Prolog

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

• Update setiap hari Sabtu •

***

Suasana panti gaduh seperti biasanya. Anak-anak bermain kejar-kejaran di halaman, sementara yang sudah menginjak usia remaja mengawasi adik-adiknya dari jauh.

Rumaisha, gadis kecil paling pendiam di panti itu hanya bisa duduk di depan pintu. Kedua tangannya mendekap boneka kelinci yang sudah lusuh dengan mata yang lurus memandang ke depan—ke arah teman-temannya.

"Rumai! Mai!"

Namanya Wildan. Laki-laki itu sudah seperti abangnya di panti ini. Bukan berarti mereka yang jauh di atas umurnya tidak ia anggap abang dan teteh. Tetapi, hanya Wildan yang bisa sedekat ini dengan Rumaisha.

Tidak ada yang tahan bermain dengan gadis kecil pendiam dan lugu sepertinya. Yang suka berkhayal akan memiliki masa depan yang indah dan hidup bahagia, di saat anak-anak lain hanya hidup mengikuti 'alur Tuhan' yang sudah ditentukan serta keinginan tertingginya hanya 'yang penting bisa diadopsi dan memiliki keluarga. Itu juga sudah bahagia, Mai kecil'.

"Kamu dipanggil ibu, Mai," bisiknya pelan, supaya tidak terdengar oleh orang lain.

Yang dimaksud ibu di sini adalah pemilik panti, ibu Yeyen. Siapapun yang dipanggil oleh ibu, berarti ada hal penting di dalamnya.

"Aku, bang?"

Wildan mengangguk. "Iya, kamu. Mau abang temani?"

Rumaisah mengangguk pelan.

Dengan takut-takut, gadis kecil itu berjalan mengekori Wildan. Sementara pelukan boneka kelincinya tidak pernah terlepas.

"Masuk, Mai. Abang yakin ibu bawa kabar bahagia untuk kamu," ucap Wildan sungguh-sungguh. Matanya memberi sorot keyakinan, sembari membuka pintu ruang tamu. Setelahnya, laki-laki berumur 14 tahun itu meninggalkan Rumaisha sendiri di depan pintu.

"Rumai!" panggil Yeyen, ibu panti. "Cepat ke sini!" perintahnya pelan namun penuh penekanan.

Langkah kaki Rumaisha berjalan perlahan, menapaki ubin dengan gemetar. Takut-takut ia berdiri di sebelah ibu pantinya.

"Nah, bapak ibu. Ini salah satu anak kami yang paling penurut. Rumai, perkenalkan dirimu, Sayang," pinta Yeyen lembut.

Rumaisha tahu, ibu pantinya yang satu ini hanya akan berlemah lembut pada orang-orang yang akan mengadopsi anak-anak panti. Beliau tidak seperti almarhumah ibu Yeni, kakaknya, yang merupakan pemilik asli panti asuhan Cinta Kasih.

Usai memperkenalkan diri, kesepakatan terjadi antara ibu Yeyen dengan pasangan suami istri tersebut.

Rumaisha bahagia ketika ia tahu bahwa dirinya akan diadopsi oleh mereka dan itu berarti ia resmi memiliki 'keluarga seutuhnya'. Keluarga yang kaya raya dan ia menjadi anak yang begitu dimanja dengan perhatian yang selalu tercurah kepadanya.

Namun ketika gadis kecil itu beranjak dewasa, hatinya mulai merasakan sebuah kekosongan dan timbul pertanyaan yang mengusik mengenai kebahagiaan dan ketenangan hati yang sesungguhnya.

Karena definisi bahagia versinya dulu adalah memiliki keluarga, kaya raya, dimanja, dan sukses kala dewasa. Setelah semuanya ia dapatkan lantas kenapa ia hanya merasakan kebahagiaan yang sementara? Bahkan hatinya pun tidak membuncah dan selalu merasa hampa.

Sebenarnya apa itu kebahagiaan yang seutuhnya? Kalau bahagia itu sama dengan mimpi yang tercapai, harusnya aku sudah bahagia dan hati terasa tenang. Tetapi kenapa di dalam hati ini masih ada sebuah perasaan kosong, ketidaktenangan, seolah masih ada yang kurang? Apalagi yang sesungguhnya aku butuhkan dalam hidup ini untuk melengkapi hal yang kurang itu?

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top