoritas pasti setuju jika menganalogikannya sebagai misteri, tetapi bagi Krisna Pramudya, dia lebih suka mengartikannya sebagai fantasi.

Takdir bisa dicapai lewat mimpi. Ya, begitulah yang tersirat dalam benak Krisna jika ada yang bertanya apa tanggapannya mengenai pemahaman tentang garis hidup. Menurutnya, takdir memang sudah digariskan, tetapi bukan berarti tidak bisa diubah. Dengan bermimpi, dia bisa menciptakan obsesi. Dengan bermimpi, dia juga bisa termotivasi untuk mewujudkannya. Dan dengan bermimpi, segalanya akan menjadi mungkin.

Krisna mempelajarinya dari pengalaman hidup, ketika memperhatikan bagaimana beberapa kenalan termasuk keluarga yang berhasil mencapai takdir mereka sendiri atau dengan kata lain, mewujudkannya melalui pilihan. Tidak gampang--memang, tetapi Krisna merasa hidupnya lebih berarti jika memiliki target dan lagi-lagi, dia menyamakannya dengan prestasi.

Tidak peduli sesulit apa pun bidang akademik yang dipelajari, prestasi juga bisa diraih bila mau belajar dan berlatih mengerjakan soal-soal secara konsisten.

Lantas, sama halnya dalam mempertahankan hubungan, bukan? Krisna juga sangat mempercayai ini. Sebanyak apa pun rintangannya bersama Elina; mau beda agama--kek, beda suku--kek, beda prinsip--kek, cowok itu tidak ingin lepas gegara semua itu. Dia yakin, masa depannya adalah Elina. Itulah sebabnya mengapa dia tidak terlalu terpengaruh saat mendengar diskusi Meira dengan Edo, yang seharusnya membuatnya merasa relate.

"... kayak pengungkapan; cinta ada karena terbiasa alias 'witing tresno jalaran soko kulino' dalam bahasa Jawa. Menurut lo gimana?" Krisna mendengar Edo bertanya dengan kegembiraan penuh, seolah-olah sedang memenangkan giveaway.

Beruntung kelas sedang dalam forum diskusi dan dosen yang mengajar sedang keluar usai menerima panggilan telepon.

Edo duduk di sisi kanan Meira. Lebih tepatnya, gadis itu duduk di antara Krisna dan Edo. Tadinya, Krisna mengira gadis itu akan merespons dengan frontal dan blak-blakan seperti karakternya yang terlihat di depan Krisna, tetapi ternyata, tebakannya salah besar.

"Yaaa... sesuai terjemahannya." Meira menjawab dengan nada menutup pembicaraan. Lantas siapa sangka, dia beranjak sebelum lewat di depan Krisna dan duduk di sisi lain bangku. Tanpa aba-aba dan kata permisi sebelumnya.

Krisna dibuat bengong. Kali ini dia tidak sendirian karena Edo juga menunjukkan ekspresi yang sama. Kemudian dengan tatapan polosnya, dia hanya berdalih dengan berujar, "Agak panas, jadi gue duduk dekat jendela."

Edo berekspresi sedih seolah ditolak usai menyampaikan perasaan, sedangkan Meira sama sekali tidak merasa bersalah. Alih-alih demikian, dia membalas tatapan Krisna dengan tatapan menantang.

"Gue tau dengan jelas intensinya, so... lebih baik menunjukkan penolakan di awal daripada di akhir. Lebih baik kanker stadium awal daripada kronis. Bener, 'kan?" Meira menjelaskan dengan kalem setelah mendapati Edo pindah tempat duduk saking kecewanya. Beruntung, ada teman lain yang memanggilnya dari belakang barisan sehingga kesannya tidak begitu memalukan.

Bagi Meira malah bagus karena dia tidak perlu memikirkan strategi lain untuk 'mengusir' cowok itu.

"Bagus. Kayaknya gue juga mau pindah." Krisna beraksi dan siap-siap beberes, tetapi keburu ditahan oleh Meira.

"Gue bukan bilang lo, trus kenapa ngerasa?"

"Gue, kan, cowok juga. Lagian seperti yang gue bilang tadi, gue nggak mau duduk sama lo. Nanti cewek gue cemburu--heh, ketawain apa lo?" Krisna protes saat mendengar tawa tertahan Meira. Kentara sekali dia baru saja meledek.

"Nggak. Forget it. Gue cuma mau meluruskan aja; nggak perlu pindah, tetap aja di sini."

"Lo kenapa, sih?"

"Kenapa apanya?" Meira menjawab santai sembari memainkan rambutnya di sela-sela tawa lebar yang menular hingga ke matanya yang melengkung indah. Visualnya menjadi dua kali lebih optimal lantaran mendapat shower pembiasan cahaya yang diteruskan lewat jendela.

Sayangnya, Krisna sudah kesemsem sama cewek lain. Jika tidak, bisa saja dia dibuat jatuh cinta akan kecantikannya.

Kristina Meira mempunyai visual yang merujuk pada vibes cewek idaman. Bagaimana tidak? Gaya pakaiannya yang up to date serta riasan wajah anti menor yang hampir natural seharusnya bisa dikategorikan ke karakter yang girly jika dia tidak sefrontal itu berbicara.

"Sikap lo ke gue. Pasti ada sesuatu, 'kan?"

"Tentu. Semua pertemuan tentu disertai alasan dan dengan cara yang unik. Kalo kata abah gue... prinsipnya sama juga dengan perpisahan."

"Kayaknya abah lo panutan terbaik, ya? Lo nyebut 'abah' dua kali, soalnya."

"Woya jelas, beliau abah terbaik dari orang-orang yang berjenis kelamin laki-laki."

"Okay, back to topic. As you said if there must be a reason for each beginning, so what is it?"

"Nothing special, actually."

"What?"

"Yeah, I mean... you just the way you are. Ketika semua orang mendekat karena suatu alasan, lo justru nggak ada."

"Tunggu. Ini topiknya apa, sih? Bukannya tadi lo bilang kalo selalu ada alasan untuk setiap pertemuan, trus gue nggak ada. Lah, gimana itu?"

"Makanya karena nggak ada, gue menanggapinya dengan cara lain. Gue malah seneng dengan cara lo bersikap galak bahkan menunjukkan rasa ilfil. Gue malah membutuhkan itu sebagai akses untuk menjalin pertemanan sama gue."

"Pertemanan malah pake akses segala. Kayak menguji orang aja."

"Woya jelas. Gue selalu sesenang itu menguji orang dan perlu diketahui, lo lolos. Seharusnya lo bangga."

"Gue malah nggak bangga."

"Nggak apa-apa karena bukan hikmah namanya kalo nggak dipetik di akhir. Kalo di awal namanya nikmat." Meira terkekeh, membuat Krisna lagi-lagi merasa janggal.

Entahlah, rasanya aneh saja bergaul dengan seseorang yang kesan pertamanya jauh dari kata berkesan. Alih-alih demikian, rasanya malah konyol.

"Oke, biar suasananya nggak tegang-tegang amat, gimana kalo pertanyaan Edo tadi, gue pake sebagai topik diskusi. Menurut lo gimana?"

"Kalo gue nggak mau jawab?"

"Ya, udah. Gue nggak mau klarifikasi kata-kata ambigu itu."

"Heh, enak aja!" tegur Krisna sementara Meira nyengir kuda.

"Muehehe.... Nah, ayo. Keluarin statement lo. Biar gue bisa kontra-in. Jam pulang juga masih lama."

"Ck. Gue setuju sama ungkapan bahasa Jawa itu. Cinta terjalin karena terbiasa. Menurut gue, itu udah valid. Gue bahkan sedang menjalaninya."

"Tapi... gimana kalo itu semua hanyalah rasa terbiasa yang terlalu nyaman sampai-sampai lo merasa kecanduan? Kayak obat terlarang yang sifatnya racun. Itu juga bukan sesuatu yang layak untuk dilanjutkan. Berbahaya, malah."

"Teori dari mana itu? Seenaknya aja kait-kaitkan sama obat terlarang!"

"Ck, namanya juga debat kilat."

Krisna mendelik, tetapi tidak membantah saat mengemukakan pemikirannya. "Gue yakin kisah gue nggak demikian. Gue sama Elina bener-bener saling mencintai. Lagian kecanduan bukan sesuatu yang salah dalam dunia romansa. Namanya juga bucin."

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top