Bagian 4
"Ke Bali?" tanyaku dengan mulut menganga lebar.
Mbak Indah mengangguk. Ray tetap tenang sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Aku yang pergi?" tanyaku meyakinkan diri.
"Yah, bagaimana lagi? Aku tidak bisa pergi dan Ray sedang mengerjakan proyek lain dengan tim lain. Jadi hanya kau yang bisa pergi."
Mataku membulat. "Oke, aku akan berangkat!" kataku senang.
Dan di sinilah aku sekarang. Di bandara dengan Mbak Maira, Rio yang merupakan kepala pelaksana proyek ini, aku sebagai perwakilan dari tim finishing, dan yang terakhir adalah Brian.
Aku benar-benar tidak tahu jika Brian ikut dalam perjalanan ini. Dia datang paling terakhir dengan pakaian santai dan hidung yang di plester. Membuat menampilannya terlihat seperti bad boy yang hot. Mbak Maira menyambutnya dengan hangat, begitu pula Rio. Dan aku harus berpura-pura seperti itu juga. Yeah, seperti aku tidak jago dalam sandiwara saja.
"Selamat siang Pak Brian, saya lihat luka Anda sudah semakin baik sejak tiga hari yang lalu," sapaku mencoba ramah.
"Sepertinya begitu, terima kasih atas perhatianmu," balas Brian dengan senyum mengejek.
"Kelihatannya itu cukup sakit?" tanya Mbak Maira. Membuat kesempatan bagiku melepaskan diri darinya. Aku lalu mengajak Rio berbincang-bincang. Karena aku memang tidak begitu mengenalnya sebelumnya. Rio cukup tampan, dan akan menjadi idola seperti Ray andai saja dia belum menikah. Eh, jadi di sini yang masih lajang cuma aku dan Brian?
"Tidak sesakit sebelumnya," kata Brian sambil tertawa.
"Memangnya kau habis ngapain sih? Nantang duel orang, ya?" sela Rio yang mulai tampaknya mulai tertarik dengan hidung patah Brian.
Cengiran Brian melebar, sekilas dia melirik ke arahku sebelum menjawab, "Ini ulah pacarku, dia memang agak liar."
Rio, Brian, dan Mbak Maira tertawa, sedangkan aku hanya melongo dan mencoba menyibukkan diri dengan membongkar tas tanganku.
"Apa kamu nggak mau cari pacar yang lebih penurut?" kata Mbak Maira ketika mereka akhirnya berhenti tertawa.
Aku yang saat itu sengaja menyibukkan diri tiba-tiba saja membeku. Menunggu.
"Gimana ya? Cuma dia sih satu-satunya gadis yang bisa membuatku bergairah," ucap Brian yang kemudian membuat Mbak Maira tersipu. Sementara Rio tertawa sambil menepuk-nepuk punggung Brian yang sedang menampakkan cengiran lebar. Sial.
"Mbak, sepertinya kita mesti segera check in deh."
Mbak Maira mengangguk. Aku segera menggiringnya, sengaja menempel pada Mbak Maira.
Kami lepas landas setengah jam kemudian. Untungnya kali ini, aku duduk bersama Rio dan Mbak Maira bersama Brian. Kali ini kami menggunakan kelas bisnis, padahal biasanya hanya mendapatkan kelas ekonomi. Mungkin karena kami bersama klien 'penting' kami.
Aku mengembuskan napas lega setelah kami akhirnya sampai. Sejujurnya aku tidak begitu suka dengan pesawat terbang. Di dalam perjalanan pun aku berusaha untuk tidur walaupun nyatanya aku tidak bisa sedetik pun terlelap. Hal itu membuatku sedikit pusing.
Di lobi bandara, sebuah mobil sudah menunggu kami. Ah, berapa lama lagi kami bisa sampai di tempat tujuan ya? Pikirku dalam hati. Kepalaku yang pusing tampaknya mulai mempengaruhiku. Dalam perjalanan aku bahkan tidak sanggup memfokuskan untuk ikut mengobrol bersama yang lainnya.
"Sella, kau tampak pucat. Kau nggak apa-apa?" tanya Mbak Maira ketika kami sampai di hotel yang kami tuju. Hotel yang akan kami buat iklannya, dan well jika saja keadaanku lebih baik, aku pasti bisa mengamati bagaimana rupa hotel ini lebih teliti.
Aku mengangguk, "Sedikit pusing Mbak, hanya butuh sedikit istirahat."
Mbak Maira kemudian memberikan sebuah kunci padaku, dan seorang petugas membawakan koperku. "Sampai ketemu besok, hari ini kita tidak ada agenda. Tapi dua hari ke depan mari kita bekerja keras," kata Mbak Maira sebelum akhirnya kami berpisah.
Kukira aku akan satu kamar bersama dengan Mbak Maira, ternyata aku mendapat kamar pribadi. Merasa lelah, aku mengucapkan terima kasih kepada petugas hotel dan langsung menghempaskan tubuhku di atas ranjang yang berukuran queen. Tak berapa lama, aku mulai tertidur.
Aku tidak tahu apa yang membangunkanku, tapi indra-indraku mulai siaga. Aku bisa mendengar suara detak jam dan juga suara lain yang sebelumnya tidak ada di sini. Selain itu, aku merasakan ada sesuatu yang mengelus lembut rambutku. Yah, elusan tangan itu cukup lembut hingga awalnya aku berpikir bahwa mungkin saja itu adalah tangan ibuku. Dan kapan terakhir kali ibuku melakukan hal seperti itu? Sepertinya sudah lama sekali. Jelas sekali bukan ibuku yang ada di sampingku.
Aku membuka mataku dan mendapati wajah tersenyum Brian.Membuatku otomatis melotot mendapati pemandangan di depanku dan berusaha duduk secepat mungkin.
"Sedang apa kau di sini?" tanyaku kasar. Tentu saja aku marah. Bagaimana mungkin Brian bisa berada di kamarku? Otakku segera berputar, dan kenyataan bahwa aku berada di hotel yang mungkin saja milik Brian membuatku sadar. Tapi tetap saja Brian tidak boleh bertindak seenaknya.
Brian tergelak melihat sifat defensifku, "Aku kira memang sudah saatnya kau bangun. Aku membawakanmu makanan. Kau belum memakan apapun sejak kita sampai, bukan?"
Aku melirik ke arah samping dan mendapati meja kecil yang sudah penuh dengan hidangan yang sepertinya lezat. Aku mendengar suara perutku berbunyi, membuat Brian menyeringai lebar padaku.
"Keluar!" desisku. "Tak peduli jika hotel ini milikmu, tetap saja kau tidak boleh masuk ke kamar orang sembarangan!" Aku bangkit berdiri dan sedikit terhuyung, dengan ekor mataku aku bisa melihat Brian yang seolah ingin menangkapku. Tapi aku lebih cepat dan bisa menyesuaikan diri. Menghilangkan kesempatan Brian menyentuhku. Aku memutari tempat tidur, meneguk segelas air putih untuk melegakan tenggorokan.
Aku bisa merasakan mata Brian yang mengamatiku dengan intens. Dan hal itu entah mengapa membuatku risih. Seusai meneguk segelas air putih aku mendelik marah padanya. Tanganku bersedekap dan kakiku mengetuk-ngetuk lantai sambil menunggu berapa lama Brian akan duduk di tempat tidurku.
"Apa yang kau tunggu? Cepat keluar."
Brian masih menatapku, jauh lebih intens daripada sebelumnya.
"Atau aku perlu memanggil satpam?"
Brian melongo kemudian tertawa terbahak-bahak. "Manisku, berhentilah bersikap konyol. Hotel ini milikku. Kau pikir mereka bisa mengeluarkanku begitu saja?"
"Kalau begitu, aku yang akan keluar," jawabku praktis. Aku segera menuju kamar mandi, membasuh wajahku dan melihat penampilan berantakan diriku ketika bangun tidur. Aku melirik jam tangan dan yah, aku telah tertidur dua jam, waktu yang cukup lama.
Terdengar suara langkah kaki di dalam kamar dan aku sempat menahan napas ketika tahu ke mana langkah kaki itu mendekat. Kemudian langkah kaki itu berhenti tak jauh dari pintu kamar mandi.
"Sella, apa kau mendengarku?" suara Brian terdengar dari balik pintu. Membuatku marah dan bersiap untuk membunuhnya dengan segala kemarahan yang menderaku saat ini. "Aku minta maaf..." suara lirih Brian terdengar, membuatku terdiam di tempatku dan sedikit menghilangkan perasaan ingin membunuhnya. "Aku tidak menyangka kau akan semarah itu, mungkin aku memang keterlaluan."
Aku bergerak, mencoba bersandar di pintu untuk mendengar dengan lebih jelas. Kemarahanku memang masih ada, tapi sekarang mulai berkurang sedikit demi sedikit. "Aku hanya khawatir denganmu, tadi kau terlihat... tidak baik."
Aku tersentak mendengar pengakuannya. Memang aku tidak baik-baik saja tadi, tapi itu bukan hal yang besar. "Aku hanya ingin melihat keadaanmu dan kemudian segera pergi. Tapi entah mengapa aku tidak bisa pergi ketika melihatmu, sekeras apapun aku berusaha." Brian tertawa miris, seolah menertawakan kekalahannya. "Aku akan pergi, jadi kau bisa beristirahat di sini, aku tidak akan lancang masuk ke kamarmu lagi."
Aku masih di tempatku, dan tidak menyadari bahwa sedari tadi aku telah menahan napasku. Dadaku terasa sakit ketika mendengar apa yang Brian katakan tadi. Aku mendengar suara pintu terbuka dan tertutup kembali. Dengan lemas aku terduduk di lantai, berusaha mengukuhkan kembali tembok yang telah aku bangun tujuh tahun terakhir ini.
Tujuh tahun yang lalu aku telah membangun tembok besar yang akan menjauhkanku dari orang-orang. Tembok besar yang bisa menyembunyikan keberadaanku dan bisa melindungiku di dalamnya. Tidak akan aku biarkan tembok besar itu hancur karena hal kecil seperti ini.
@@@
Satu jam selanjutnya, aku sudah berada di pantai, menikmati udara malam yang dingin dengan balutan sweater turtle neck berwarna cokelat dan jeans panjang berwarna gelap. Beberapa menit sebelum keberangkatanku ke sini, Mbak Maira menghubungiku, memintaku bergabung untuk makan malam dengan yang lainnya. Aku dengan alasan bahwa masih kurang enak badan menolaknya sambil diam-diam pergi keluar. Kini disinilah aku, dalam kegelapan malam sambil menatap bintang dan cahaya dari mercusuar di kejauhan.
Aku merogoh kantungku, menemukan rokok filter milikku dan menyalakannya. Tidak ada yang tahu bahwa aku merokok selain Vera, teman satu apartemenku. Tapi toh aku tidak terlalu memedulikan pendapat Vera tentangku dan begitu pun sebaliknya. Walaupun kepribadian kami berbeda, tapi kami tidak pernah saling menghakimi, dan itulah yang membuat kami bisa tinggal dalam satu apartemen yang sama.
"Aku tidak tahu kau merokok," sapa sebuah suara. Tentu saja itu Brian.
"Aku bukan gadis seperti yang tujuh tahun lalu kau temui. Manusia bisa berubah," kataku sambil mengembuskan asap berwarna putih dari mulutku. "Bagaimana kau bisa menemukanku? Kau memasang alat pelacak padaku ya?"
Satu alis Brian terangkat. "Itu ide bagus, walau jawabanku adalah tidak." Senyum jahil terpasang di wajahnya, "Tapi aku tidak keberatan untuk membantumu untuk memeriksa tubuhmu apa aku memasang alat pelacak."
"Ooh," jawabku datar sementara otakku terus mengatakan bahwa aku bukan gadis yang sama dari tujuh tahun yang lalu.
Jawabanku sepertinya membuat Brian heran, karena kemudian dia mengambil rokokku dan menghisapnya. Aku protes dan mencoba merebutnya tapi segera kalah dengan perbedaan kekuatan kami.
"Lumayan."
Aku mencebik ke arahnya. Marah karena ia mengambil rokok terakhirku. Yah sebenarnya aku hanya punya sebuah di kantongku. Aku tidak begitu suka merokok. Aku hanya membutuhkannya. Apalagi pada saat-saat seperti ini. Saat-saat ketika aku mulai merapuh dan untuk kembali ke diriku yang biasanya, harus ada pengingat dan itu adalah rokok.
"Setahuku, kau benci dengan rokok." Brian memelintir ujung rokok itu ke pasir dan melemparnya ke sembarang arah. "Apa yang terjadi padamu?"
"Kau tidak perlu tahu."
"Aku harus tahu Sella. Aku harus tahu semuanya."
Aku menoleh ke arahnya, melihat matanya yang dipenuhi kesungguhan. Tapi tidak, aku tidak akan tertipu olehnya.
"Kau, tidak perlu tahu. Tidak harus tahu," kataku sambil menekankan kalimat terakhirku. Aku bangkit berdiri, mengabaikan pasir yang masih menempel di celana jeansku. Bersiap untuk meninggalkan Brian ketika sebuah tangan yang kuat menyentak lenganku, membuatku berhadapan langsung dengan Brian.
Brian menatapku lekat, ada amarah dan rasa sedih di wajahnya. "Aku pasti akan tahu Sella. Pasti," katanya dan ia melepaskan tangannya. Terlebih dahulu berjalan pulang di depanku.
@@@
Dua hari selanjutnya sebagian besar waktuku kugunakan untuk menyelesaikan pekerjaanku selama di Bali. Kami mulai dari pagi hingga malam, dengan ataupun tanpa Brian. Dalam bekerja Mbak Maira benar-benar berkompeten, begitu pula dengan Rio. Karena itulah, aku jadi terdorong untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, aku masih harus menjaga jarak dengan Brian dan hanya berbicara dengannya jika hanya benar-benar perlu. Beberapa kali, aku sempat memergoki ketika Brian memperhatikanku dan sebisa mungkin aku berusaha tidak mempedulikannya.
Akhirnya dua hari itu berhasil aku lewati dan besok sore kami akan kembali ke Jakarta. Aku sedang membawa berkas yang akan kuserahkan kepada Mbak Maira dan menunggunya membukakan pintu kamarnya untukku.
Aku terpana ketika sosok Mbak Maira yang biasanya rapi dan elegan, kini hanya menggunakan daster selutut dengan rambut yang digerai. "Masuk, Sel."
Aku mengangguk dan mengikutinya ke dalam kamar Mbak Maira. Kamar Mbak Maira sama dengan ruanganku dan samar aku bisa mencium aroma mawar. Pasti dari bau parfum yang biasa Mbak Maira gunakan.
Aku menyerahkan berkas itu ke Mbak Maira dan berniat untuk tidak terlalu lama di sini. Namun mataku menangkap sebuah foto berukuran post card di atas meja.
"Itu anak Mbak, ya?" tanyaku tanpa sadar.
Mbak Maira yang sedang membolak-balikkan berkas itu kemudian menatap arah di mana aku menunjuk. Mbak Maira tersenyum hangat, dan itu adalah saat-saat langka aku melihatnya membuat ekspresi seperti itu. Selama ini Mbak Maira dikenal sebagai sosok pemimpin yang dihormati dan disegani. Bukan hanya karena kedudukannya yang cukup tinggi di perusahaan, namun karena pembawaannya yang berwibawa juga berpengaruh. Namun walaupun begitu, Mbak Maira bukan sosok yang semena-mena. Dia orang yang perhatian dan juga baik.
"Namanya Dido, umurnya delapan tahun, bulan depan."
"Dia terlihat gagah dengan kostum Army yang dipakainya."
Mbak Maira tergelak, "Kau nggak tahu betapa dia sangat menyukai kostum itu. Dia bahkan pernah memaksa memakainya ke sekolah."
Aku ikut tergelak mendengarnya. "Dia pasti sangat bahagia memiliki ibu seperti Mbak."
"Kuharap begitu," jawab Mbak Maira lirih. "Dan Mbak harap kamu juga bahagia, Sella."
"Maksud Mbak?"
Mbak Maira mengangkat bahunya, "Mbak hanya merasa bahwa selama ini kau menyimpan beban yang kau tanggung sendiri."
Mulutku membentuk huruf O besar mendengar perkataan Mbak Maira. Apa aku sebegitu mudahnya dibaca?
"Bukannya Brian itu laki-laki yang baik?"
Aku mengerjap, tidak menyangka dengan perubahan topik yang sangat mendadak ini. "Tidak, ya. aku tidak tahu," jawabku terbata. Aku melirik ke arah Mbak Maira yang terlihat menunggu. "Kami hanyalah masa lalu," jawabku jujur pada akhirnya. Aku tahu tidak ada gunanya berbohong dengan Mbak Maira.
Mbak Maira mengernyitkan dahinya, "Masa lalu selalu bisa dibangkitkan kembali. Tidakkah kau mau memulai lagi?"
Aku termenung mendengarnya. Aku tidak mau, atau lebih tepatnya aku tidak yakin? Bukankah Brian terus menerus membangkitkan masa lalu, dan aku adalah pihak yang menolaknya? Tapi kenapa? Apa ini hanya semata-mata karena aku tidak mau, ataukah karena aku terlalu takut?
Lima menit selanjutnya Mbak Maira mengubah topik ke arah pekerjaan, dan setelah itu aku segera meninggalkan kamar Mbak Maira.
Setelah sampai di kamar, kata-kata Mbak Maira masih terngiang-ngiang di telingaku.
Membangkitkan masa lalu, haruskah?
Aku menyibak korden di kamarku dan bisa kulihat pemandangan lautan yang tampak gelap dan titik jauh yang merupakan perwujudan dari kapal laut. Pikiranku melayang ke dua hari yang lalu, ketika aku dan Brian berada di pantai. Tiba-tiba saja aku kembali ingin ke tempat itu. tapi kupastikkan bukan sosok Brian yang ingin kutemui. Aku hanya ingin menikmati debur ombak dan langit malam yang bertabur bintang.
Aku membuka pintu kamarku dan mendapati Brian yang tengah berdiri sambil menunduk dengan tangan yang berada di saku celana panjangnya.
"Brian? Apa yang sedang kau lakukan?"
Brian mengangkat kepalanya dan tersenyum ragu padaku. "Hai..."
Aku mengernyit melihatnya, dia tampak gugup dan senyum keraguan masih melekat di wajahnya, "Eh, apa kau mau jalan-jalan? Aku rasa cuacanya cerah dan mungkin kita bisa-" suaranya tampak tercekat.
Aku menarik napas panjang, baru akan menyatakan kata-kata penolakkan ketika aku melihat raut wajah Brian yang seolah memohon dan kembali terngiang kata-kata Mbak Maira, "Baiklah." Itulah jawaban yang akhirnya keluar dari mulutku.
@@@
Kami berjalan-jalan tak tentu arah dan akhirnya berhenti di pasar malam dengan banyak orang yang berlalu lalang. Banyak jajanan yang tersedia dan juga pernak-pernik yang menarik. Kami berhenti di salah satu lapak yang menyediakan jasa tato dan aku membuat tato temporal berbentuk bunga anggrek di punggungku. Tempat yang tidak terlalu mencolok kecuali jika aku menggunakan gaun dengan tali spageti. Tapi aku ragu dalam jangka waktu dekat akan menggunakannya. Brian menemaniku tanpa protes dan malah dia tampak asik melihatku di tato.
"Kau nggak mau ikutan?" tanyaku di sela-sela proses pengerjaan tato.
Brian tersenyum jahil, dahinya berkerut hingga kedua alisnya hampir bersatu, "Kau tahu kan kalau aku tidak suka disentuh siapa pun, kecuali disentuh olehmu."
Aku terkejut dengan jawabannya. Bisa kurasakan wajahku memerah dan bersyukur diam-diam karena sekarang malam hari. Walaupun begitu, aku tetap memalingkan wajahku dan mengutuk Brian dalam hati.
Aku mendengar gelak tawa Brian ketika melihat ekspresiku dan dia menggumamkan kata-kata sebagai balasan terhadap orang yang sedang menatoku. Aku hanya mendengar samar, tapi penatoku sepertinya mengatakan bahwa kami terlihat cocok bersama atau sebagainya.
"Mengapa Anggrek?" tanyanya ketika aku selesai di tato.
"Hmm?" tanyaku sambil mengepang rambutku ke samping. Aku baru akan mengikat simpulnya ketika kedua tangan Brian membantuku. Aku seperti berhenti bernapas untuk sesaat sebelum akhirnya aku tersadar, "Oh tidak makna khusus. Kupikir Anggrek bunga yang bagus," kataku asal.
Brian selesai mengikat simpul kepangku dan berjalan menjauh. Bahkan saat-saat terakhir dia melepaskan jarinya di ujung rambutku aku merasa tiba-tiba sulit untuk bernapas.
"Kurasa itu cocok untukmu." katanya dengan senyum lebar.
Aku mengatakan terima kasih dan berpikir apa yang dia maksud dengan cocok. Bunga Anggrek atau rambutku yang dikepang.
Seperempat jam kemudian kami melanjutkan acara jalan-jalan malam kami dan dalam sekejap, aku langsung merasa nyaman dengannya. Perasaan defensif ataupun dinding yang sebelumnya kubangun tampak hilang tak berbekas. Aku kembali tertawa dan dia pun tertawa bersamaku. Harus aku akui bahwa bersamanya selalu membuatku nyaman, dan kapan terakhir kali aku merasa nyaman seperti ini? Seperti dilindungi? Seperti dimiliki?
Dalam keramaian pasar, Brian selalu menggandengku dan melindungiku ketika kami tidak sengaja terdesak oleh sekumpulan orang-orang yang tampaknya tergabung dalam komunitas tertentu. Ketika pulang pun Brian secara otomatis selalu menempatkanku di sebelah kirinya. Sejauh mungkin dari tepi jalan raya.
Aku berhenti ketika melihat toko ikan dan berdiri di depan etalasenya sambil melihat ikan mas dan koi di dalam akuarium besar. Aku tidak memperhatikan Brian, tapi tampaknya dia tidak menyadari bahwa aku berhenti sementara ia berjalan lurus menghindari keramaian. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di depan etalase itu, hanya menatapi ikan-ikan itu berenang tak tentu arah.
Aku memiliki sedikit kenangan dengan ikan-ikan mas dan koi. Satu-satunya jenis binatang yang boleh kupelihara ketika kecil. Binatang yang kembali mengingatkanku bahwa dulu, aku sama normalnya dengan anak lainnya. Bahagia dengan ayah dan ibuku. Tertawa bersama tanpa beban dan hanya seorang anak yang disayangi. Kapan semuanya berubah?
Aku tersentak ketika aku mendengar namaku diteriakan dari jauh. Aku berbalik dan melihat Brian berlari-lari melawan arus ke arahku. Aku reflek melambaikan tangan padanya dan dalam beberapa detik ia sampai di depanku.
"Apa yang kau lakukan?"
"Kau tiba-tiba menghilang. Aku mencarimu," katanya masih dengan napas tersengal.
Mulutku membentuk huruf O sebelum akhirnya tertawa, "Kau nggak tahu sekarang ada teknologi bernama ponsel? Kenapa nggak menelponku?"
Brian meringis, kemudian ia menggandengku dan aku merasa genggaman tangannya kali ini lebih erat daripada sebelumnya.
"Ayo."
Aku menurut dan untuk terakhir kali, aku menatap akuarium di etalase itu. Tersenyum kecut sampai akhirnya kembali kepada percakapanku dengan Brian.
Brian bercerita banyak hal, mengenai kehidupannya setelah lulus SMA. Dia yang masuk ke universitas yang dulu kami cita-citakan.
Sepertinya dia menjalanai hidup yang menyenangkan. Bertemu dengan teman baru, melakukan sesuatu yang baru dan melakukan hal-hal lainnya. Aku terus mendengarkan dan menyimaknya, sampai dia berhenti berjalan dan berbalik menghadapku.
"Jadi, bagaimana denganmu?" tanyanya lembut sambil menatap manik mataku.
Aku membuka mulutku, tapi tidak ada suara yang keluar. Haruskah aku memberitahu padanya?
"Aku haus. Kau bisa membelikanku minum?" Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku menunduk, tak mampu menatap wajah Brian. Lalu satu tangan Brian merengkuh wajahku, membuatku mendongak padanya.
"Oke, aku akan segera kembali," katanya dengan cengiran lebar di wajahnya.
Aku mengangguk dan Brian berjalan ke toko 24 jam yang masih buka di seberang jalan. Aku terpaku melihat punggungnya yang menjauh. Kemudian aku merasa lelah entah untuk alasan apa. Di dekatku aku melihat sebuah lincak dan duduk di sana sambil menatap langit malam yang tertutup awan. Tak berapa lama, aku melihat sosok Brian yang keluar dari toko. Aku baru akan melambai padanya ketika aku melihat raut wajahnya yang panik. Ia menoleh ke arah kanan dan kiri dan ekspresinya berubah ketika dia melihatku. Brian lalu berlari ke arahku dengan wajah lega, hal yang entah mengapa selalu ia tampilkan baik itu dulu maupun sekarang.
"Terima kasih."
Aku menerima botol berisi jus apel. Brian ternyata masih ingat minuman kesukaanku. Aku meneguknya sekali dan Brian langsung merebut minumanku, ikut meneguknya sampai habis setengahnya.
"Kenapa nggak beli sendiri sih?" tuntutku karena kesal minumanku dia rebut.
Brian mengeluarkan cengiran khasnya. Kami terdiam untuk berapa lama sebelum ia mulai membuka percakapan. "Kau tahu Sella? Aku selalu bahagia bersama denganmu, entah itu dulu maupun sekarang."
Hening untuk sesaat, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi ketika Brian memulai membicarakan tentang masa lalu.
"Aku... " jawabku terbata, mulutku membuka kemudian menutup. Berapa lama membuka lagi, namun gagal menemukan kata yang tepat hingga akhirnya aku hanya menghela napas sambil memandang ke bawah.
"Aku tahu," ujarnya lagi drngan nada pahit. ."Aku hanya ingin mengatakannya. Kau tidak perlu memaksakan diri," ujarnya lagi sambil menerawang ke langit.
"Maaf."
"Aku akan memaafkanmu jika kau menjawab satu pertanyaanku." Brian berbalik dan mengahadapku. Aku menggigit bibirku. Sial, aku telah terkena jebakannya. "Bagaimana?"
Aku mengerutkan keningku dan dia tertawa. Sudah jelas memang dari awal Brian ingin menanyakan sesuatu.
"Kenapa dulu kau pergi?" tawa Brian menghilang. Dia menatapku lekat dan menunggu. Menungguku menjawabnya.
Aku menarik napas panjang. Memang salahku pergi begitu saja, dan jika memang Brian tidak mengetahui kesalahannya, maka sekarang ia akan mengetahuinya.
"Selama tujuh tahun ini aku terus menerus bertanya hal itu. Apa malam setelah prom aku menyakitimu? Apa kejadian itu membuatmu sakit?"
Aku melongo, Brian benar-benar tidak tahu alasan mengapa aku meninggalkannya. Dia pikir aku meninggalkannya karena rasa sakit? Yang itu?
"Bukan, tentu saja bukan itu!" bantahku cepat. "Hal itu berbeda dengan keputusanku pergi."
"Kau yakin?" katanya hati-hati. Hal itu malah membuatku marah.
"Kau pikir malam itu hanya kau yang menikmatinya ya? Memangnya kau siapa sehingga membuat pernyataan seperti itu!" kataku gusar. Dan setelah selesai mengatakannya aku langsung menyesali perkataanku. Sial.
Brian tertawa senang melihat wajahku yang merah padam. Matanya berkilat jahil dan kubalas dengan pelototan yang kumaksudkan agar Brian berhenti tertawa. Tapi wajahku yang memerah sepertinya membuat usahaku sia-sia.
"Jadi, katakan kenapa?" katanya ketika dia akhirnya berhenti tertawa.
"Kau bersama orang lain," jawabku cepat.
"Aku tidak mengerti."
Aku menggigit bibirku. "Jelas kau bersama orang lain. Siang setelah prom aku ke tempatmu dan aku melihatmu memeluk seorang gadis."
Brian diam, kerutan di dahinya muncul dan bertambah banyak. Dia seperti sedang berpikir keras.
"Aku tidak mungkin salah ataupun berhalusinasi. Kau bersama orang lain, jadi aku pergi," kataku cepat.
"Sudah malam, aku akan kembali ke hotel." Aku buru-buru bangkit, takut jika aku di tempat ini lebih lama, omonganku akan lebih kacau dan yang lebih parah, aku mungkin akan menangis.
"Tunggu."
Aku tidak berhenti dan malah mempercepat jalanku.
"Sella, kubilang tunggu aku." Brian mengejarku, memegang pundakku dan aku merasa berhenti bernapas karenanya. Aku mendengar Brian menghela napas sebelum memutarku sehingga kami saling berhadapan.
"Aku tidak tahu harus tertawa atau marah padamu. Tapi mungkin aku juga bersalah."
Aku merasakan ada beban berat di dadaku. Aku menunduk menatap sandal pantaiku. Tidak berani mendongak menatap Brian.
"Aku tidak pernah mengenalkanmu pada teman-temanku sebelum aku pindah dan bertemu denganmu. Aku bahkan juga tidak mengenalkan keluargaku padamu, tapi kupikir memang saat itu belum waktunya."
"Aku tidak meminta kau melakukan itu."
"Aku tahu, Sella. Kau adalah orang yang tidak pernah meminta apapun padaku. Kau tidak pernah menuntutku seperti orang lain lakukam padaku. Kau percaya padaku. Karena itulah aku mencintaimu."
Seketika beban berat di dadaku serasa terangkat. Aku mendongak menatapnya dan menatap manik hitamnya. "Tapi kau bersama orang lain."
Brian menggeleng. "Tidak ada yang lain selainmu Sella. Aku bersumpah."
"Tapi gadis itu..."
"Gadis pirang itu sepupu jauhku." Aku terdiam mendengar ucapannya. "Dia sedang mengunjungiku dan kebetulan dia sedang patah hati. Jadi aku memeluknya."
Aku melongo mendengar penjelasan Brian, sedangkan Brian tertawa hingga tubuhnya berguncang.
"Sumpah aku berkata jujur. Jika kau mau sekarang pun aku bisa menghubunginya dan mengenalkanmu padanya," katanya di sela-sela tawanya.
Aku masih terpaku di tempatku. Kedua lengan Brian lalu mengunciku sehingga aku bisa merasakan tawa Brian menyembur keluar. Kedua lengan itu lalu menarikku sehingga aku berada di dalam pelukannya.
Brian masih tertawa untuk sesaat, hingga aku merasa geli ketika aku merasakan napas Brian di telingaku.
"Tuhan, betapa aku merindukan gadis bodoh ini," gumamnya. Kemudian dia mencium lembut rambutku. Aku merasa nyaman di pelukannya dan rasanya ingin agar waktu berhenti. Membiarkanku berada dalam pelukan laki-laki ini selamanya.
"Jadi, bagaimana jika kita memulai dari awal lagi?"
"Hmm?"
"Kau bilang kita sudah putus, jadi bagaimana jika kita memulainya lagi?"
Aku melepaskan diri darinya namun Brian tidak membiarkannya. Aku tahu kesempatan seperti ini akan sangat bodoh jika disia-siakan. Lagipula siapa yang aku bohongi? Jelas-jelas aku masih menyukainya seperti tujuh tahun lalu. Tapi dengan bodohnya aku menggeleng.
"Beri aku waktu," kataku lirih. "Banyak yang terjadi selama ini. Aku... aku tidak bisa... untuk sekarang ini."
Aku mengira Brian akan marah padaku karena jawaban pengecutku. Tapi dia kemudian mengangguk walaupun aku bisa melihat kekecewaan yang dalam di wajahnya. "Baiklah, tapi aku harap kau tidak membuatku menunggu terlalu lama. Tujuh tahun sudah terlalu lama bagiku," katanya dengan kilat jahil di matanya.
Wajahku kembali memerah dan mengangguk patuh.
"Baiklah, kalau begitu ayo kita kembali."
@@@
Panjang banget. Hampir 4000 kata.
Vomment jangan lupa yes, 😘.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top