The Last Hope
PERHATIAN
Udah baca part It's Time to Change di akun @jamalenda
Kalau gitu, silakan baca part terakhir cerita ini.
Thank you for reading
***
Di tengah perjalanan, tiba-tiba sekawanan zombie menyerang Hummer dan menghalangi jalan kami. Aku sempat panik selama beberapa saat, tapi aku sudah cukup sering mengalami kejadian seperti ini. Zombie-zombie itu seperti sekawanan gerilyawan padang pasir. Kadang mereka mengintai, kadang mereka menyerang dengan tiba-tiba. Yang justru membuatku shock adalah bagaimana Zoe mengatakan dia mencintaiku dan berniat melompat keluar dari mobil.
Memangnya dia sinting?
Kalau dia melompat, mungkin aku juga akan ikut mati. Bagaimana tidak? Jumlah mereka sangat banyak! Jika Zoe tetap tinggal dan menggantikanku mengemudi, aku justru bisa mengangkat senjata dan menghadapi mereka lewat langit-langit Hummer.
"Whatever you think you gonna do, don't do that!"
Aku menarik bagian belakang kaus yang dikenakan Zoe dan melemparkannya kembali ke pangkuanku. "Don't do anything funny, kid!" Kuperingatkan dia. "Hold the wheel. I have got some monsters to kill!"
Zoe kelabakan meski dia tidak memiliki pilihan lain selain menurut, kami berganti posisi dengan cepat. Sekarang bocah itu sudah duduk di belakang kemudi sementara aku merangkak ke jok belakang untuk mengambil machine gun. Aku menebarkan mataku dengan cepat, memilih senapan terbaik untuk jarak pendek dan memiliki kecepatan terbaik untuk menghancurkan kerumunan. Pilihanku jatuh pada M240 Bravo. Senjata ini dipakai di perang Irak dan Afganistan, senjata mesin yang bisa digunakan tanpa menggunakan tripod dengan rate tembakan 750 hingga 900 putaran per menit. Jika aku naik ke atap, aku bisa menghabisi mereka dengan mudah.
"Kemudikan secepat yang kau bisa, Zoe!" perintahku sembari membuka atap Hummer dengan tangan kananku. Kedua kakiku bertumpu pada sandaran jok depan dan aku mulai mengeluarkan kepalaku di atap, keluar bersamaku M240 Bravo machine gun seberat 12, 5 kg. Aku menopangkannya dibahuku dan di atap Hummer, aku berdoa semoga Tuhan Yesus memaafkan dosa-dosaku sebelum aku menembak ke segala penjuru. Mereka berjatuhan seperti lalat, bergeluntungan dan menjatuhkan zombie-zombie lain yang berlari di belakangnya. Aku terus menembak sampai tidak tampak satu mayat hidup pun mengikuti kami.
Saat aku kembali ke tempat duduk penumpang, Zoe sudah meraung-raung. Tangisnya makin menjadi-jadi sewaktu mesin mobil berhenti karena bahan bakar menipis.
"Kenapa kau menangis?" Aku membentaknya. "For God's sake shut the fuck up!"
"Bahan bakarnya, Jack..." isaknya. "Bahan bakarnya habis..."
Aku memijit pelipisku dengan kekuatan penuh, kubantu dia menepikan Hummer ke tepian jalan. Kuusap punggungnya perlahan dan pemuda itu menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukanku. Aku memeluknya, memijit tengkuknya dengan pijatan pelan. Felix selalu melakukan ini jika kondisi psikisku mulai labil memikirkan hubungan kami, biasanya aku akan merasa tenang dan berhenti mengkhawatirkan hal-hal yang tidak perlu.
"Feeling better?" tanyaku.
Zoe mengangguk dalam dekapanku.
"Kenapa kau begitu risau soal bahan bakar, kid?" Aku bertanya.
Maksudku, kenapa dia harus sampai punya pikiran konyol dengan melompat ke kawanan zombie? Apa dia gila? Sepanjang perjalanan mendadak dia banyak diam dan berpikir, apa yang dipikirkannya? Apa menurutnya jika dia melompat, dia akan memperlambat laju zombie-zombie itu? Aku sempat berpikir dia seorang ahli strategi karena dia banyak bermain video game. Aku tumbuh besar sebagai anggota corps, kami tahu ada beberapa orang yang lebih berbakat berada di balik layar dan mengatur strategi. Letnan Johnson pernah bilang supaya kami tidak meremehkan seorang ahli strategi, seorang gamer biasanya punya keahlian dalam hal itu—John pernah berkata padaku saat aku berkomentar tentang Little Ray yang lebih suka bermain komputer daripada bermain di luar—ternyata anak ini hanya seorang gamer bodoh yang tidak tahu menahu soal itu.
Tapi aku tidak memungkiri aku tersentuh dengan ucapannya. Dia bilang dia mencintaiku? Ya Tuhan, aku bahkan tidak bisa berhenti memikirkan Felix saat menyentuhnya, sekarang dengan sangat mudah dia mengatakan dia mencintaiku? Jika ini terjadi dua minggu yang lalu, aku akan menganggapnya teler. Tapi sekarang, ketika dunia berbalik menyerangmu sedemikian rupa, aku tidak punya ide lain selain mencium bibirnya yang bergetar karena menangis.
"Don't do anything stupid..." bisikku. "Aku tidak ingin kehilangan lebih banyak orang lagi, nak. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Zoe memelukku lebih erat, mengangguk berkali-kali sambil terus memaksakan ciumannya ke bibirku. Sebenarnya ini bukan ide yang bagus. Kami bisa saja kembali di serang jika tidak segera mengisi tanki dengan cadangan bahan bakar. Tapi aku sudah ereksi kembali. Kami gagal melakukannya untuk kedua kali hari ini. Kalau kami sampai gagal untuk kali ke tiga, mungkin aku akan melupakan ide ini seumur hidup.
Persetan.
Aku mengangkat tubuh Zoe ke atas pangkuanku, menelanjangi bagian pinggang ke bawahnya dengan cepat dan membuka resleting celanaku.
"Hisap sekarang, kid! Kita tidak punya banyak waktu!"
"Tapi Jack... Bagaimana dengan bahan bakarnya? Apa kita harus berjalan sampai Ohio?" tanyanya takut-takut, sementara tangan kanannya mulai menggenggam dan mengocok alat kelaminku.
"What the hell are you thinking about? Kenapa kita harus jalan??"
"Bahan bakarnya habis, Jack! Kita tidak punya pilihan selain ja—"
Aku membungkam mulutnya dengan tanganku hingga tak sepatah katapun bisa keluar dari bibirnya. Setelah aku yakin dia akan menutup mulutnya jika aku membuka bekapan tanganku, kudorong tubuhnya hingga dia berlutut di lantai mobil dan kutekan bagian belakang kepalanya sampai menyentuh di antara pahaku. "Kita punya puluhan liter cadangan bahan bakar di bagian belakang mobil. We'll fill the tank later. Now shut up and suck my dick!"
Zoe melenguh pasrah dan menurut.
Akhirnya aku berhasil melakukan ejakulasi dua kali. Sekali di dalam rongga mulut dan sekali di dalam lubang pantat Zoe. Aku memeluk tubuh telanjangnya sampai pagi membangunkan kami berdua dalam kedamaian. Saat aku melihat wajah tidurnya yang tenang terkulai di atas dadaku, rasanya hal yang terjadi dua minggu ini seperti mimpi buruk yang berlalu bersama datangnya hari baru. Aku mengusap rambutnya, mengecup ujung kepalanya dan dia terbangun malu-malu. Kami tidak banyak menghabiskan waktu dengan bemesraan. Zoe dengan sigap memintaku segera mengisi tanki bahan bakar supaya kami bisa segera sampai ke Ohio. Aku tahu. Supaya dia bisa segera bertemu dengan kekasihnya.
Sesampainya kami di perbatasan. Lieutenant governor Bill Cole sendiri yang menyambut kedatangan kami. Zoe dipersilakan ke barak untuk memeriksa apakah anggota keluarganya termasuk dalam sekelompok survivor, sementara Sir Bill Cole menggiringku ke ruangannya untuk bicara. Mereka menghidangkan steak tenderloin beef dan segelas anggur untuk makan malam kami berdua beserta beberapa petinggi West Virginia dan Ohio yang masih selamat. Governor Earl Ray Tomblin sudah berkumpul di gedung putih.
"Kami menerima hubungan radio dari seseorang di Charleston, Jack..." Sir Bill Cole memberitahu. "Dia menemukan serum anti virus yang mungkin akan menyelamatkan negeri ini," katanya berwibawa.
Aku hampir tersedak karena bahagia, "Siapa yang menemukannya, Sir?" tanyaku antusias.
Sir Bill Cole tersenyum, matanya menatap lekat dan hangat kepadaku. Tatapan seperti itu akan membuat seorang serdadu sepertiku berbangga hati. Itu berarti aku anggota yang bisa dipercaya. "Your brother, Johnathan Gilbert O' Donnel."
Sekarang aku benar-benar tersedak.
John? John yang menemukannya?!
John memang seorang chemist, tapi bukan seorang dokter. Dia bercita-cita menjadi dokter dan karena kepintarannya, seharusnya dia bisa menerima beasiswa yang akan meringankan orang tua kami yang miskin. Sayang, di tahun terakhirnya di Senior high, John mengalami kecelakaan. Karena aku. Oh... Karena itu pula kami hampir tidak pernah akur, John menyelamatkanku saat kami bersepeda di hutan. Aku hampir terperosok jatuh dari tebing yang curam kalau saja dia tidak mengulurkan tangannya untuk membawaku kembali ke bibir jurang. Malangnya, justru dia yang tergelincir dan aku selamat. Beasiswa itu melayang karena Jack harus dirawat dan hal itu mengacaukan nilai-nilai akhir semesternya.
Sekarang dia... menemukan serum yang akan menyelamatkan dunia. Dia. Kakakku. Aku merasakan kebanggaan meluap dalam dadaku.
"Kami mau kau menjemputnya, Jack."
Menjemput?
Untuk sesaat aku ragu apakah John akan menerimaku atau tidak. Tapi ini urusan besar, urusan negara. Lebih serius lagi, ini urusan menyelamatkan peradaban manusia. John tidak memiliki alasan untuk menolakku. Selain itu, aku merasa sangat lega saudaraku masih selamat. Ucapan Zoe terngiang di telingaku, 'memaafkan berarti memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menerima diri kita apa adanya.'
Aku akan meminta maaf pada John, sebelum terlambat.
"Jack?" Sir Bill Cole memanggilku lagi.
"Sir. Yes Sir!" jawabku segera, sambil kutegakkan dadaku seperti seharusnya seorang prajurit.
"Jemput kakak laki-lakimu, Jack. Segera. Rahasia. Kami tidak ingin berita ini menyebar kemana-mana sampai kita pastikan bahwa hasil penemuannya benar-benar akan berguna." Sir Bill Cole melanjutkan.
Aku mengerutkan kening. "Kenapa, Sir?"—Aku tahu seharusnya seorang prajurit tidak mempertanyakan perintah seorang komandan, tapi kali ini situasinya lain. Kami sedang duduk santai mendiskusikan nasib negeri ini.
"Untuk mencegah kepanikan massa," jawabnya tenang. "Virus ini sudah melumpuhkan dua per tiga Amerika Serikat. Merambah ke sebagian Eropa dan Afrika. Semua orang panik dan setiap berita kecil yang menyangkut anti virus menjadi incaran berita dan konflik antar negara bagian. Kita harus mencegah terjadinya kepanikan yang lebih besar dengan bergerak diam-diam, Jack. Sebelum kita memastikan seberapa kuat anti virus ini bekerja untuk kita, kita akan diam. Apa ada hal yang tidak kau pahami?"
Terlebih dulu aku menelan potongan tenderloin beefku sebelum menggelengkan kepala. "Crystal clear, Sir!"
"Kita perlengkapi mobilmu dengan perbekalan, bahan bakar dan amunisi. Aku ingin kau tidur dua atau tiga jam sebelum berangkat dan kau akan berangkat sendiri. Apa kau bisa melakukannya, Sergeant Jackstone O' Donnel? For the love of your country?"
"For the love of my country, sir. Yes sir!"
Aku akan mengorbankan nyawaku untuk negara ini. Apapun yang terjadi, apapun pilihannya. Aku hanya menitipkan doa untuk Zoe, semoga dia menemukan keluarganya. Menemukan cintanya. Jika Tuhan masih mengijinkan aku kembali dengan selamat, aku akan berterimakasih kepada anak itu. Dia sudah menyelamatkan hidupku dan membawaku ke dalam pencerahan. Semoga Tuhan memberkatimu, Nak!
Malam itu juga, Sir Bill Cole sendiri yang mengetuk kamar yang disediakan untukku beristirahat. Beliau mengenakan seragam kebesarannya untuk mengantarku berangkat. Sebelum dan sesudahnya nanti, dia sudah lebih dulu menganggapku seorang pahlawan dengan mengiringi kepergianku dalam seragam resmi. Aku duduk di belakang kemudi Hummerku yang sudah diperbaiki kondisinya dan dipenuhi dengan perbekalan yang akan kubutuhkan selama dalam perjalanan dengan dada membusung. Lebih dari itu, aku menyiapkan mentalku untuk menemui John, istrinya dan Little Ray.
Tanpa berpamitan dengan Zoe, malam itu aku kembali meninggalkan perbatasan dan menyisir West Virginia untuk kembali ke Charleston. Perjalanan tidak sesulit sebelumnya karena aku dibekali perbekalan yang cukup, sehingga tidak perlu berhenti di gas station untuk mengisi bahan bakar maupun perut. Ini meminimalisir resiko diserang kawanan zombie. Selama menyisir negara bagian, aku hanya menemukan beberapa kawanan yang mulai lelah karena kehabisan makanan. Sebagian memakan kembali mayat yang sudah berserakan di jalan, sebagian berjalan luntang lantung dengan bentuk yang sudah tidak karuan. Aku terus mengemudi tanpa menghiraukan mereka. Aku bahkan tidak repot-repot menghindar jika harus menabrak mereka di tengah jalan. Paling-paling aku mempertimbangkan jika tubuh mereka tersampir di kap Hummer atau darah hitam mereka menghalangi penglihatanku karena mengotori kaca.
Ketika aku berhasil mencapai daerah pemukiman John, seperti biasa aku seolah menemukan sebuah kota yang sudah lama mati. Mayat berserakan di mana-mana, rumah-rumah sepi, mobil dan motor menghalangi jalan karena mungkin pengendaranya di serang di tengah jalan. Aku memelankan laju Hummerku untuk meneliti jika masih ada satu dua orang yang selamat, sekaligus untuk menghindari bahaya. Aku ingat rumah John berada di blok B-02, aku harus berbelok kiri sebanyak dua kali sebelum lurus mengikuti jalan sepanjang lima ratus meter. Sudah menjelang sore di hari berikutnya saat aku menghentikan mobilku tepat di depan pagar rumah dengan mailbox berpapan nama 'O'Donnel'.
Aku turun dari mobil dengan waspada, menjinjing salah sebuah riffle dan membuka pintu pagar sehati-hati mungkin. Aku berusaha tidak mengeluarkan banyak suara untuk menghindari resiko terdengar oleh Zombie. Namun, baru aku melangkah masuk ke pekarangan, pintu rumah menjeblak terbuka dan seekor Golden Retriever menyalak padaku.
Aku menopang senjataku secara refleks, bersiap menembak.
"Paman Jack!!!! Jangan tembak!!!"
Itu suara Little Ray! Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, tapi yang menghampiriku hanya si Golden Retriever yang sebelumnya menyambutku di pintu. Aku berjongkok untuk menyambut anjing yang menyambut kedatanganku tersebut. "Kamu sudah besar, Chewa!" kataku senang sambil memain-mainkan telinga tebal anjing peliharaan John dan keluarganya. Chewa meletakkan kedua kaki depannya di lututku, sementara lidahnya membanjiri wajahku dengan air liur.
"Apa kau diutus Bill Cole?"
Aku mendongak.
Pemilik suara berat dan jauh dari kesan ramah itu langsung bisa kukenali sebagai John. Kakak lelakiku satu-satunya. Ah. Aku tanpa sadar mengembangkan senyuman lega. John masih tampak gagah dan sehat, jambang memenuhi separuh wajahnya bagian bawah. Menutup habis lehernya yang besar dan kokoh. Aku melihat pendar lega yang sama, berbinar dari kedua bola matanya yang menatapku. John mengenakan kemeja flanel biru tua yang kancingnya dibiarkan terbuka, di dalam kemeja itu ia mengenakan singlet berwarna putih yang sudah menguning. Didepan tubuhnya terdapat Little Ray yang meronta-ronta ingin menghampiriku, tapi ditahan oleh lengan ayahnya.
"Oh ayolah, John!" Sebuah suara wanita yang manis dan bijaksana mendahului munculnya sosok Marianne yang cantik. Aku melambaikan tanganku pada wanita baik hati itu. Marianne membersihkan kedua tangannya dengan celemek yang menutup bagian depan tubuhnya yang berbalut gaun rumahan, menyisihkan John dari pintu dan berjalan ke arahku dengan kedua lengan terjulur. "Itu Jack sang Pahlawan!"
Kami berpelukan erat dan Marianne menangis meluapkan rasa syukur. Aku membelai rambutnya yang berwarna merah, namun mataku tak bisa lepas dari memperhatikan John yang belum juga bergerak dari berdirinya. Little Ray sudah dilepaskan. Kami bertiga berpelukan melepas rasa rindu, termasuk Chewa yang terus menyalak.
"Ya Tuhan, John!" Seru Marianne marah, tapi aku menghentikannya.
Aku memberi wanita itu senyuman, meyakinkannya kalau aku tidak masalah dengan sambutan dingin John.
"Aku datang kesini karena Lieutenant governor Bill Cole memintaku untuk membawa kalian ke perbatasan," kataku, sembari mendekat ke arah John dan menggendong Little Ray di sisi kanan tubuhku. Aku meletakkan bocah itu ke tanah saat aku sudah berdiri dihadapan John. Jarak kami hanya sepanjang dua langkah. Meski begitu aku tahu, jika maaf tidak pernah terucap dari bibirku atau bibirnya, kami seperti sedang terpisah antar benua.
Aku baru akan membuka mulutku, tapi John mendahului. "Aku minta maaf, Jack..." katanya. "Dua minggu ini aku memikirkan hubungan kita. Aku memikirkan kenapa aku begitu marah padamu padahal kau tidak pernah berbuat buruk padaku. Dulu aku jatuh dari tebing karena aku tidak becus menyelamatkan diriku sendiri, sementara melindungimu selalu menjadi tugasku. Aku menimpakan kesalahan padamu selama bertahun-tahun. Aku juga minta maaf karena kekesalan itu menggiringku pada kebencian selanjutnya dengan mengutuk pengakuanmu. Aku malu pada diriku sendiri, Jack. It was your life, after all. Your choice. Selama ini kau sudah menjadi adik yang selalu bisa kubanggakan, termasuk dengan segala pilihanmu. Jack..."
Aku menangis. Aku terguguk di hadapan John.
"Jack, aku takut kalau kau tidak selamat, maka seumur hidup kau akan berpikir bahwa aku membencimu. Itu tidak benar, Jack. Aku mencintaimu. Kau adik yang kusayangi, maafkan aku karena aku harus menunggu segala kejadian buruk ini terjadi untuk mengatakannya. Tapi persetan, Jack... Maafkan aku..."
"Tidak..." kataku, susah payah menahan air mata yang terus menerus menerus meleleh di pipiku. "Bukan kau yang harus minta maaf, John. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku minta maaf dan aku juga mencintaimu. Aku mencintaimu, John..."
Malam itu, kami tidak langsung bekendara ke perbatasan. Kami menebus waktu kebersamaan kami yang lama hilang dengan menikmati daging panggang buatan Marianne di depan tungku pemanas. Aku dan John bercerita banyak mengenai apa yang terjadi dalam dua minggu ini.
John merasa iba mengenai nasib Felix, tapi juga bersyukur aku bertemu dengan Zoe. Dia berpikir ada sesuatu yang terjadi antara Aku dan Zoe tapi aku menepisnya. Zoe sudah memiliki seorang kekasih. Jika kekasihnya selamat, mereka tentunya akan kembali dan bocah itu akan segera lupa dengan apa yang terjadi di antara kami. Lagipula, Zoe masih terlalu muda. Terlalu muda untukku. Jika anti virus serum yang ditemukan John benar-benar berguna, peradaban manusia lambat laun akan memperbaiki diri, maka Zoe akan memperoleh kembali hidupnya yang penuh kesempatan dan harapan. Sementara aku, aku akan menemukan pria yang sepadan denganku atau menghabiskan waktu dengan keluarga kecil John.
"Ini adalah vaksin rabies biasa," John menjelaskan. "Awalnya, Chewa tergigit seekor anjing yang sudah terinfeksi. Kebetulan, aku memang sedang meneliti obat anti rabies untuk kontrak dengan sebuah perusahaan obat hewan di Orlando. Rabies selalu diikuti dengan gejala menyerupai demam dan flu, oleh karena itu selain vaksin, aku meramunya dengan antibiotik dan bahan-bahan yang sama untuk menyembuhkan demam dan flu. Di luar dugaanku, reaksi kimia yang terjadi dari pencampuran ini meningkatkan efek kebal dan penyembuhan secara bersamaan. Aku mencobanya pada Chewa. Selama tiga hari, bukannya kesehatannya makin buruk, justru makin baik..."
Aku meneguk anggur di gelasku, "Bagaimana dengan manusia?"
"Aku tidak tahu bagaimana efek penyembuhannya terhadap manusia, Jack. Tapi, seperti yang kubilang tadi, vaksin ini memberikan efek kebal terhadap virus dan rabies. Aku menyuntikkannya pada diriku sendiri, aku berjalan ke kota, aku tergigit dan aku tidak apa-apa..." John menyingsingkan lengan bajunya untuk memperlihatkan padaku bekas gigitan manusia di sekitar pergelangan tangannya. Bekas luka itu masih merah karena lukanya belum benar kering, namun aku tahu, luka itu bersih. Luka itu luka biasa, bukan membusuk seperti yang kulihat terbenam dalam betis Felix.
Walaupun begitu, aku tetap mengutuk kenekadan John.
"I have no choice, Jack..." John mengedikkan bahunya. "Sekarang ini, aku sedang dalam tahapan menambahkan serum dengan sebuah tanaman yang secara naluriah dibenci oleh anjing. Lavender. Aku meneteskannya di cairan anti serum. Ini membuat zombie-zombie itu enggan menggigit kita."
"Seriously?"
"Yeah!"
Aku memeluk John sekali lagi, entah ini kali ke berapa aku memeluknya erat seperti ini. Marianne dan Little Ray lantas bergabung dengan kami. Malam itu kami tidur dengan nyaman setelah John memberiku suntikan dan bangun pagi keesokan harinya dengan semangat tinggi untuk menyelamatkan dunia. Aku bahkan menyempatkan diri untuk mandi dan bermain busa bersama Little Ray. Kami berkendara setelah menyantap bacon dan telur buatan Marianne, menghubungi Sir Bill Cole dan memberitahukannya berita bagus ini. Di sepanjang perjalanan, aku dipenuhi pikiran bahagia akan bertemu kembali dengan Zoe.
Sewaktu aku kehilangan Felix dan melihat Charleston diserang mayat hidup, aku sudah kehilangan sebagian nyawaku. Aku tidak lagi memiliki harapan untuk hidup kecuali untuk melayani negara ini. Aku bahkan berpikir, jika salah satu zombie itu menggigit dan menularkan virusnya padaku, aku akan dengan senang hati menyarangkan peluru di tempurung kepalaku. Seperti yang dilakukan Kennedy, rekan seperjuanganku di Irak yang mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak kuat menanggung after war trauma-nya.
Aku tidak pernah berpikir Tuhan masih memberiku harapan dengan mengirimkan Zoe dalam hidupku yang sudah tidak punya lagi harapan. Zoe yang memberiku pemikiran baru mengenai cinta dan arti dari permintaan maaf. Zoe yang membuatku berkumpul kembali dengan John dan keluarga kecilnya. Zoe yang memberiku harapan untuk melayani negara ini kembali dan mengentaskanku dari keterpurukan.
Saat aku melihat wajah pemuda itu menyambutku di gerbang perbatasan, aku melompat dari Hummer dan menyerahkan kemudi pada John. Aku berlarian padanya dan demikian juga ia padaku. Kami berpelukan erat dan aku merasakan keinginan hebat untuk memilikinya. Zoe membisikkan kata cinta padaku, tepat di telingaku. Seluruh keluarganya selamat, termasuk Timmy, kekasihnya.
Tapi, dia memilih untuk bersamaku.
TAMAT
Thank you, Good Bye.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top