Bagian 3
Aku menunggu Ray menjemputku dengan perasaan campur aduk. Semalam aku menceritakan hubunganku dengan Brian dan alasan kenapa aku memukulnya. Tapi mengenai kenapa hubungan kami selesai atau yang menurut Brian aku meninggalkannya, tidak aku ceritakan.
Aku melihat mobil avanza hitam milik Ray dan menghela napas lega. Semalam Ray tidak banyak berkomentar dan lebih mendengarkan ceritaku. Setelah aku selesai bercerita pun dia hanya menyuruhku untuk tenang.
"Hai Sella," katanya ketika aku sudah duduk di sampingnya yang berada di balik kemudi.
"Hai..." kataku tak bersemangat.
Ray mengernyitkan keningnya, "Kau masih mencemaskan yang semalam?"
Aku menggeleng, "Tidak, aku tahu bahwa Brian bukan orang yang mencampuradukkan antara urusan pekerjaan dan urusan pribadi."
"Lalu?"
Aku menghela napas panjang, "Sudahlah, lupakan. Ayo kita berangkat," kataku muram. "Dan kuharap hari ini aku tidak bertemu dengannya."
Ray mulai melajukan mobilnya menembus keruwetan jalanan ibu kota dengan diam. Membiarkanku berada di dunia lamunanku sambil mengamati jalanan dan gedung-gedung yang menjulang tinggi di kejauhan.
Perkataanku pada Ray memang benar, seberapa pun berubahnya Brian, dia bukan tipe orang yang mencampuradukkan pekerjaan dan pribadi. Bahkan dulu juga begitu, ketika dia menjadi ketua panitia prom di sekolah. Ada seorang junior yang menyukainya dan mengatakan perasaannya padanya, tentu saja Brian menolaknnya karena dia kan sudah pacaran denganku. Junior yang sakit hati lalu mulai mengerjai Brian dengan berbagai cara, dia bahkan mulai menyerangku tapi selalu bisa kuatasi. Ternyata dia juga salah satu panitia prom dan dia mulai was-was ketika tahu bahwa Brian adalah ketua panitia prom. Tapi nyatanya Brian tetap profesional dan tidak menyinggung masalah yang junior itu sebabkan. Dan setelah itu, junior itu meminta maaf padanya dan tidak ada lagi gangguan terhadapku, ataupun terhadap Brian.
Lagi-lagi aku mengehela napas. Mungkin aku harus mengucapkan maaf seperti junior itu, lalu dengan cepat aku menggeleng. Aku melalakukan itu karena Brian memang salah. Tidak seharusnya dia menciumku seperti itu. Kemudian sisi lainku membantahnya. Bukannya aku juga menikmati ciuman itu?
"Aaaaagh, si bodoh itu!" teriakku frustrasi. Lupa bahwa aku tidak sendirian.
Aku menoleh ke arah Ray yang masih fokus menyetir. "Apa yang kau takutkan, Sella?"
Aku bungkam. Bukan karena aku tidak bisa menjawabnya, namun lebih karena aku sudah tahu jawabannya. Selama ini, setelah aku putus dengan Brian, belum ada laki-laki yang berhasil membuatku benar-benar mencintainya seperti aku mencintai Brian. Aku takut, Brian kembali membuatku jatuh cinta padanya.
Kami sudah sampai dan Ray mulai memarkir mobilnya. Hari ini aku memang memintanya menjemputku karena mobilku masih berada di bengkel. Aku baru akan mengambilnya setelah pulang dari kantor, yang tentu saja diantar oleh Ray.
"Apa kau pikir dia akan ada di sini?"
"Kupikir tidak," katanya sembali melepas sabuk pengaman. Ray lalu menatapku dan mengelus lembut rambutku, "Tenanglah, semua akan baik-baik saja," katanya seraya tersenyum lembut padaku. Aku membalas senyumannya dan bersiap-siap turun.
Itulah yang aku sukai dari Ray, dia seperti kakak bagiku. Sosok yang selalu mendengar keluh kesahku dan membantuku ketika aku mempunyai masalah. Dengan sikap seperti itu, sudah jelas banyak yang diam-diam ataupun secara terang-terangan menyukainya. Ray memang populer di kalangan wanita, dan Ray selalu menanggapi para fansnya dengan baik tanpa melukai perasaanya.
Suatu waktu ketika dia mabuk, dia pernah tidak sengaja membeberkan rahasianya kepadaku. Tentang masa lalunya yang kelam. Tentang bagaimana gadis yang ia cintai meninggal karenanya. Dan sejak itulah, hatinya seolah ikut mati bersama dengan gadis itu.
"Sella!" sapa seorang wanita dengan suara riang, tentu saja itu Mbak Indah. Tubuh Mbak Indah lalu menubruk punggungku dan sedetik kemudian tangannya menggelayut manja di lenganku. "Kalian berangkat bareng ya?" tanya Mbak Indah dengan kening berkerut.
"Bagaimana ya.. " kataku menggoda. Aku tersenyum melihat muka manyun Mbak Indah. "Aku minta Ray menjemputku karena rumah kami satu arah, mobilku di bengkel."
Mulut Mbak Indah membentuk huruf O besar, "Mobilmu masuk bengkel lagi?"
Aku tersenyum miris. Aku menghitung dalam hati, entah sudah yang keberapa mobilku masuk bengkel.
"Ah iya! Cepatlah, aku memanggilmu karena sebentar lagi kita harus rapat. Cepatlah." Mbak Indah kemudian menarik tanganku yang membuatku harus sedikit berlari mengikutinya. Sementara di belakangku Ray hanya geleng-geleng melihat ulah Mbak Indah.
@@@
Seperti biasa Mbak Maira memimpin rapat kami. Aku menatap resah ke arah Ray, takut bahwa apa yang kurapakan terjadi hari ini -bahwa aku bertemu dengan Brian- tidak tidak akan terjadi. Ray balas menatapku dengan teduh, seolah memberikan kekuatan padaku, bahwa semuanya baik-baik saja.
Mbak Maira datang lima menit kemudian, dan dengan menyesal mengatakan bahwa klien kami -yaitu Brian- tidak dapat mengikuti rapat darurat ini karena alasan kesehatan. Pernyataan itu membuatku pucat pasi dengan sekejap. Membuatku tidak bisa memfokuskan pikiranku dari rapat yang sedang kuhadiri.
Setengah jam kemudian, rapat berakhir dan semua orang segera bergegas meninggalkan ruangan. Aku masih membisu di tempatku bahkan ketika Mbak Maira sudah meninggalkan ruangan ini. Ruangan yang kini hanya menyisakan aku dan Ray yang sudah berada disampingku.
"Dia tidak selemah itu, kan?" katanya serius.
Aku menggeleng lemah, "Apa ditonjok tepat di hidungmu tidak akan membuatmu kesakitan?"
Ray menyeringai, "Memang sakit, tapi tidak menimbulkan efek terlalu parah." Ray berhenti sejenak, lalu mengamatiku yang mulai berharap, "Lagipula, memangnya sekuat apa kau ini?"
Kami berdua tertawa sampai akhirnya berhenti karena radar Ray memberitahukan kedatangan Mbak Maira di ruangan ini.
"Ayo kita pergi," bisik Ray yang kujawab dengan anggukan.
Kami berdiri dan Ray mengangguk pada Mbak Maira. Ray berada di depanku dan aku meniru apa yang dilakukan sebelum Mbak Maira memanggilku.
"Sella, bisa bantu saya sebentar?"
Aku mengangguk dan dengan isyarat menyuruh Ray pergi. "Iya Mbak?"
Mbak Maira menggaruk pelipisnya pelan, tanda bahwa ia mulai menimbang-nimbang sesuatu. "Saya harus menghadiri rapat di pusat sekarang, padahal seharusnya saya mengantarkan dokumen untuk Pak Brian."
Aku mengerjap cepat, tahu bahwa komando selanjutnya adalah, "Tolong kamu pergi ke tempat Pak Brian dan mengantarkan dokumen ini padanya."
Hal pertama yang ingin kuucapkan adalah kata-kata penolakan. Belum sempat aku mengucapkan kata penolakan, ponsel Mbak Maira berbunyi dan ia menyerahkan dokumen sial itu. Mbak Maira lalu meninggalkanku yang masih menatap nanar dokumen yang telah beralih tangan.
@@@
Sudah lima belas menit aku terpaku di depan pintu apartemen Brian. Tanganku terasa dingin, tanda bahwa aku gugup sementara jari-jariku hampir menggapai panel bel. Aku berusaha menguatkan diriku, kali ini aku sudah tidak bisa mundur lagi. Jika memang harus bertemu, maka akan aku selesaikan. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat dan sebelum gelombang keraguan menggoyahkan tekadku, aku mulai melarikan jari-jariku menyentuh panel bel. Aku tidak tahu bagaimana sistem kerja bel di apartemen ini, yang jelas tempat ini jauh lebih canggih dibanding dengan apartemenku -walau bisa dibilang apartemenku sudah cukup mewah-.
"Masuklah," kata suara sengau dari interkom yang dengan lampu yang menyala merah.
Aku gelagapan, karena pintu di depanku masih menutup. Apa aku harus mendorongnya atau bagaimana? Ah, masa bodoh dengan benar atau salah. Aku akhirnya mendorong pintu itu dan di depanku berdiri Brian dengan hidung yang sukses tertutupi perban.
Aku memaksa diriku tersenyum, karena lima belas menit yang lalu aku berjanji bahwa apapun yang terjadi, aku tidak akan meminta maaf. Salah Brian kenapa dia bisa mendapat luka seperti itu.
"Selamat siang Pak Brian," sapaku masih dengan suara manis. Kembali lagi aku memaksakan diriku bahwa kedatanganku kemari hanyalah sebatas urusan kerja. Aku hanya perlu memberikan dokumen ini, meminta tanda tangannya di salinan lainnya dan kemudian segera kembali ke kantor. Benar, aku harus profesional. Tentu saja.
Aku menatap wajah Brian yang tampak datar. Dia bahkan tidak berusaha membalas salamku. Sial.
Tangan Brian bersedekap, dan satu alisnya terangkat ketika menatapku. Aku masih menunggu kata-kata darinya dan enggan untuk mengulangi salamku. Maka disitulah kami. Saling adu kekuatan untuk membuktikan siapa yang berkuasa. Well, sebenarnya ini salah mengingat status Brian yang adalah klien penting perusahaanku.
Bibir Brian membentuk senyum sinis, kemudian ia berbalik dan dengan gerakan tangan menyuruhku mengikutinya.
Aku menurut. Kami sampai di sebuah ruangan dengan dua sofa berwarna hitam elegan. Brian duduk di sofa tunggal dengan kaki bersila. Melihatnya seperti itu jadi mengingatkanku pada patung-patung dewa Yunani di atas singgasananya. Dengan kemeja putih dan celana jeans selutut berwarna hitam membuatnya tampak segar di siang hari ini. Sial. Aku harus berhenti memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
"Saya kemari untuk memberikan dokumen dari Ibu Maira, Anda hanya perlu menandatanganinya dan saya akan segera ke kantor untuk melapor pada beliau," kataku formal sambil menyodorkan map ke meja bundar di depan Brian.
Brian belum berkomentar, ia menurut dan membuka map itu. Tampak serius membaca apa yang ada di dalamnya.
"Hmmm, menarik," katanya datar. "Sebelum aku menyetujuinya, aku harus bertanya mengenai dokumen ini padamu."
Aku menelan ludah. Tadi Mbak Maira sudah mengatakan lewat pesan teks, bahwa kemungkinan aku akan di interogasi olehnya. Entah kenapa Mbak Maira sudah bisa menebaknya. Brian mulai melempar pertanyaan, dan dengan arahan yang telah Mbak Maira berikan --lewat pesan teks tentunya--, aku mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan tepat.
"Baiklah, katakan pada Maira bahwa aku akan memikirkannya."
Aku melongo. Kukira dia akan segera menandatangani dokumen itu begitu semua pertanyaannya terjawab. Aku melirik arlojiku dan aku bahkan sudah menghabiskan setengah jam waktuku untuk menjawab semua pertanyaan itu tanpa diberi setetes air pun. Dan yang lebih parah, aku masih berdiri sedangkan dia duduk di singgasananya yang agung. Sial.
Aku memaksa diriku tetap tersenyum, "Kalau begitu terima kasih untuk waktu yang telah Bapak berikan. Saya akan segera melapor pada Ibu Maira."
"Ya ya, silakan."
Aku mengangguk dan mengambil map itu.
"Kau hafal di mana jalan keluarnya kan?"
"Tentu saja," kataku sambil tidak lupa tersenyum manis padanya. Aku berbalik dan kembali ke tempat tadi. Aku mencoba menarik pintu itu, tapi nihil. Kemudian aku berusaha mendorongnya, tapi juga nihil. Pintu itu tetap bergeming di tempatnya.
"Ayolah..." kataku mulai kesal dengan pintu itu. Aku mulai mencoba segala kemungkinan yang bisa kulakukan dengan pintu itu dan mendengar tawa seseorang di belakangku.
Aku menyipitkan mata dan terlihat Brian tertawa terpingkal-pingkal melihat usahaku yang nihil. "Sepertinya pintu Anda bermasalah, jika tidak keberatan, Anda mungkin bisa membantu saya untuk membukanya."
Ekspresi wajah Brian kembali menjadi datar. Lalu senyum kecil mulai nampak di bibirnya. "Sampai kapan sih kau mau bermain-main?"
"Saya tidak mengerti apa yang Bapak katakan. Jelas ini bukan permainan."
Ekspresi Brian menjadi kaku, dia lalu menunjuk ke arah sampingku. Ada sebuah panel angka di sana. "Kau harus masukkan kode di sana, baru pintu itu akan terbuka."
Aku melongo, bagaimana aku bisa tahu kode apa yang Brian gunakan? Memangnya aku alien yang bisa membaca pikiran?
"Kau tahu angkanya, Sella." Brian tidak bergerak, hanya menatapku dengan intens dan matanya seperti menyiratkan rasa sakit?
"Ayolah Brian, kita sedang bekerja. Hal ini tidak boleh dicampuradukkan dengan masalah pribadi kita." Aku menarik napas panjang, "Dan aku tidak akan meminta maaf karena memukulmu."
Brian tergelak, "Kau baru saja memasuki waktu istirahatmu sayang, jadi tidak apa jika aku keluar dari ranah pekerjaan, bukan?"
Aku melirik jam tanganku, benar saja apa yang Brian katakan. Brian terlihat akan berjalan ke arahku dan aku mulai berhenti bernapas. Aku diselamatkan oleh deringan ponselku.
Aku buru-buru mengambil ponsel dari tas tanganku. Nama Ray tertera di sana.
"Hallo Ray," kataku cepat. Di sisi lain aku memperhatikan wajah Brian yang tampak mengeras.
"Aku akan segera kembali. Iya, tunggu aku," kataku menyudahi percakapan dan melirik Brian yang berdiri di depan panel angka.
"Luka di hidungku bukan karenamu, aku memang sudah terluka sebelumnya. Kau hanya membuka luka lama," katanya pelan.
Aku mengangguk, walaupun di dalam hatiku entah kenapa merasakan sakit ketika Brian mengatakan hal itu. Luka lama. Istilah itu seolah ditujukan kepadaku.
Tak lama, suara kunci pintu yang bebas terdengar. "Pulanglah, sebelum aku berubah pikiran."
Aku kembali mengangguk tanpa suara. Aku berbalik dan sempat melihat wajah Brian yang seolah kosong. Mata kami sempat bertemu sebelum aku menutup pintu lagi dan mata itu seolah mengatakan jangan pergi.
Aku menggeleng kuat-kuat. Tentu saja tidak seperti itu. Hubungan kami kan sudah selesai.
@@@
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top