Run In Love [3]
» AMI «
Ami melenggang pergi dari sekolah setelah menyolong wifi beberapa menit. Ia merogoh saku roknya untuk mengambil barang keramat miliknya. Mp3. Ya, ia sangat senang musik. Ia pasangkan earphone pada telinga kemudian menyetel lagu yang tengah ia gilai beberapa hari belakangan ini. Matanya melirik kanan-kiri sebelum akhirnya menyebrang. Tak jauh dari tempatnya berpijak, tampak gerombolan siswa sekolahnya tengah beradu tinju dengan sekolah lain. Ami menggelengkan kepala.
"Kapan damai wahai anak muda?" ucapnya dengan aksen bicara seperti Papa Zola dalam serial kartun kesukaannya, Boboiboy!
Ami tak peduli, sih. Ia tetap berjalan pulang, melewati lautan manusia berseragam putih-abu yang tengah beradu kekuatan dan melempar batu dengan santai. Tidak takut dirinya menjadi korban salah sambung lemparan batu, oke abaikan.
BRUKK!
"Aww!"
Tiba-tiba saja seseorang menabraknya. Syukur Ami memiliki keseimbangan yang bagus sehingga ia dapat menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Ia berbalik, menatap garang seseorang yang telah menabraknya. Seorang siswa lelaki.
"Eh, sorry! Gue gak sengaja. Lagian ngapain jalan di tengah-tengah orang yang lagi tawuran?"
"Yeh ... terserah aku dong. Ini kan bukan jalan nenekmu! Kamu sendiri ngapain nabrak orang yang lagi jalan? Padahal lagi tawuran!"
"Eh, gue gak ikut tawuran kali! Gue didorong, tuh!"
Oke, mereka gila. Bertengkar di tengah-tengah orang yang sedang kacau.
"Terus?"
"Udah. Kita pergi dari sini. Daripada kenapa-napa."
Lelaki itu mencengkram lengan Ami lalu menariknya menjauhi gerombolan manusia-manusia itu.
"Gue Rio. Lo siapa?" Sela Rio, lelaki itu, di tengah-tengah pelarian mereka. Ami memperhatikan seragam yang Rio pakai. Sama seperti miliknya. Tapi, kenapa ia tidak pernah melihatnya?
"Ami. Ami Kim."
Tanpa Ami sadari. Rio tersenyum menanggapi jawabannya.
»»»«««
» RIO «
Rio tersenyum pada Ami membuat Ami sedikit terkejut karena senyuman itu. Setelah itu ditariknya tangan gadis berambut panjang itu dengan kuat. Mereka berlari menuju area sekolah mencoba untuk bersembunyi dari serangan-serangan para kaum remaja tak bermoral di sana. Ami melongo melihat Rio di hadapannya. Dia tahu kalau Rio itu penakut dan tidak pede. Tapi Rio yang dilihatnya saat ini benar-benar berbeda dari yang ia kenal.
"Kita mau kemana?" tanya Ami penasaran sambil berusaha memperbaiki earphonenya yang mulai terlepas karena aksi berlarian ini.
"Se-sembunyi! Kau mau kena tipuk batu oleh mereka semua?" ujar Rio agak gugup. Sedangkan Ami hanya bermanyun ria sembari mengikuti langkah Rio yang lebih lebar darinya.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di depan perpustakaan. Sembari mengatur nafas, Rio terus memerhatikan wajah gadis di sebelahnya itu. Kulit putih bersihnya membuat detak jantung Rio lebih cepat dari biasanya. Apalagi suara desahan dari nafasnya terengah. Menambah kesan gugup di diri Rio.
"Eh. Kau cowok yang tadi."
Suara gadis lain membuat Rio menoleh. Begitu pula Ami. Di hadapan mereka berdiri gadis berkacamata dengan tampang lugu. Gadis itu tersenyum manis--yang sepertinya ditujukan pada Rio. Senyum yang membuat sudut mata Ami berubah 360°.
"Ngomong-ngomong namaku Natali," ujar gadis berkacamata itu sembari menyodorkan tangan pada Rio.
"Rio," jawab pria kurus itu singkat lalu menjawab jabatan tangan dari Natali.
Ami menghembuskan nafas panjang kuat-kuat. Membuat Natali cepat-cepat menyembunyikan tangannya di balik badannya. Perlakuan mereka berdua yang terlihat agak canggung membuat kening Rio mengernyit samar. Ditatapnya mereka berdua secara bergantian, berharap menemukan jawaban. Tapi sayangnya, ia tak menemukan apapun selain suara ajakan Ami membuatnya sadar kalau harus terus bergerak.
"Mending kita langsung masuk, deh."
»»»«««
» MOMO «
"Baiklah," Momo mendengus kesal. "Alex! Lepasin tangan aku sekarang juga!" dia membentak kesal.
"Kenapa?" tanya Alex cengo.
"Aku ingin pulang sekarang juga!"
"Bukan kah ...."
"Apa?! kamu berharap kita kembali berlari dengan orang orang aneh itu seperti artis India? Nggak," tolak Momo cepat.
"Galak banget."
"Aku nggak galak, tapi kamu udah menyebut aku PENDEK! Maka kamu sudah masuk blacklist-ku untuk di jadikan gebetan, no, bahkan teman pun aku nggak sudi."
"Kupikir kalian pacaran," celetuk Ryan tiba-tiba.
"Hell no," tandas Momo .
"Jadi, kamu mau sama aku? "goda Ryan.
"Makasih. Aku lebih baik memacari bantal Sasuke-sama daripada berurusan dengan kalian."
Momo pun berbalik untuk kembali ke sekolah saat dirinya sadar kalau dia masih dikejar oleh orang-orang yang bahkan tak dikenalnya. Sebenarnya bukan dia yang dikejar, melainkan pemuda yang menariknya masuk ke dalam permasalahan ini. Argh! Menyebalkan sekali!
Great! Sekarang aku akan lari lagi, keluh Momo dalam hati.
"LARI OI, LARI!" seru Ryan saat sadar kalau yang mengejar mereka mulai mendekat.
"MASA AKU LARI LAGI?!!!" teriak Momo putus asa sambil ikut berlari menyusul Ryan dan Alex.
»»»«««
» ALISHA «
Nick masih membawa Lisha dalam pengejarannya ke Alex, yang bersama dengan seorang gadis berseragam berbeda dengan Lisha serta seorang pria yang tadi ia lihat tengah sibuk mengambil mangga di pohon. Semua adegan kejar-kejaran ini benar-benar membuat Lisha capek. Rasanya ia ingin sekali menendang kaki Nick sekerasnya agar ia cacat sekalian. Bukannya Lisha kejam atau tak punya hati, tapi ia paling tak suka ditarik paksa seperti begini! Sakit!
Ketika jarak mereka bertiga sudah mulai dekat dengan mangsa, Nick angkat suara, tentunya dengan aksennya yang sok berkuasa bak jagoan di film laga.
"Keh, dasar," dia mendecih, "kalian benar-benar lambat."
Nick mengangkat tongkat baseball nya tinggi-tinggi sambil berlari dengan semangat. Lisha memerhatikan. Ada yang salah dengan Nick. Bukan ..., bukan tongkatnya yang patah atau bagaimana, tetapi ada sesuatu yang tak beres ada di bagian kaki pemuda itu!
"Nick! Tali sepatu!" Lisha lantas berteriak, namun diikuti dengan tawa tertahan.
Sialnya, peringatan Lisha tak sempat membuat kening Nick selamat dari aspal yang keras. Pemuda itu jatuh dengan lucunya, membuat Lisha dan Arsen tertawa terbahak saking tak kuatnya melihat adegan konyol di tengah pengejaran. Mengenaskan sekali nasib Nick.
Wajah Nick terangkat, menoleh pada keduanya yang masih sibuk memegang perut mereka yang sakit akibat ledakan tawa. "Heh kalian! Nggak usah ketawa-ketawa gitu deh! Bantuin bangun!" teriaknya super kesal.
Bukannya membantu, Lisha melet. "Bantuin lo? Ngapain? Nggak guna banget!"
Lisha dengan ringannya berbalik badan, hendak meninggalkan Nick namun suara pemuda itu membuatnya berhenti melangkah dan kembali memandangnya dengan wajah kesal.
"Seharusnya lo berterima kasih karena gue udah nolongin lo keluar dari tawuran itu! Coba aja bayangin, kalo sampai kepala lo kena batu atau bambu runcing, gimana?!" Nick meledak seketika, membuat Arsen yang membantunya berdiri mencoba untuk menenangkan meski gagal.
Perkataan Nick menyulut emosi Lisha. Gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap pemuda itu tak percaya. "Coba ulangin sekali lagi? Keluar dari tawuran?!" tangan gadis itu beralih di pinggang. "Dengan lo bawa gue untuk ngejar sepasang kekasih itu, sama aja udah mencelupkan gue ke dalam tawuran!" matanya berkilat kesal. "Dari tadi banyak batu yang lewat di kepala gue! Lo sadar nggak?!"
Nick memicingkan matanya kesal. Mereka saling bersitatap lama, sampai akhirnya Lisha yang memutuskan pandangan mereka lalu berlari kembali menuju gedung sekolah. Sekarang pikirannya beralih pada buku yang tadi ia bawa. Kalau tidak mau kena denda, dia harus mengembalikan secepatnya ke perpustakaan!
Dia sangat kesal. Marah pada Nick. Apa-apaan dia? Menarik tangannya seenaknya, kemudian marah-marah tak jelas seperti itu?! Ah, Lisha tak peduli lagi!
»»»«««
» RYAN «
Ryan dan Alex terkejut, tiba-tiba saja wanita itu melepas genggaman tangannya pada Alex dan berhenti berlari. Oh ya, ternyata mereka bukan sepasang kekasih. Wanita itu lalu berbicara tidak jelas mengeluh sesuatu. Ryan mencoba mencairkan suasana meskipun keadaan sebenarnya masih tegang.
Dari belakang, siswa-siswa yang mengejarnya sejak tadi masih berlari begitu cepat dan mengumpat dengan keras. Dengan cepat ryan memperingatkan dua teman barunya itu,
"LARI OI! LARI"
Mereka berdua terkejut, dan segera berlari. Tapi, terkutuklah wanita ceroboh dengan permen karet di rok bagian belakangnya itu yang membuat Ryan tersenyum sejak tadi. Wanita itu terjatuh. Ryan tidak bisa membiarkan wanita terluka dalam keadaan tidak masuk akal seperti ini. Dia segera menyuruh Alex untuk segera membawa Momo pergi dari sana. Dan Ryan, dia akan memperlambat siswa yang sedang mengejar mereka.
Ryan melihat siswa itu mendekat dengan cepat, lalu dia melihat Alex dan Momo di belakangnya. Bagus! Alex sudah berlari dengan menggendong Momo di belakangnya. Ryan lalu berbalik lagi dan melihat siswa itu sudah tersungkur tanpa sebab. Ryan mengerenyitkan dahinya.
Melihat kesempatan Ryan segera berlari dan berteriak sekuat tenaganya. Siswa yang membawa tongkat baseball belum bangun dari jatuhnya. Ryan bisa jelas melihat pemuda yang tersungkur itu mengangkat wajahnya dan bertengkar dengan sang gadis. Beberapa saat setelah pertengkaran kecil itu berakhir dengan sang gadis yang pergi, Ryan berlari sambil berteriak sangat kuat. Belum sempat pemuda itu mengambil tongkatnya yang terjatuh, Ryan langsung menerjangnya dengan kuat. Siswa yang satunya menahan, tapi tendangan Ryan begitu kuat hingga keduanya tersungkur tak berdaya.
Tiba-tiba, Ryan merasa benda keras menghantam kepalanya. Begitu sakit, matanya terasa kabur untuk sesaat. Salah satu siswa yang tadi ia serang sudah terbangun ternyata. Dia mencoba memukul Ryan lagi, tapi Ryan menahan dengan tangannya lalu meninju perut siswa itu. dia tersungkur lagi kesakitan. Ryan lalu merasa sesuatu mengalir dari kepala belakangnya. Ryan memegangnya, darah. Ryan merasakan sakit yang sangat. Dia melihat ke belakang, kepala pemuda tak bertongkat ternyata sudah berdarah terkena batu entah dari mana, sedangkan yang satunya tengah sibuk meringis memegang perutnya yang kesakitan.
»»»«««
» DEAN «
"Kalau begini sih, aku tidak perlu memakai kekuatan."
"Kekuatan? Kamu beneran bisa hipnotis orang? Atau jangan-jangan, kamu bisa menghidupkan yang telah mati?"
Dean berdecak. "Memangnya kamu pikir, aku ini Tuhan?"
Moza kembali cemberut. Bibirnya manyun beberapa centi lalu dia bangkit dari duduknya tanpa aba-aba, membuat Dean mendongak dan menatapnya bingung. "Kenapa kamu pegang-pegang sapu?"
Tangan Moza yang sebelumnya mencengkram saputangan merah kini sudah beralih memegang gagang sapu. "Aku mau ikut tawuran!"
Dean tercengang. "Kok jadi alay begitu?"
Tatapan Moza menajam. "Kamu ngatain aku alay? Aku ini ingin ikut mati bersama Dean Winchester! Aku ingin di surga bersama dirinya!"
"Jangan! Masih ada Dean yang lain!"
"Dean yang ini? Nggak ganteng! Aku nggak suka!" teriak Moza lantang, menusuk hati Dean yang membuat pemuda itu ingin terjun bebas dari lantai empat gedung sekolah. Baru saja ia berpikir kalau Moza ini gadis yang menarik dan mungkin saja bisa ia dekati, tapi ternyata dia sudah ditolak mentah-mentah. Sedih. Tapi, dia takkan menyerah!
Pemuda itu pun berlari menyusul Moza yang sudah keluar. Tangan gadis itu mencengkram erat gagang sapu, mencari mangsa empuk. Tapi nyatanya, gadis itu justru berteriak ketika melihat laki-laki tengah melempari buah mangga ke anak sekolahan yang sedang tawuran.
"MANGGAKU DICOLOOONG!" Moza kembali berteriak, membuat Dean terkesiap dan ikut memutar arah, mengikuti gadis berwajah imut itu. Beberapa batu hampir saja mengenai kepala mereka, tapi dengan sigap Dean melindungi Moza. Alhasil, tangan Dean terluka dan mengeluarkan darah. Tapi ia tidak peduli dan tetap berlari di sisi Moza, menjadi tameng.
Moza kalap. Dia berlari dengan mata memerah, entah karena habis menangis atau marah mangganya dicolong. Yang jelas, gagang sapu yang dipegangnya itu berhasil menghalau batu-batu yang terbang tak tentu arah. Mata gadis itu mengarah pada lelaki yang mencuri mangga. Entah mengapa, Dean langsung merinding membayangkan kalau Moza berhasil menangkap si pencuri itu.
Gadis yang sedang mengamuk itu mengerikan, ya.
»»»«««
» MOZA «
Moza meradang melihat seorang laki-laki mengambil mangga di depan rumahnya. Moza tak memperdulikan lemparan batu para anggota tawuran. Yang ia inginkan sekarang adalah memukul sang pencuri mangganya.
"Mangga gue woi!!" teriaknya menerjang sang pencuri mangga. Sang pencuri mangga yang bernama Ryan dengan shock memandang ke arah Moza. Beberapa orang yang tengah tawuranpun heran melihat kemarahan Moza.
"Lo nyolong mangga gue!!" teriak Moza seraya memukuli Ryan yang masih terkejut.
"Ampun...ampun..." kata Ryan mencoba menghindar dari pukulan toya sakti alias sapu Moza.
"Tolong!! Maling mangga!" teriak Moza yang membuat semua orang menoleh ke arahnya. Bahkan beberapa orang yang tadi tengah sibuk tawuran kini memusatkan perhatian kepadanya.
"Maling nih maling. Hajar," ucap Dean yang membuat orang-orang yang lain mengeroyok Ryan.
Moza tersenyum puas melihat pencuri tersebut babak belur. Rasain! Salah siapa mencuri! Kan dosa! Katanya dalam hati.
"Sudah... sudah... ayok semua ikut dangdutan di sana. Gak usah tawuran lagi. Dosa." kata Moza mengajak orang - orang yang berada di sana.
Akhirnya semua anak yang tadi sibuk dengan permasalahan mereka masing - masing mengikuti Moza untuk pergi dangdutan. Kebetulan sekali di sekitar sini ada hajatan kawinan dengan hiburan dangdut. Kini semuanya kembali aman dan damai.
Tapi tidak dengan pemuda yang baru saja dikeroyok oleh para siswa itu. Seluruh tubuhnya dipenuhi luka dan memar, beberapa bagian banyak darah yang mengalir seperti tak ada keinginan untuk berhenti. Setelah gerombolan yang menyerbunya sudah bubar, ia bangkit dengan susah payah. Langkahnya tertatih-tatih menuju sekolah. Sebenarnya Moza kasihan melihatnya, tetapi ia memilih untuk berdangdut ria.
»»»«««
» TATA «
Tata masih menyesal karena telah menolak habis-habisan ajakan Arsen. Harusnya tadi ia ikut saja. Tapi, bagaimana? Apa yang harus dikatakannya pada Pak Simon-pria yang menjemputnya, kalau tiba-tiba ia tak ada di tempat? Orang tuanya pasti cemas kalau ia menghilang tanpa kabar. Sambil menunggu gerombolan para siswa anarkis itu hilang dari pandangan, Tata bersembunyi di balik tembok dekat gerbang sekolah.
Merasa sudah cukup aman, Tata keluar dari persembunyian. Namun rasa was-was dan takut kembali menyergap ketika melihat beberapa siswa berlari menuju gerbang sekolah. Sepertinya, mereka adalah sisa dari para gerombolan tadi. Mungkin, mereka tertinggal. Mata Tata menyipit, dari kejauhan ia bisa melihat seorang anak laki-laki babak belur penuh darah. Salah satunya Nick, kemudian beberapa siswa yang tak dikenali Tata. Kemudian ada lelaki yang meninggalkannya tadi, Arsen.
Seketika itu pula rasa takut yang dirasa Tata berubah menjadi khawatir berlebihan ketika mereka mulai mendekat. Ada darah yang mengalir di kening Arsen, mungkin karena lemparan batu?
"Kok kamu belum pulang?" Tata agak kaget karena Arsen tiba-tiba memakai 'aku-kamu', padahal sebelumnya masih 'gue-elo'. Tapi kekagetannya tertutupi karena pemuda itu terlihat sangat kelelahan. Nafasnya memburu.
"Lagi nungguin Pak Simon jemput," jawab Tata akhirnya. "Kening kamu kenapa bisa berdarah gitu?"
"Hah? Berdarah?" tangannya meraba kening dan ia terkejut ketika cairan kental itu mengenai permukaan kulit jarinya.
"Nih, aku ada plester, sini aku pasangin untuk menutupi luka kamu."
"Ciye Arsen ...," Nick mengejek pemuda itu. "Yaudah deh, gue mau nyari tempat nyaman buat ngumpet."
Tata menoleh dengan kening berkerut melihat tingkah Nick yang seperti itu. Dan ia baru sadar kalau pemuda itu berjalan sambil meringis menahan sakit. Ah, mereka berdua ternyata ikut tawuran? Tata sempat merasa lega karena tadi tidak mengikuti Arsen. Bagaimana jadinya kalau ia terjerat dengan aksi berkelahi antara pelajar itu?
"Thanks ya Ta, buat plesternya," suara Arsen membuat lamunan Tata buyar. "Kamu masih lama nunggu supirnya?"
"Entahlah, sampai sekarang aku belum mendapat kabar dari Pak Simon. Mungkin dia terjebak macet karena tawuran tadi," jawab Tata sambil mengangkat kedua bahu.
"Gimana kalau kamu pulang bareng aku aja sebagai ucapan terima kasih?" kalimat tersebut membuat Tata memberikan pandangan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Serius? Emangnya nggak ngerepotin?"
"Enggak repotin sama sekali," Arsen tersenyum lalu menjulurkan tangannya karena Tata tampak diam tak bergeming. "Pulang sekarang?"
Tata mengerjapkan mata beberapa kali. "Oh, oke."
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampakkan senyum, semburat merah hadis di pipinya. Kenapa tiba-tiba ia merasa senang begini di depan Arsen? Padahal sebelumnya ia sangat kesal karena dipaksa dan dibentak. Tapi berbeda sekali, hatinya terasa hangat sekarang. Semoga rasa hangat yang menjalar di pipinya tidak membuat Arsen menyadari kegugupan dirinya.
Arsen pun, meski tak mengeluarkan suara, hatinya tersenyum bangga karena berhasil untuk mengajak gadis ini. Yah, percobaan pertama tadi gagal mungkin karena ia terlalu kasar? Kenapa ia tak lembut begini saja sejak awal? Tetapi kalau ia mencoba untuk mengulang kejadian tarik-menarik tadi dan berlaku sopan, saat ini Tata takkan memberinya perekat luka. Saat ini juga ia takkan bisa merasakan lembutnya tangan Tata di genggamannya.
»»»«««
» ALEX «
Alex menatap datar gadis yang sedang mengeluh di sampingnya. Benar juga kata Momo, mana mungkin mereka harus berlari a la india seperti ini. Ah, dadanya juga sempat nyeri saat mendengar ucapan Momo yang mengatakan bahwa namanya dimasukkan dalam blacklist untuk menjadi pacar maupun temannya.
Namun, seketika hatinya berbunga-bunga saat mendengar perkataan Ryan yang mengira mereka berpacaran. Yah, walaupun dibantah mentah-mentah oleh Momo.
"LARI OI! LARI" seru Ryan membuat Momo semakin mengeluh.
"MASA AKU LARI LAGI!!!!!" teriak Momo kesal kalu menyusul Alex dan Ryan yang sudah berlari mendahuluinya.
Belum jauh mereka berlari, Ryan berhenti dan menyuruh keduanya untuk pergi. Bersamaan dengan itu Nick datang dengan tongkat baseball yang siap dilayangkan ke kepala Alex. Dengan cepat Alex menggendong Momo lalu berlari meninggalkan Ryan.
Sebenarnya ia tak enak sekali kalau harus meninggalkan Ryan seperti itu. Tapi, apalah daya? Dia harus menemukan tempat yang aman untuk gadis di gendongannya ini. Entahlah, ia juga tak mengerti mengapa mau saja menggendong Momo. Apa sekarang ia sudah mulai tertarik dengan gadis pendek yang selalu mengeluh ini? Ah, tapi ia tak bisa memungkiri kalau wajah gadis itu manis. Bahkan saat marah-marah pun, menggemaskan. Bagaimana jadinya kalau ia sampai tersenyum? Mungkin Alex akan mengingatnya terus sampai terlelap nanti.
"Stop, stop!" tepukan di pundak Alex membuat ia berhenti melamun serta menghentikan langkah. Memasang telinga serta pandangan pada sekitar.
"Kenapa?" tanya Alex, mencoba untuk berlari lagi namun guncangan keras untuk berhenti melangkah memaksa pemuda itu untuk diam di tempat.
"Mereka udah nggak ngejar kita lagi, Alex" sahut Momo lega.
Alex pun menoleh ke belakang, matanya menyipit memerhatikan sekitaran. Kosong. Tak ada siapapun di taman dengan danau indah ini selain mereka berdua. Perlahan tapi pasti, Alex menurunkan Momo dengan kehati-hatian yang super tinggi. Mereka saling pandang, lalu nyengir lebar dan memutuskan untuk duduk di pinggiran danau.
»»»«««
» GIO «
Gio sudah menemukan semak-semak baru dan dia hanya mengerinyutkan dahinya setelah mengetahui tawuran seru yang sedang diburunya malah berubah jadi organ tunggal dan mereka semua malah dangdutan.
"Lihat mereka, mau jadi apa kelak?" ucap Gio ketus kepada dirinya sendiri.
"Bersenang-senanglah selagi muda. Dari pada kecewa karena mereka berhenti tawuran, mending ngedate sama aku!" tawar Givey yang mengedip-ngedipkan sebelah matanya kepada Gio.
"Kalo gue turutin kemauan lu itu, lu harus seenggaknya berhenti jadi stalker, sepakat?" Gio yang passive kini mulai mencoba agresif agar bisa bebas dari penguntitnya itu.
"Ya tergantung suasana hati. Kalo bisa muasin aku, bakal aku pertimbangin lagi permintaanmu itu," Givey melipatkan kedua tangannya dan mulai memperlihatkan gesture congkak kebanggaannya. Tampaknya Gio sudah masuk ke dalam jebakannya.
"Good to hear that, gue terima tantangan lu!" Gio lalu mengajak Givey cabut dari arena dangdutan itu dan pergi kesebuah mall untuk melakukan serangkaian acara kencan untuk menyelamatkan kehidupannya.
»»»«««
» RIO «
Nathalia tersenyum kecil melihat sikap Ami yang terlihat menggemaskan. Dia kemudian berjalan mendahului Rio yang masih tenggelam dalam lamunan, mengikuti Ami yang sudah terlebih dahulu menginjakkan kaki ke dalam perpustakaan. Tiba-tiba, suara rintihan muncul dari belakang Rio yang membuat pemuda itu sedikit bergidik ngeri. Rasa-rasanya, mereka hanya bertiga? Kenapa ada suara merintih kesakitan begitu? Dia pun menoleh ke belakang untuk memuaskan rasa penasarannya. Terlihatlah seorang pria dengan tampilan horror dan penuh darah berjalan tertatih ke arahnya.
"Siapa?" tanya Rio dengan nada gemetar.
"Obaat ..."
Pria itu pun terkapar karena lukanya. Rio yang mulai ketakutan karena pria itu pun mundur teratur ke arah Nathalia dan Ami. Melihat sikap Rio yang terlihat tak jantan membuat Ami dan Nathalia terheran-heran. Apalagi Ami, yang langsung mendekat dan menyentuh pundak pemuda itu.
"Kenapa, Ri?" tanya Ami singkat.
"Pria itu ..."
"Biarin aja kali. Nanti Dinas Sosial datang pungut-pungut orang kayak dia," jawab Nathalia asal.
"Jadi, yuk, masuk," ajak Ami sambil tersenyum manis.
Rio pun menghela nafas panjang. Lalu dengan langkah mantap, mengikuti kedua gadis di hadapannya ke dalam perpustakaan untuk bersembunyi dari tawuran ini. Tapi suara musik dangdut mengejutkannya dan membuat kakinya berhenti melangkah.
"Kalian dengar musik itu?" tanya Rio pada kedua gadis di hadapannya.
Keduanya pun mempertajam terlinga mereka dan mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan Rio.
"Sepertinya tawuran udah selesei," kata Ami.
"Kalian mau dangdutan?" tanya Nathalia semangat.
Rio dan Ami pun mengangguk pelan. Lalu bersama, mereka bertiga pun berjalan menuju tempat dangdutan. Meninggalkan Ryan yang tengah sekarat menanti bantuan medis datang. Apa Rio harus mengajak pemuda itu untuk berdangdut? Tidak mungkin. Berdiri saja sepertinya dia tak mampu, apalagi berjoget ria.
Semoga dia baik-baik saja, bisik Rio dalam hati seraya melirik ke arah pria itu.
.......................................
THE END.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top