Bab 3
"Ibu?" Seru Inge terkejut melihat ibu mertuanya sedang duduk menonton televisi di ruang keluarganya.
Inge bergegas mendatangi ibu mertuanya dan menyalaminya. Tumben ibu mertuanya datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu, dan biasanya kalau ibu mertuanya mau berkunjung, tiga hari sebelumnya pasti sudah menghubunginya dan minta disiapkan ini itu.
"Kamu baru pulang?" Tanya ibu mertuanya.
"Iya, Bu. Ziyan, ayo salim sama nenek." Kata Inge.
"Assalamualaikum, Nek." Kata Ziyan menyalami neneknya.
Ibu mertuanya tersenyum dan memeluk Ziyan. "Apa kabar cucu nenek yang ganteng ini?"
"Alhamdulillah baik, Nek." Balas Ziyan.
"Tumben ibu nggak ngabarin, tahu begitu Inge akan memasak untuk Ibu." Kata Inge.
Ibu mertuanya mengibaskan tangannya, "nggak usah repot-repot. Apa yang ada aja. Arman katanya pulang cepat juga hari ini." Katanya.
"Kalau begitu kamiau ganti baju dulu, Bu." Kata Inge.
"Iya." Balas Ibu mertuanya.
"Ziyan ganti baju dulu ya, Nek." Kata Ziyan.
"Setelah itu cepat turun ya, temani nenek." Kata Ibu mertuanya.
"Siap, Nek." Balas Ziyan.
Inge dan Ziyan kembali ke kamar masing-masing. Di kamar Inge masih heran dengan kedatangan ibu mertuanya yang tiba-tiba, ia menelepon suaminya untuk menanyakannya tapi telponnya tidak diangkat.
Inge melepas ponselnya, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu ia mengenakan baju santai dan segera turun menemui ibu mertuanya. Ternyata Ziyan sudah terlebih dahulu menemani neneknya.
"Ibu nggak ngajak Ayah?" Tanya Inge basa basi.
"Nggak, Ayahmu sibuk memantau para petani yang akan panen padi." Katanya.
"Oh, sudah mau panen ya, Bu." Kata Inge.
"Oya, tadi ibu bawain kamu beras, telur ayam kampung, ayam kampung yang sudah diungkep jadi kamu bisa menggorengnya kapan saja." Kata Ibu mertuanya.
"Terima kasih banyak, Bu." Kata Inge.
Dalam hati Inge mengomel, sawah di kampung sebagian besar yang beli suaminya. Setiap panen mereka hanya dibawakan satu karung beras sedangkan hasil penjualan padinya tidak pernah diberikan. Kata suaminya, hasil penjualannya untuk diputar lagi di kampung atau dibelikan emas. Untuk sementara ibunya yang menyimpan dan mengelolanya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab mereka serempak.
"Kamu sudah pulang, Arman." Kata Ibu mertua senang melihat anak keduanya itu pulang.
"Iya, Bu. Inge, ini aku bawa lauk matang tolong disiapkan ya, ibu pasti sudah lapar." Kata Arman.
"Iya." Inge mengambil tas makanan dari tangan Arman lalu menyiapkan makanan itu di meja. Asisten rumah tangganya kalau sudah magrib akan pulang, dia akan datang keesokan paginya.
Setelah Arman mandi dan berganti pakaian mereka langsung menuju meja makan.
Menu malam ini menu kesukaan ibu mertuanya, gurami pedas manis, tumis kangkung dan kerupuk.
"Arman, kamu kapan mentransfer ibu yang ibu katakan kemarin?" Tanya Ibu mertua.
Uang? Uang apa? Batin Inge.
"Ibu jangan khawatir, dalam minggu ini Arman pasti akan mentransfernya untuk Ibu." Kata Arman santai.
Inge menatap Arman tajam, tapi laki-laki itu hanya tersenyum padanya sembari memberi isyarat untuk diam.
"Iya, soalnya Ayahmu sudah menyetujui untuk membeli tanah kosong milik Pak Asep. Letaknya sangat strategis, dipinggir jalan utama desa. Ke depannya mungkin kita bisa bangun pertokoan disana." Kata Ibu sembari menikmatinikan guramenya.
Kebiasaan ya Mas Arman, tidak pernah mendiskusikan hal-hal besar seperti ini denganku batin Inge.
Setelah sampai di kamar Inge mempertanyakan kembali maksud pembicaraan Arman dan ibunya tadi.
"Ibu ngasi tahu kalau ada tanah bagus yang mau dijual, apa salahnya sih Inge? Ini investasi buat masa depan kita." Kata Arman sambil memainkan ponselnya.
"Berapa harga tanahnya?" Tanya Inge.
"Kata ibu tanahnya luas, sekitar 600 jutaan." Kata Arman.
"Apa? 600 juta?" Seru Inge.
"Sssstttt pelankan suaramu. Nanti ibu dengar, dia bisa salah paham." Kata Arman memperingatkan Inge.
"Mas, memangnya hasil dari sawah-sawah yang Mas beli itu mana? Hasil kebunnya kemana?" Tanya Inge.
"Ya dikelola Ayah sama Ibulah." Jawab Arman.
"Dikelola? Terus mana hasil kelolaannya? Ibu cuma bawain kita beras sekarung itu aja, itupun cuma sekali enam bulan." Kata Inge.
"Kenapa kamu jadi memperhitungkan semua ini? Mereka orang tuaku, dan aku membelinya pakai uangku sendiri. Kamu nggak berhak berkata seperti itu." Kata Arman.
Inge terkejut mendengar kata-kata Arman, "apa? Pake uangmu? Owh jadi begitu, kamu nggak pernah meminta dan mendengar pendapatku selama ini karena itu semua uangmu. Kamu aja kasi aku uang bulanan 50 juta itu untuk berbulan-bulan, pengeluaran rumah tangga kebanyakan dari uangku aku nggak pernah protes. Enak sekali kamu ya, giliran hasil kerjamu kamu belikan aset sedangkan hasil kerjaku untuk pengeluaran rumah tangga." Kata Inge marah.
"Inge." Kata Arman marah.
"Aku baru sadar kalau kamu seperti ini." Kata Inge marah. Inge keluar dari kamar tidur mereka dan masuk ke kamar Ziyan. Inge menutup pintu kamar Ziyan pelan, ia bersandar dipintu sebentar. Ia menghirup napas pelan-pelan. Dadanya terasa sesak, air matanya mengalir, ternyata Arman orangnya manipulatif dan dia nggak sadar selama ini.
Keesokan paginya Inge dan Ziyan sudah siap untuk berangkat. Arman dan Ibu mertuanya sedang sarapan di meja makan.
"Ziyan, ayo sarapan dulu. Ini susunya sudah nenek buatkan." Kata ibu mertuanya.
"Terima kasih, Nek." Jawab Ziyan.
"Selamat pagi, Bu. Apa tidur ibu nyenyak?" Tanya Inge.
"Alhamdulillah nyenyak. Oh ya, Ibu nggak bisa lama-lama disini, hari ini ibu langsung balik." Kata Ibu.
"Yah, nenek kenapa cepat sekali." Protes Ziyan.
"Maafin nenek ya, nanti liburan sekolah Ziyan liburan ke rumah nenek aja ya." Kata Ibu mertuanya.
"Boleh ya, Ma?" Tanya Ziyan.
"Tentu saja boleh." Kata Inge tersenyum.
"Ya sudah, ayo Arman antar ibu pulang." Kata Arman.
"Nggak usah, kamu kerja saja langsung. Ibu sudah pesan taksi online." Kata Ibu mertuanya.
Ibu mertuanya Inge memang kelewat canggih, meski dari desa ia berani menggunakan taksi online kemana-mana, dia senang sekali mendengar ada tanah atau bangunan yang akan dijual murah karena si pemilik sedang membutuhkan dana cepat. Tapi sayangnya, uangnya dari Arman semua, dan hasilnya untuk mereka semua.
"Baiklah, Bu. Kami berangkat dulu." Kata Arman.
"Eh tunggu dulu, Ini angpao untuk Ziyan." Kata Ibu mertuanya menyerahkan amplop putih.
"Terima kasih ya, Nek." Kata Ziyan senang.
"Kami berangkat dulu, ibu hati-hati di jalan ya." Kata Inge.
"Iya iya, kalian nggak usah khawatir." Kata Ibu mertuanya.
***
Ponsel Inge berdering.
"Mas Arman." Gumam Inge begitu melihat siapa yang menghubunginya.
"Iya, Mas." Kata Inge malas-malasan. Sakit hatinya yang semalam masih terbawa sampai sekarang.
"Aku di depan kantormu, kita makan siang bareng ya." Kata Arman.
Tumben, apa dia merasa bersalah bathin Inge.
"Iya, Mas. Sebentar lagi aku turun." Balas Inge.
Setelah merapikan tasnya Inge turun ke bawah, ia melihat suaminya melambaikan tangan dari dalam mobil. Inge berjalan ke arah mobil suaminya dan masuk ke dalam.
"Tumben jemput aku makan siang?" Kata Inge.
"Iya, kebetulan lagi ada di daerah sini." Jawab Arman.
Arman mengajak Inge makan di sebuah rumah makan. Mereka memesan beberapa makanan lalu menikmatinya bersama.
Disela-sela makan Arman meminta maaf pada Inge. "Maaf ya, aku nggak bilang dulu sama kamu masalah tanah itu." Kata Arman.
Inge diam saja, ia mengunyah makanannya dengan pelan.
"Tanah ini kubeli atas nama kamu."
Kata-kata Arman membuat Inge terkejut, ia menatap Arman tidak percaya. Mana mungkin tanah itu atas nama dia. Selama ini setiap aset yang dibelinya pasti atas nama dia.
"Aku serius, aku sudah bilang ke notaris keluarga kita, tanah ini atas nama kamu. Kemungkinan satu minggu lagi kita ke sana untuk tanda tangan jual belinya." Kata Arman.
"Ini riil apa borongan, Mas." Kata Inge.
Arman tertawa mendengar candaan Inge, "Serius, Sayang. Aku memberikan ini sebagai hadiah anniversary kita." Kata Arman.
Inge tersenyum lebar, ia menggenggam tangan suaminya, "terima kasih banyak, Mas." Kata Inge senang.
"Aku juga sudah transfer 100 juta, kamu bisa belanja apa saja yang kamu mau." Kata Arman.
"Benarkah?" Seru Inge. Ia segera mengambil ponslenya dan memeriksa sms notification di ponselnya. Tadi ia memang belum sempat memeriksa ponselnya.
Dan tara ... benar, 100 juta sudah masuk.ke rekeningnya. "Terima kasih banyak ya, Mas. I Love You." Kata Inge.
"Giliran begini aja i love you." Kata Arman.
"Jelas dong, Sayang. Sifat alami perempuan." Balas Inge.
***
Sejak menerima proyek baru, Arman semakin sibuk. Bagaimana tidak, ia memenangkan tender puluhan milyar untuk membangun sebuah pusta perbelanjaan yang besar.
Inge dan Ziyan semakin sulit bertemu. Tapi mereka berusaha mengerti pekerjaan Arman. Toh ini semua demi masa depan keluarga mereka.
Hari minggu seperti hari inipun Arman tidak ada di rumah. Katanya dia diajak main golf oleh investornya. Jadi, ia dan Hanah berncana membuat pizza di rumah Inge. Hanah yang merupakan tetangga depan rumahnya itu juga satu-satunya sahabat Inge di komplek itu.
Hanah mengajak putrinya yang masih berusia lima tahun. Ziyan dan Putri bermain bersama di ruang keluarga sedangkan Inge dan Hanah sibuk membuat adonan Pizza.
"Arman pulang jam berapa, Nge?" Tanya Hanah.
"Nggak tahu, katanya kalau sudah selesai dia akan langsung pulang." Kata Inge sembari membentuk adonan pizza diatas loyang.
Hanah menyerahkan isian pizza ke Inge. Setelah memberi toping Inge memasukkannya ke dalam oven. Mereka membuat empat loyang pizza berukurab medium. Setelah selesai mereka membawanya ke teras rumah. Dua cangkir kopi sudah tersedia diatas meja.
"Tunggu dulu, dokumentasi." Kata Hanah.
"Iya," kata Inge tertawa. Ia tahu sahabatnya itu senang mengabadikan momen apalagi makanan.
"Farid juga lagi bengkel, si biru mau di servis." Kata Hanah. Mobilnya belakangan ini sering bermasalah.
"Enak lo, pizzamu. Kita jualan yuk." Ajak Hanah.
"Kapan bikinnya, Bu ...?" Ejek Inge. "Ini aja sehari-sehari sudah kayak lomba lari, kerjaan rumah nggak ada habisnya." Keluh Inge.
"Iya juga sih, aku yang di rumah saja sudah kayak robot, tombol offnya berfungsi kalau sudah jam sepuluh malam." Kata Hanah sembari mengunyah potongan ketiganya.
"Kamu enak, Farid sering di rumah. Jadi ada teman." Kata Inge.
"Enak memang tapi uangnya segitu-gitu aja. Beda sama kamu, Arman nggak di rumah tapi uang ngalir terus." Kata Hanah.
"Entahlah." Kata Inge.
"Kok entah?" Tanya Hanah.
"Mas Arman itu orangnya baik, tapi dia nggak bisa menentukan mana yang menjadi prioritasnya." Kata Inge.
Inge mengambil potongan kedua pizanya, "Ziyan sama Putri mau tambah pizza nggak?" Tanya Inge.
"Nggak, Ma. Masih banyak." Sahut Ziyan.
"Maksudnya gimana?" Tanya Hanah sembari memposisikan dirinya lebih dekat dengan Inge.
"Sudah ah, males bahasnya. Minggu depan jalan-jalan yuk, ada angkringan baru, menunya enak-enak." Ajak Inge.
"Kamu tu ya, sudah bikin penasaran aku aja." Kesal Hanah.
Inge tertawa, "maaf, besok aku yang traktir." Kata Inge.
"Harus, aku mau pesen yang banyak."
***
Jangan lupa vote dan coment ya 😉😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top