The Almost Hell Virginia

PERHATIAN

Ini cerita buat menyambut Helloween beberapa tahun lalu yang ditulis bareng @jamalenda

Saya hanya akan menulis 3 part dan Jamal juga hanya akan menulis 3 part
Part satunya ada di akun Jamal dengan judul yang sama Run Baby Run [Zoe] jadi kalian harus baca dulu part What The .... di akun dia sebelum sebelum ke sini.


***


Satu. Dua. Tiga.

Should i waste my loaded gun?

Mungkin anak itu sudah tergigit sekarang.

Tapi mungkin juga belum. Bagaimanapun, bocah itu salah satu dari sepersepuluh sisa manusia di Charleston yang masih bisa mengeja abjad tanpa mengeluarkan cairan hijau dari telinganya. I hate colonies actually, lebih baik berkeliaran seorang diri. Tapi persetan, bukankah karena ini aku diijinkan berkeliaran seorang diri? Untuk menyelamatkan sisa-sisa yang bertahan. Untuk menyelamatkan peradaban manusia. Tapi sungguh, sejak orang terakhir yang kubawa masuk Hummer ternyata sudah terinfeksi juga, aku agak pesimis masih ada orang yang belum terinfeksi dan masih berkeliaran setelah dua minggu berlalu.

Baiklah. Aku menyandang riffle dan membuka pintu mobil. Show time, Jack!

Namaku Jack, veteran perang Irak 2004. Aku membunuh setidaknya 360 orang dengan M40 sniper riffle yang kuberi nama Angelina Jolie dalam pertempuran. Di tanah yang berubah menjadi zombie land ini, mungkin aku sudah membunuh dua kali lipat mayat hidup termasuk yang kelihatan seperti Rob Lowe dan Sandra Bullock. Mungkin saja, bukan? Keduanya kelahiran Virginia.

Baiklah. Aku menopang senapan di bahu kananku.

M16A4 Assault Riffle, 3.99 kg fully loaded, incar, tembak. One down. Haleluya!

Aku menggunakan senapan tipe ini untuk membredel desa teroris di Iraq tahun 2004. Mereka mengirimku kembali tahun 2010 hanya untuk melatih US Marine baru karena mereka pikir aku sudah tidak bisa membidik sebaik dulu. Lihat itu. Right between the eyes. Aku menggerakkan bahuku sembari mendekat, zombie ke dua sudah ada dalam bidikanku.

"What's your name, kid?" tanyaku, memastikan aku memang sedang membuang peluruku untuk sesuatu yang berguna.

Anak bodoh itu tidak menjawab, mungkin dia sudah terluka? Mungkin ususnya sudah terburai? Zombie-zombie itu entah kenapa suka sekali makan isi perut terlebih dulu, seperti srigala dan hyena. Mereka menyerang bagian paling mudah untuk dirobek. Itu masuk akal, memang.

Apa yang dilakukan pemuda itu berkeliaran di Charleston dini hari begini? Apa dia sinting?

Aku menarik pelatuk dan menjatuhkan Zombie kedua, berharap yang terakhir ketakutan dan lari. Zombie tolol itu malah mendekat kearahku. Pakaian kotornya berlumuran darah yang menghitam, tapi aku masih bisa membaca name tag dalam seragam helper rumah sakitnya. Namanya Albert. "Halo Albert!" kataku, menurunkan Riffle dari bahu dan menyahut cepat bayonet di sisi kanan pahaku. Aku mengayunnya dengan penuh keyakinan. Aku tidak pernah meleset dengan bayonet OKC3S. Slap! Menembus kening Albert.

"Go change shift, Albert. It's late!" gumamku.

Aku punya selera humor, kau tahu? Itulah yang membuat seorang veteran perang tidak gila. Beberapa angkatanku ada yang gila sepulang dari medan perang, mereka menganggap hidup terlalu serius. Bahkan ketika kami sudah pulang dan seharusnya bersyukur bisa selamat dibandingkan 5.500 tentara lain yang tidak, sebagian dari kami tetap tidak bisa tidur di malam hari dalam damai. Aku tidak mencela mereka, tentu saja. Aku hanya menyalahkan selera humor, sebab aku juga mengalami traumatic after war syndrome dan aku yakin selera humor yang menyelamatkanku.

Oh anak itu belum menyahut. Sungguh merepotkan sekali.

Aku mendekati Albert. Kuperiksa keadaannya dengan ujung jungle bootsku dan dia sudah mati. Well... seharusnya dia sudah mati sekitar dua minggu yang lalu sejak virus menyebar dengan cepat ke seluruh bagian West Virginia. Melumpuhkan fasilitas kota, pemerintahan, corps angkatan darat maupun udara dan hanya menyisakan sangat sedikit warga sipil dengan pupil mata yang sehat dan tidak kanibal.

Aku mengambil kembali bayonetku, membersihkannya di tubuh Albert dan menyelipkannya kembali ke sisi kanan pahaku. Baru kemudian aku berbalik dan menemukan pemuda berambut ikal itu, matanya masih nyalang memandang lahan kosong di hadapannya, sementara seluruh tubuhnya gemetaran. Aku memeriksa selangkangannya, untung dia tidak ngompol. Kalau dia ngompol, aku tidak akan mengijinkannya duduk di Hummerku.

"Kid!" hardikku sekali lagi, membuatnya terkesiap.

Aku memeriksa matanya dengan tangan kananku. Mata kiri sehat, mata kanan juga sama sehatnya. Hanya bagian putih matanya saja yang tampak merah. Sepertinya kurang tidur, mungkin dia sudah menghabiskan malam-malam tanpa tidur untuk menghindar dari Zombie? Aku menggeleng dan mendesah, dia belum juga memberiku respon kecuali tegukan air ludah.

Aku tidak percaya ini. Pantas pemuda di negeri ini berguguran lebih cepat daripada orang lanjut usia. Mereka terlalu lambat bereaksi, Malcom dan istrinya yang sudah pensiun saja tidak menunggu selama ini saat menyadari mereka diincar kawanan zombie. This kid is going to be such a burden. Hm. Hm.

"Kid, kau akan mati kalo terus-terusan bengong di sini!" Aku menyampar lututnya dengan kakiku, "Dunia sudah berubah, mereka tidak akan mendengarmu bicara atau mengampuni kelemahanmu. Kalo orang bilang jangan terus menerus lari dari masalahmu, mereka tidak pernah menyangka sembilan dari sepuluh orang West Virginia sudah menjadi hantu yang siap memburai ususmu kapan saja!"

"What the fuck is that?" desis pemuda itu akhirnya. Meringis memegang lututnya.

"Itu supaya kau tidak kelamaan bengong!" Aku membentak kehilangan kesabaran.

"Bukan itu! Orang-orang tadi-mereka-kenapa?"-OH ya ampun, sekarang dia gagap?

Apa maksudnya bertanya? Kenapa-nya membuatku mengernyitkan kening, "Kemana kau dua minggu terakhir ini, kid?" tanyaku.

"Di dalam kamar di apartemenku," jawabnya tanpa dosa.

"Kau bersembunyi? Di mana Ayah dan Ibumu?"

Dia menggeleng, "Aku mencoba menyelesaikan game-ku di apartemen," jawabnya dengan suara kering. "Ayah dan ibuku di Ohio. Apa yang sebenarnya sudah terjadi?"

Aku mendengus panjang menyadari ada seorang anak yang dengan ignorantnya berada di dalam apartemen untuk menyelesaikan sebuah game, sementara jutaan manusia lain berjuang untuk tetap hidup. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan berdiri. "Secara harafiah, West Virginia sudah hancur lebur."

Aku membantunya berdiri. Tubuhnya kurus dan mh! Baunya wangi, apa dia habis mandi? Sudah dua minggu aku tidak mandi, mungkin aku harus memikirkan tidur dan mandi dengan layak. Sebuah koloni mungkin tidak terlalu buruk, kami bisa bergantian jaga sementara yang satu tidur. Tapi aku tidak boleh lengah.

Membutuhkan tiga hari untuk seseorang berubah sepenuhnya menjadi mayat hidup. Fasenya adalah demam dan muntah-muntah di hari pertama, tidak bisa menelan makanan atau minuman, mulai meracau di malam hari.

Pada hari kedua, matanya akan kehilangan fokus dan muncul selaput yang melumpuhkan fungsi penglihatan, sebaliknya, hidungnya mulai mengendus dan menajam melebihi biasanya-kulitnya mulai korengan dan biasanya mereka akan menggaruknya secara berlebihan hingga berlumuran darah.

Pagi hari pada hari ke tiga, air liur berbau busuk mulai menetes dari mulut mereka, cairan hijau pekat mengalir dari lubang telinga menandakan matinya fungsi otak. Lantas mereka mulai mengaum. Haus darah dan daging manusia, juga hewan ternak. Dalam sekali lihat setelah goresan atau bekas gigitan dari mayat hidup yang menyerang, aku tidak bisa memastikan apakah dia terinfeksi atau tidak.

Bayanganku melayang pada satu malam dua minggu yang lalu dan dadaku kembali sakit. Seandainya aku bersamanya dan tidak meninggalkannya seorang diri. Ah. Sialan. Aku tidak boleh begini. Seorang pria tidak boleh menyesali masa lalunya. Seorang pria sekaligus seorang serdadu hidup untuk masa depan bangsa dan negara, bukan untuk kehidupan pribadinya semata. Get a grip, sergeant O'Donnel!

"Masuk ke mobil!" perintahku. Aku akan memeriksa pemuda ini nanti, saat matahari terbit.

Bocah itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

"Bawa ini, kau bisa pakai senapan?" Aku mengangsurkan Baretta M9 padanya.

Pistol seberat 952 gram dengan panjang 8,5 inch, semi-automatic pistol yang mudah digunakan. Dia menatapku dengan mata hazelnya yang bening, masih tampak tidak percaya dengan apa yang terjadi. He is cute. Aku tidak bisa berhenti menilainya karena aku gay. Mungkin aku bisa memintanya membantuku melepaskan hasrat terpendam dua minggu ini? Oh... atau mungkin juga tidak.

"Siapa namamu?" tanyaku sambil mulai menjalankan mobil.

Terrain Blue Hummer H2 SUT ini milik keluarga Nixon. Aku mengambilnya setelah Doc Nixon mencoba mengunyah lenganku, anggap saja ini buat kompensasi. Sepanjang aku membela negara ini, aku belum bisa membeli mobil semewah pakar seksologi yang selalu bertaruh bahwa aku dan Felix adalah pasangan gay sejak perayaan St. Patricks day tahun lalu. Aku selalu ingin menghancurkan rahangnya, sayang Felix selalu menghalangiku.

This bitch, maksudku Hummer ini, punya braking performance luar biasa-yang sangat kubutuhkan untuk melalui medan terjal dipenuhi mayat hidup berkeliaran tanpa kemampuan membaca rambu lalu lintas. Goncangannya di jalan yang mulus memang lumayan, tapi tidak ada yang bisa menyaingi kenyamanan dalam mengendarainya. Lagi pula, sejak insiden ini terjadi, hampir tidak ada jalan mulus di sepanjang Virginia. Kepala, tangan dan kaki manusia berserakan di jalan. Jumlahnya mungkin melebihi jumlah bebatuan sewaktu aku dan Felix rock crawling mengendarai Wagon beberapa minggu sebelumnya.

"Zoe," katanya singkat.

Zoe... Hm. Nama yang seksi. Cocok untuk wajah manisnya yang halus dan bersih, juga untuk rambut ikalnya yang tidak teratur. Aku tidak jadi menjalankan mobil karena Zoe tidak segera memasang sabuk pengamannya. Ia menggenggam erat pistol yang kuberikan padanya dengan tangan yang masih bergetar hebat, seolah hanya zombie yang bisa membunuhnya. Kecelakaan lalu lintas juga bisa membunuhmu kapan saja, nak!

"Safety belt, Zoe!" kataku mengingatkannya.

Zoe tidak bereaksi.

"Whatev!"-Kau matipun tidak masalah!

Aku benar-benar menjalankan mobil kini. Belum sampai tiga kaki menjauh dari sana, ban mobilku menabrak sesuatu yang hampir membuat Zoe terpental ke depan kalau aku tidak menahan tubuhnya, "I said safety belt, kiddo! Banyak mayat berserakan di jalanan!" geramku. Barulah dia menurut.

Aku membiarkan jendela terbuka, sebab kami melaju dalam kecepatan tinggi. Zoe masih belum membuka mulutnya. Dia membuka mulut seperti orang idiot, hanya tidak berkata apa-apa. Beberapa kali aku menelengkan wajahku untuk mengeceknya. Siapa tahu mulutnya meneteskan air liur busuk, jadi aku bisa langsung melemparnya melewati jendela. Tapi itu tidak mungkin, jika air liur lengket dan busuk sudah menetes, artinya infeksinya sudah berat.

"Sir-" panggilnya tiba-tiba.

"Namaku Jack, kid," potongku. "Jack O' Donnell. 42 tahun, Gunnery seargent US Marrine."-and i am proud.

"Bagaimana aku harus memanggilmu, sir?" Ia bertanya.

"Jack tidak masalah." Aku menjawab.

"Jack..." sebutnya ketakutan, wajahnya menoleh padaku di sampingnya. "Apa yang terjadi?"

Apa yang terjadi? Aku mendengus.

Baiklah--

"Yang aku tahu sewaktu aku kembali dari berburu rusa di hutan dua minggu lalu, Felix sakit parah. Felix is my-friend. Anggap saja begitu. Aku merawatnya, membawanya ke rumah sakit terdekat yang ternyata dipenuhi kasus serupa sehingga aku harus menerima begitu saja resep antibiotik dan kembali pulang. Tiga hari kemudian dia menyerangku dan aku terpaksa harus meledakkan kepalanya. Tiga hari kemudian pula seisi rumah sakit sudah menjadi mayat dengan organ dalam tidak lagi lengkap dan Charleston sudah dipenuhi teror. Tidak ada penjelasan yang cukup dari televisi maupun radio lokal, pemerintah melakukan evakuasi besar-besaran, menutup akses keluar masuk Virginia barat.

Satu jam setelah Felix meninggal, aku ke markas corps dan hanya sedikit orang yang tinggal. Semua private menjaga pos-pos evakuasi, mereka membiarkanku membawa senjata dan amunisi sebanyak yang aku bisa untuk berkeliling kota-mencari orang-orang sepertimu, yang berkeliaran tanpa perlindungan untuk di bawa ke pos evakuasi terdekat. Dua hari lalu, hanya tinggal satu pos evakuasi yang masih menampung warga sehat dan letaknya diperbatasan Ohio. That's where we are heading now.

The Almost Heaven Virgina, slogan kita, sudah menjadi The Almost hell, kiddo."

Mulut Zoe menganga semakin lebar. "Tidak mungkin! Itu mustahil!" ocehnya. "Zombie itu tidak nyata! Itu mitos. Hanya ada di film dan di video game! There is no way-no way-tunggu! Apa ini hanya terjadi di West Virginia? Bagaimana dengan belahan lain Amerika? Is there any-"

Aku menggaruk tengkukku. Jujur saja, aku tidak yakin.

Kalau belahan Amerika yang lain baik-baik saja, kenapa aku tidak pernah mendengar siaran radio atau televisi pusat? Lieutenant governor Bill Cole memang mengatakan bahwa West Virginia adalah sumber datangnya virus, tapi dia tidak pernah dengan positif memberikan harapan bahwa ada tempat di luar sana yang masih bersih.

"Aku tidak tahu," kataku.

"Apa penyebabnya, Jack? Apa yang membuat mereka seperti itu?"

"Virus."

"Virus apa?"

"Rabies. Mereka bilang penyakit itu di bawa pertama kali oleh seekor anjing gila yang diselamatkan beberapa pecinta binatang di selatan Beckley. Anjing itu tinggal di tempat pemotongan unggas milik penduduk setempat, dikurung di sebuah kandang dan diberi makan jeroan ayam dan burung. Salah satu pecinta binatang itu tergigit dan anjingnya lari ke kota."-aku menyalakan sebatang cerutu.

"Merlyn beard!" umpatnya. "Bagaimana dengan Ohio? Apa mereka juga diserang Zombie? If we reach the camp, bolehkah kita mengunjungi Ohio, Jack? Orang tuaku ada di sana! Keluargaku. My boyfriend-" Dia menutup mulutnya.

Aku mengernyit. Boyfriend?

Shit! The world is coming to an end and i wound up with another gay? Apa jadinya dunia ini nanti? Apa peradaban manusia benar-benar akan punah?

"I have no idea, kid," desahku. "Tapi aku akan mengantarmu secepatnya ke pos, berharap aku akan mengangkut beberapa makhluk sehat lagi sebelum mencapai perbatasan. Kau lapar? Mukamu pucat, kau lapar atau lelah?"

"Aku shock!" Ia menyalak. "Aku baru pesan pizza tadi karena persediaan makanan kalengku di apartemen habis, Jack! Aku pesan online, pantas mereka lama sekali!" gerutunya hampir menangis. Aku menggusak rambutnya yang berantakan sebelum membuka dashboard di depannya. Kuambilkan sebungkus snickers.

"Makanlah snack bar. Menjelang pagi kita akan sampai di kota selanjutnya, mengisi bahan bakar dan mengambil sebanyak mungkin bekal yang bisa kita bawa. Well... Paling tidak, semua bahan makanan kini gratis, asal kita bisa menjaga leher kita dari menjadi bahan makanan mayat-mayat hidup itu," kekehku.

Zoe mengambil sebatang Snickers, merobek bungkusnya dan mulai menggigit snack bar-nya. Dia tidak mentertawakan lawakanku sama sekali, agak membuatku tersinggung. Tapi itu wajar, aku juga kehilangan selera humor pada satu minggu pertama. Terutama setelah aku kehilangan Felix yang kucintai.

"Can you drive?" tanyaku.

Zoe mengangguk.

"Good. Get some sleep. Kita tukar tempat pagi hari nanti."-setelah aku memastikan kau tidak akan berubah menjadi mayat hidup kelaparan.

Paling tidak, dia bukan perempuan dan reaksinya juga tidak berlebihan. Perempuan terakhir yang kuangkut dengan Hummerku menangis seperti orang gila, membuatku sulit konsentrasi. Dia baru saja kehilangan seluruh keluarganya dan di hari kedua aku terpaksa menurunkannya ke jalanan karena ternyata dia terinfeksi. Matanya berubah kosong dan mulai menjilat wajahku seperti binatang buas kelaparan saat aku tidur.

Reaksi Zoe lebih banyak mengoceh, mengungkap begitu banyak teori konyol yang didapatnya dari video game dan film zombie--dari W.B Seabrook The Magic Island tahun 1929 hingga World War Z. Aku menguap. Menenggak whisky dan menyuruhnya tutup mulut. Dia tidur sampai aku membangunkannya di pagi hari. Aku menemukan sebuah gas station dan mengisi penuh tanki mobil, memenuhi beberapa jerigen dengan bensin dan mengangkut beberapa galon air bersih serta membuang yang kosong.

"Bangun!" perintahku.

Aku menyeretnya jatuh ke tanah karena tidak mampu membangunkannya dengan cara yang normal. Dia terus menggeliat dan menggumamkan sesuatu, bagaimana mungkin dia bisa tidur senyenyak itu? Aku bahkan hanya bisa tidur paling lama satu jam. Tidurku dijejali mimpi buruk, jauh lebih parah daripada after war-syndrome yang kudapat sepuluh tahun lalu di Irak.

"Geez, kid!" Aku mengelap keringat yang mengalir di keningku, "Berapa lama kau tidak tidur, hah?"

Zoe terbatuk dan menggosok-gosok matanya, "Dua puluh empat jam, mungkin? Apa yang terjadi? Apa kita sudah di Ohio?"

Aku tidak menggubris pertanyaan Ohio-nya. "Karena video game?" salakku.

Dia mengangguk.

"Bajingan! Over thousands people who struggle to stay alive and failed, kau selamat hanya karena kau main video game!"

"Well..." Zoe mencoba berdiri dan membersihkan pakaiannya, "At least they were right. Video games spare a life..."

Lucu juga anak ini. Masih bisa dia bercanda saat aku sudah hampir meledak karena kelelahan luar biasa. Kalau aku tidak tidur, bisa-bisa aku bahkan tidak bisa mengangkat bayonet dan menguliti kepalanya yang menyebalkan itu.

Oke. Saatnya memastikan dia tertular atau tidak. Aku menyambar Baretta M9 dari atas dashboard.

"We don't know yet, kid..." kataku. Aku membantunya berdiri dengan kasar dan agak mendorong tubuhnya melawan bagian depan mobil. Zoe memprotes karena punggungnya menabrak cukup keras badan mobil, namun lantas bungkam saat kutodongkan pistol yang kuberikan padanya semalam, "We still don't know..."

"Apa maksudmu, pak tua?" gagapnya bingung. Bibirnya bergetar menghadapi moncong pistol yang kuarahkan ke keningnya. "Jangan bercanda."

"Butuh tiga hari untuk mengubah seseorang menjadi mayat hidup. Aku harus melakukan body check up untuk tahu bagaimana kau tiga hari ke depan, kid. Sekarang, telanjang!"

"Telanjang??" pekiknya.

***

Lanjut ke part tiga yang judulnya F*ck You, Old Geezer (berarti part dua yang di post di sana) di akun @jamalenda

Love,
Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top