12). Unsteady
It's a lonely night where only darkness surrounds me. -K.P.
*****
"Buset! Demi apa si Meira duduk sama lo?" Sebuah tanya menghampiri Krisna sesaat setelah sesi perkuliahan berakhir, mengalahkan hiruk-pikuk sumber lain yang terdengar begitu bising; entah dari bunyi kursi yang didorong ke belakang atau obrolan yang tumpang-tindih satu sama lain.
"Hah?"
"Itu... Meira. Lah, nggak kenalan emangnya?"
"Namanya bukan Meira, kali. Btw, tumben duduk di belakang hari ini?"
"Gimana mau duduk di depan, wong direbut sama Mei-mei. Makanya, gue kepo banget. Biasanya, kan, dia duduk di belakang trus tumben-tumbenan banget duduk di sebelah lo. Demi apa, coba?"
"Gue nggak paham lo ngomong apa." Krisna berujar sebelum beranjak dengan suasana hati yang masih belum sepenuhnya membaik. Meski sempat terdistraksi oleh kesalahpahaman dan debat absurd, tetap saja segala kenangan tentang Elina muncul ke permukaan tanpa permisi.
Andai saja ada alat yang bisa memilah kenangan dan menghapusnya, Krisna pasti tidak akan melewatkannya. Gimana, ya. Lagi-lagi entah untuk yang keberapa kalinya, cowok itu mengembuskan napas panjang nan berat seolah-olah tidak percaya dengan takdir cinta yang harus dia terima.
Dulu sewaktu SMA, dia pernah menertawakan kisah cinta segi empat antara Elina, Ferdian, Luna, serta Yoga. Menurutnya, jatuh cinta pada seseorang adalah suatu pengorbanan yang sia-sia. Saat itu, Krisna membayangkan apa jadinya jika berada di posisi oknum yang bertepuk sebelah tangan alias cinta yang tak berbalas. Selain membuang waktu dan tenaga, perhatiannya tentu akan tersita. Maka, dia sudah mewanti-wanti agar tidak cepat terbawa perasaan—–dengan belajar lebih giat, misalnya, atau selalu berprinsip bahwa tidak ada satu pun cewek yang layak bersanding dengannya.
Sejujurnya, pedoman yang Krisna tanamkan berhasil. Namun, tetap saja, sehebat-hebatnya Krisna menghindar, semesta, toh, sudah mempersiapkan momennya.
Tanpa kata, tanpa izin, dan tanpa peringatan sebelumnya.
Krisna kesal, tetapi di sisi lain, dia juga sadar bahwa akan ada saatnya dia dihadapkan pada situasi ingin memiliki seperti yang pernah dia saksikan dalam salah satu FTV. Namanya juga manusia yang mempunyai perasaan, Krisna juga tak luput dari kemungkinan itu. Lagi pula, dia yakin, ini kesalahannya juga gara-gara terlalu iba dengan kesulitan yang dihadapi Elina.
Ya, bisa jadi Krisna sedang lengah atau terlalu percaya diri dengan prinsip yang tak akan dia ingkari. Siapa sangka, kedekatannya dengan Elina membuat segalanya dari biasa menjadi terbiasa, dari tak peduli menjadi peduli, dan dari dingin menjadi ingin.
Krisna baru tahu efek perhatian ternyata bisa seberbahaya ini.
Itulah sebabnya, Krisna baru-baru ini bertanya pada dirinya dan semesta; jika ending-nya dengan Elina harus berakhir, mengapa mereka dipertemukan? Mengapa Krisna harus merasakan momen menyukai gadis itu? Mengapa keduanya harus lahir dari suku yang berbeda?
Juga agama.
Krisna tersentak sampai tremor ketika mendapat tepukan keras di salah satu bahunya. "Heh, malah melamun!"
"Nggak usah kagetin, napa?" Krisna protes sembari mengelus bagian dadanya dengan sayang.
"Gue udah manggil berkali-kali, lo-nya aja yang nggak nyahut. Mana kacangin gue, main jalan duluan gitu aja. Kesambet setan apa lo?"
Boro-boro kesambet setan, yang ada gue kerasukan malarindu bernama Elina! Krisna mendumel dalam hati. "Gue duluan, ya."
"Heh, lo belum cerita ke gue soal Meira. Bantuin gue dapetin nomor WA dia, dong—–eh, tapi... lo masih setia sama Elina, 'kan?"
Raut wajah Krisna sempat berubah, tetapi untungnya, kepalanya sedang dihadapkan ke sisi lain sehingga tidak ketahuan. "Udah dibilangin, gue nggak kenal siapa yang lo maksud."
"Meira, Bro. Meira... Kristina Meira nama lengkapnya. Masa, sih, sepasif itu sesi perkenalan kalian? Nggak reveal nama, gitu?" tanya Edo, spontan mengekor langkah Krisna yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
"Oh. Kalo Kristina gue tau. Lebih tepatnya, gue cuma tau nama depannya."
"Nah. Cantik, kan, dia?"
"Cantikan Elina-lah!" Krisna berseru, tetapi auto kicep setelahnya.
Lo luar biasa, ya, Krisna. Setelah dicampakkan Elina, masih sempat-sempatnya ngebucin.
"Meira lebih cantik sebenarnya kalo lagi anteng. Jarang nunjukin ekspresi netral, soalnya. Ah, tapi... wajar, sih, karakternya demikian. Dia sering digrandungi sama cowok-cowok, sih. Maklum, lo taulah mahasiswi di jurusan Teknik dikit banget alias bisa dihitung pake jari. Trus eksistensi dia, tuh, kayak... kayak apa, ya? Nah, gue tau. Kayak fatamorgana di padang pasir alias minuman penyegar di musim panas, tau nggak?"
"Nggak tau."
"Lo kenapa, sih? Lagi bertengkar sama Elina?" tanya Edo sok kepo. "Udah gue bilang, meski hubungan kalian LDR ala-ala karena lo harus antar-jemput dia tiap hari, tetap aja, gue rasa ini nggak akan mudah. Mana kalian beda agama lagi."
Krisna berhenti, lantas membalikkan tubuh menghadap mahasiswa yang bernama lengkap Edo Febriandy itu. Meski akhlaknya rada minus karena karakter isengnya, ternyata level kepekaannya begitu tinggi dan jitu.
Beda agama... bahkan Edo juga setuju bahwa situasi itu tidak mudah untuk menyatukan pasangan.
"Menurut lo gitu juga, ya?"
"Soal apa? Beda agama? Tentu. Gini, ya, gue kasih tau. Syarat punya pasangan beda agama itu harus memenuhi salah satu dari salah duanya." Edo mengangkat sebelah tangan untuk berhitung. "Pilihannya antara ganti agama atau ganti pasangan."
Ekspresi Krisna memancing Edo mencebikkan bibirnya. "Dih, malah nggak percaya. Gue udah kapok dua kali pacaran sama cewek beda agama. Makanya, sekarang gue mau nargetin yang seiman aja biar bisa seamin.
Yang kayak Meira, misalnya." Edo melanjutkan kata-katanya, membuat Krisna spontan mengembuskan napas berat. "Moga aja dia bersedia jadi bantal hati gue, yang bisa gue sayang-sayangi sampai dibawa ke mana-mana."
Andai aja... Elina juga Muslim, sama kayak Meira.
Saking banyaknya beban pikiran, Krisna lupa jika dia masih ada kelas dan belum boleh pulang. Edo sudah membelok ke koridor lain untuk keperluan administrasi.
Beruntung, langkahnya dicegah oleh Meira, yang sudah mengejarnya sejak tikungan terakhir.
Ekspresinya kesal. Tangannya menjinjing dompet berisi Hard Disk Drive yang sempat menjadi topik absurdnya dengan Krisna di kelas.
"Heh!" Gadis itu memanggil beberapa kali, tetapi Krisna tak kunjung menoleh. Maka, dia meneriakkan namanya di saat-saat terakhir. "KRISNA!"
Krisna memutar punggung saat merasakan ada yang memanggil, lantas dibuat terkejut saat tahu siapa yang memanggil.
Dia lagi, ck. Alamat cari gara-gara, nih.
Berhubung mood Krisna belum membaik, dia lebih memilih mengajukan pertanyaan lewat bahasa tubuh dengan cara menaikkan sebelah alisnya.
"HDD gue rusak." Tiga kata; tanpa nama dan tanpa kejelasan.
Kernyitan alis Krisna semakin dalam, jelas menunjukkan ketidakpahamannya atas kata-kata Meira.
"HDD gue rusak." Meira mengulang dengan ekspresi seolah Krisna adalah orang paling lemot sedunia.
"Trus?" Krisna juga menunjukkan ekspresi yang sama, bercampur dengan rasa ilfil.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top