14). Illogical Way
My heart is endlessly confused. -E.F.
*****
"Oh, ternyata hampir sama, ya, nama kalian." Terselip nada tidak suka saat Elina merespons. "Apa secara kebetulan kalian satu jurusan juga? Karena kalo iya... berasa jodoh banget nggak, sih?"
Krisna auto mangap bukan karena ketidaksopanan Elina, melainkan kata demi kata yang dia lontarkan. Memang bukan kali pertama gadis itu bersikap arogan pada gadis-gadis cantik, tetapi Krisna belum sekali pun mendengar sindiran yang bermakna dalam seperti itu.
Sejak kapan seorang Elina Fredella menyebut kata jodoh ketika nasibnya dengan Krisna saja belum jelas?
Krisna mau komplain, tetapi terhalang oleh Meira yang sepertinya sudah disetel untuk menantang.
"Wah, bener juga, ya. Kristina sama Krisna. Gue baru ngeh. Jadi kayak buah kecapi gitu nggak, sih? Asem-asem manis gimanaaa gitu."
Lagi-lagi gadis itu memberi penekanan pada namanya, membuat Krisna menuntut penjelasan lewat mata. Namun lagi-lagi juga, usaha tersebut sia-sia karena Meira masih saja mempertahankan ekspresi polos, bertingkah seolah-olah tidak ada yang salah.
Kemudian, seolah-olah diberi panggung oleh semesta untuk yang entah kesekian kalinya, gadis itu menyuarakan kalimat ambigu, melengkapi aksi sekaligus memperparah segalanya. "Gue tunggu pertanggungjawaban lo, ya, Krisna karena seperti yang gue bilang tadi, lo adalah orang terakhir yang menyentuhnya. Menyentuh sesuatu yang berharga milik gue."
Elina tentu kaget, tetapi dia tidak tahu saja jika damage-nya berefek dua kali terhadap Krisna.
Bagaimana tidak? Rasanya seperti dituduh selingkuh, padahal dia tidak melakukannya.
"Tung-tunggu--ck!" Sia-sia saja karena Meira sudah membalikkan tubuh, mengabaikan duo Krisna dan Elina tanpa sekali pun niat untuk berhenti.
"Nggak nyangka, ya, lo move on-nya dengan cara kayak gini." Elina berujar dingin sebelum Krisna sempat menelengkan kepala. "Gue bukannya melarang, sih--gue juga nggak punya hak untuk itu. Cuma... nggak nyangka aja seenteng itu. Gue jadi kayak nggak ada nilainya."
"Elina," panggil Krisna dengan seringai yang sarat akan sindiran. "Lo nggak mungkin percaya gue beneran ada something sama dia, 'kan?"
"Kata-kata gue nggak salah, 'kan?" Elina bertanya balik. "Bener, toh? Kita memang nggak ada status, jadi lo lebih dari berhak untuk meresmikan hubungan sama siapa aja."
"Bisa kita resmikan mulai detik ini juga!" Krisna spontan ngegas. Tanpa bisa dicegah, intonasi nadanya naik seoktaf. "Harus gimana lagi meyakinkan lo?"
"Gue baru tau rasanya di posisi Ferdian waktu tau Luna pindah haluan ke cowok yang benar-benar jauh dari ekspektasinya." Alih-alih merespons kata-kata Krisna, Elina malah meneruskan apa yang ada dalam pikirannya. "Tapi bedanya gue kesel karena tersaingi, bukannya cemburu."
"Itu jelas-jelas cemb--"
"Bedanya lagi, gue jadi yakin ending-nya bakal kayak gimana. Kayaknya gue mengambil keputusan yang salah semalam."
"Elina, mau lo apa sih?" Krisna mulai merasakan sakit di sisi kepala, efek dari emosi yang terlampau tinggi. "Kemaren nolak gue, sekarang malah bertingkah jadi sadgirl. Gue bener-bener nggak ngerti apa mau lo yang sebenarnya. Plis, jangan memperburuk keadaan. Lo lebih dari tau apa isi hati gue."
"Anggap aja kejadian tadi nggak ada. Gue duluan, ya."
"ELINA!"
"Apaan, sih? Nggak usah teriak-teriak!"
"Plis, gue nggak ada hubungan sama cewek itu. Gue baru ngenal hari ini!"
"Udah gue bilang, gue nggak peduli dan nggak ada hak, Krisna! Lagian kalopun gue mau kepo, emangnya semua yang dia bilang itu manipulasi?"
"Jadi, lo lebih percaya dia?" Krisna menyugar surainya asal sebagai ungkapan emosi. "Serendah itukah gue di mata lo?"
Tentu, Krisna kecewa. Meski berhasil mengeluarkan erangan tanpa perlu dilirik penuh celaan oleh mahasiswa atau dosen yang lewat, tetap saja luapan emosi itu belum cukup.
Bagaimana bisa seorang Kristina Meira bisa meluluhlantakkan kepercayaan seorang Elina Fredella padanya?
"Apa perlu gue suruh dia klarifikasi ke lo?" tanya Krisna. Kali ini ekspresinya terlihat mengerikan karena terselip kemurkaan yang bercampur dengan rasa kecewa. "Yang dia maksud itu HDD, bukan sesuatu hal yang bisa membuat lo cemburu, Elina."
"That's not the point, Krisna." Alih-alih ikut menaikkan intonasi nada, kini Elina sudah lebih kalem ketika menyuarakan kalimat itu. Atau lebih tepatnya, nada tersebut terdengar pasrah. "I've changed my mind."
"So? You're still giving up even we've been through this way? Look, Elina--"
"Stop it, Krisna, please. It's beyond me. I'm tired."
"Elina."
"Anggap aja yang tadi nggak ada. Gue minta maaf kalo kesannya kayak ngasih harapan, tapi setelah dipikir-pikir, kita memang nggak bisa."
"Tapi soal perasaan? Apa lo yakin nggak pernah suka sama gue?" Krisna menarik tangan Elina agar tidak pergi ketika gadis itu berjalan melewatinya.
Beruntung posisi Elina sedang memunggungi Krisna sehingga cowok itu tidak bisa melihat bagaimana raut wajahnya yang sebenarnya sarat akan ketidakyakinan.
Ya, sejujurnya, Elina sendiri belum bisa memastikan apakah ketergantungannya pada Krisna bisa diklasifikasikan sebagai rasa suka kepada lawan jenis atau tidak. Yang dia tahu hanyalah... dia nyaman berada di sisi Krisna.
"Gue rasa nggak." Elina akhirnya menjawab, tetapi masih bertahan pada posisinya.
"Katanya, kebohongan bisa terdeteksi dari pergerakan mata. Jadi, gue mau lo ngulang kata-kata itu sambil natap gue."
Elina mengembuskan napas panjang. Lagi-lagi, ketidakyakinan mulai menyergapnya. Gadis itu mulai bertanya-tanya dalam batin. Jika dia memang tidak ada perasaan yang romantis pada Krisna, mengapa dia begitu ragu saat mendapat perintah tadi? Mengapa untuk menatap matanya sembari mengucapkan penolakan tidak kunjung membuatnya berani?
"Oke, mungkin lo malu kalo ngomongnya di sini." Krisna lantas menarik tangan Elina, mengajaknya ke area yang lebih sempit dan sepi. Lebih tepatnya, daerah itu adalah jalur pintas yang menghubungkan antara satu departemen dengan departemen lainnya.
Lokasi itu juga yang spot pemandangan dari jendela untuk beberapa kelas. Beruntung, kelas itu sedang kosong sehingga daerah itu benar-benar sepi saat ini.
"Oke, lo bilang sekarang." Krisna memberikan titah. "Bilang; lo nggak suka sama gue. Sekali pun nggak ada selama dua tahun terakhir ini."
"Gue nggak ada perasaan sama lo, Krisna. Apa udah cukup meyakinkan?" Elina akhirnya berhasil frontal meski paru-parunya terasa sesak, seolah-olah ada yang menghujam di sana.
Mengapa dia bisa merasakan sesuatu seperti tidak rela? Seumpama boneka favorit yang direbut dari sisinya, mengapa dia merasakan perasaan serupa?
"Lo nggak bisa bohong sama gue, Elina." Mata Krisna mulai berkilat, seolah ada api yang berkobar di sana. "Lo bisa aja bilang tidak suka sama gue, tapi reaksi setelahnya? Lo jelas sedang denial."
"Nggak. Gue udah bilang gue nggak suka sama lo."
"Oke, mari kita tes kalo gitu."
"Hah?"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top