15). Right in front of You
I'm reflected in your eyes, look at me properly. -K.P.
*****
"Awas aja kalo lo nyium gue!" seru Elina ketika Krisna mendekat dan mencondongkan tubuhnya. "Nggak lucu kali mengetes perasaan seseorang dari ciuman."
"Ck. Bener, dong. Itu, kan, yang memang lagi viral di tipi-tipi." Krisna sengaja menekan dua kata terakhir sebagai wujud kekesalan karena merasa harga dirinya tercoreng.
Tadinya, dia sudah menggebu-gebu agar bisa melakukan skinship dengan Elina. Setidaknya, itulah yang dia pelajari dari Tristan yang katanya pernah membawa gebetannya ke sini.
Ingatan Krisna berubah saat mengingat cerita Tristan di indekos.
"Gue ngomong gini ke Clara." Tatapan Tristan menerawang saat menceritakan bagaimana dia memperjuangkan Clara. "Gue bilang 'akhir nggak akan benar-benar menjadi akhir sebelum orang itu menerimanya sebagai akhir'. Lo bayangin deh, Kris, lingkaran hubungan gue sama Clara dan adiknya udah tujuh tahun. Gue memang bego karena nggak bisa tegas sama perasaan gue sendiri, tapi gue sadar gue akan lebih menyesal kalo nggak memperjuangkan Clara.
Tujuh tahun mungkin udah terlalu lama, tapi gue belum berusaha dan Clara juga belum jadian sama siapa-siapa. Jadi... gue masih punya kesempatan, 'kan?" Tristan melanjutkan. Dia akhirnya menatap Krisna dan saat itu, terlihat jelas bagaimana tatapannya yang sarat akan penyesalan penuh, juga ketulusan yang tiada tara.
"Itulah sebabnya, Bro. Lo lebih dari bisa memperjuangkan cinta itu. Mungkin seperti yang Virga bilang itu benar; berjuanglah sampai titik mental penghabisan, sebelum janur kuning melengkung. Ibarat kata, bahkan rintangan sejauh Semenanjung Malaka pun bisa kalian tempuh selama ada obsesi. Ya, bagi gue, cinta itu sarat akan obsesi. Berambisi.
Hanya saja, ada sesuatu yang harus dikorbankan ketika memilih mengejar cinta sahabat sendiri." Tristan memberitahu lagi. Ekspresinya kini berubah menjadi dua kali lebih serius hingga Krisna mau tidak mau juga tertular dengan sindrom itu. "Derita friendzone di saat perasaan terungkap adalah... lo akan kehilangan dia sebagai sahabat."
"Kenapa bisa?" tanya Krisna polos.
"Jelaslah, pembuktiannya udah ada. Lo barusan mengalami itu. Hubungan kalian udah renggang pas Elina tau perasaan lo, 'kan? Itu artinya, hubungan kalian nggak bakal bisa sama dengan yang dulu lagi."
"Bagi gue itu sesuatu yang malu-maluin. I mean, kenapa tesnya harus dari ciuman? Bisa aja, kan, hanya sebatas nafsu atau terbawa suasana aja?" Pertanyaan Elina selanjutnya berhasil menarik Krisna kembali ke dunia nyata. Meski sempat terhenyak karena dipaksa fokus, dia berusaha menetralkan ekspresinya.
Gengsi, dong, kalo ketahuan konsultasi sama duo Mister Aditya.
"Kalo lagi enjoy, ya pasti terbawa suasana kali." Krisna buru-buru berujar. "Emangnya tes apa lagi biar tau keyakinannya kayak gimana?"
"Gue udah natap lo tanpa berkedip, trus bilang nggak suka sama lo. Apa lagi yang perlu lo pastiin?" Elina balik bertanya dengan ketus.
Valid, sih, yang dibilang Tristan. Hubungan dulu nggak akan bisa terulang kembali.
Maka... gue nggak ada pilihan selain ngejar dia sampai dapat, 'kan? Biarlah dia ilfil, tapi gue mau berusaha.
"Memang nggak ada..." Krisna menjawab, sengaja menggantung sebelum melanjutkan, "... selain ngasih gue kesempatan."
Lantas tanpa menunggu respons Elina, cowok itu mencondongkan tubuhnya sekali lagi untuk memperhatikan wajah Elina. Jarak di antara keduanya terlalu dekat, sehingga berpotensi membuat siapa saja salah paham, menyangka jika keduanya sedang melakukan apa yang sempat terpikirkan oleh Krisna tadi.
"L-lo ngapain?" gagap Elina, refleks memasukkan bibirnya ke dalam mulut.
Reaksinya membuat Krisna cengengesan, tetapi ekspresinya berubah dalam waktu sedetik saat mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.
"Give me that chance, Elina." Krisna meminta. "Please."
Meski nadanya sarat akan permohonan yang sangat, faktanya ekspresi itu lebih cocok dikategorikan sebagai perwujudan bahagia, seolah-olah optimis bahwa ungkapan tersebut akan diterima.
Elina mulai galau. Meski masih ingin menyangkal, tetap saja, mengapa dia merasa seperti ada sesuatu yang aneh? Rasanya seakan-akan ada yang bergerak di dalam perutnya.
Haruskah dia menjawab tidak ketika sensasi yang dia rasakan justru membuatnya excited?
"Gue...." Elina mengembuskan napas berkali-kali, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk berdalih.
"Lo mulai bimbang, Elina. Itu tandanya lo masih memikirkan perasaan gue." Krisna tersenyum lebar saat mengatakan itu. Saat itulah ada sinar yang menembus dari pepohonan, sepertinya terjadi karena bantuan angin semilir hingga cahaya tersebut berhasil diteruskan ke bagian belakang Krisna.
Kegantengannya bertambah menjadi dua kali lipat, tetapi kesannya jadi tidak terhormat saat cowok itu menyeletuk, "Lo pasti lagi mengagumi visual gue. Gimana? Ganteng, 'kan?"
"Ck."
"Heh, cepetan jawab. Punggung gue mulai pegel, nih."
Keluhan Krisna membuat Elina spontan merotasi matanya. Lantas, dia mendorong jauh bahu cowok itu dan meneruskan langkahnya untuk keluar dari jalan sempit itu.
"Yahhh.... Elinaaa!" Krisna mengeluh sebelum mengejar Elina. Tidak sulit baginya untuk menjejeri langkah, apalagi gadis itu tidak sedang buru-buru.
"Jadi, gimana? Lo oke, 'kan?"
"Oke apa?"
"Ck. Kok nanya lagi?"
"Hubungan kita. Kalo kata Ardama, 'mau dibawa ke mana hubungan kita?'"
"Armada, Krisna." Elina spontan mengoreksi.
Dan Krisna juga spontan memperbaiki. "Oh, iya. Armada Band."
Elina meneruskan perjalanan, tetapi ketika dia sampai di ujung perbatasan, langkahnya berhenti dan dia memutar tubuh untuk berfokus pada Krisna. "Gue bakal oke-in dengan satu syarat."
"Apa?" tanya Krisna tanpa menyembunyikan senyuman lebarnya lagi, tetapi terkesiap saat mendengar penuturan Elina setelahnya.
"Kalo gue ajakin putus pada akhirnya, lo harus nerima."
"Elina...."
"Lo minta dikasih kesempatan, 'kan?" tanya Elina dengan eskpresi super serius. Mata lentiknya yang tak berkedip seolah menunjukkan sebesar apa ketangguhannya. "Gue udah kasih dan gue berhak mengajukan syarat itu buat berjaga-jaga."
"Berjaga-jaga? Apa yang harus lo wanti-wanti?" Krisna bertanya kesal. "Itu bukan ngasih kesempatan, El! Itu sama aja lo ngasih harapan di atas harapan! Lo hanya menambah luka di atas luka!"
"Terserah. Kalo nggak terima, ya sudah. Gue punya alasan tersendiri, betewe."
"Alasan apa lagi?" tanya Krisna, mulai menyugar surainya dengan ekspresi tidak puas.
"Ya bisa aja, kan, pas gue minta putus... lo bakal protes kayak waktu itu? Gue butuh kekuatan untuk mempertahankan keputusan gue ketika saatnya tiba. Kita nggak tau ke depannya, kan, Kris? Kalo jodoh, tentu akan fine-fine aja. Tapi ketika gue memutuskan nggak mau lanjut, gue harap lo bisa menghargainya."
"Oke." Krisna akhirnya menjawab setelah berusaha berpikiran positif dan meredam amarahnya. "Oke. Berarti anggapannya, ini juga berlaku sama buat gue, 'kan?"
"Apanya?"
"Kalo ke depan hari gue juga minta putus secara sepihak... lo juga nggak akan protes?"
Entah mengapa saat Krisna mempertanyakan kalimat itu, Elina seperti mendapat sebuah pertanda, seperti firasat aneh di luar kemampuan halusinasinya.
Rasanya seperti mendapat bayangan ketika Krisna-lah yang pada akhirnya memutuskan untuk menyerah atas kisah cinta mereka berdua, lalu menggandeng cewek lain.
Dan lucunya... Elina malah membayangkan cewek itu adalah Kristina Meira.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top