Bagian 2

"Kau mau menungguku di sini?" kata Brian seraya keluar dari dalam mobil. Sementara aku masih di dalamnya dan merajuk karena keinginanku yang tidak terpenuhi. "Turunlah, setelah ini aku akan mengantarmu pulang, aku janji," katanya mantap dengan mengeluarkan senyum terbaiknya.

Aku melirik sekilas ke arahnya dan melihat ke belakangnya. Sadar bahwa petugas valet masih setia menunggu sementara di belakang mobil telah terdapat mobil lain yang menunggu giliran. Well, Brian mengajakku ke sebuah restoran yang cukup mewah, dan yang pasti aku akan merasa sayang untuk tidak makan di tempat ini.

"Aaaght, baiklah," kataku sambil melenggang keluar dari dalam mobil. Bisa kulihat senyum tipis di bibir Brian.

Brian lalu berjalan terlebih dahulu dan aku sengaja menghindarinya ketika melihat gerakan tangannya yang seolah ingin menggandengku. Memangnya dia kira dia bisa mendapatkan semua yang dia mau?

Seorang pelayan kemudian mengantarkan kami ke sebuah meja dan di sana telah menunggu seorang wanita yang tampak senang karena kehadiran Brian. Wanita itu langsung melenggang dan memberikan ciuman kecil yang nyaris mendekati bibir Brian.

"Kenapa lama sekali?"

Aku tersedak mendengar suara wanita itu yang mirip desahan. Oh Tuhan. Apalagi kali ini? Aku menghela napas panjang dan dengan cuek menggeser salah satu kursi dan duduk di sana. Well, di meja ini memang ada tiga kursi, jadi tidak salah kan kalau aku menduduki salah satunya.

"Maaf Marry, tadi ada insiden kecil," kata Brian santai sambil berusaha melepaskan diri dari jerat wanita itu. Kenapa Brian harus melepaskan diri? Bukankah dia pasti menikmati momen ketika wanita berdada besar itu menempel pada Brian?

Tak berapa lama, Brian akhirnya berhasil melepaskan diri dan duduk di kursi yang masih kosong.Kemudian datang pelayan lain yang membawakan makanan di meja kami. Tapi, bukankah kami belum memesan apapun?

"Aku sudah memesan sebelumnya. Silakan dinikmati." Senyum Brian kembali merekah yang dibarengi dengan teriakan senang dari wanita itu. Setengah jam di tempat itu yang aku lakukan adalah makan dan makan. Brian bahkan sama sekali tidak berniat mengenalkanku pada wanita berdada besar itu, dan aku pun juga tidak berniat berkenalan dengan wanita itu. Yeah, setidaknya makanan di sini lezat dan juga aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk menikmatinya. Walaupun sebagai gantinya aku hanya menjadi obat nyamuk di antara pasangan di depanku yang tampak menikmati malam ini.

Brian mulai tampak sedikit kepayahan ketika akhirnya aku menyelesaikan tegukkan dari minumanku. Ini sudah lebih dari setengah jam dan kurasa sudah saatnya aku pulang.

"Aku selesai," kataku di antara rayuan wanita berdada besar itu yang dia berikan kepada Brian. Aku melipat serbet makan dan kemudian berdiri, mengangguk kecil kepada wanita berdada besar itu yang kini menatapku dengan binar bahagia. Mungkin dia senang karena akhirnya dia hanya berdua dengan Brian. Terserahlah.

"Terima kasih untuk makanannya, ini sangat lezat," kataku kubuat sesopan mungkin. Dan sebelum ada sesuatu yang menahanku lagi, aku segera mengambil tas dan berlalu dengan cepat.

Aku berjalan tanpa menoleh kebelakang dan baru bisa menghela napas ketika sudah berada di lobi restoran. Seorang pegawai tersenyum dan menawariku untuk memanggil taksi yang langsung aku setujui. Baiklah, jika akhirnya aku harus memanggil taksi kurasa tidak masalah karena hari sudah amat larut dan aku juga sudah kenyang oleh makanan lezat dan mahal itu.

Aku memandang ke sekeliling dan baru menyadari desain arsitektur restoran ini yang memang sangat elit. Aku bersiul pelan karena mengaguminya dan bersorak dalam hati ketika sebuah taksi hampir sampai di tempatku.

Aku melangkah mendekati tepian dan terhenti ketika merasakan sebuah tangan menahan lenganku. Seketika itu juga aku berhenti bernapas karena tahu persisnya siapa yang melakukan hal itu padaku. Aku menarik napas panjang sebelum berbalik dan melihat wajah Brian yang juga menatapku dengan amarah yang sama dengan yang kurasakan.

"Apa sih maumu? Aku mau pulang," desisku.

Brian tetap bergeming, sementara suara mobil yang berhenti sudah terdengar. Aku harus menyelesaikannya dengan cepat dan segera pulang. Aku terlalu lelah untuk berbasa-basi apalagi dengan orang yang sekarang berada di depanku. Orang yang tidak ingin kujumpai lagi keberadaannya.

Aku menarik napas lagi dan kali ini menyentak tangan Brian yang masih memegang lenganku. Brian terlihat cukup terkejut hingga ia melepaskanku. Aku mendelik ke arahnya dan di sampingku aku melihat wanita bernama Marry itu melewati kami dengan wajah murka. Ia menghampiri taksi yang kupesan dan masuk di dalamnya.

"Hei! Apa yang kau lakukan? Itu kan taksiku!" teriakku frustrasi.

Wanita itu tidak bersuara, dan sekilas aku melihatnya tersenyum, salah, lebih tepatnya menyeringai. Astaga! Wanita itu menyeringai padaku. Apa sih yang dia pikirkan?

Aku baru saja akan kembali mencelanya ketika kurasakan tubuhku didekap dari belakang dan sedetik kemudian suara berat Brian terdengar sangat dekat dengan telingaku. "Sudah kubilang aku akan mengantarmu pulang."

Aku bergidik, merasakan sensasi yang hanya bisa Brian lakukan padaku. Aku tetap diam sambil mengamati taksiku pergi meninggalkan lobby restoran itu. Kemudian, barulah dekapan Brian lepas dariku dan untuk sekejap, hanya sekejap, aku merasakan bibir Brian yang sepertinya sempat mengecup telingaku.

Butuh sedikit waktu untukku memulihkan otak dari serangan kejutan itu. Ketika fungsi otakku telah kembali sepenuhnya, aku berbalik dan menatap Brian dengan mata menyipit curiga. Brian tampak tidak terpengaruh hingga mobil miliknya melaju di depan kami. Aku bisa melihat ketika tangan besarnya hampir menyentuh lenganku yang langsung kutangkis.

"Jangan coba-coba!" kataku penuh ancaman. Aku berbalik dan membuka pintu mobil dan menutupnya dengan suara bantingan yang cukup keras.

Brian membuka pintu kemudi, dan tanpa suara mulai melajukan mobil mewahnya menuju jalan yang akan kupastikan menuju kediamanku.

"Kau marah," kata Brian terdengar sangat tenang.

"Kau tahu aku marah."

"Kenapa?"

Aku menggit bibirku, berpikir jawaban yang tepat yang bisa kuberikan untuk saat ini.

"Kenapa kau mengajakku ke tempat itu? Kau bisa saja menemui wanita itu setelah kau mengantarku pulang."

Aku melirik ke spion dan bisa melihat ada seulas senyum kecil di bibir Brian. Melihatnya aku jadi ingat katika tadi bibirnya seolah mengecup pelan telingaku dengan lembut. Tapi mungkin itu hanya bayanganku saja.

"Kau cemburu?"

Aku mengehela napas. "Tidak. Bukan urusanku jika kau mau berkencan dengan siapa pun."

Aku kembali melirik ke arahnya dan melihat dahinya mengkerut, kemudian terdengar gemeletuk giginya. Sepertinya dia sedang menahan amarahnya. Brian tidak membalas perkataanku sampai akhirnya kami sampai di depan apartemenku.

Aku menarik napas lega, karena akhirnya untuk malam ini aku bisa menjauh dari Brian. Aku melepaskan sabuk pengaman dan bersiap untuk keluar.

"Kupikir kau harus melihat kejadian tadi."

Aku menggeleng. "Itu tidak masuk akal. Kenapa aku harus melihatnya?"

"Karena kau pacarku. Satu-satunya kekasihku."

Aku melongo mendengar perkataannya. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali sebelum akhirnya berhasil berbicara.

"Kau bercanda kan? Kita sudah selesai sejak tujuh tahun yang lalu."

Brian menyeringai, "Tentu saja aku tidak bercanda."

Aku melongo. Kurasa pria didepanku benar-benar sudah gila.

"Kau meninggalkanku begitu saja, tanpa mengatakan kita putus atau sejenisnya. Jadi, kau tetap masih menjadi kekasihku," katanya mantap.

"Brian, jangan bodoh!" kataku dengan suara mencicit. Brian tampak menakutkan dengan seringainya itu. Aku tidak pernah ingat kalau Brian bisa membuat ekspresi seperti itu.

"Sayang sekali kalau aku memang bodoh," katanya dengan menggeram sementara aku merasa terpojokkan seperti tikus yang sudah terdesak.

Brian mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menarikku dengan satu sentakan. Aku yang belum siap tidak bisa melawannya sampai akhirnya lengannya mengunci tubuhku dan yang bisa kulakukan hanya membelalakan mata menatap mata gelapnya. Sial.

Aku mencari-cari sosok Brian yang kukenal, dan yang kudapatkan adalah nihil. Sosok di depanku seperti bukan Brian.

Aku berusaha tenang dan menatap tepat di manik matanya. Tapi lagi-lagi sial, aku malah melihat mata gelap itu tertawa.

"Brian, lepaskan-"

Kata-kataku hilang karena bibirku kini sudah dibungkam dengan bibir Brian. Aku menggeliat berusaha melepaskan diri darinya. Tapi percuma, usahaku malah membuat lengannya semakin kuat mengunci tubuhku. Membuatku semakin rapat dengannya. Sementara aku berusaha melepaskan kuncian lengan Brian, bibir Brian semakin ganas mencium bibirku. Dan karena bibirku yang tadi membuka ketika menyuruhnya melepaskanku, Brian segera mengambil keuntungan dengan mendesakkan lidahnya ke dalam mulutku. Gawat, jika seperti ini aku akan kehilangan kendali otakku.

Aku meronta semakin kuat dan kembali Brian menguatkan kuncian lengannya. Otakku mulai lumpuh dengan bibir Brian yang ganas berada di bibirku sementara lidahnya mulai menginvasi mulutku. Aku meleleh karenanya dan mulai berhenti meronta. Bahkan tubuhku mulai berkhianat dengan tidak lagi meronta untuk meloloskan diri. Kedua telapak tanganku yang berada di tengah tubuh kami mulai diam di dada bidang Brian dan bisa merasakan degup jantung Brian yang semakin menggila.

Melihat reaksiku, kuncian lengan Brian di tubuhku mulai mengendur. Ritme ciumannya semakin pelan dan tidak seganas sebelumnya. Dan tanpa aku sadari aku telah menutup mataku dan menikmatinya. Ciuman yang sama sejak tujuh tahun lalu. Ciuman yang mengandung sejuta kenangan di antara kami.

Kemudian bayangan-bayangan itu berkelebat dan aku mulai bisa berpikir jernih. Aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku dan dengan sekali sentakkan, aku menjauhkan diri darinya.

Aku akhirnya berhasil lepas darinya dengan terengah-engah. Aku terkejut karena kulihat Brian juga sedang terengah-engah sama sepertiku. Selang berapa lama, Brian tertawa kecil membuatku yakin bahwa ia memang bermasalah.

"Bukankah kau juga menikmati ciuman tadi? Jadi, kenapa kita harus putus?"

Aku mendelik marah ketika mendengar kalimat pertama yang ia ucapkan setelah kejadian tadi. Kalimat itu segera saja membangkitkan amarahku. Tanganku terkepal kuat dan dengan tenaga yang sudah pulih, aku melayangkan pukulan padanya. Yang tepat mengenai hidungnya. Aku bisa mendengar suara tulang yang sepertinya patah, tapi aku tidak peduli. Aku mengumpat dan membuka pintu mobil. Masih dengan umpatan yang tiada habisnya, aku berlari masuk ke lobi apartemen.

@@@

Aku sampai di kamarku dan mengunci pintunya rapat-rapat walaupun aku tahu tidak ada orang lain di kediamanku saat ini. Teman satu apartemenku tidak ada dan aku tidak perlu memusingkannya. Sementara itu, hal pertama yang harus kulakukan adalah meredakan debaran di dadaku ini. Mungkin efek karena lariku yang seperti dikejar setan. Dan Brian adalah satu perwujudan dari setan itu. Setidaknya, Brian adalah tipe setan penggoda.

Aku bersandar di pintu dan tanganku mulai merayap naik dan menyentuh bibirku yang kurasa agak bengkak karena ciuman tadi. Aku memejamkan mata dan kembali bisa kurasakan bibir hangat Brian di bibirku dan lidahnya yang menginvasi mulutku dengan lihai. Sial. Aku harus berhenti memikirkannya. Tidak ada apa-apa lagi antara aku dan Brian, dan seharusnya Brian tahu itu.

Tanganku mengepal dan kembali kuingat apa yang aku lakukan beberapa menit yang lalu.

"Aaaagh, apa yang kulakukan?" teriakku lebih pada diriku sendiri.

Aku mulai diserang rasa panik dan tepat pada saat itu ponsel sialanku memilih untuk berbunyi. Aku segera mencarinya dan mendapati nama Ray di layar ponselku.

Aku segera menjawabnya dengan harapan bahwa ia bisa membantuku, bagaimanapun caranya. "Ray, tolong aku! Aku baru saja menonjok hidung klien baru kita!"

@@@

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top