16). Something Wrong
And our chemistry has started. -K.M.
*****
"Gue tunggu pertanggungjawaban lo, ya, Krisna karena seperti yang gue bilang tadi, lo adalah orang terakhir yang menyentuhnya. Menyentuh sesuatu yang berharga milik gue."
Meira bisa saja mengucapkan kata-kata itu dengan elegan dan memutar tubuh bak berjalan di atas catwalk, tetapi tidak ada yang tahu betapa malunya dia saat berbalik. Gadis itu lantas memejamkan mata dengan kekuatan penuh, seolah berharap ingatannya bisa hilang jika dia melakukan hal itu.
Malu-maluin banget, sih! Meira merutuk dalam hati, tetapi seolah-olah mempunyai dua jiwa, gadis itu mendengar suara hati lain.
Yaaa... salah sendiri nggak mau tanggung jawab! Biar rasain! HDD itu, kan, lebih penting dari hidup Meira!
Iya, ya. Isinya lebih dari banyak untuk ceritain kisah hidup gue. Mana ada kontennya cowok belagu itu lagi. Gue baru ngerjain setengah.
Saking galaunya Meira dan tenggelam dalam pikirannya sendiri, langkahnya membawa dia melewati area yang seharusnya tidak boleh dilewati.
Akan kasar jika menyebut larangan, sehingga yang lebih terpatri dalam otak sebagian mahasiswa adalah lebih baik menghindar sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Pasalnya, sudah menjadi tradisi bahwa jurusan antar teknik saling bertentangan; antara Teknik Sipil dan Teknik Arsitektur. Seumpama jurusan IPA dan IPS yang dianggap berperang dingin dan saling berunjuk gigi, begitulah situasi yang terjadi dalam lingkaran antar departemen.
Meskipun demikian, ternyata ketegangan antar jurusan teknik baru-baru ini berhasil memberikan efek jinak. Bisa dibilang, semua berpusat dari salah seorang anggota BEM yang paling bersinar dari seseangkatan lain alias hulubalangnya jika diterjemahkan dalam kamus prajurit.
Tidak ada yang bisa menyangka jika jatuh cinta bisa meredakan perang dingin di antara kedua jurusan. Jika yang awalnya tidak pernah bertegur sapa atau lebih tepatnya saling menghindar, kini berkat kegigihan anak BEM itu, segalanya menjadi lebih cair.
Hanya saja masalahnya, Meira tidak suka padanya. Dia mau berterus terang, tetapi teman-temannya selalu gencar menjodohkan mereka dan satu-satunya alasan yang berhasil membuat Meira bertahan hingga kini semata-mata karena menghormati kerukunan antar departemen yang baru saja terjalin.
Juga, sekaligus menjaga image seorang anggota BEM yang pengaruhnya cukup besar itu. Meira bisa saja tega, tetapi berhadapan dengan banyak massa yang menyalahkannya dengan dalih terlalu kejam karena tidak kunjung memberi kesempatan berhasil membuatnya lebih memilih untuk let it flow.
Yaaa, sepertinya memang valid bahwa diam adalah emas.
"Meira! Ya, ampun! Baru aja gue mikirin lo dan udah disamperin aja!" seru sebuah suara yang terlalu riang dan berciri khas hingga hati Meira mencelus seolah baru saja terjun dari gedung tinggi.
Astaghfirullah! Meira! Kenapa bisa-bisanya lo mampir ke sini?
Anjir, ye. Ini semua, tuh, gara-gara Krisna! Ngikutin dia sampai gerbang utama, gue sampai lupa jalur ini nembus ke gedung TA dulu sebelum ke TS!
Meira mendecak sebal, tetapi baru terpikirkan untuk berpura-pura tidak mendengar. Itulah sebabnya dia bermaksud pindah haluan, tetapi sayangnya aksinya terlalu kentara. Ekspresinya jelas menunjukkan bagaimana dia sudah mengetahui eksistensi Bara Kavindra.
Bara memang segaul itu. Tidak heran di mana dia berada, selalu ada minimal tiga teman di sisinya dan akan bertambah seiring berjalannya jarum jam. Benar saja, Meira bisa melihat Tristan Aditya bahkan Andre Liam yang bergabung padahal jurusan mereka tidak sinkron.
Ya, walau sama-sama mejeng dalam daftar struktur organisasi kampus, tetap saja, jangkauan pertemanan Bara begitu luas. Meira tidak akan heran jika dia menjadi salah satu public figure ke depan hari.
"MEIRA! YOK, SINI!"
Adududuh... tolong, ya, Mas Bara. Bisa nggak, sih, nggak usah norak gitu? Gue nolak lo karena lo itu malu-maluin, tau nggak, sih?
"Hmm... nggak usah. Gue masih ada kelas. Duluan, ya." Meira berujar sopan, tetapi sayangnya Bara sudah melesat dan menarik tangannya untuk ikut serta.
"Seneng, deh, diapelin sama gebetan." Bara menatap Meira dengan senyuman ganteng. Disebut demikian karena hatinya sedang berbunga-bunga dan telah teruji secara psikologis bahwa seseorang yang kasmaran pastilah akan menunjukkan ekspresi yang optimal.
Jelas, Bara memenuhi ketentuan itu.
"Lo udah makan belum?" Pertanyaan Bara segera mendapat godaan cieee dari berbagai sumber. Bahkan, gerombolan anak TS juga sudah tidak sungkan untuk nimbrung.
"Udah gue bilang kalo gue udah ada kelas, 'kan?"
"Jangan galak-galak, dong, Meira."
"Kristina aja. Meira itu panggilan buat yang udah akrab sama gue."
"Gue suka sama lo, jadi kita udah akrab." Bara merespons pede. "Dari dulu, jurusan antar Teknik selalu bikin kaku. Kalo dianalogikan sama jurusan yang di SMA, kalian itu cocok mewakili jurusan IPA soalnya pada kaku dan serius banget kalo interaksi sama orang. Beda dengan kami yang vibes-nya mirip sama anak IPS yang dinilai lebih gaul dan interaksinya lebih luas."
"Hubungannya?" Meira bertanya dengan sebelah alis terangkat dan nadanya menunjukkan ingin segera mengakhiri percakapan.
"Kalo kita pacaran, jelas bisa mematahkan kutukan bahwa jurusan antar Teknik selalu perang dingin. Gue mau menghapus rumor itu."
"Mahasiswi jurusan Teknik nggak cuma gue dan jelas bukan satu-satunya," bantah Meira, tetapi auto pusing ketika mendengar respons Bara.
"Tapi lo satu-satunya bagi gue."
Oke, sepertinya Meira terlalu baik karena terlalu lama meladeni Bara. Maka dia bergerak untuk melangkah, tetapi lagi-lagi Bara dengan lancangnya menarik tangan Meira.
"Gue kasih tau, ya." Gadis dingin itu kini memutuskan untuk berterus terang saja pada Bara. Tidak heran, berhubung suasana hatinya juga sedang buruk gegara HDD-nya yang rusak dan tidak ada oknum lain yang bisa dia kambinghitamkan. "Gue rasa setiap orang punya kemampuan yang peka terhadap feedback orang lain. Dari cara seseorang menatap, berbicara, bahkan gerak-geriknya. Gue rasa seharusnya lo bisa peka apakah orang itu tertarik sama lo atau tidak."
"Tapi ada juga, kan, yang meski membatu, tetapi bakal luluh pada akhirnya?" Bara membalas. Ekspresi tengilnya ternyata masih terukir jelas hingga ke matanya.
"Itu konsekuensi lo. Yang penting, gue nggak mau nanti kesannya kasih harapan."
"Asal jangan suka sama orang lain, Meira, karena gue bakal bersaing dengan orang itu."
"Oh, ya?" tantang Meira. "Gue nggak yakin lo bakal menang soalnya—–"
"Ternyata di sini rupanya." Sebuah suara memotong kata-kata Meira.
"Hei, Bro! Tumben lo ke sini!" Tristan menyapa dan saat itulah indra penglihatan Meira membidik sosok Krisna yang menjadi pelaku karena menyela omongannya.
Krisna mendekat dengan ekspresi kesal terhadap Meira, mengabaikan Tristan yang menyapanya. "Oke, gue perbaiki HDD lo, tapi setelah itu harap klarifikasi atas apa yang lo akui tadi! Enak aja lo sok-sok ngomong ambigu gitu di depan cewek gue!"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top