Bagian 5

Semalaman aku tidak bisa tidur dan hanya berbaring di atas ranjang sambil mengulang kejadian yang telah terjadi. Brian datang lagi dalam hidupku tanpa adanya peringatan. Memaksaku mengatakan apa alasanku pergi dan membuatku jatuh cinta padanya lagi. Dia memintaku memulai semuanya dari awal dan aku menolaknya. Semua pikiran-pikiran itu terus menggelayuti malamku dan membuatku tidak sempat untuk terlelap sedetik pun. Untungnya pekerjaanku pagi ini membuatku sibuk sehingga aku tidak mempunyai jeda untuk berpikir yang nantinya akan membuatku kembali menyesali perbuatan bodohku. Di sisi lain Brian cukup menolong dengan memberikan ruang tambahan padaku sehingga tidak banyak interaksi antara aku dan Brian yang pastinya akan membuatku canggung.

Setelah semua pekerjaan kami selesai, aku segera mengepak barang-barangku dan satu jam selanjutnya kami di ajak ke pusat cindera mata. Aku membeli sebuah tiara dengan bahan kayu cendana yang cantik. Aku memang selalu menyukai barang-barang dengan bahan kayu dan mengoleksinya di kamarku. Barang-barang dari kayu mempunyai kesan klasik dan seolah menyimpan cerita tersendiri.

"Kau hanya membeli satu barang, Sel?" tanya Mbak Maira ketika kami berada di depan kasir.

Aku tersenyum, "Satu barang untuk satu tempat. Untuk Ray dan Mbak Indah aku sudah menyiapkan oleh-oleh kok."

Mbak Maira mengangguk dan kembali meninggalkanku untuk membeli pernak-pernik cantik lainnya. Rio dan Brian memilih untuk berkeliling di banding masuk ke toko pernak-pernik yang menurut mereka kurang cocok dimasuki laki-laki.

Aku telah menyelesaikan transaksiku dan aku menangkap sosok Brian yang sedang menuju ke tempatku. "Kau bilang sendiri tidak mau ke sini?" tanyaku pelan. Berharap Mbak Maira tidak mempedulikan kami.

"Aku berubah pikiran. Apa yang kau beli?" tanya Brian.

Aku membuka bungkus penutup tiara itu dan memperlihatkannya pada Brian. "Cantik kan?" tanyaku dengan bangga.

Brian mengangguk, "Kau hanya membeli ini?"

"Iya. Kenapa? Kau tidak berniat membelikan seluruh barang yang ada di sini untukku kan?" ledekku .

Brian tergelak mendengarnya.

"Aku akan memanggil Mbak Maira, sebaiknya kita bergegas atau kita akan terlambat terbang," kataku kemudian berjalan melewatinya.

Aku menemukan Mbak Maira dengan beberapa pernak-pernik yang terbuat dari perak yang cantik. Aku rasa Mbak Maira menyukai benda-benda berjenis perak.

Satu jam selanjutnya kami sudah berada di pesawat dan begitu aku duduk, aku langsung tertidur.

Sebuah suara memanggil namaku, dengan malas aku membuka kelopak mataku dan menemukan wajah Brian tak jauh dariku. Kepalaku tengah bersandar di pundaknya dan menyadari hal itu aku langsung duduk tegak dan mencari Rio.

Lalu aku mendengar suara Rio dan Mbak Maira di depanku sedang bersiap-siap untuk turun. "Sel, kamu nggak mau turun?" tanya Rio ketika sadar aku sedang melihatnya.

Aku mengerjap dan berdiri, lalu sebuah jaket jatuh ke kakiku. Aku mengernyit menatap jaket berwarna abu-abu dan mengambilnya. "Milikmu?" tanyaku sambil menyodorkan jaket yang kutahu milik Brian.

Brian mengangguk dan mengambil jaket itu masih dengan wajah sumringah.

"Terima kasih," kataku sambil mengambil tas tanganku dan berjalan mendahuluinya.

"Tidurmu nyenyak?"

Aku mengangguk.

"Yah, bisa kulihat. Kau tidur seperti orang pingsan."

Aku mengedikkan bahuku. "Aku tidak bisa tidur semalam."

Tangan besar Brian memegang lenganku. "Aku berharap tidak akan terlalu lama menunggu, tapi aku ingin kau tidak perlu terburu-buru. Aku pasti menunggumu." Aku terhenyak mendengarnya, "Dan kau pasti akan kembali padaku." Tambahnya dengan kilat jahil dimatanya. Aku mencebik padanya dan berbalik untuk mengikuti Mbak Maira dan Rio.

Kami berpisah di lobi, Mbak Maira sudah terlebih dahulu pergi dengan dijemput oleh adiknya. Rio menyusul kemudian dan sekarang tinggal aku dan Brian.

"Supirku akan segera datang, kau mau kuantar pulang?"

"Eh, tidak... aku tadi sudah menghubungi temanku, dia juga akan segera tiba." Aku melirik ke arah belakang Brian dan melihat sosok Ray, "dan di sinilah dia."

Ray melambai ke arahku, dengan santai berjalan ke arahku. Aku tersenyum kecut padanya, setelah ini aku pasti akan kena marahnya. Brian berbalik dan barulah Ray tahu kenapa aku tersenyum kecut.

"Selamat malam Pak Brian," sapa Ray santai. Mereka berjabat tangan sementara aku menatap Ray sambil mencoba untuk meminta maaf.

"Panggil Brian saja." Brian tersenyum pada Ray.

"Eh, supirmu belum datang juga ya?"

Brian menunjuk dengan dagunya ke sebuah mobil audi hitam yang baru saja datang. "Baiklah, hati-hati ya..."

Aku melambai ke arahnya ketika Brian sudah berada di dalam mobil dan bersiap menerima omelan Ray. Aku berbalik dan melihat Ray sedang bersedekap sambil salah satu alisnya naik dan membuatku merasa bersalah.

"Baiklah nona, saatnya kembali dan ceritakan yang terjadi. Aku berharap pangeranmu tidak mengira jika aku merebut sang putri."

Aku memukul pelan lengan Ray. "Itu salahmu karena tidak mau menjadi pangeranku."

Kami tergelak bersama. Lalu segera menuju tempat Ray memarkir mobilnya.

"Jadi bagaimana?" tanya Ray ketika kami sudah meninggalkan bandara.

Aku berpikir sejenak, mencoba mencari tahu dari mana aku bisa memberitahunya.

"Dia sudah menerima jika kami sudah putus."

Ray tidak menanggapi, masih menungguku mengatakan hal lainnya.

"Oh baiklah... semua yang aku lakukan di masa lalu adalah salahku. Aku mengira dia selingkuh padahal perempuan yang ia peluk adalah sepupunya."

Ray membanting setir ke arah kiri, membuat mobil sempat berguncang, kemudian ia menatapku dan tertawa terbahak.

Aku mendengus sebal. "Aku tahu, aku memang bodoh."

Ray masih tertawa untuk semenit kemudian. Itu membuatku semakin kesal.

"Jadi bagaimana sekarang? Kau masih menyukainya dan sebaliknya. Kalian pacaran lagi?"

Aku menggeleng, "Aku butuh waktu untuk berpikir Ray."

Kening Ray berkerut, walaupun begitu dia tidak mengatakan apapun dan membiarkanku dalam lamunanku. Kami sampai di apartemenku setengah jam kemudian.

"Ray, jika Brian tidak menanyakan apa-apa padamu, maukah kau tidak memberitahukan dia apapun, tentang hubungan kita maksudku."

"Memangnya kita punya hubungan apa? Kau bahkan bukan tipeku." Ray tergelak melihatku mendengkus sebal. "Baiklah, aku mengerti."

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya turun dan menuju kediamanku. Istirahat, akhirnya aku bisa berisitrahat.

Sekelebat sepertinya aku melihat mobil audi hitam yang juga berlalu pergi dari tempatku. Aku memicingkan mataku sebentar sambil mengamati kepergian mobil itu dan memutuskan tidak akan memikirkan kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Aku berjalan ke apartemenku dengan lelah. Walaupun keadaanku tak seburuk ketika berangkat ke Bali, tapi tetap saja aku merasa tidak enak badan. Aku memasukan kunci dan menekan kode sehingga terdengar bunyi klik pelan. Aku mendorongnya dengan setengah hati dan merasa melihat surga ketika melihat sofa hitam yang seperti sudah memanggil-manggilku.

"Baru pulang?" tanya sebuah suara serak yang kutahu jelas adalah suara Vera, teman satu apartemenku.

Aku mengangguk tanpa membuka mataku. "Satu lagi alasan kenapa aku tidak cocok berada di dunia sepertimu adalah karena aku tidak begitu suka dengan sesuatu yang terbang," gumamku asal.

Vera tertawa sambil terus berjalan mondar-mandir di sekitarku. Lalu aku tahu dia berdiri di sampingku dari aroma parfumnya dan hembusan angin yang membawanya serta. "Minumlah." Aku membuka satu mataku dan menemukan segelas air putih dan tablet sakit kepala di sampingnya. Dengan malas aku duduk dan menenggak air beserta obat yang Vera sodorkan.

"Aku mungkin baru bangun besok siang, badanku sakit karena tidur di pesawat," kataku malas dan bangkit dari tempatku. "Kau akan pulang malam ini?"

"Tidak perlu menungguku, aku sendiri tidak yakin di mana aku menginap malam ini."

Aku mengedikkan bahu, sekilas mengamati penampilan glamor Vera sebelum akhirnya mengucapkan selamat malam sehingga bisa beristirahat dengan nyaman. Namun sebelumnya aku lupa mengatakan sesuatu pada Vera dan buru-buru menilik keadaan di luar. "Aku punya oleh-oleh untukmu, ada di dalam koperku di bungkusan warna hijau. Kau bisa ambil sendiri."

Senyum Vera merekah, entah kenapa senyum itu terlihat berbeda daripada senyum lainnya. "Terima kasih."

"Oke..." Aku kembali menutup pintu kamarku, mengganti baju tidur dan terjun di atas kasurku yang nyaman. Ah, senangnya... dan aku terlelap tak lama kemudian.

@@@

Aku terbangun beberapa jam kemudian dan melihat jam di dinding telah menunjukan pukul 3 dini hari. Aku bangkit dan meraih gelas berisi air putih yang ternyata tidak ada. Ah, aku lupa bahwa aku tidak mengambilnya. Dengan malas aku bangun dan keluar kamarku. Ruang tengah apartemen terlihat gelap. Aku menyalakan lampu dan mengambil botol minum dari lemari es. Aku sudah bangun, dan sulit untuk tertidur lagi. Ternyata dugaanku salah bahwa aku akan bangun nanti siang. Badanku juga sudah lebih baik walaupun terasa pegal di beberapa tempat. Aku menyibak korden dan melihat jalanan yang tampak lenggang. Kemudian aku duduk di sofa hitam dan melirik koperku yang terbuka. Sepertinya Vera sudah mengambil manik-manik kucing yang aku belikan untuknya.

Aku menyalakan televisi dan membiarkannya menyala sementara pikiranku mengembara ke saat pertama kali aku bertemu dengan Vera.

Kami bertemu di Amerika, setahun kepindahanku ke sana. Walaupun sudah setahun di sana tapi aku hanya memiliki beberapa kenalan yang tidak bisa kuanggap teman. Hal itu mungkin juga karena keadaan emosiku yang masih labil. Keadaan keluargaku sendiri membuatku muak dan saat itu sepertinya tidak ada alasan yang berarti untukku melanjutkan hidup. Aku terkungkung dalam ragum yang menjeratku. Aku menjadi pendiam dan melakukan hal-hal yang semestinya dilakukan tanpa perasaan apapun.

Suatu ketika aku pergi ke museum karena diajak oleh kenalan-kenalanku, aku terpisah dari rombonganku. Biar pun begitu aku tidak mengapa karena itu malah membuatku merasa nyaman. Aku duduk di depan sebuah lukisan abstrak dan menatap kosong selama beberapa saat sampai sebuah suara menyapaku. Suara yang menyapaku adalah suara Vera. Dia mengenalkan dirinya dengan bahasa Indonesia dan tersenyum padaku.

"Aku sudah menduga bahwa kau dari Indonesia." Begitu katanya ketika aku juga mengatakan namaku.

"Apa yang kau lakukan di sini seorang diri?"

"Aku terpisah dari rombonganku," jawabku datar.

"Kalau begitu aku akan membantumu menemukan mereka."

Aku menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Mereka tahu nomor ponselku. Jika mereka memang serius mencariku, mereka bisa menelponku. Begitu juga denganku."

"Ah, begitu. Kalau begitu bagaimana jika kita berkeliling bersama? Kau tinggal di sini kan? Pasti kau tahu tempat-tempat bagus di sekitar sini."

Aku mengangguk. Saat itu tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Lagipula, aku cukup senang bisa bertemu dengan orang yang mengerti bahasaku. Walaupun di rumah ibuku masih menggunakan bahasa Indonesia sesekali. Iya, sesekali. Karena jika ada ayah baruku di rumah ibuku menggunakan bahasa Inggris dan ketika kami hanya berdua aku terlalu malas untuk mengobrol dengannya dan lebih memilih menghindarinya.

"Kau kuliah di sini?" tanya Vera ketika kami berada di toko benda-benda antik. Saat itu penampilan Vera begitu memesona. Dia terlihat lembut dengan balutan terusan sepanjang lutut berwarna baby blue. Wajahnya yang manis juga selalu dihiasi senyum ramah.

"Tidak. Aku belum memutuskan untuk meneruskan kuliah di sini."

"Hehm, begitu ya. Kenapa tidak mencobanya saja? Kau tahu, aku selalu ingin mencoba hidup di negara lain untuk beberapa lama, tapi kesempatan itu tak kunjung datang."

"Hah?"

Vera tergelak lagi. "Kedatanganku kali ini hanya untuk seminggu. Aku hanya mampu membayar visa selama seminggu. Itupun aku harus bekerja keras selama beberapa tahun. Tapi paling tidak aku berhasil mewujudkan salah satu impianku," katanya sambil menatap ke depanku dengan mata berbinar. Saat itulah aku terpesona, bukan seperti terpesona karena rasa cinta ataupun lainnya. Lebih karena seperti mengaguminya. Mengagumi aura yang terpancar dari mata cokelat itu.

"Jadi, apa impianmu?" katanya kemudian dan berhasil membuatku bungkam. Selanjutnya aku bertanya-tanya pada diriku. Apa impianku?

Kami bertemu beberapa hari setelah itu hingga Vera pulang ke Indonesia. Dia memberikan alamat emailnya dan beberapa kali dia mengirimkan kabar padaku walaupun aku tidak pernah membalasnya. Aku terlalu malu bercerita padanya sampai suatu pagi aku akhirnya memutuskan sesuatu.

Aku mengambil studi komunikasi di universitas yang jauh dari kediaman keluarga baru ibuku. Aku mencari beasiswa dan mencari pekerjaan sambilan untuk menambah uang makanku walaupun setiap bulannya ibuku memberiku uang. Tapi aku tidak ingin terlalu mengandalkannya. Aku belajar di sebuah universitas yang mempunyai asrama sehingga aku tidak terlalu pusing di mana aku akan tinggal. Kemudian di tahun-tahun berikutnya tampak lebih menyenangkan untukku.

Aku bekerja di perusahaan advertising di Amerika dan di tempat itu membuatku nyaman. Tapi aku tidak menemukan impianku di sini. Lalu di suatu pagi ketika aku sudah mengumpulkan seluruh keberanianku, aku keluar dari tempat kerjaku dan kembali ke Indonesia. Tempat di mana kuharap impianku bisa kutemukan.

Aku mengontak Vera dan memberitahu rencanaku. Tanpa di duga ia mengajakku tinggal bersamanya, di sebuah apartemen yang lumayan bagus di pinggiran kota. Tempat yang ideal karena tidak terlalu jauh dari kota dan yang terpenting tidak terlalu berisik. Vera menjemputku di bandara dan ketika akhirnya kami bertemu kembali, aku cukup kaget dengan perubahan Vera. Gadis manis yang kutemui di Amerika tidak lagi sama. Setidaknya dalam hal pakaian, penampilan Vera terkesan glamor dan ia mengatakan bahwa sekarang ia adalah model terkenal. Tapi seperti ada yang hilang darinya. Dia memang terlihat baik-baik saja di luar, tapi dari matanya aku melihat banyak cerita di baliknya. Waktu yang terbentang begitu lama ternyata sama-sama telah mengubah kami. Tidak hanya aku yang berubah, Vera pun ikut berubah walaupun aku tidak tahu ke arah baik atau burukkan dia melangkah.

Pekerjaan Vera membuatku jarang bertemu dengannya. Selain itu, gaya hidupnya yang terkesan hedonis juga salah satu alasannya. Jika tidak ada pekerjaan, Vera selalu keluar malam dan aku tidak tahu kapan ia akan kembali. Kadang ia juga membawa teman-temannya ke apartemen ini dan saat itu terjadi, aku akan mencari tempat lain untuk tidur. Aku tidak terlalu menyukai teman-teman Vera dan Vera tahu hal itu. Walaupun begitu, aku tetap menghormati Vera. Vera selalu baik terhadapku dan kadang ia bisa tersenyum sangat lembut, persis seperti saat-saat aku pertama kali bertemu dengannya di Amerika. Dan sepertinya aku secara tidak sadar menunggu ketika Vera bisa tersenyum seperti itu lagi.

Bagaimanapun, Vera pernah menjadi cahaya ketika aku kalut. Mungkin karena itulah, aku juga ingin menjadi cahaya kecil untuknya saat ini. Meskipun aku tidak tahu apa yang telah terjadi padanya. Walaupun sudah setahun aku tinggal bersamanya, aku tidak tahu apa-apa mengenainya dan kadang itu membuatku terganggu.

Cahaya matahari perlahan masuk dari birai-birai jendela. Aku bangkit dan mendekati jendela, merasa senang dengan pemandangan matahari yang menggeliat perlahan dari tidurnya.

Suara alarm dari ponselku cukup membuyarkan lamunanku. Aku melihat catatan yang aku tulis di sana. Dadaku terasa sesak, namun tetap saja. Cepat atau lambat aku harus menghadapinya.

@@@

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top