Bagian 1

Aku sampai di depan salah satu gedung pencakar langit dengan berbagai perasaan yang campur aduk. Sebal karena harus berangkat di hari liburku dan senang karena diikutkan dalam tim kali ini yang kutahu akan melayani klien penting. Mengamati sosok di cermin, aku merasa puas ketika melihat potretku yang terlihat profesional.

"Hai Sel..."

Aku menengok saat seseorang memanggil namaku. Sesosok wanita muda dengan rambut pendek tersenyum padaku.

"Mbak Indah. Baru datang?"

"Iya, sama seperti kamu, kan?" Dia melirik tas jinjing yang kubawa dan kami tersenyum bersamaan. "Rasanya aku ingin keluar saja dari tempat ini. Liburanku," katanya dengan ekspresi yang dilebih-lebihkan. Benar-benar hal yang tidak pantas mengingat dia sudah menjadi seorang ibu, tapi masih saja bertindak berlebihan seperti itu.

"Melewatkan akhir pekan dengan buah hati pasti berat sekali ya?"

"Sangat-sangat berat. Apalagi tadi Mas Indra juga sempat ngomel karena aku masih saja berangkat kerja. Kami kan punya rencana liburan di puncak."

Aku menggulum senyum, sedikit iri dengan kehidupan Mbak Indah yang juga indah seperti namanya. Di usianya yang masih muda, ia sudah mempunyai seorang suami yang sangat mencintainya dan bayi kecil yang kini berumur 1 tahun. Pekerjaannya lancar dan terbukti bahwa ia adalah salah satu staf yang di perhitungkan kinerjanya. Semua staf yang tergabung dalam proyek perusahaan ini memang dipilih karena kualitas yang bagus. Dan Mbak Indah sudah sering kali mengikuti proyek ini, berbeda denganku yang baru kali ini ikut. Tapi aku patut berbangga diri, karena kenyataanya aku adalah orang baru di perusahaan ini dan baru setengah tahun bergabung.

"Mas Indra menyuruhku resign."

"Hah?" tanyaku terkejut. "Resign?" Aku menatap Mbak Indah kaget, tapi tidak sedikit pun rasa sedih terpancar dari raut wajahnya. Ia bahkan terlihat senang.

"Bagaimana tanggapan Mbak? Bukankah Mbak sangat mencintai pekerjaan ini?"

Mbak Indah tersenyum padaku, manis sekali. Wajah konyol yang tadi ia tampakan sudah hilang dan tak berbekas sedikit pun. Kini hanya senyum keibuan yang mengalir lembut di wajahnya yang ayu.

"Sebelum Mbak mendapatkan si kecil, aku memang berpikir begitu. Mbak sama sekali tidak berminat berhenti bekerja walau telah berkeluarga dan mempunyai anak. Tapi setelah Mbak mendapatkan buah hati yang sangat menawan, aku bahkan tidak rela berada jauh darinya." Tatapannya menerawang, mungkin Mbak Indah sedang membayangkan sosok Dewi yang manis. "Ah, kau akan mengerti jika kau sudah menjadi Ibu," katanya sambil terkikik geli.

"Yah, mungkin saja."

Tak terasa kami telah sampai di ruangan kerja. Di sana telah tiba Mbak Maira dan juga beberapa rekan lainnya. Beberapa sudah aku kenal, namun beberapa lagi seperti asing untukku. Mungkin berada di divisi lain. Aku melirik jam tanganku dan menggeleng tidak mengerti, menurut perhitunganku seharusnya Mbak Maira tiba kurang lebih beberapa menit lagi.

"Tidak apa-apa, ini hanya pertanda bahwa proyek kita benar-benar penting." Mbak Indah berbisik di dekatku.

Aku mengangguk mengerti. Mbak Maira lalu menyuruh kami berkumpul dan kami melakukan briefing sebelum klien kami yang penting itu datang.

"Proyek kali ini benar-benar penting, bukan hanya karena perusahaan yang meminta jasa kita telah lama menjadi klien tetap kita, tapi juga karena telah terjadi pergantian staf di perusahaan mereka. Orang yang biasanya mengurus proyek ini telah digantikan, dan yang saya dengar, orang baru ini benar-benar teliti dan juga sangat perfectionist. Saya mengharapkan dedikasi kalian semua dalam proyek ini. Proyek-proyek selanjutnya dari perusahaan ini akan kita dapatkan lagi atau tidak, akan mereka lihat dari pekerjaan kita kali ini. Saya yakin kita pasti bisa." Mbak Maira mengakhiri kalimatnya dengan suara yang agak dikeraskan. Membuatku cukup terkejut ketika mendengarnya. Suaranya yang biasanya halus dan merdu serta berwibawa terdengar bersemangat dan memancarkan aroma keyakinan yang dalam. Kemudian Mbak Maira menatap kami satu persatu dan mengangguk kepada kami.

Briefing diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh Mbak Maira dan kami bergegas mengambil alat-alat yang kami butuhkan ke ruang rapat. Kecuali Mbak Maira yang berlalu ke ruang kerjanya, menunggu kliennya datang.

Aku menarik napas panjang ketika sampai di ruang rapat dengan nuansa putih dengan garis-garis cokelat yang manis. Membuat ruangan dengan langit-langit bak kubah yang tinggi menjulang itu tampak nyaman dan menghilangkan kesan ruangan di mana keputusan-keputusan yang mungkin bisa mempengaruhi kehidupan banyak orang dibuat. Ruangan ini memang berkesan serius, namun dengan sentuhan tersendiri, ruangan ini membuat penghuninya nyaman dan teduh.

"Tenanglah Sel, semuanya akan baik-baik saja kok." Mbak Indah yang duduk di sampingku menepuk lembut punggung tanganku.

Pintu terbuka dan kami semua serentak berdiri, menyambut kedatangan klien penting kami. Terlihat Mbak Maira dengan setelan blazer hitam yang elegan masuk pertama kali. Disusul dengan seorang pria tinggi berpotongan rambut spike dan kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Aku sempat terheran-heran melihat penampilannya yang terkesan santai. Ia hanya mengenakan jeans berwarna biru dan blazer yang sebelumnya ia sisipi dengan kaus putih dengan gambar kartun Mickey Mouse. Di belakangnya berdiri dua orang perempuan yang pakaiannya formal, hampir mirip seperti gaya pakaian kami yang juga formal. Ini kan waktunya bekerja.

Aku tahu semua staf benar-benar terkejut dengan apa yang mereka lihat, tapi keterkejutanku jauh melampaui mereka.

Bukan hanya karena melihat kostum sang klien itu, melainkan karena orang itu merupakan orang yang pernah kukenal sebelumnya.

Tenggorokanku seketika tercekat dan jika Mbak Indah tidak menarikku untuk segera duduk di kursiku, aku yakin aku akan tetap berdiri membeku dengan mulut menganga lebar seperti seorang idiot.

"Perkenalkan, pria muda ini adalah klien kita. Bukankah begitu Pak Brian?" kata Mbak Maira memulai pembicaraan.

Pria bernama Brian itu tergelak untuk sesaat dan memandang ke arah kami satu persatu. Dengan segera aku menundukan kepalaku. Tidak ingin orang itu mengetahui aku ada di sini. Bahkan kalau bisa, rasanya aku ingin sekali di telan bumi untuk saat ini.

"Ah ya, perkenalkan namaku Brian. Kalian bisa memanggilku Brian. Tidak perlu diberi Pak, karena kenyataanya aku yakin usia kita pun tidak begitu terpaut jauh. Bukankah begitu Rosella?"

Aku mendongak cepat saat ia menyebut namaku, sontak aku juga mendapat tatapan heran dari rekan-rekanku yang lain. Aku melirik kearah Mbak Maira dan tersenyum kikuk padanya.

"Ah, iya... benar," kataku pada akhirnya. Aku lalu melirik ke arah orang itu dan bisa kulihat dia tersenyum penuh kemenangan. Dari tempatku berada, tak sedetik pun aku berhenti berdoa agar kesengsaraan selalu hinggap pada orang itu.

Rapat dimulai dengan permintaanya untuk mengganti kostum yang kami kenakan saat pertemuan selanjutnya, saat kami bekerja bersamanya. Dia meminta kami menggenakan pakaian santai dan membuang pakaian kantor resmi yang saat ini kami kenakan. Yang benar saja?

Kemudian ia juga meminta maaf karena ia meminta kami bekerja disaat libur akhir pekan yang harusnya bisa kami nikmati.

Baguslah, setidaknya orang ini tahu caranya untuk meminta maaf.

@@@

Aku menghela napas lega ketika rapat dinyatakan selesai. Kemudian buru-buru meninggalkan ruangan rapat itu dengan alasan bahwa aku harus segera pergi ke toilet. Mungkin Mbak Indah mengira aku terlalu tegang menghadapi proyek pertamaku yang menyebabkan gangguan di ususku yang sedikit sensitif ini.

Tidak lama setelahnya, aku kembali ke ruang kerjaku dan menemukan Mbak Indah dan Ray yang sudah menunggu. Aku berada di tim yang sama dengan mereka dan kami mendapat bagian di desain grafis. Baguslah, karena bagian ini merupakan spesialis Mbak Indah dan juga Ray. Oh, aku juga pernah beberapa kali menempati bagian ini, jadi kutahu apa yang harus kami lakukan.

Aku memang sudah mengenal Mbak indah sebelumnya, namun aku belum pernah bekerja satu tim dengannya. Tak kusangka dia benar-benar hebat dan brillian dalam mengemukakan pendapatnya. Pantas saja perusahan ini begitu memperhitungkan Mbak Indah.

Tanpa terasa aku dan Ray larut dalam pembicaraan kami dan tanganku dengan cekatan membuat sebuah peta dengan ujungnya kuberi gambar daun semanggi berdaun empat. Simbol keberuntungan.

Aku tersentak saat sebuah kepala yang kutahu tidak seharusnya berada di dekatku muncul begitu saja.

"Ya Tuhan." Aku melompat ke belakang dan Mbak Indah, Ray dan juga Mbak Maira terkikik melihat kekagetanku.

Brian melirik padaku dan matanya menatapku jahil. Aku membalasnya dengan memelototkan mataku, namun segera aku akhiri ketika sadar bahwa yang lainnya sedang menatap ke arah kami.

"Mbak Maira, ada apa?" tanyaku memecah situasi yang membuatku mati kutu.

"Saya hanya berkeliling, memastikan semua berjalan lancar. Dan juga sepertinya Pak," Mbak Maira berdeham sekali, "maksud saya Brian ingin dilibatkan secara langsung dengan pekerjaan kita." Mbak Maira menatap pria itu yang sedang mengangguk-angguk dengan hikmat.

"Yah, tiba-tiba saja aku ingin ikut, tidak masalah, bukan?"

Aku mengernyit. Menatapnya dengan tatapan menuduh tapi dia malah mengalihkan pandangannya dariku.

"Tentu saja boleh, ini suatu kehormatan bagi kami," jawab Ray sopan. Ray memang selalu berlaku sopan kepada siapa pun. Ray lalu tersenyum padaku, senyum yang menguatkan.

Ya sudahlah, paling tidak ada Ray yang aku tahu akan menjadi teman yang baik yang mungkin akan membantuku di situasi yang tidak menyenangkan.

"Selamat bergabung Brian," balas Mbak Indah kalem, masih dengan senyum keibuannya yang memancar alami dari wajahnya. Beruntungnya dia memiliki paras wajah menyenangkan seperti itu.

Aku menghela napas panjang dan segera berdiri di antara Ray dan Mbak Indah. Meminta sokongan mereka meskipun tahu mereka tidak tahu apa-apa mengenai hubunganku dengan pria di depanku ini. Tapi dari senyum yang Ray dan Mbak Indah berikan padaku, aku rasa mereka mengerti bahwa ada sesuatu yang terjadi antara aku dan pria menyebalkan itu.

Pria itu menaikan satu alisnya melihat perilakuku namun dengan cepat Mbak Indah kembali mulai memimpin untuk lengkah-langkah selanjutnya yang harus kami lakukan. Aku melirik Mbak Indah dan saat dia melirikku balik, aku mengucapkan terima kasih padanya tanpa suara.

@@@

Aku kira hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan di mana tidak akan ada kemacetan yang mengawalinya. Tapi saat-saat menyenangkan itu rusak karena kedatangan pria menyebalkan itu lagi. Lagi pula, untuk apa takdir kembali mempertemukan kami jika hanya untuk membuat hari-hariku menjadi lebih buruk dari ini.

Sepanjang jalan aku terus merutuki diri sendiri karena kebodohan yang pernah aku lakukan di masa lalu. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah pada mobilku. Aku menepikan mobilku dan benar saja, salah satu ban mobilku kempis. Ya Tuhan.

Aku menatap sekeliling yang sepi dan masih dapat melihat gedung tempatku bekerja dari sini. Aku bahkan belum beranjak lebih dari 50 meter dari tempat itu.

Aku menatap nanar pada mobil sedan hitamku yang tampaknya ingin melengkapi penderitaanku hari ini. Kenapa mobilku bersekongkol dengan penderitaanku hari ini? Padahal aku cukup membanggakannya karena bagaimanapun, aku senang mobil ini kubeli dengan jerih payahku bekerja selama ini.

Aku lalu menghubungi Ray yang kutahu bisa untuk kuandalkan. Jika perhitunganku tidak salah, ia pasti masih berada di kantor, atau setidaknya masih di sekeliling kantor untuk sejenak menemaniku sampai mobil derek datang. Selain itu dia juga bisa mengantarku pulang.

Bayanganku tentang Ray yang datang sirna sudah ketika kudengar suara operator yang menjawab dibalik sana.

Aaah, aku lupa, tadi Ray berkata bahwa ponselnya mati karena baterainya habis. Meminta tolong pada Mbak Indah pun mustahil karena ia dijemput oleh suaminya. Aku terduduk lemas di atas kap mobilku dan pasrah saja sampai mobil derek yang aku tunggu tiba. Setelah itu aku akan berjalan sebentar sampai halte bis dan pulang. Mudah saja. Bisa saja aku pulang dengan taksi, tapi itu akan sulit karena pengeluaranku bulan ini benar-benar banyak. Aku harus berhemat.

Aku membuka ponselku dan memainkan game Angry Bird untuk mengusir kesepian ketika melihat sebuah mobil mendekat. Aku melirik sekilas ketika mobil audi berwarna hitam metalik berhenti tepat disampingku. Seseorang turun dari mobil mewah itu dan yah, hal itu melengkapi penderitaanku ketika sosok yang kulihat itu adalah pria menyebalkan itu. Dia tersenyum saat berada di hadapanku dan berdiri dengan gayanya yang dibuat seangkuh mungkin.

Yang benar saja. Keluhku dalam hati.

"Sedang apa kau di sini?" tanyanya kemudian.

"Bukan urusanmu," kataku singkat. Saat ini tak ada ramah tamah seperti yang dulu. Entahlah, lama-kelamaan aku jadi muak jika teringat hal-hal yang terjadi dulu.

Dia berjalan memutari mobilku tanpa menghiraukan diriku yang mencoba bersikap dingin. "Jadi, ban mobilmu kempes ya? Mungkin aku bisa membantumu..." Dia melepas blazer dan tampaklah kaus menggelikan bergambar Mickey Mouse itu.

"Kau mau apa?" tanyaku heran.

"Memperbaikinya?"

Aku memutar bola mataku. "Percuma saja, aku tidak mempunyai alat-alat mekanik, dan bahkan tidak mempunyai ban cadangan," gumamku kemudian menghela napas.

Dia menatapku heran dan aku hanya mengangkat bahuku. Aku bisa apa?

Dia menggelengkan kepalanya dan mulai berjalan mendekatiku. Aku kemudian teringat peran yang sedang kumainkan. Aku kan sedang mencoba bersikap dingin padanya, jadi lebih baik aku hanya menjawab pertanyaanya dengan singkat. Lalu aku kembali duduk di atas kap mobil dan kali ini aku mengambil buku catatanku, mencoba mencari inspirasi ataupun yang lainnya. Yang jelas hal itu kulakukan agar aku tampak sibuk.

Aku tahu bahwa akhirnya dia duduk di sampingku, bersiap untuk memulai pembicaraan. Lama dia terdiam karena aku bahkan sama sekali tidak melirik ke arahnya. Beberapa waktu berselang ketika akhirnya dia terkekeh geli dan akhirnya berhasil merebut perhatianku. Aku menoleh kepadanya setelah aku membetulkan letak kacamata bacaku.

"Apa?" tanyaku dengan suara yang kubuat agar terdengar tajam.

"Aku hanya menertawakan takdir yang kembali mempertemukan kita. Pernahkah kau membayangkan hal ini sebelumnya?"

"Tidak."

"Aku juga." Dia menatapku dan kemudian ia tersenyum padaku. "Lihatlah... takdir ternyata bisa juga mengejutkanmu, bukan?"

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Aku menutup buku catatanku dan sedikit terkejut melihat sampulnya. Tapi aku berhasil mengendalikan diriku dan menaruh buku itu jauh dari pandangan pria itu.

"Ada banyak hal. Kau tahu? Kurasa kepalaku akan meledak karena terlalu banyak hal yang ingin kubicarakan. Dan kupikir, kita memiliki banyak waktu. Benarkan?" Dia menyeringai lebar, menampakan barisan giginya yang teratur.

"Sebenarnya, hanya 2 minggu dan setelah itu aku bisa terlepas darimu," jawabku asal.

Dia terlihat akan menyanggah ucapanku ketika kulihat sebuah mobil derek yang melaju ke arahku. Aku berdiri dan melambai kearah mereka. Berbicara dengan salah satu montir dan mengurus semuanya agar besok aku bisa mengambil mobilku saat pulang bekerja. Mereka lalu meninggalkan kami beberapa saat kemudian.

Nah sekarang hanya ada aku dan pria menyebalkan ini. Aku meliriknya dengan ujung mataku dan memutuskan segera pulang. Dalam pikiranku, aku membayangkan proses mandi air hangat dan kemudian tidur. Ya, kurasa itu ide yang bagus.

Aku berbalik dan mulai berjalan beberapa langkah ketika Brian -akhirnya aku menyebut namanya- mencegat di depanku.

"Kau mau ke mana?"

"Pulang," jawabku enteng.

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak, terima kasih," kataku tak acuh. Aku berbalik dan kurasakan sebuah tangan mencekal lenganku. "Apa yang kau lakukan?"

"Tadi bukan pertanyaan. Tapi pernyataan. Kau tidak bisa menolak, ini perintah. Aku bosmu!" Brian terdengar seperti menggeram saat mengatakannya.

Aku melongo dan melepaskan cekalan Brian dengan paksa. "Kau memang bosku, tapi itu di kantor! Lagipula, ini sudah lewat jam kantor! Maka kau bukanlah siapa-siapa! Kau paham itu?"

Kulihat dia mematung mendengar ucapanku yang sarat dengan luapan emosi kemarahan. Kata-kataku benar. Tidak ada yang perlu kusesali. "Jadi, selamat malam."

Aku berbalik arah dan mulai melangkah dengan cepat. Takut dia akan melakukan hal seperti tadi. Aku mulai mengatur napasku dan memperlambat langkahku ketika sadar bahwa aku sudah berjalan jauh dari tempatku tadi. Tidak ada suara mobil, dan itu berarti dia tidak mengejarku, baguslah.

Aku sudah bisa melihat halte bis dari tempatku berdiri ketika ada dua orang laki-laki berpostur tinggi mendatangiku. Aura menakutkan terpancar dari mereka dan hal ini membuatku sedikit resah. Aku melihat sekeliling dan tidak kulihat seorang pun berlalu-lalang di daerah ini. Daerah ini memang wilayah perkantoran, sehingga jika akhir pekan seperti ini pasti akan sepi. Aku mulai menggigit bibirku dan melangkah mundur dengan langkah yang tak pasti. Dua orang itu tersenyum keji melihatku yang ketakutan. Aku terus saja berjalan mundur sampai akhirnya aku menabrak sesuatu, mungkin saja sebuah pohon. Dan jika hal itu memang benar, maka tamatlah riwayatku.

Sepertinya dugaanku salah, yang kutabrak bukanlah pohon. Atau jika itu memang sebatang pohon, maka pohon itu mempunyai ranting yang hangat yang bisa menyentuh pundakku. Aku terkesiap untuk beberapa waktu. Semakin resah ketika dua orang di depanku semakin tersenyum lebar.

"Sudah kubilang aku akan mengantarmu pulang," bisik sebuah suara di telingaku yang membuatku merinding. Bukan karena aku kedinginan, tapi karena suara itu dekat sekali dengan telingaku. Telinga adalah salah satu bagian tubuhku yang sensitif selain perutku.

Sosok di belakangku lalu maju ke depan, meninggalkan bayang-bayang yang menaunginya ketika ia berada di belakangku. Pantas saja dia tidak kelihatan saat aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling.

"Siapa kau?" tanya salah satu orang di antara dua orang itu, laki-laki itu menggunakan topi ninja berwarna kelabu.

"Kalian terkejut karena bukan teman kalian yang muncul? Sayang sekali dia sedang tertidur di bawah pohon." Brian menunjuk ke satu sudut dan saat aku memperhatikan dengan seksama, benar saja. Ada satu sosok yang tergeletak tak berdaya. Dan bisa kulihat bahwa sosok itu lebih besar dari dua orang di depanku itu.

"Sialan kau!" balas yang satunya dan mereka mulai menyerang Brian. Aku menjerit terkejut dan menyaksikan bagaimana kegesitan Brian menghadapi kedua pria itu. Aku melongo beberapa saat ketika menyadari dia bisa dengan mudahnya mengatasi mereka.

"Rosella?"

Aku tersentak. Dan kembali terkejut ketika melihat wajahnya tepat di samping wajahku. Hanya menyisakan beberapa inchi hingga rasanya aku bisa merasakan napasnya membelai pipiku.

"Sudah aman." Dia tersenyum lebar.

Aku melirik melewati kepalanya dan melihat dua orang yang tadi sedang merintih kesakitan. Aku lalu memandang bergantian antara Brian dan dua orang itu.

"Ayo kuantar." Brian menarik tanganku, kali ini tanpa paksaan dan saat itu aku menurut ketika Brian menggandengku.

"Bagaimana bisa kau-" tanyaku ragu.

"Mengahajar mereka?"

Aku mengangguk, tapi percuma juga karena aku berada di belakangnya, aku tidak berani berjalan di sampingnya. Akal sehatku masih bekerja, dan aku sadar seharusnya aku malu karena telah membentaknya dengan kasar tadi.

Dia lalu berbalik dan hanya tersenyum lebar. Membuatku salah tingkah.

Setelah itu aku tidak berani bertanya apa-apa lagi dan saat ia bertanya di mana tempatku tinggal, aku dengan patuh mengatakannya.

"Kau tinggal di apartemen?"

"Kami menyewanya," jawabku singkat, masih melihat ke arah luar jendela.

"Kami?"

"Aku dan temanku."

"Perempuan?"

Aku memutar bola mataku, dan menoleh kearahnya. "Menurutmu?"

Dia terkekeh pelan dan entah apa yang dia katakan, karena sangat cepat dan pelan, sepertinya itu kata-kata untuk dirinya sendiri. Ah, sudahlah, aku kan sudah berniat untuk tidak menghiraukannya, tapi setelah apa yang dia lakukan untukku tadi?

"Kau sedang terburu-buru?"

"Tidak," jawabku refleks. Tapi begitu melihat senyum Brian muncul, buru-buru kuralat ucapanku. "Aku memang tidak terburu-buru, tapi aku ingin segera pulang dan berisitirahat."

"Oh... begitu."

Aku menghela napas lega, semoga saja Brian segera mengerti.

"Eehm... seharusnya kau belok kanan di pertigaan yang tadi."

Dia mengangkat sebelah alisnya. "Aku rasa rumahmu bisa menunggu."

"Hei, yang benar saja..." desahku frustasi.

@@@

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top